Anda di halaman 1dari 60

Pendahuluan

Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses interaktif yang
menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis
sebagai bentuk penerapannya yang dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di
Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang selalu berkembang yang
telah diujiterapkan yang dimulai dengan melakukan perencanaan pengembangan wilayah
terlebih dahulu karena perencanaan adalah merupakan faktor yang fundamental. Selanjutnya
dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
pembangunan di Indonesia.
Dalam perkembangannya, konsep pengembangan wilayah di Indonesia mengalami
perubahan. Hal ini dilakukan tentunya untuk memenuhi semua kebutuhan yang semakin lama
semakin bertambah karena perkembangan suatu negara yang dinamis, sejalan dengan waktu dan
jaman. Pertama adalah Walter Isard sebagai seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji
terjadinya hubungan sebab dan akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni
faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950 an) yang
memunculkan teori polarization effect dan trickling down effect dengan argumentasi bahwa
perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga
adalah Myrdal (era 1950 an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan
wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash effect dan spreadwash effect.
Keempat adalah Freidman (era 1960 an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna
mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat
pertumbuhan (biasanya disebut supra-urban).
Dalam modul ini, akan dikaji mengenai konsep pengembangan wilayah, sehingga
kompetensi khususnya adalah mahasiswa diharapkan dapat memahami:
1. Konsep pengembangan wilayah,
2. Paradigma wilayah, dan
3. Pendekatan dalam perencanaan pembangunan wilayah
Modul II
Konsep Pengembangan Wilayah,
Paradigma, dan Pendekatan
Pembangunan Wilayah
Kegiatan Belajar 1

A. Ruang Lingkup Perencanaan Wilayah

Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mencapai suatu tujuan akhir tertentu.
Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dapat dicapai melalui perwujudan sasaran-sasaran tertentu
(yang biasa disebut sebagai tujuan antara), yang telah ditentukan sebelumnya dan telah
dirumuskan baik oleh pribadi sendiri maupun oleh suatu organisasi tertentu. Perencanaan
diperlukan agar alokasi menjadi lebih efisien dan efektif, dengan maksud agar keadaan di masa
yang akan datang menjadi lebih baik.
Di dalam pengertian perencanaan tersebut terkandung beberapa pengertian berikut.
1. Pada suatu perencanaan harus terkandung suatu tujuan tertentu yang merupakan suatu hasil
akhir yang diharapkan.
2. Perlu disadari bahwa proses pencapaian tujuan akhir tersebut memerlukan waktu tertentu
untuk mewujudkannya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan beberapa
sasaran sebagai tahapan-tahapan dari pencapai tujuan akhir yang diharapkan.
3. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan rentang waktu tertentu untuk mencapainya.
Oleh karena itu, setiap perencanaan selalu dapat dikaitkan dengan jangka waktu tertentu.
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat,
melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Pada dasarnya
perencanaan wilayah juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan perencanaan pembangunan
pada umumnya, hanya saja perencanaan wilayah dikaitkan dengan suatu daerah tertentu.
Menurut Friedman (1967) perencanaan wilayah adalah proses perumusan dan penegasan tujuan-
tujuan sosial dan ekonomi dalam berbagai kegiatan dalam ruang yang lebih besar dibandingkan
dengan wilayah kota (biasanya disebut supra-urban). Sementara itu, Nugroho dan Dahuri (2004)
mengartikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu upaya merumuskan dan
mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di
dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan
lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan. Dalam pengertian
tersebut tergambarkan bahwa perencanaan wilayah biasanya selalu terkait dengan tujuan-tujuan
sosial, seperti perkembangan penduduk, kesempatan kerja, kesejahteraan masyarakat, keamanan,
akses yang lebih baik terhadap pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, serta permasalahan
ekonomi, seperti masalah pertumbuhan ekonomi, perluasan sektor industri dan jasa, peningkatan
produktivitas sektor pertanian. Selain itu, berdasarkan ruang lingkup daerahnya perencanaan
wilayah menyangkut wilayah yang lebih luas dari wilayah kota karena pada dasarnya kota
merupakan salah satu bagian dari unsur wilayah, selain wilayah perdesaan. Aspek spasial juga
merupakan satu pertimbangan penting bagi perencanaan wilayah karena pada dasarnya semua
tujuan sosial dan ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya (seperti kesejahteraan yang optimal
dan berkelanjutan) harus diletakkan dalam ruang.
Menurut Tarigan (2005) tujuan perencanaan wilayah adalah menciptakan kehidupan yang
efisien, nyaman, serta lestari dan pada tahap akhirnya menghasilkan rencana yang menetapkan
lokasi dari berbagai kegiatan yang direncanakan, baik oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak
swasta. Nugroho dan Dahuri (2004) juga menjelaskan bahwa terdapat empat maksud dari
perencanaan pembangunan wilayah, yaitu
1. memberikan perlindungan sosial dan ekonomi karena adanya ketimpangan, kemiskinan, dan
tekanan terhadap sumber daya alam;
2. sebagai media untuk terjadinya mekanisme pasar;
3. menyediakan perangkat bagi perencanaan pembangunan itu sendiri;
4. merupakan suatu upaya untuk membangun sistem kelembagaan yang lebih baik lagi.
Glasson (1974: 5) menyatakan bahwa “Major features of general planning include a
sequence of actions which are designed to solve problems in the .” Dengan demikian, dalam
pengertian umum perencanaan menyangkut serangkaian tindakan yang ditujukan untuk
memecahkan persoalan di masa depan. Glasson selanjutnya menetapkan urutan langkah-langkah
perencanaan sebagai berikut:
1. the identification of the problem (identifikasi masalah);
2. the formulation of general goals and more specific and measurable objectives relating to the
problem (perumusan sasaran utama dan tujuan objektif terukur yang berkaitan dengan
masalah);
3. the identification of possible constraints (identifikasi kemungkinan adanya hambatan);
4. projection of the future situation (proyeksi situasi di masa depan);
5. the generation and evaluation of alternative courses of action; and the production of a
preferred plan, which in generic form may include any policy statement or strategy as well as
a definitive plan (penetapan dan evaluasi rencana tindakan alternatif; pembuatan rencana yang
telah dipilih, yang bentuk umumnya dapat mencakup pernyataan kebijakan atau strategi serta
rencana definitif).
Untuk kebutuhan perencanaan wilayah di Indonesia, apa yang dikemukakan Glasson
masih perlu diperluas. Perencanaan wilayah di Indonesia setidaknya memerlukan unsur-unsur
yang urutan atau langkah-langkahnya sebagai berikut.
1. Gambaran kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka paruang. Untuk dapat menggambarkan kondisi saat ini dan permasalahan
yang dihadapi, mungkin diperlukan kegiatan pengumpulan data terlebih dahulu, baik data
sekunder maupun data primer.
2. Penetapan visi, misi, dan tujuan umum. Visi, misi, dan tujuan umum haruslah merupakan
kesepakatan bersama sejak awal.
3. Identifikasi pembatas dan kendala yang sudah ada saat ini maupun yang diperkirakan akan
muncul pada masa yang akan datang.
4. Proyeksi berbagai variabel yang terkait, baik yang bersifat controllable (dapat dikendalikan)
maupun non-controllable (di luar jangkauan pengendalian pihak perencana).
5. Penetapan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu, yaitu berupa
tujuan yang dapat diukur.
Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah, ada berbagai tipe perencanaan. Berikut
ini penjelasan mengenai tipe-tipe perencanaan tersebut.
1. Perencanaan Fisik dan Ekonomi
Perencanaan wilayah biasanya mencakup perencanaan fisik dan ekonomi. Pada dasarnya
pembedaan ini didasarkan atas isi atau materi dari perencanaan. Perencanaan fisik (physical
planning) adalah perencanaan struktur fisik suatu daerah (area) yang meliputi: tata guna tanah,
utilitas, komunikasi, dan sebagainya, serta berasal dari penataan dan/atau pengendalian
pengembangan wilayah. Adapun perencanaan ekonomi (economic planning) lebih berkenaan
dengan struktur ekonomi suatu daerah dan tingkat kemakmurannya secara keseluruhan.
Perencanaan ekonomi lebih bertumpu pada mekanisme pasar kebijakan pengendalian yang
bersifat langsung.
2. Perencanaan Alokatif dan Inovatif
Pembedaan ini didasarkan atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut. Perencanaan alokatif
(allocative planning) berkenaan dengan koordinasi, penyelarasan hal-hal yang bertentangan
agar sistem yang bersangkutan dapat berjalan secara efisien sepanjang waktu sesuai dengan
kebijaksanaan yang ditempuh. Sering juga dinamakan perencanaan yang bersifat mengatur
(regulatory planning). Sementara itu, perencanaan inovatif (innovative planning) berkenaan
dengan perbaikan/pengembangan sistem yang bersangkutan sebagai keseluruhan dengan
menunjukkan sasaran-sasaran baru dan berusaha menimbulkan perubahan-perubahan besar.
Sering disebut juga perencanaan pembangunan (development planning).
3. Perencanaan Bertujuan Tunggal dan Jamak
Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang yang tercakup. Perencanaan wilayah selalu
bertujuan jamak tetapi metode implementasinya dapat berbeda. Perencanaan dapat
mempunyai tujuan dan sasaran tunggal tetapi tujuan tunggal tersebut dapat memberikan
dampak ganda (multiplier effects). Multiplier effects adalah dampak berganda dari adanya
tambahan pada satu aktivitas ekonomi terhadap aktivitas perekonomian secara keseluruhan.
4. Perencanaan Indikatif dan Imperatif
Pembedaan ini didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat kewenangan dari
institusi pelaksana. Perencanaan indikatif hanya mengemukakan petunjuk/pedoman umum
dan bersifat sebagai sumber informasi pelaksanaan. Perencanaan imperatif adalah semacam
perintah yang mengandung pengarahan yang bersifat konkret.
Selain keempat tipe perencanaan di atas, di Indonesia juga dikenal jenis top-down and
bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan
masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali.
1. Top Down and Bottom Up Planning
Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan atas kewenangan dari institusi yang terlibat.
Perencanaan model top-down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu
berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencanaan pada level yang lebih
rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi. Rencana dari
institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana dari institusi yang lebih
rendah. Sebaliknya, bottom-up planning adalah apabila kewenangan utama dalam
perencanaan itu berada pada institusi yang lebih rendah, di mana institusi perencanan pada
level yang lebih tinggi harus menerima usulan-usulan yang diajukan oleh institusi perencana
pada tingkat yang lebih rendah.
2. Vertical and Horizontal Planning
Pembedaan ini juga didasarkan atas perbedaan kewenangan antarinstitusi walaupun lebih
ditekankan pada perbedaan jalur koordinasi yang diutamakan perencana. Vertical planning
adalah perencanaan yang lebih mengutamakan koordinasi antarberbagai jenjang pada sektor
yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi menekankan pentingnya
koordinasi antarberbagai jenjang pada instansi yang sama (sektor yang sama). Adapun
horizontal planning menekankan keterkaitan antarberbagai sektor sehingga berbagai sektor itu
dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal planning melihat pentingnya koordinasi
antarberbagai instansi pada level yang sama, ketika setiap instansi menangani kegiatan atau
sektor yang berbeda.
3. Perencanaan yang Melibatkan Masyarakat secara Langsung Versus yang Tidak Melibatkan
Masyarakat secara Langsung
Pembedaan ini juga didasarkan atas kewenangan yang diberikan kepada institusi perencana
yang seringkali terkait dengan luas bidang yang direncanakan. Perencanaan yang melibatkan
masyarakat secara langsung adalah apabila sejak awal masyarakat telah diberitahu dan diajak
ikut serta dalam menyusun rencana tersebut. Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat
adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dan paling-paling hanya dimintakan
persetujuan dari DPRD untuk persetujuan akhir.
Menurut Glasson (1974) ada beberapa faktor yang mengharuskan pemerintah harus ikut
serta dalam perencanaan wilayah. Faktor-faktor tersebut biasanya didasarkan pada adanya
perbedaan karakteristik di antara setiap wilayah yang ada dalam wilayah nasional dan juga
perbedaan fungsional dari setiap wilayah.
Adanya perbedaan karakteristik alam dari setiap daerah mengharuskan adanya
perencanaan yang berbeda, seperti daerah yang berada di aliran sungai akan memiliki
perencanaan wilayah yang berbeda dengan daerah yang berada di sepanjang garis pantai. Kedua
hal tersebut merupakan suatu contoh dari perbedaan perencanaan setiap wilayah berdasarkan
karakteristiknya. Begitu juga dengan perbedaan fungsinya. Wilayah-wilayah yang memiliki
aktivitas industri yang sangat pesat dengan pertumbuhan penduduk yang besar akan memiliki
karakteristik perencanaan yang berbeda dengan wilayah-wilayah yang aktivitas utamanya adalah
pertanian dengan perkembangan penduduk yang relatif kecil.
Suatu negara mungkin akan memiliki berbagai macam perbedaan karakteristik dan
fungsional dari daerah-daerah yang dimilikinya. Hal itulah yang menyebabkan perlu adanya
perencanaan wilayah karena akan sangat tidak mungkin apabila perencanaannya hanya
didasarkan pada perencanaan nasional saja. Begitu juga dengan Indonesia, dengan karakteristik
wilayah dan sosial yang berbeda-beda untuk setiap daerah yang ada di Indonesia maka peran
perencanaan wilayah untuk pembangunan di Indonesia menjadi sangat penting karena
pembangunan akan menjadi lebih dapat difokuskan sesuai dengan karakteristik yang dimiliki
oleh setiap wilayahnya.
Perencanaan wilayah menurut Tarigan (2005) adalah perencanaan penggunaan ruang
wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah. Perencanaan ruang wilayah biasanya
dituangkan dalam perencanaan tata ruang wilayah sedangkan perencanaan aktivitas biasanya
tertuang dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun
jangka pendek. Perencanaan wilayah sebaiknya dimulai dengan penetapan visi dan misi wilayah.
Visi adalah cita-cita tentang masa depan wilayah yang diinginkan. Visi sering kali bersifat
abstrak tetapi ingin menciptakan ciri khas wilayah yang ideal sehingga berfungsi sebagai
pemberi inspirasi dan dorongan dalam perencanaan pembangunan wilayah. Misi adalah kondisi
antara atau suatu tahapan untuk mencapai visi tersebut. Misi adalah kondisi ideal yang setingkat
di bawah visi tetapi lebih realistis untuk mencapainya.
Visi dan misi merupakan komponen perencanaan pembangunan di samping strategi dan
kebijakan. Sebelum melakukan rencana pembangunan, setiap tingkatan pemerintahan di setiap
wilayah diwajibkan membuat komponen perencanaan pembangunan tersebut. Berikut ini
diuraikan definisi setiap komponen tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
1. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode
perencanaan.
2. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk
mewujudkan visi.
3. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi
dan misi.
4. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat/Daerah untuk mencapai
tujuan.
Dalam waktu relatif singkat (1999-2002), Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, telah
mengalami empat kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan
pembangunan, yaitu:
1. penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN);
2. ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan
rencana pembangunan Nasional; dan
3. diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR
RI) berfungsi sebagai landasan perencanaan pembangunan nasional sebagaimana telah
dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Ketetapan MPR RI ini menjadi landasan
hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan
dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh saran Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI), yang selanjutnya Pemerintah bersama DPR RI menyusun APBN.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengatur bahwa Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan tidak adanya GBHN sebagai
pedoman Presiden untuk menyusun rencana pembangunan maka dibutuhkan pengaturan lebih
lanjut bagi proses perencanaan pembangunan nasional.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. Pemberian kewenangan yang luas kepada
Daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan
menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun
pembangunan antardaerah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diberlakukanlah Undang-
Undang yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yaitu Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004. Undang-Undang ini mencakup landasan hukum di bidang
perencanaan pembangunan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam
Undang-Undang ini ditetapkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara
pemerintahan di pusat dan Daerah dengan melibatkan masyarakat.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Undang-Undang ini mencakup lima
pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan, yaitu:
1. politik;
2. teknokratik;
3. partisipatif;
4. atas-bawah (top-down); dan
5. bawah-atas (bottom-up).
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah adalah proses
penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-
program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah. Oleh
karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang
ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka
menengah. Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan
metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional
bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka
adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Adapun pendekatan atas-
bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana
hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan
baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
Perencanaan pembangunan terdiri dari empat (4) tahapan yakni:
1. penyusunan rencana;
2. penetapan rencana;
3. pengendalian pelaksanaan rencana; dan
4. evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan
membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk
menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4
(empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang
bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah kedua, setiap instansi pemerintah
menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan
yang telah disiapkan. Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat sebagai pemangku
kepentingan (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan setiap
jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Adapun langkah
keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Tahap berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk hukum sehingga mengikat
semua pihak untuk melaksanakannya. Menurut Undang-Undang ini, rencana pembangunan
jangka panjang Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Undang-Undang/Peraturan Daerah, rencana
pembangunan jangka menengah Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala
Daerah, dan rencana pembangunan tahunan Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan
Presiden/Kepala Daerah.
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk menjamin
tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana melalui kegiatan-
kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut oleh pimpinan
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Selanjutnya, Menteri/Kepala Bappeda
menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari setiap
pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan
kewenangannya.
Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan
yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai
pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan
indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator
dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat
(benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap
Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, berkewajiban untuk melaksanakan evaluasi
kinerja pembangunan yang merupakan dan atau terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Dalam melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan, Kementerian/Lembaga, baik Pusat
maupun Daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin
keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah
rencana.
Terkait dengan maksud perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu upaya
menyediakan perangkat bagi perencanaan itu sendiri, berbagai upaya dilakukan agar rencana
yang disusun dapat berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran dari rencana
tersebut. Oleh sebab itu, perlu disusun suatu rangkaian kegiatan yang dapat mengarah kepada
kondisi tersebut. Bendavid-Val (1991) berupaya menyusun suatu rangkaian kegiatan yang
diharapkan, apabila berjalan dengan semestinya, mampu menggambarkan rangkaian kegiatan
dari suatu model perencanaan yang ideal (idealized planning model) yang mampu mengantarkan
rencana sesuai dengan tujuan dan sasarannya. Secara skematis susunan model perencanaan yang
ideal tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1
Idealized Planning Model
Dalam kondisi ideal, perencanaan wilayah sebaiknya dimulai setelah tersusunnya rencana
tata ruang wilayah karena tata ruang wilayah merupakan landasan sekaligus sasaran dari
perencanaan pembangunan wilayah. Akan tetapi dalam praktiknya, cukup banyak daerah yang
belum memiliki rencana tata ruang, tetapi berdasarkan undang-undang harus menyusun rencana
pembangunan wilayahnya karena terkait dengan penyusunan anggaran. Seandainya tata ruang itu
sudah ada dan masih berlaku, penyusunan rencana pembangunan daerah haruslah mengacu pada
rencana tata ruang tersebut. Rencana pembangunan adalah rencana kegiatan yang akan mengisi
ruang tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya akan tercapai bentuk ruang yang dituju. Tata
ruang juga sekaligus memberi rambu-rambu tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
pada tiap sisi ruang wilayah. Dengan demikian, tata ruang adalah panduan utama dalam
merencanakan berbagai kegiatan di wilayah tersebut.
Perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pendekatan sektoral dilakukan dengan
memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini
mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam.
Sementara itu, pendekatan regional melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan
dalam ruang wilayah. Dengan demikian, terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang
lainnya dan bagaimana ruang itu saling berinteraksi untuk diarahkan pada tercapainya kehidupan
yang efisien dan nyaman. Perbedaan fungsi terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi,
dan perbedaan aktivitas utama pada setiap ruang.
Pendekatan sektoral biasanya less-spatial (kurang memperhatikan aspek ruang secara
keseluruhan), sedangkan pendekatan regional lebih bersifat spasial dan merupakan jembatan
untuk mengaitkan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang. Rencana tata ruang
berisikan kondisi ruang/penggunaan lahan saat ini (saat penyusunannya) dan kondisi ruang yang
dituju, misalnya 25 tahun yang akan datang. Rencana pembangunan wilayah misalnya RPJM,
merencanakan berbagai kegiatan pembangunan selama kurun waktu 5 tahun dan nantinya
dituangkan lagi dalam rencana tahunan yang semestinya langsung terkait dengan anggaran.
Dengan demikian, cukup jelas bahwa RPJM semestinya mengacu kepada rencana kondisi ruang
yang dituju seperti tertera pada tata ruang. Peran para aktor pembangunan di luar pemerintah
cukup besar, dan sesuai dengan mekanisme pasar, seringkali aktivitas dalam penggunaan ruang
tidak mengarah kepada apayalgtertuang dalam rencana. Pada satu sisi, pemerintah ingin
menciptakan pengaturan ruang yang baik. Akan tetapi, di sisi lain ingin mendapatkan manfaat
yang terkandung dalam mekanisme pasar. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah seringkali
terpaksa menempuh jalan kompromi. Artinya, arah penggunaan ruang sesuai mekanisme pasar
masih dapat ditoleransi sepanjang tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Seringkali
rencana tata ruang terpaksa dikorbankan dalam arti kata dilakukan revisi sebelum masa
berlakunya berakhir. Dalam kondisi seperti ini perencanaan tata ruang dan perencanaan
pembangunan wilayah menjadi lebih rumit karena harus memperhatikan mekanisme pasar.
Perencanaan tata ruang adalah perencanaan jangka panjang, sedangkan tingkah laku mekanisme
pasar sulit diramalkan untuk jangka panjang. Dalam hal ini, perlu dibuat suatu kebijakan tentang
hal-hal apa dari tata ruang itu yang dapat dikompromikan dan hal-hal apa yang tidak dapat
dikompromikan. Hal-hal yang tidak dapat dikompromikan, misalnya kelestarian lingkungan
hidup (termasuk jalur hijau), penggunaan lahan yang mengakibatkan kehidupan kelak menjadi
tidak sehat atau tidak efisien, penggunaan lahan di daerah perkotaan yang pincang, misalnya
terlalu luas untuk hanya satu kegiatan tertentu, yang dianggap membawa dampak buruk terhadap
kehidupan.
Perencanaan pembangunan wilayah tidak cukup hanya menggunakan satu pendekatan,
pendekatan sektoral saja atau pendekatan regional saja. Perencanaan pembangunan wilayah
mestinya memadukan kedua pendekatan tersebut. Pendekatan sektoral saja tidak akan mampu
melihat adanya kemungkinan tumpang-tindih dalam penggunaan lahan (kecuali melakukan
pendekatan komprehensif seperti linear programming), juga tidak mampu melihat perubahan
struktur ruang yang mungkin terjadi sebagai akibat dilaksanakannya rencana sektoral tersebut.
Misalnya, tidak mampu melihat wilayah mana yang akan berkembang, wilayah mana yang
kurang terbangun, perubahan dari pergerakan arus orang dan barang sehingga memerlukan
perubahan kapasitas jaringan jalan, serta apakah kegiatan sektoral bisa mengganggu kelestarian
lingkungan atau tercipta pusat wilayah baru, dan sebagainya. Pendekatan regional saja juga tidak
cukup karena analisisnya akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detail untuk
membahas sektor per sektor apalagi komoditas per komoditas. Pendekatan regional saja tidak
akan mampu menjelaskan, misalnya komoditas apa yang akan dikembangkan, berapa luas,
apakah pasar masih dapat menyerap tambahan komoditas tersebut, apakah input untuk
pengembangannya masih cukup, serta bagaimana tingkah laku para pesaing. Atas dasar alasan
tersebut, pendekatan pembangunan wilayah haruslah gabungan antara pendekatan sektoral dan
pendekatan regional.
Perencanaan wilayah dapat dipandang sebagai suatu perencanaan penghubung, yaitu
suatu perencanaan yang menghubungkan antara perencanaan di tingkat nasional dengan
perencanaan yang ada di tingkat lokal agar terjadi keselarasan antara tujuan-tujuan yang dibuat
di tingkat nasional dengan tujuan-tujuan yang ada di tingkat masyarakat (lokal). Berdasarkan
peranan tersebut maka ada dua hal utama yang hendak dituju dari perencanaan wilayah, yaitu
1. Place Prosperity, bagaimana agar terjadi pemerataan pembangunan antarwilayah-wilayah
yang ada di suatu negara, dan menghindari adanya ketimpangan yang berlebihan di antara
wilayah-wilayah dalam suatu negara (regional disparity).
2. People Prosperity, bagaimana agar terjadi pemerataan pendapatan dan kesejahteraan antar
individu (golongan pendapatan) yang ada dalam suatu wilayah tertentu.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
(diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) berimplikasi luas dalam sistem
perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya
pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan sektoral serta
lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan. Pembangunan
berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antarsektoral,
antarspasial (keruangan), serta antarpelaku (institusi) pembangunan di dalam dan antardaerah.
Dengan demikian, setiap program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka
pembangunan wilayah.
Namun demikian, berbagai masalah yang menyangkut otonomi daerah juga telah muncul
di permukaan. Orientasi untuk mendapatkan penerimaan daerah (PAD) sebesar-besarnya
cenderung mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam. Sikap egois
antarpemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang memperparah kondisi sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Secara spasial satuan sistem ekologis (ekosistem) dan sistem
kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam tradisional tersebar secara lintas
wilayah administrasi. Oleh karena itu, diperlukan penanganan secara terkoordinasi antara
wilayah administratif. Pada masa Orde Baru koordinasi permasalahan pengelolaan sumber daya
dan pembangunan antarwilayah ditangani oleh administrasi pemerintahan yang lebih tinggi. Di
era otonomi daerah, hubungan antara pemerintah daerah (kota/kabupaten) dan pemerintah pusat
tidak lagi didominasi kerangka hubungan vertikal yang hierarkis. Penyelesaian pembangunan
lintas wilayah lebih diserahkan pada mekanisme hubungan horizontal. Kekosongan berbagai
standar serta norma-norma yang dapat dijadikan rujukan kerja sama dan penyelesaian konflik
antarwilayah merupakan ancaman serius di dalam penanganan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan secara berkelanjutan. Karena itu, tantangan perencanaan wilayah untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan sosial, sumber daya alam, dan lingkungan dalam konteks
wilayah di era otonomi menjadi semakin besar.

B. Pendekatan Sektoral

Pada pendekatan sektoral seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan


dikelompokkan atas sektor-sektor. Kemudian, setiap sektor dianalisis satu per satu. Setiap sektor
dilihat potensi dan peluangnya, ditetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi
kegiatan peningkatan tersebut. Caranya adalah setiap sektor diurai (breakdown) sehingga
terdapat kelompok-kelompok yang bersifat homogen. Terhadap kelompok yang homogen ini
dapat digunakan peralatan analisis yang biasa digunakan untuk kelompok tersebut. Misalnya,
untuk menganalisis sektor pertanian, sektor tersebut dapat dibagi atas subsektor tanaman pangan,
subsektor perkebunan rakyat, subsektor perkebunan besar, dan seterusnya.
Untuk setiap subsektor dapat lagi diperinci atas dasar komoditas, misalnya untuk
subsektor bahan makanan dapat diperinci atas komoditas beras, kacang-kacangan, sayur-sayuran,
dan sebagainya. Analisis atas setiap komoditas lebih mudah, baik dari aspek produksi maupun
aspek pemasarannya, karena literatur ilmiah maupun penyampaian informasi sering dilaksanakan
atas dasar komoditas/sektor. Setelah informasi per komoditas diketahui dengan jelas, dengan
metode agregasi (pertambahan), akhimya dapat disimpulkan tentang keadaan per subsektor dan
selanjutnya keadaan keseluruhan sektor. Pendekatan sektoral dengan metode agregasi memiliki
risiko kehilangan gambaran latar belakang yang mendukung produksi sektoral tersebut.
Misalnya, dalam proyeksi produksi, bisa jadi setiap komoditas diproyeksi secara terpisah tanpa
memperhatikan proyeksi komoditas lainnya. Dapat terjadi bahwa hasil proyeksi itu tidak realistis
karena input yang mendukung proyeksi tersebut dapat dipakai oleh berbagai komoditas atau
kegiatan sekaligus. Ada kemungkinan bahwa proyeksi untuk berbagai komoditas tersebut tidak
dapat tercapai. Sebabnya, apabila input untuk seluruh komoditas/kegiatan dijumlahkan,
jumlahnya sudah lebih dari apa yang tersedia (terutama untuk input yang persediaannya terbatas,
seperti lahan, tenaga kerja, dan modal). Untuk menghindari hal ini, maka harus juga dibuat
analisis berbagai sektor sekaligus, terutama kebutuhan input-nya.
Analisis sektoral tidaklah berarti satu sektor dengan sektor yang lain terpisah total dalam
analisis. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat kaitan pertumbuhan antara satu
sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya, dikenal dengan nama analisis masukan-keluaran
(input-output analysis). Dalam analisis ini terlebih dahulu dibuat tabel masukan-keluaran (input-
output table) antara sektor-sektor (biasanya antarkelompok industri). Perubahan pada satu sektor
(industri) secara otomatis akan mendorong perubahan pada sektor (industri) lainnya. Perubahan
ini memiliki sifat pengganda (multiplier) karena akan terjadi beberapa kali putaran perubahan, di
mana putaran yang terakhir sudah begitu kecil pengaruhnya, sehingga bisa diabaikan. Analisis
masukan-keluaran ini baru bisa digunakan apabila tabel masukan-keluaran untuk daerah tersebut
sudah tersedia..
Apabila tabel koefisien input dari berbagai sektor yang saling terkait dapat dibuat,
selanjutnya dapat diolah untuk menghasilkan tabel matriks pengganda. Setelah tabel matriks
pengganda tersedia, apabila kita dapat memproyeksikan permintaan akhir sektor-sektor yang
dominan, dengan proses tertentu, pertumbuhan keseluruhan sektor dapat diproyeksikan. Hal
yang sama dapat juga dilakukan untuk kebutuhan tenaga kerja, modal, dan lahan. Dengan
demikian, dapat diperkirakan bahwa input-input yang dibutuhkan masih cukup tersedia atau
sudah tidak mencukupi lagi sehingga proyeksi perlu direvisi. Perencanaan ekonomi regional di
Indonesia masih jarang yang menggunakan metode masukan-keluaran karena membutuhkan data
yang banyak dan rumit dan belum tentu akurat. Lagi pula perencana wilayah masih sedikit yang
berpengalaman untuk menggunakan metode tersebut.
Suatu metode pendekatan sektoral yang mengarah kepada analisis masukan keluaran
telah pernah dicoba oleh Leknas dalam menyusun Pola Makro Repelita III Sumatra Utara
(Tiamba, cs. 1978). Dalam metode ini, sektor-sektor dibagi atas sektor penghasil barang (goods
sector) dan sektor lainnya (service sector). Dalam metode ini dibuat suatu anggapan bahwa
perkembangan pada sektor-sektor penghasil barang akan mendorong perkembangan sektor
lainnya. Jadi, ada suatu korelasi yang nyata antara pertumbuhan kelompok sektor penghasil
barang dan setiap sektor lainnya. Sektor penghasil barang adalah sektor pertanian, sektor
perindustrian, dan sektor pertambangan. Dari perkembangan masa lalu dapat dicarikan
persamaan regresi antara kelompok sektor penghasil barang dengan masing-masing sektor
lainnya. Untuk meramalkan pertumbuhan ekonomi Sumatra Utara, terlebih dahulu diramalkan
pertumbuhan setiap sektor penghasil barang. Dalam peramalan ini, tiap-tiap sektor diuraikan
sampai ke setiap jenis komoditas. Untuk tiap komoditas dilihat perkembangannya, potensi yang
masih bisa digarap dan faktor pembatas untuk pengembangannya. Dari data yang tersedia
kemudian diadakan proyeksi dalam berbagai skenario. Tiap-tiap skenario disertai dengan
langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk mewujudkan proyeksi dalam skenario tersebut. Dari
tiap-tiap skenario kemudian dipilih yang paling mungkin untuk dilaksanakan setelah
memperhatikan keterbatasan yang dihadapi untuk sektor tersebut. Dengan metode agregasi,
perkembangan setiap sektor penghasil barang dapat diramalkan. Setelah kelompok sektor
penghasil barang dapat diramalkan, pertumbuhan masing-masing sektor lainnya diramalkan
berdasarkan persamaan regresi masa lalu.
Metode ini jauh lebih mudah apabila dibandingkan dengan analisis masukan keluaran dan
dapat dilakukan oleh tiap-tiap daerah yang telah merniliki perhitungan pendapatan regional bagi
daerahnya. Kelemahan metode ini adalah bahwa pada kenyataannya kadang-kadang ada
sektorjasa yang merupakan faktor pendorong pertumbuhan daerah termasuk pendorong
pertumbuhan sektor barang. Apabila peranan sektor pariwisata cukup menonjol di suatu daerah,
sektor ini harus diperhitungkan sebagai sektor dasar dan dikelompokkan ke dalam sektor yang
menunjang pertumbuhan sektor lainnya. Demikian pula apabila sektor perdagangan di suatu
perkotaan merupakan pusat perdagangan daerah-daerah sekitarnya maka perkembangannya tidak
ditentukan oleh perkembangan sektor penghasil barang di daerah itu saja melainkan juga oleh
perkembangan sektor penghasil barang di daerah itu dan di daerah sekitarnya. Jadi, dari sektor
jasa yang ada perlu dilihat apakah memang tergantung dari sektor penghasil barang di daerah itu
atau dapat dianggap independen dan harus diramalkan secara terpisah. Selain itu dalam
pemakaian metode ini, perlu berhati-hati dalam meramalkan pertumbuhan sektor penghasil
barang, terutama kemungkinan telah berkelebihan dalam penggunaan input yang terbatas
(penggunaan input melebihi dari apa yang tersedia) seperti modal, lahan, dan tenaga kerja.
Agar penggunaan input tidak tumpang tindih (melebihi dari yang tersedia), dapat
dilakukan pendekatan linear programming. Dengan demikian, tujuan (misalnya, nilai tambah)
dapat tercapai secara optimal dengan mengalokasikan faktor-faktor yang terbatas pada berbagai
kegiatan. Karena faktor produksi yang terbatas dijadikan pembatas, tidak akan terjadi
penggunaannya melebihi dari apa yang tersedia.
Dalam pendekatan sektoral, untuk tiap sektor/komoditas, semestinya dibuat analisis
sehingga dapat diketahui:
1. sektor/komoditas yang memiliki competitive advantage di wilayah tersebut, artinya
komoditas tersebut dapat bersaing di pasar global;
2. sektor/komoditas basis dan nonbasis;
3. sektor/komoditas yang memiliki nilai tambah yangtinggi;
4. sektor/komoditas memiliki forward linkage dan backward linkage yang tinggi;
5. sektor/komoditas yang perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan minimal wilayah
tersebut;
6. sektor/komoditas yang banyak menyerap tenaga kerja per satu satuan modal dan per satu
hektare lahan.
Berdasarkan berbagai kriteria tersebut, dapat ditetapkan skala prioritas tentang
sektor/komoditas apa yang perlu dikembangkan di wilayah tersebut berdasarkan sasaran yang
ingin dicapai. Penetapan skala prioritas sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan
wilayah mengingat terbatasnya dana, terutama yang berasal dari anggaran pemerintah.

C. Pendekatan Regional

Walaupun memiliki tujuan akhir yang sama, pendekatan regional sangat berbeda dengan
pendekatan sektoral. Semula pendekatan sektoral mengabaikan faktor ruang (spasial).
Pendekatan sektoral sebenarnya dapat diperinci atas daerah yang lebih kecil, misalnya analisis
sektoral per kabupaten, per kecamatan, atau per desa, sehingga seakan-akan faktor ruang telah
terpenuhi. Namun demikian, hal ini belum memenuhi pendekatan regional karena pendekatan
regional memiliki segi-segi tersendiri.
Pendekatan sektoral terlebih dahulu memperhatikan sektor/komoditas, yang selanjutnya
setelah dianalisis, menghasilkan proyek-proyek yang diusulkan untuk dilaksanakan. Setelah
proyeknya diketahui, barulah dipikirkan di mana lokasi proyek tersebut. Sementara itu,
pendekatan regional dalam pengertian sempit adalah memperhatikan ruang dengan segala
kondisinya. Setelah melalui analisis, akan diketahui bahwa masih ada ruang yang belum
dimanfaatkan atau penggunaannya masih belum optimal. Selanjutnya, direncanakan kegiatan apa
sebaiknya diadakan di lokasi tersebut. Dengan demikian, penggunaan ruang menjadi serasi dan
efisien sehingga memberi kemakmuran yang optimal bagi masyarakat. Dari uraian ini diketahui
bahwa sasaran akhir kedua pendekatan tersebut adalah sama, yaitu menentukan kegiatan apa
pada lokasi mana. Perbedaannya hanya terletak pada cara memulai dan sifat analisisnya.
Pendekatan regional dalam pengertian lebih luas, selain memperhatikan penggunaan ruang untuk
kegiatan produksi/jasa juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan dan memperkirakan
kebutuhan fasilitas untuk setiap konsentrasi serta merencanakan jaringan-jaringan penghubung
sehingga berbagai konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara efisien.
Analisis regional adalah analisis atas penggunaan ruang saat ini, analisis atas aktivitas
yang akan mengubah penggunaan ruang dan perkiraan atas bentuk penggunaan ruang di masa
yang akan datang. Analisis regional (spasial) didasarkan pada anggapan bahwa perpindahan
orang dan barang dari satu daerah ke daerah lain adalah bebas dan bahwa orang (juga modal)
akan berpindah berdasarkan daya tarik (attractiveness) suatu daerah yang lebih kuat daripada
daerah lain. Pendekatan regional adalah pendekatan yang memandang wilayah sebagai kumpulan
dari bagian-bagian wilayah yang lebih kecil dengan potensi dan daya tariknya masing-masing.
Hal inilah yang membuat mereka saling menjalin hubungan untuk mendapatkan manfaat yang
sebesar-besarnya. Jadi, perlu dilihat dan dianalisis dinamisme pergerakan dari faktor-faktor
produksi (kecuali alam), yaitu bergerak dari suatu daerah ke daerah lain. Daya tarik itu sendiri
berupa potensi dan peluang-peluang yang lebih tinggi di suatu daerah dibanding dengan daerah
lain. Memang analisis sektoral yang diperinci menurut satuan daerah yang lebih kecil diperlukan
sebagai masukan dalam analisis regional untuk menentukan daya tarik masing-masing bagian
wilayah tersebut. Dalam analisis regional misalnya tidak diramalkan bahwa pertambahan
penduduk secara alamiah di Kecamatan X akan tetap tinggal di situ sampai batas jangka
perencanaan (misalnya sampai lima tahun mendatang) dan tidak akan ada penduduk luar yang
akan pindah ke kecamatan tersebut.
Analisis regional berusaha meramalkan penduduk berdasarkan daya tarik setiap satuan
wilayah. Pada dasarnya pergeseran penduduk sekaligus menggambarkan pergeseran faktor-
faktor produksi karena pergeseran penduduk selalu disertai atau disebabkan oleh pergeseran
modal dan keahlian. Jadi, pertambahan riil suatu daerah adalah pertumbuhan faktor-faktor
produksi yang ada di daerah ditambah faktor produksi yang datang dari luar daerah dikurangi
faktor produksi yang keluar dari daerah tersebut.
Dalam analisis regional sangat perlu diperhatikan kemungkinan munculnya proyek-
proyek besar yang baru atau perluasan proyek yang sudah ada dan kemudian mengantisipasi
perubahan yang ditimbulkannya terhadap lingkungan maupun terhadap daerah tetangga di
sekitarnya. Sebaliknya, perubahan besar di daerah tetangga dapat memengaruhi perekonomian di
daerah sekitarnya. Perubahan itu dapat berakibat positif maupun negatif. Faktor daya tarik ini
kadang-kadang mendorong pemerataan pertumbuhan antardaerah di satu wilayah, tetapi di
wilayah lain malah menimbulkan makin parahnya kepincangan pertumbuhan antardaerah. Dalam
perencanaan pembangunan hal ini perlu dipertimbangkan sejak awal. Hal itu penting untuk
menghindari makin pincangnya pertumbuhan antardaerah maupun untuk menghitung kebutuhan
riil suatu fasilitas di daerah tertentu karena pertumbuhan penduduk bisa sangat jauh berbeda
dengan pertumbuhan di masa lalu.
Pendekatan regional adalah pendekatan ekonomi dan pendekatan ruang. Pendekatan
ekonomi terutama untuk cabang ekonomi regional dan dapat dipakai berbagai peralatan analisis,
baik dari ekonomi umum/ekonomi pembangunan, atau lebih khusus ekonomi regional untuk
melihat arah perkembangan sesuatu daerah di masa yang akan datang. Berbagai model analisis
yang bisa diterapkan, antara lain teori yang menyangkut pertumbuhan ekonomi daerah, analisis
competitiveness (daya saing) sektor-sektor yang ada di suatu wilayah, model gravitasi, hubungan
kota dengan daerah belakangnya, berbagai teori lokasi, hubungan interregional, dan lain-lain.
Analisis ekonomi regional dapat memberi jawaban atas sektor mana yang perlu dikembangkan
serta tingkat prioritas pengembangannya. Akan tetapi, belum mampu menjawab pertanyaan,
seperti di lokasi mana sektor itu dikembangkan, berapa luas lahan yang digunakan, serta
besarnya prasarana atau fasilitas sosial yang perlu dibangun dan berikut lokasinya.
Analisis ekonomi regional kemudian dikombinasikan dengan pendekatan tata ruang,
sehingga harus dibarengi dengan peta-peta untuk mempermudah dan memantapkan analisis.
Selain menggambarkan keadaan saat ini ada juga peta yang menggambarkan proyeksi arah
perpindahan faktor-faktor produksi dan peta perkiraan kondisi di masa yang akan datang.
Pendekatan ruang adalah pendekatan dengan memperhatikan:
1. struktur ruang saat ini,
2. penggunaan lahan saat ini, dan
3. kaitan suatu wilayah terhadap wilayah tetangga.
Unsur-unsur struktur ruang yang utama adalah
1. orde-orde perkotaan, termasuk di dalamnya konsentrasi permukiman;
2. sistem jaringan lalu lintas, termasuk penetapan jaringan jalan primer, jaringan jalan sekunder,
dan jaringan jalan lokal;
3. kegiatan ekonomi berskala besar yang terkonsentrasi, seperti kawasan industri, kawasan
pariwisata, kawasan pertambangan, dan kawasan perkebunan.
Struktur ruang adalah hierarki di antara ruang atau lokasi berbagai kegiatan ekonomi.
Struktur ruang merupakan pembangkit berbagai aktivitas di dalam wilayah dan sangat
berpengaruh dalam menentukan arah penggunaan lahan di masa yang akan datang. Atas dasar
kondisi struktur ruang dan penggunaan lahan saat ini serta kaitan suatu wilayah terhadap wilayah
tetangga, dapat diperkirakan arus pergerakan orang dan barang di wilayah tersebut. Perencanaan
wilayah adalah perencanaan untuk mengubah struktur ruang atau mengubah penggunaan lahan
ke arah yang diinginkan dan memperkirakan dampaknya terhadap wilayah sekitarnya termasuk
wilayah tetangga.
Perubahan struktur ruang atau penggunaan lahan dapat terjadi karena investasi
pemerintah atau investasi pihak swasta. Keberadaan dan lokasi investasi swasta perlu mendapat
izin pemerintah. Hal ini penting agar pemerintah dapat mengarahkan struktur tata ruang atau
penggunaan lahan yang menguntungkan dan mempercepat tercapainya sasaran pembangunan.
Sasaran pembangunan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, penambahan lapangan
kerja, pemerataan pembangunan wilayah, terciptanya struktur perekonomian yang kokoh,
terjaganya kelestarian lingkungan, serta lancarnya arus pergerakan orang dan barang ke seluruh
wilayah, termasuk ke wilayah tetangga.
Pada sisi lain, seandainya ada pihak swasta yang ingin menanamkan investasinya maka
dapat diperkirakan pengaruhnya terhadap wilayah sekitarnya dan menetapkan fasilitas apa yang
perlu dibangun dalam mengantisipasi perkembangan yang ditimbulkan oleh investasi tersebut.
Pendekatan regional semestinya dapat menjawab berbagai pertanyaan yang belum
terjawab apabila hanya menggunakan pendekatan sektoral seperti berikut ini.
1. Lokasi dari berbagai kegiatan ekonomi yang akan berkembang.
2. Penyebaran penduduk di masa yang akan datang dan kemungkinan munculnya pusat-pusat
permukiman baru.
3. Adanya perubahan pada struktur ruang wilayah dan prasarana yang perlu dibangun untuk
mendukung perubahan struktur ruang tersebut.
4. Perlunya penyediaan berbagai fasilitas sosial (sekolah, rumah sakit, jaringan listrik, jaringan
telepon, dan penyediaan air bersih) yang seimbang pada pusat-pusat permukiman dan pusat
berbagai kegiatan ekonomi yang berkembang.
5. Perencanaan jaringan penghubung (prasarana dan mode transportasi) yang akan
menghubungkan berbagai pusat kegiatan atau permukiman secara efisien.
Perlu dicatat bahwa pada waktu pendekatan sektoral, kebutuhan berbagai fasilitas sosial
seperti: sekolah, rumah sakit, jaringan listrik, jaringan telepon, penyediaan air bersih, dan lain-
lain telah dibahas sesuai dengan sektornya masing-masing. Bahkan perencana sektoral pun
mungkin sudah mengajukan lokasinya. Namun, pada waktu itu lokasi proyek yang disarankan
ditinjau dari sudut kepentingan sektor itu sendiri. Hal ini perlu dibahas secara lebih konkret pada
waktu pendekatan regional. Setelah melakukan pendekatan regional maka sudah dapat diprediksi
berbagai lokasi yang akan berkembang. Dengan demikian, usulan lokasi berdasarkan
pertimbangan sektoral dapat diuji apakah masih sesuai atau perlu diubah.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut!
1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan sektoral?
2. Sebutkan langkah-langkah yang mesti dilaksanakan dalam pendekatan sektoral!
3. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan regional?
4. Sebutkan langkah-langkah yang mesti dilaksanakan dalam pendekatan regional!
5. Langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan untuk perencanaan wilayah di Indonesia?

Rangkuman
1. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui
urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
2. Perencanaan wilayah adalah proses perumusan dan penegasan tujuan-tujuan sosial dan
ekonomi dalam berbagai kegiatan dalam ruang yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah
kota (biasanya disebut supra-urban).
3. Tujuan perencanaan wilayah adalah menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman, serta
lestari dan pada tahap akhirnya menghasilkan rencana yang menetapkan lokasi dari berbagai
kegiatan yang direncanakan
4. Perencanaan pembangunan wilayah menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral
dan pendekatan regional (wilayah). Pendekatan sektoral dilakukan dengan memfokuskan
perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan regional
melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah.
5. Pendekatan sektoral terlebih dahulu memperhatikan sektor/komoditas, yang selanjutnya
setelah dianalisis, menghasilkan proyek-proyek yang diusulkan untuk dilaksanakan. Setelah
proyeknya diketahui, barulah dipikirkan di mana lokasi proyek tersebut. Pendekatan regional
memperhatikan ruang dengan segala kondisinya. Setelah melalui analisis, akan diketahui
bahwa masih ada ruang yang belum dimanfaatkan atau penggunaannya masih belum optimal.

Tes Formatif
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1. Berikut ini yang bukan merupakan ciri dari pengertian tentang perencanaan, adalah ....
A. ada lembaga resmi yang mengatur
B. mempunyai tujuan akhir tertentu
C. memiliki sasaran-sasaran jangka pendek
D. memiliki kerangka waktu yang jelas

2. Langkah-langkah perencanaan menurut Glasson antara lain mencakup hal-hal berikut,


kecuali ….
A. identifikasi masalah
B. proyeksi situasi sebelumnya
C. perumusan sasaran utama dan tujuan objektif terukur yang berkaitan dengan masalah
D. identifikasi kemungkinan adanya hambatan

3. Berikut ini merupakan tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai dari perencanaan wilayah
menurut Nugroho dan Dahuri, kecuali ....
A. sebagai media untuk terjadinya mekanisme pasar
B. integrasi pembangunan antarwilayah
C. merupakan suatu upaya untuk membangun sistem kelembagaan yang lebih baik lagi
D. menyediakan perangkat bagi perencanaan pembangunan itu sendiri

4. Rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan disebut
….
A. kebijakan
B. strategi
C. visi
D. misi

5. Pembedaan perencanaan model alokatif dan perencanaan yang bersifat inovatif dilakukan
berdasarkan
A. cakupan perencanaan tersebut
B. konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut
C. isi atau materi dari perencanaan
D. perbedaan visi dari perencanaan tersebut

6. Apabila kewenangan utama dalam perencanaan berada pada institusi yang lebih tinggi di
mana institusi perencanaan pada level yang lebih rendah harus menerima rencana atau arahan
dari institusi yang lebih tinggi, perencanaan tersebut termasuk ke dalam tipe …
A. top down planning
B. bottom up planning
C. vertical planning
D. horizontal planning

7. Unsur-unsur model perencanaan pola pemikiran konsep idealized planning model yang
dikemukakan oleh Bendavid Val adalah ….
A. Evaluasi
B. Rencana Implementasi
C. Perumusan sasaran
D. Semua benar

8. Dalam pendekatan untuk tiap sektor/komoditas, yang bukam semestinya dibuat analisis
adalah
A. Sektor/komoditas basis dan nonbasis
B. Sektor/komoditas yang memiliki nilai tambah yang ekonomis
C. Sektor/komoditas memiliki forward linkage dan backward linkage yang tinggi
D. Sektor/komoditas yang banyak menyerap tenaga kerja per satu satuan modal dan per satu
hektare lahan

9. Perencanaan pembangunan wilayah semestinya memadukan pendekatan sektoral dan


pendekatan regional. Pendekatan regional semestinya dapat menjawab berbagai pertanyaan
yang belum terjawab apabila hanya menggunakan pendekatan sektoral seperti berikut ini,
kecuali
A. Adanya perubahan pada struktur ruang wilayah dan prasarana yang perlu dibangun untuk
mendukung perubahan struktur ruang tersebut
B. Penyebaran penduduk di masa yang akan datang dan kemungkinan munculnya pusat-
pusat permukiman baru
C. analisisnya akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detail untuk membahas
sektor per sektor
D. Lokasi dari berbagai kegiatan ekonomi yang akan berkembang

10. Yang bukan termasuk unsur-unsur struktur ruang yang utama adalah
A. sistem jaringan lalu lintas, termasuk penetapan jaringan jalan primer, jaringan jalan
sekunder, dan jaringan jalan lokal
B. perubahan struktur ruang yang mungkin terjadi sebagai akibat dilaksanakannya rencana
sektoral tersebut tidak teridentifikasi
C. kegiatan ekonomi berskala besar yang terkonsentrasi, seperti kawasan industri, kawasan
pariwisata, kawasan pertambangan, dan kawasan perkebunan
D. Orde-orde perkotaan, termasuk di dalamnya konsentrasi permukiman

Tes Formatif 1
1. A Ciri tentang pengertian perencanaan adalah (1) Pada suatu perencanaan harus
terkandung suatu tujuan tertentu yang merupakan suatu hasil akhir yang diharapkan. (2)
Perlu disadari bahwa proses pencapaian tujuan akhir tersebut memerlukan waktu tertentu
untuk mewujudkannya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan
beberapa sasaran sebagai tahapan-tahapan dari pencapai tujuan akhir yang diharapkan.
(3) Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan rentang waktu tertentu untuk
mencapainya. Oleh karena itu, setiap perencanaan selalu dapat dikaitkan dengan jangka
waktu tertentu.
2. B Glasson selanjutnya menetapkan urutan langkah-langkah perencanaan sebagai berikut:
(1) identifikasi masalah; (2) perumusan sasaran utama dan tujuan objektif terukur yang
berkaitan dengan masalah; (3) identifikasi kemungkinan adanya hambatan; (4) proyeksi
situasi di masa depan. (5) penetapan dan evaluasi rencana tindakan alternatif; pembuatan
rencana yang telah dipilih, yang bentuk umumnya dapat mencakup pernyataan kebijakan
atau strategi serta rencana definitif
3. B Nugroho dan Dahuri (2004) juga menjelaskan bahwa terdapat empat maksud dari
perencanaan pembangunan wilayah, yaitu (1) memberikan perlindungan sosial dan
ekonomi karena adanya ketimpangan, kemiskinan, dan tekanan terhadap sumber daya
alam; (2) sebagai media untuk terjadinya mekanisme pasar; (3) menyediakan perangkat
bagi perencanaan pembangunan itu sendiri; (4) merupakan suatu upaya untuk
membangun sistem kelembagaan yang lebih baik lagi.
4. C Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode
perencanaan.
5. D Pembedaan ini didasarkan atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut. Perencanaan
alokatif (allocative planning) berkenaan dengan koordinasi, penyelarasan hal-hal yang
bertentangan agar sistem yang bersangkutan dapat berjalan secara efisien sepanjang
waktu sesuai dengan kebijaksanaan yang ditempuh. Sering juga dinamakan perencanaan
yang bersifat mengatur (regulatory planning). Sementara itu, perencanaan inovatif
(innovative planning) berkenaan dengan perbaikan/pengembangan sistem yang
bersangkutan sebagai keseluruhan dengan menunjukkan sasaran-sasaran baru dan
berusaha menimbulkan perubahan-perubahan besar.
6. A Perencanaan model top-down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu
berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencanaan pada level yang
lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi.
Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana dari
institusi yang lebih rendah.
7. D unsur model perencanaan pola pemikiran konsep idealized planning model yang
dikemukakan oleh Bendavid Val adalah perumusan tujuan, evaluasi, implementasi,
rencana implementasi, kajian komparasi, identifikasi pilihan-pilihan, perumusan sasaran,
pengumupulan dan analisis data, dan publikasi rencana
8. B Dalam pendekatan sektoral, untuk tiap sektor/komoditas, semestinya dibuat analisis
sehingga dapat diketahui (1) sektor/komoditas yang memiliki competitive advantage di
wilayah tersebut, artinya komoditas tersebut dapat bersaing di pasar global; (2)
sektor/komoditas basis dan nonbasis; (3) sektor/komoditas yang memiliki nilai tambah
yang tinggi, (4) sektor/komoditas memiliki forward linkage dan backward linkage yang
tinggi, (5) sektor/komoditas yang perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
minimal wilayah tersebut, (6) sektor/komoditas yang banyak menyerap tenaga kerja per
satu satuan modal dan per satu hektare lahan
9. C Pendekatan regional semestinya dapat menjawab berbagai pertanyaan yang belum
terjawab apabila hanya menggunakan pendekatan sektoral seperti berikut ini (1) Lokasi
dari berbagai kegiatan ekonomi yang akan berkembang.; (2) Penyebaran penduduk di
masa yang akan datang dan kemungkinan munculnya pusat-pusat permukiman baru. (3)
Adanya perubahan pada struktur ruang wilayah dan prasarana yang perlu dibangun untuk
mendukung perubahan struktur ruang tersebut; (4) Perlunya penyediaan berbagai fasilitas
sosial yang seimbang pada pusat-pusat permukiman dan pusat berbagai kegiatan ekonomi
yang berkembang; (5) Perencanaan jaringan penghubung (prasarana dan mode
transportasi) yang akan menghubungkan berbagai pusat kegiatan atau permukiman secara
efisien.
10. C Unsur-unsur struktur ruang yang utama adalah (1) Orde-orde perkotaan, termasuk di
dalamnya konsentrasi permukiman; (2) sistem jaringan lalu lintas, termasuk penetapan
jaringan jalan primer, jaringan jalan sekunder, dan jaringan jalan lokal; (3) kegiatan
ekonomi berskala besar yang terkonsentrasi, seperti kawasan industri, kawasan
pariwisata, kawasan pertambangan, dan kawasan perkebunan.

Cocokanlah jawaban anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di bagian akhir
modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian gunakan rumus berikut untuk mengetahui
tingkat penguasaan anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1

jumlah jawaban yang benar


Tingkat penguasaan= x 100 %
Jumlah soal

Arti tingkat penguasaan : 90 – 100% = baik sekali

80 – 89% = baik

70 – 79% = cukup

<70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan pada Kegiatan
Belajar 2. Bagus ! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1,
terutama bagian yang belum dikuasai.

Kegiatan Belajar 2

A. Struktur dan Proses Pertumbuhan Wilayah

Perencanaan pengembangan wilayah berkaitan erat dengan upaya peningkatan kinerja


(intraregional) wilayah dan keseimbangan perkembangan antarwilayah (interregional). Untuk
memahami secara lebih baik terhadap dua topik tersebut perlu dibahas teori tentang pertumbuhan
wilayah. Hakikat pembangunan nasional, termasuk pengembangan wilayah, adalah bagaimana
memacu pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya (growth with equity) secara lebih merata
sehingga dapat menyejahterakan masyarakat yang ada di dalamnya. Berikut akan dijelaskan
beberapa teori pertumbuhan wilayah.

1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Regional Resource Endowment)


Teori kepemilikan sumber daya atau regional resource endowment berargumen bahwa kemajuan
ekonomi suatu wilayah bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki wilayah tersebut dan
juga bergantung pada permintaan (demand) terhadap komoditas yang dihasilkan oleh wilayah
tersebut. Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961) dalam
tulisannya Natural Resources Endowment and Regional Economic Growth. Dalam tulisan ini
dijelaskan mengenai perkembangan wilayah di Amerika yang berlangsung melalui tiga tahap,
yaitu (1) tahap perkembangan pertanian ( - 1840), daerah berkembang adalah wilayah pertanian
dan pelabuhan (pusat); (2) tahap perkembangan pertambangan (1840-1950), besi dan batubara,
memiliki forward linkages yang lebih luas daripada sektor pertanian; (3) tahap perkembangan
amenity resources atau service.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya dan
kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional dan ekspor. Dengan
kata lain wilayah memiliki comparative advantages terhadap wilayah lain (spesialisasi).
Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan efek multiplier yang berpengaruh pada
dinamika wilayah.
Sumber daya yang baik berciri: (1) mendukung produksi nasional, (2) memiliki efek
backward and forward linkages yang luas, (3) memiliki efek multiplier, yaitu kemampuan
meningkatkan permintaan (demand) produksi barang dan jasa wilayah. Sumber daya dapat
dikatakan tidak berguna apabila tidak digunakan dalam kegiatan produksi.
Ada beberapa variabel yang memengaruhi tingkat demand terhadap sumber daya
regional, yakni tingkat dan distribusi penghasilan, pola perdagangan dan juga struktur produksi.
Variabel-variabel tersebut dapat berubah sehingga kemudian mengubah keunggulan relatif suatu
wilayah dalam perannya memenuhi kebutuhan perekonomian regional dan nasional. Teori ini
secara implisit berasumsi bahwa seiring dengan berjalannya waktu, suatu wilayah dapat
mengakomodasi demand yang ada dengan cara menggeser alokasi penggunaan sumber dayanya
untuk memproduksi barang dan jasa yang lain, sesuai dengan perkembangan pasar.
Namun demikian, teori ini memiliki kelemahan di mana penggunaan bahan mentah
dalam produk akhir suatu barang turun secara relatif. Dalam jangka panjang, dalam
perekonomian muncul perubahan dari penggunaan sumber daya langsung menuju ke pemrosesan
barang setengah jadi dan kemudian menuju penyediaan jasa. Hal ini melemahkan hubungan
antara sumber daya suatu wilayah dengan pengembangan ekonominya.

2. Teori Export Base atau Economic Base


Teori yang dikemukakan oleh Douglass C. North pada 1955 ini merupakan perluasan dari teori
resources endowment. Menurut North, pertumbuhan suatu wilayah, dalam jangka panjang,
bergantung pada industri ekspornya. Teori ini menyatakan bahwa sektor ekspor berperan penting
dalam pertumbuhan wilayah, karena sektor ekspor dapat memberikan kontribusi yang penting,
tidak hanya pada ekonomi wilayah tapi juga ekonomi nasional. Berbeda dengan teori pertama
yang lebih berorientasi pada inward looking (strategi ke dalam), teori export base mengandalkan
kekuatan permintaan eksternal (outward looking). Wilayah dengan tingkat permintaan yang
tinggi akan menarik investasi (modal) dan tenaga kerja.
North berpendapat pertumbuhan suatu wilayah, dalam jangka panjang, bergantung pada
industri ekspornya. Pendorong yang paling kuat dalam perkembangan wilayah adalah demand
eksternal untuk barang dan jasa yang diproduksi dan diekspor oleh wilayah tersebut. Demand ini
memengaruhi penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi dari wilayah tersebut dalam
memproduksi komoditas ekspornya. Permintaan akan komoditas ekspor akan memperkuat
perekonomian suatu wilayah baik dengan keterkaitan (linkages) ke depan (sektor jasa), maupun
ke belakang (kegiatan produksi). Dengan kata lain, kegiatan ekspor secara langsung
meningkatkan pendapatan faktor-faktor produksi dan pendapatan wilayah. Syarat utama bagi
pengembangan teori ini adalah sistem wilayah terbuka, ada aliran barang, modal, teknologi
antarwilayah, dan antara wilayah dan negara lain.
Suatu wilayah memiliki sektor ekspor karena daerah tersebut memiliki keunggulan biaya
dalam memproduksi suatu barang atau jasa, daerah tersebut memiliki sumber daya yang unik
untuk memproduksi barang atau jasa tersebut, dan daerah tersebut memiliki keunggulan
transportasi. Seiring dengan berjalannya waktu, perekonomian wilayah tersebut akan
menciptakan aktivitas-aktivitas pendukung lainnya yang akan memperkuat posisi kompetitif
daerah tersebut dalam sektor ekspor. Teori ini mengusung nilai yang menekankan pentingnya
“keterbukaan” suatu wilayah yang akan meningkatkan capital flow maupun teknologi yang
diperlukan untuk pengembangan wilayah yang berkesinambungan.
Teori export base ini memiliki kesederhanaan yang intuitif dan dasar teoretis yang relatif
kuat, yang berdasarkan pada konsep bahwa sektor ekonomi lokal memberikan dorongan
ekonomi eksternal ke dalam suatu wilayah untuk menstimulasi perubahan lebih lanjut. Nilai
ekspor akan meningkat jika demand meningkat atau jika daerah tersebut menjadi lebih
kompetitif. Sebaliknya, ekspor akan menurun jika demand menurun atau kehilangan nilai
kompetitif. Perubahan ini akan memengaruhi pendapatan regional. Perubahan terhadap sektor
ekspor itu sendiri disebabkan oleh perubahan selera dan teknologi.
Namun demikian, terdapat beberapa keberatan atas teori ini. Keberatan yang paling
utama bertumpu pada anggapan bahwa teori ini hanya cocok untuk wilayah yang kecil,
perekonomian yang sederhana serta analisis jangka pendek dari suatu pengembangan
perekonomian wilayah. Dalam perekomian yang lebih kompleks dan wilayah yang lebih besar,
serta untuk analisis jangka panjang, terdapat variabel lain selain ekspor yang mungkin
memainkan peranan penting. Satu lagi keberatan akan teori export base disebabkan oleh
keterbatasan teori ini dalam menjelaskan bagaimana suatu wilayah dapat tetap berkembang
walaupun ekspornya menurun (di mana sektor-sektor lainnya bertumbuh cukup untuk
mengimbangi penurunan ekspor tersebut).

3. Teori Pertumbuhan Neoklasik.


Teori ini dikembangkan dan banyak dianut oleh ekonom regional dengan mengembangkan
asumsi Neoklasik. Pengusungnya antara lain Borts (1950), Siebert (1969), dan Richardson
(1973). Harry W. Richardson (1973) mengemukakan teori ini dalam buku Regional Economic
Growth. Meskipun asumsi-asumsi yang digunakan diturunkan dari ide ekonomi neoklasik,
terdapat biaya-biaya yang diasosiasikan dengan realokasi faktor-faktor produksi, dengan
pergerakan barang, dan dengan transmisi informasi.
Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan wilayah bergantung pada tiga faktor yaitu
tenaga kerja, ketersediaan modal (investasi), dan kemajuan teknologi (eksogen, terlepas dari
faktor investasi dan tenaga kerja). Semakin besar kemampuan wilayah dalam penyediaan tiga
faktor tersebut, semakin cepat pertumbuhan wilayah. Pertumbuhan serta tingkat faktor-faktor ini
akan menentukan tingkat pendapatan wilayah dan juga perekonomian wilayah. Teori ini
mencoba menjelaskan bahwa disparitas pendapatan (output) antarwilayah bergantung pada
ketersediaan tenaga kerja, modal, dan teknologi.
Selain tiga faktor yang telah disebutkan tadi, teori ini menekankan pentingnya
perpindahan (mobilitas) faktor produksi, terutama tenaga kerja dan modal (investasi)
antarwilayah, dan antarnegara. Pola pergerakan ini memungkinkan terciptanya keseimbangan
pertumbuhan antarwilayah. Model neoklasik juga berasumsi bahwa faktor harga memiliki
fleksibilitas yang sempurna sehingga hal ini akan meniadakan perbedaan harga antarwilayah
sehingga pada akhirnya, akan terjadi konvergensi pendapatan wilayah per kapita.
Namun demikian, teori ini tidak cukup memperhatikan pentingnya faktor demand. Suatu
wilayah yang memiliki pertumbuhan demand yang pesat akan menjadi daerah yang sangat
menarik untuk berinvestasi, sehingga mengakibatkan mengalirnya modal dan tenaga kerja dari
wilayah-wilayah lain.
Sebagai antitesis dari teori Neoklasik yang percaya adanya keseimbangan wilayah
muncul teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya “tidak percaya pada
mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk ketimpangan wilayah”. Tokohnya adalah
Myrdal, melalui Teori Penyebab Kumulatif atau Cummulative Caution Theory yang
mengungkapkan dua kekuatan yang bekerja pada proses pertumbuhan wilayah, yaitu efek sebar
(spread effect) yang bersifat positip, dan efek balik yang negatif (backwash effect). Efek kedua
lebih besar dibanding yang pertama. Dalam spread effect, akan muncul pasar-pasar baru yang
akan mengonsumsi produk dari wilayah yang belum berkembang. Inovasi dan teknologi juga
akan tersebar dengan baik dalam wilayah tersebut. Sebaliknya, dalam backwash effect akan
terjadi ketidakseimbangan dalam aliran modal dan tenaga kerja dari wilayah kurang berkembang
ke wilayah yang lebih maju. Pada akhirnya, sistem pasar bebas antarwilayah justru akan
memperburuk perekonomian wilayah yang belum berkembang, atau dengan kata lain,
menciptakan disparitas regional. Intervensi negara diperlukan untuk meredam backwash effect
yang menciptakan disparitas regional tersebut.
Pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh peningkatan produktivitas (merupakan
output dari tiga faktor Neoklasik). Kuncinya adalah produktivitas, selanjutnya berpengaruh
terhadap ekspor wilayah. Semakin tinggi produktivitas semakin berkembang, sehingga wilayah
lain akan sulit bersaing. Pentingnya produktivitas ini juga digunakan untuk menjelaskan siklus
kemiskinan, yang berawal dari (1) produktivitas rendah, ke (2) kemiskinan, (3) pendapatan
rendah, (4) tabungan, (5) kekurangan modal (investasi), kembali ke nomor (1), dan seterusnya.

4. Teori Baru Pertumbuhan Wilayah (Perkembangan Teknologi)


Dalam teori neoklasik, perkembangan teknologi merupakan faktor eksogen sehingga tidak
berkorelasi dengan tingkat investasi dalam capital goods. Sebaliknya, teori ini percaya pada
kekuatan teknologi (sebagai faktor endogen) dan inovasi sebagai faktor dominan pertumbuhan
wilayah (untuk meningkatkan produktivitas). Perubahan teknologi, menurut teori-teori tersebut,
merupakan sesuatu yang endogen, sehingga perubahan dalam bidang teknologi terjadi karena
terdapat insentif untuk hal itu dalam perekonomian. Kuncinya adalah investasi dalam
pengembangan sumber daya manusia serta research and development. Teknologi tinggi dan
inovasi yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan riset dan pengembangan
adalah syarat meningkatkan pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain (maju)
menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan wilayah semakin cepat.
Teori-teori baru terkait pengembangan wilayah antara lain diangkat oleh Romer (1989)
berdasarkan studi-studi sebelumnya yang dilakukan oleh Arrow, Schultz, Becker, dan Uzawa.
Romer menyusun model di mana pengembangan sumber daya manusia melalui peningkatan
kesehatan, nutrisi, pendidikan dan latihan akan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya
meningkatkan output. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa investasi dalam sumber daya
manusia akan meningkatkan tingkat pertumbuhan dalam jangka waktu panjang. Bukti empiris
menunjukkan hubungan yang positif antara sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi,
baik di negara maju maupun negara berkembang. Model perkembangan teknologi ini
menganggap bahwa teknologi merupakan faktor endogen ketimbang eksogen seperti halnya
model-model lain.
Selain itu, teori ini mengemukakan pentingnya keterbukaan antar wilayuh yang akan
berkontribusi terhadap kenaikan produktivitas total, dan dengan demikian akan menghasilkan
pertumbuhan pada perekonomian regional daerah-daerah terkait. Keterbukaan akan membawa
hasil yang lebih besar dengan adanya economies of scale, transfer teknologi dan ekternalitas
positif lainnya yang terjadi dengan adanya perdagangan antarregional. Perdagangan internasional
memengaruhi pertumbuhan melalui produktivitas total yang naik sebagai efek positif dari
perdagangan internasional tersebut.
Termasuk dalam lingkup teori ini adalah dimasukkannya variabel-variabel non-ekonomi
dalam Model Ekonomi Makro (baca Sadono Sukirno, 1989), di mana dijelaskan bahwa:
Output Regional = f ( K, L, Q, Tr, T, So), di mana :
K adalah Kapital/Modal/Investasi, L = Tenaga Kerja, Q = Tanah (sumber daya), Tr =
transportasi, T = Teknologi, So = Sosial Politik.
Dari berbagai bacaan tampaknya faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan wilayah
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu faktor ekonomi dan non-ekonomi. Faktor
ekonomi meliputi: (1) sumber daya alam, (2) akumulasi modal atau investasi, (3) kemajuan
teknologi. Faktor non-ekonomi meliputi: (1) faktor sosial, seperti pendidikan dan budaya, (2)
faktor manusia (tenaga kerja), (3) faktor politik dan administrasi.

5. Teori Pertumbuhan Wilayah Perspektif Geografi


Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh faktor internal wilayah (sumber daya) dan faktor
eksternal, khususnya hubungan wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah lain.
a. Unsur internal (intraregional) in situ, terdiri dari unsur sumber daya (alam, manusia, buatan),
historis, lokasi (letak) site and situation, agen perubahan, pengambilan keputusan.
b. Unsur eksternal (interregional) ex situ, terdiri dari interrelasi dengan wilayah lain (interaksi,
interdependensi), posisi wilayah tersebut terhadap wilayah lain.
Menurut Alkadri et al. (1999: 11) pertumbuhan wilayah merupakan suatu proses
dinamika perkembangan internal dan eksternal wilayah tersebut. Pertumbuhan wilayah pada
awalnya dipicu oleh adanya pasar yang dapat menyerap hasil produksi wilayah yang
bersangkutan. Perkembangan wilayah ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal.
Teori yang mengungkapkan tentang faktor internal yang memengaruhi pertumbuhan
wilayah adalah teori sektor dan teori tahap yang merupakan perluasan dari teori sektor. Dalam
teori sektor diungkapkan bahwa proses pertumbuhan wilayah berdasarkan asumsi kenaikan
pendapatan per kapita akan diikuti oleh relokasi sumber daya. Teori tahap memberikan
gambaran umum mengenai tahap-tahap perkembangan wilayah dan menunjukkan syarat-syarat
untuk berpindah dari suatu tahap ke tahap lainnya. Faktor-faktor internal ini meliputi distribusi
faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Cara faktor-faktor internal
memengaruhi pertumbuhan wilayah dapat diuraikan sebagai berikut (Perroux dalam Glasson,
1990:88):
1. Tahap pertama, tahap perekonomian subsistem swasembada. Pada tahap ini masih sedikit
investasi di wilayah tersebut dan didominasi oleh sektor pertanian.
2. Tahap kedua, terjadi setelah adanya kemajuan transportasi dan perdagangan yang
mendorong spesialisasi wilayah yang memunculkan industri sederhana di desa-desa untuk
memenuhi kebutuhan para petani. Lokasi industri desa ini dekat dengan lokasi pertanian
setempat.
3. Tahap ketiga, dengan semakin bertambahnya perdagangan antarwilayah, wilayah yang
bersangkutan akan maju melalui suatu urutan perubahan tanaman pertanian.
4. Tahap keempat, penduduk semakin bertambah dan berkurangnya tambahan hasil
pertanian akan memaksa wilayah yang bersangkutan melakukan industrialisasi (tanpa
industrialisasi akan mengakibatkan tekanan penduduk, menurunnya taraf hidup, stagnasi, dan
kemerosotan kehidupan masyarakat). Industri sekunder mulai berkembang, mengolah produk
primer dan akan mengarah ke spesialisasi.
5. Tahap kelima atau terakhir, merupakan pengembangan industri tersier yang berorientasi
ekspor. Wilayah ini akan menyalurkan/mengekspor model, ketrampilan, dan jasa-jasa yang
bersifat khusus ke wilayah yang kurang berkembang.
Pengaruh eksternal dalam pertumbuhan wilayah didekati melalui teori basis ekspor
(export base theory). Teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah dipengaruhi oleh
eksploitasi sumber daya alam dan pertumbuhan basis ekspor wilayah yang bersangkutan serta
dipengaruhi oleh tingkat permintaan eksternal dari wilayah lainnya.
Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan struktural. Wilayah
tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor (sector theory) dan teori tahapan
perkembangan (development stages theory). Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang
mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungkan
dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer (pertanian,
kehutanan dan perikanan), sektor sekunder (manufaktur), serta sektor tertier (perdagangan,
transportasi, keuangan, dan jasa). Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan sumber daya dan
manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tertier, dan meningkat hingga
pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder. Adapun teori tahapan perkembangan
dikemukakan oleh para pakar seperti Rostow, Fisher, Hoover, Thompson dan lain-lain. Teori ini
dianggap lebih mengadopsi unsur spasial dan sekaligus menjembatani kelemahanan teori sektor.
Pertumbuhan dan perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui lima tahapan.
1. Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah sangat
bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri tersebut, antara lain minyak, hasil
perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki
oleh banyak negara dalam awal pertumbuhannya.
2. Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah mampu
mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas kaitannya. Misalnya, komoditas
dominan yang diekspor sebelumnya adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan
kedua wilayah juga mengekspor industri (metode) teknologi penambangan (kaitan ke
belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi (kaitan ke depan) misalnya
premium, solar dan bahan baku plastik.
3. Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi
wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya industri substitusi impor, yakni industri
yang memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya harus diimpor dari luar wilayah.
Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda kemandirian wilayah dibandingkan wilayah
lainnya.
4. Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini memperlihatkan bahwa
wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk mempengaruhi dan melayani
kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah
fungsional dapat diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai
pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat
besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang sangat signifikan.
5. Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional virtuosity). Tahapan ini
memperlihatkan bahwa wilayah telah memberikan peran yang sangat nyata terhadap
perekonomian nasional. Dalam wilayah berkembang produk dan proses-proses produksi
yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas ekonomi telah mengandalkan
inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah pada pemenuhan kepuasan individual
dibanding kepentingan masyarakat. Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic
reciprocating system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi lainnya.

D. Paradigma Pengembangan Wilayah di Indonesia

Sebelum era otonomi daerah, pengembangan wilayah Indonesia cenderung lebih sentralistis.
Asas sentralisasi sebagai paradigma pengembangan wilayah ternyata kurang efektif untuk
memberdayakan kompetensi daerah dalam merencanakan dan mengelola pembangunan wilayah.
Asas ini membatasi peluang munculnya inisiatif dan gagasan kreatif daerah untuk secara proaktif
merencanakan dan mengelola pelaksanaan pembangunan daerah. Kelemahan asas sentralisasi:
1. Adanya jarak antara pemerintah pusat dan daerah karena pelaksanaan pembangunan
cenderung “didominasi” pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah sekadar menjadi
objek;
2. Adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, baik secara politis
maupun ekonomis, khususnya dalam pembiayaan pembangunan;
3. Pelaksanaan pembangunan daerah sering kali kurang sesuai kebutuhan karena pelaksanaan
pembangunan daerah dikendalikan pemerintah pusat, sehingga seringkali hasil-hasilnya tidak
tepat sasaran dan kurang terasa manfaatnya.
4. Adanya anggapan bahwa semua daerah mempunyai kesamaan sehingga mengabaikan
keragaman dan ciri khas masing-masing daerah.
Otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi telah membuka wacana baru bagi
pemerintah kabupaten/kota. Administrasi pemerintahan menjadi lebih fleksibel, karena tidak
harus bergantung sepenuhnya pada skema dan mekanisme yang seluruhnya ditentukan oleh
pemerintah pusat. Pengalaman penerapan pola sentralisasi telah mengakibatkan munculnya
keseragaman, sehingga keragaman dan kekhasan lokal kurang dapat berkembang. Untuk itu
diperlukan pedoman pendekatan pembangunan wilayah yang mencakup hal-hal berikut.
1. Pendekatan Keruangan
Suatu kesatuan wilayah dibentuk berdasarkan pendekatan teknis kewilayahan, yakni pendekatan
homogenitas, sistem/fungsional, dan perencanaan/pengelolaan. Proses teknis pembentukan
wilayah ini dilanjutkan dengan proses legitimasi pelaksanaan berupa suatu kebijakan atau
keputusan politik untuk mendapatkan hasil final.
Region adalah lanjutan dari bentuk teknis kewilayahan yang kemudian diputuskan secara
politis. Dengan kata lain, wilayah yang dibentuk dengan pendekatan homogenitas, fungsional,
dan perencanaan/pengelolaan dapat bertransformasi menjadi region atau pewilayahan
desentralistik.
2. Potensi dan Kekuatan Endogen Regional
Parameter potensi berdasarkan faktor potensi dan tambahan kekuatan endogen berupa kekuatan
politik regional (komitmen) sebagai tahap awal pembentukan program-program strategis
regional terdiri dari 4 (empat) komponen, yaitu:
1. Penawaran: tenaga kerja, modal, infrastruktur, dan Struktur Ekonomi
2. Permintaan: potensi pasar
3. Lingkungan: SDA, ruang dan lokasi, dan keindahan alam
4. Sosial Politik Regional: budaya politik, kepastian hukum, dan otonomi daerah
Dalam mengidentifikasi kekuatan regional, tidak hanya terbatas pada identifikasi potensi
sumber daya semata. Diperlukan faktor potensi lain yang dapat terhimpun secara sinergis hingga
membentuk suatu kekuatan endogen. Hal ini tercermin pada motivasi aktor-aktor regional untuk
menggalang komitmen dalam rangka menjalin kerja sama regional.
2. Jejaring
Pelaksanaan program-program strategis regional dapat dijalankan dan diorganisasikan melalui
sebuah lembaga kerjasama regional. Sebagai wadah yang dibentuk melalui kesepakatan
antardaerah anggota kerja sama regional, lembaga ini dituntut untuk dapat merepresentasikan
kepentingan region. Tanggung jawab yang diemban oleh lembaga kerja sama regional tentu
menghasilkan konsekuensi-konsekuensi logis mengenai bagaimana seharusnya lembaga ini
bekerja dan dimana posisinya dalam konteks kerja sama regional tersebut.
Pemanfaatan struktur jejaring merupakan bentuk yang selalu ditemui dalam pelaksanaan
kerja sama regional, masing-masing aktor regional yang terlibat di dalam sebuah kerja sama
regional berada pada posisi heterarkis/seimbang. Jejaring sendiri dapat didefinisikan sebagai
sebuah konfigurasi dari para aktor yang berada pada hubungan saling membutuhkan
(interdependensi).
3. Perencanaan Strategis
Prinsip pokok untuk membangun sebuah strategi pembangunan wilayah adalah:
1. Pendekatan yang didasarkan pada potensi dan kebutuhan yang dimiliki oleh setiap daerah.
2. Terciptanya kesepakatan dengan aktor lokal yang dapat memfasilitasi pembangunan atau
strategi daerah sebagai respon untuk mengembangkan peluang dan mengintegrasikan
kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
3. Aktivitas pemerintah (pusat/provinsi) bersama dengan aktor regional harus terintegrasi ke
dalam strategi regional.
4. Stimulasi Pembangunan Regional
Inisiasi dan inovasi kabupaten/kota untuk merumuskan program-program strategis regional dan
membentuk sebuah kerja sama regional harus didukung. Lembaga kerja sama antar
daerah/regional merupakan instrumen untuk merespons inisiasi regional tersebut dengan
mengupayakan dan memberikan stimulasi-stimulasi yang dibutuhkan sesuai dengan kewenangan
dan kemampuan yang dimiliki, baik dalam proses pembentukan program maupun pembiayaan.
Bentuk stimulasi untuk merespons inisiatif-inisiatif regional adalah:
1. Rangkaian diskusi dan pembahasan mengenai gagasan pembentukan program strategis dan
kerja sama antardaerah yang mengikutsertakan stakeholders.
2. Dimulainya saling pengertian, penyesuaian kebijakan antardaerah dengan kebijakan di
atasnya, dan konsensus untuk menyatukan visi dan misi.
3. Memberi masukan kepada lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD) dalam melakukan
persiapan berupa orientasi pembangunan, penguatan dan pengembangan proyek.

Perencanaan wilayah adalah suatu aktivitas manusia dalam usaha untuk memanfaatkan
suatu sumber daya ruang yang terbatas yang tersedia di atas bumi dengan tujuan untuk
mendapatkan manfaat yang maksimal dari suatu ruang. Dalam sejarah perkembangan konsep
pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai
keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji
terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni
faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950- an) yang
memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa
perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga
adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan
wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah
Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hierarki guna
mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat
pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model
keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah (Rustiadi dan
Panuju, 2005).
Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah di atas kemudian
diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa,
seperti Sutami dan Poernomosidhi. Sutami (era 1970-an) mengemukakan gagasan bahwa
pembangunan infrastruktur yang intensif akan mampu mempercepat terjadinya pengembangan
wilayah. Sementara itu, Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep
hierarki kota-kota dan hierarki prasarana jalan melalui Orde Kota. Pendekatan yang diterapkan
dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh
perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim
pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan
tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat
Jenderal Penataan Ruang, 2005). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi
pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui
penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas.
Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2005) prinsip-prinsip dasar dalam
pengembangan wilayah adalah:
1. Sebagai growth center pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun
harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat
ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan
menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah
yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi
perencanaan pengembangan kawasan.
Upaya untuk mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat
tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia ditempuh melalui upaya penataan
ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni : 1). proses perencanaan tata ruang wilayah,
yang menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Di samping sebagai “guidance of
future action” RTRW pada dasarnya merupakan bentuki intervensi yang dilakukan agar interkasi
manusia/makluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk
tercapainya kesejahteraan manusia/ makluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (sustainability of development); 2) Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan
wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri; 3) proses
pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap
pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang
wilayahnya.
Di Indonesia, penataan ruang telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Dalam undang-undang ini dijelaskan mengenai pengertian tata
ruang, struktur ruang, pola ruang, dan penataan ruang. Tata ruang adalah wujud struktur ruang
dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Adapun pola ruang adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Sementara itu, penataan ruang adalah suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan asas dan tujuan penataan
ruang di Indonesia. Penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas berikut.
1. Keterpaduan
Penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat
lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara
lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
2. Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan
Penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola
ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan
perdesaan.

3. Keberlanjutan
Penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung
dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
4. Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan
Penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang
terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
5. Keterbukaan
Penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
6. Kebersamaan dan Kemitraan
Penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
7. Pelindungan Kepentingan Umum
Penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
8. Kepastian Hukum dan Keadilan
Penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-
undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan
kepastian hukum.
9. Akuntabilitas
Penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya,
maupun hasilnya.
Adapun mengenai tujuannya, disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
1. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
2. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
3. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang.
Pengertian aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan di sini dapat dijelaskan sebagai
berikut. “Aman” adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan
terlindungi dari berbagai ancaman. “Nyaman” adalah keadaan masyarakat dapat
mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai.
“Produktif” adalah proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu
memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan
daya saing. “Berkelanjutan” adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan
dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan
setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Penataan ruang berdasarkan sistem
terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan. Penataan ruang berdasarkan fungsi
utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. Penataan ruang berdasarkan
wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah
provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota. Penataan ruang berdasarkan kegiatan
kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.
Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis
nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Penataan ruang berdasarkan sistem wilayah merupakan pendekatan dalam penataan ruang
yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara hierarkis
menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk rencana tata ruang wilayah (RTRW)
Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya
lebih terperinci.. Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Adapun
yang dimaksud “komplementer” adalah bahwa penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain,
bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.
Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah
kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus
memperhatikan:
1. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
2. perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan
ruang nasional;
3. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;
4. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
5. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
6. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
7. rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
8. rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
1. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional;
2. rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang
terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana utama;
3. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan
budi daya yang memiliki nilai strategis nasional;
4. penetapan kawasan strategis nasional;
5. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima
tahunan; dan
6. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan
peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta
arahan sanksi.
Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional; pedoman bidang penataan ruang; dan rencana pembangunan jangka panjang
daerah.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus memperhatikan:
1. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang
provinsi;
2. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi;
3. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota;
4. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
5. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
6. rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan;
7. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
8. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:
1. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
2. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya
yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana wilayah provinsi;
3. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya
yang memiliki nilai strategis provinsi;
4. penetapan kawasan strategis provinsi;
5. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka
menengah lima tahunan; dan
6. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan
peraturan zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta
arahan sanksi.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi; pedoman dan petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang; dan rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat:
1. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
2. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya
yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten;
3. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan
kawasan budi daya kabupaten;
4. penetapan kawasan strategis kabupaten;
5. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka
menengah lima tahunan; dan
6. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum
peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten berlaku juga untuk perencanaan
tata ruang wilayah kota dengan ketentuan tambahan berupa rencana penyediaan dan pemanfaatan
ruang terbuka hijau; rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan rencana
penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum,
kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan
fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam Peraturan Pemerintah ini
disebutkan bahwa kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan
strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
Kebijakan pengembangan struktur ruang meliputi peningkatan akses pelayanan perkotaan
dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki serta peningkatan kualitas
dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber
daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional. Peningkatan akses pelayanan
perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah dilaksanakan melalui strategi berikut:
1. menjaga keterkaitan antarkawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan
perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya;
2. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat
pertumbuhan;
3. mengendalikan perkembangan kota-kota pantai; dan
4. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif
dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.
Adapun peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana dilaksanakan
melalui strategi berikut:
1. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan
transportasi darat, laut, dan udara;
2. mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di kawasan terisolasi;
3. meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan
secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;
4. meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan
sumber daya air; dan
5. meningkatkan jaringan transmisi dan distribusi minyak dan gas bumi, serta mewujudkan
sistem jaringan pipa minyak dan gas bumi nasional yang optimal.
Berbagai pengalaman pembangunan daerah beberapa negara berkembang menunjukkan
baik kegagalan maupun keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat menjadi pelajaran kita
dalam mengembangkan strategi pengembangan wilayah bagi Indonesia. Kebijaksanaan
pembangunan wilayah di Brazil misalnya yang menggunakan konsep growth poles telah
menunjukkan kegagalan konsep tersebut. Dengan adanya aglomerasi ekonomi dan peningkatan
sumber daya manusia yang pesat, kawasan utara Brazil berkembang pesat sebagai pusat kegiatan
eksplorasi pertambangan dan bisnis perkebunan yang memacu pertumbuhan investasi swasta dan
tekhnologi ke wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang pesat ini berdampak pada semakin
tertinggalnya pembangunan di wilayah selatan yang kemudian berdampak pada kesenjangan
ekonomi dan sosial antar dua wilayah tersebut yang terus berlangsung hingga sekarang.
Kebijaksanaan pembangunan daerah di India yang didominasi oleh besarnya bantuan
pusat kepada daerah telah mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah di India.
Kebijaksanaan tersebut cenderung mengarahkan investasi pemerintah, nasionalisasi perbankan,
dan alokasi subsidi ke daerah-daerah tertinggal telah mendorong pertumbuhan daerah tersebut
dan meningkatkan pendapatan penduduk daerah tersebut.
Berdasarkan berbagai pengalaman baik di dalam negeri maupun internasional, serta
berkembangnya kebijaksanaan pembangunan daerah seperti telah diterbitkannya UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, beberapa pemikiran yang dapat dikembangkan
untuk strategi pengembangan wilayah di masa mendatang antara lain sebagai berikut:
1. Alokasi sumber daya yang lebih seimbang
Berbagai deregulasi di sektor riil dan moneter telah dilakukan Pemerintah dalam rangka efisiensi
di segala bidang. Namun dari berbagai studi yang dilakukan ternyata upaya tersebut masih
cenderung menguntungkan Jawa dan kawasan-kawasan cepat berkembang lainnya. Seperti
misalnya penambahan infrastruktur besar-besaran dan pengembangan pertanian di wilayah padat
penduduk seperti Jawa telah menarik investasi modal swasta, serta terjadinya peningkatan
kemampuan tekhnologi dan manajemen hanya di kawasan-kawasan tersebut. Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah telah membuka
kewenangan yang semakin besar bagi pemerintah daerah dalam merencanakan dan
menggunakan sumber-sumber keuangannya. Untuk itu, perlu pula dilakukan reformasi fiskal
yang mendukung alokasi sumber daya yang lebih baik terutama ke kawasan-kawasan yang
belum berkembang, termasuk diantaranya reformasi di bidang perpajakan. Deregulasi sektor riil
juga perlu memperhatikan perkembangan kemampuan daerah.
2. Peningkatan sumber daya manusia di daerah
Pembangunan selama ini telah menurunkan angka buta huruf, meningkatkan taraf pendidikan
dan kesehatan masyarakat di daerah. Namun demikian, kualitas manusia di kawasan-kawasan
tertinggal umumnya masih di bawah rata-rata kualitas nasional. Untuk itu, pendekatan
pembangunan sektoral yang telah meningkatkan standard kualitas manusia Indonesia sampai
pada taraf tertentu, pada masa mendatang perlu diikuti oleh pendekatan pembangunan yang lebih
memperhatikan kondisi dan aspirasi wilayah, bukan oleh pendekatan yang bersifat uniform.
Strategi pembangunan manusia di masa mendatang harus mampu mengidentifikasi jenis
pendidikan dan pelatihan yang dapat menempatkan tenaga kerja dan lulusan terdidik dalam pasar
peluang kerja yang senantiasa menuntut adanya peningkatan keahlian.
3. Pengembangan kelembagaan dan aparat daerah
Struktur kelembagaan dan aparat pemerintah daerah selama ini mencerminkan sistem
pemerintahan berjenjang. Walaupun propinsi dan kabupaten juga berfungsi sebagai daerah
otonom, yang mempunyai kewenangan dalam mengatur daerahny sendiri, namun dalam berbagai
implementasi pelaksanaan pembangunan selama ini daerah lebih kepada “menunggu” petunjuk
dari Pusat. Proses pengambilan keputusan yang demikian kemudian berkembang menjadikan
aparat daerah lebih melayani aparat Pusat daripada melayani masyarakat daerahnya.
Dalam era demokratisasi yang semakin berkembang seperti sekarang ini, yang ditunjang oleh
berbagai peraturan perundangan mengenai desentralisasi yang lebih lengkap, pemerintah daerah
dituntut untuk lebih mampu melaksanakan kewenangan yang semakin besar dalam menata
pembangunan daerahnya. Semakin lengkapnya perangkat peraturan dan perundang-undangan
mengenai penataan ruang di setiap propinsi dan kabupaten/kota dapat menjadi acuan aparat
daerah dalam untuk mengelola berbagai unsur ruang (seperti sumber daya alam, manusia dan
buatan) secara optimal, serta mengembangkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
4. Pelayanan masyarakat yang efisien
Untuk kepentingan stabilitas ekonomi dan politik selama ini pemerintah memegang kendali yang
lebih besar terhadap sumber-sumber penerimaan dan berbagai kebijaksanaan pelayanan
masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan dasar masih sangat kurang, resiko investasi
masih sangat besar, dan tingkat pendidikan rata-rata manusia di daerah masih rendah. Dengan
semakin meningkatnya kemampuan kelembagaan dan kualitas aparat di daerah, sudah masanya
sekarang untuk memperbesar kewenangan daerah dalam menata pembangunan di daerah.
Keterlibatan pihak swasta sebagai mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pembangunan perlu
diperbesar, sejalan dengan kewenangan daerah yang semakin besar dalam merencanakan dan
melaksanakan pembangunan daerahnya. Hal ini ditujukan agar pelayanan kepada masyarakat
menjadi lebih efisien dan efektif.
Ada tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat dilihat sebagai
kesuksesan pembangunan daerah.
1. Indikator pertama adalah produktivitas, yang dapat diukur dari perkembangan kinerja suatu
institusi beserta aparatnya.
2. Indikator kedua adalah efisiensi, yang terkait dengan meningkatnya kemampuan
tekhnologi/sistem dan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan pembangunan.
3. Terakhir adalah partisipasi masyarakat, yang dapat menjamin kesinambungan pelaksanaan
suatu program di suatu wilayah.
Ketiga indikator keberhasilan tersebut terkait erat dengan faktor-faktor yang menjadi ciri
suatu wilayah dan membedakannya dengan wilayah lainnya seperti kondisi politik dan sosial,
struktur kelembagaan, komitmen aparat dan masyarakat, dan tingkat kemampuan/pendidikan
aparat dan masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan pengembangan suatu wilayah bergantung
pula pada kemampuan berkoordinasi, mengakomodasikan dan memfasilitasi semua kepentingan,
serta kreativitas yang inovatif untuk terlaksananya pembangunan yang aspiratif dan
berkelanjutan.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut!
1. Jelaskan mengenai 5 (lima) teori pertumbuhan wilayah!
2. Bagaimana faktor-faktor internal memengaruhi pertumbuhan wilayah ?
3. Jelaskan lima tahapan pertumbuhan dan perkembangan wilayah menurut teori tahapan
perkembangan!
4. Apa tujuan penyelenggaraan penataan ruang menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007?
5. Jelaskan tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat dilihat sebagai
kesuksesan pembangunan daerah!

Rangkuman
1. Terdapat beberapa teori pertumbuhan wilayah, di antaranya: 1)teori kepemilikan sumber
daya (regional resource endowment); 2) teori export base atau economic base; 3) teori
pertumbuhan Neoklasik; 4) teori baru pertumbuhan wilayah (perkembangan teknologi); 5)
teori pertumbuhan wilayah perspektif geografi.
2. Teori kepemilikan sumber daya atau regional resource endowment berargumen bahwa
kemajuan ekonomi suatu wilayah bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki wilayah
tersebut dan juga bergantung pada permintaan (demand) terhadap komoditas yang dihasilkan
oleh wilayah tersebut.
3. Menurut teori export base, pertumbuhan suatu wilayah, dalam jangka panjang, bergantung
pada industri ekspornya.
4. Menurut teori pertumbuhan Neoklasik, pertumbuhan wilayah bergantung pada tiga faktor
yaitu tenaga kerja, ketersediaan modal (investasi), dan kemajuan teknologi (eksogen,
terlepas dari faktor investasi dan tenaga kerja).
5. Teori baru pertumbuhan wilayah (perkembangan teknologi) meyakini bahwa kekuatan
teknologi (sebagai faktor endogen) dan inovasi merupakan faktor dominan pertumbuhan
wilayah (untuk meningkatkan produktivitas).
6. Menurut teori pertumbuhan wilayah perspektif geografi pertumbuhan wilayah dipengaruhi
oleh faktor internal wilayah (sumber daya) dan faktor eksternal, khususnya hubungan
wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah lain.
7. Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan struktural. Wilayah
tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor (sector theory) dan teori tahapan
perkembangan (development stages theory).
8. Upaya untuk mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan
dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia ditempuh melalui upaya penataan ruang
yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni: 1) proses perencanaan tata ruang wilayah,
yang menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); 2) proses pemanfaatan ruang,
yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan
itu sendiri; 3) proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan
dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan
tujuan penataan ruang wilayahnya.
9. Di Indonesia, penataan ruang telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Dalam undang-undang ini dijelaskan mengenai pengertian
tata ruang, struktur ruang, pola ruang, dan penataan ruang.
10. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan asas dan tujuan penataan ruang
di Indonesia. Penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas a) keterpaduan; b)
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c) keberlanjutan; d) keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan; e) keterbukaan; f) kebersamaan dan kemitraan; g) pelindungan
kepentingan umum; h) kepastian hukum dan keadilan; dan i) akuntabilitas.
11. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional.

Tes Formatif
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Teori pertumbuhan wilayah yang berargumen bahwa kemajuan ekonomi suatu wilayah
bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki wilayah tersebut dan juga bergantung pada
permintaan (demand) terhadap komoditas yang dihasilkan oleh wilayah tersebut adalah ….
A. teori export base atau economic base
B. teori kepemilikan sumber daya atau regional resource endowment
C. teori pertumbuhan Neoklasik
D. teori baru pertumbuhan wilayah (perkembangan teknologi)
2. Sumber daya yang baik menurut teori kepemilikan sumber daya memiliki ciri berikut,
kecuali ….
A. mendukung produksi nasional
B. memiliki efek backward and forward linkages yang luas
C. memiliki efek multiplier
D. tidak digunakan dalam kegiatan produksi
3. Perbedaaan teori regional resource endowment dengan teori export base adalah …
A. teori regional resource endowment lebih berorientasi pada impor, sedangkan teori
export base mengandalkan ekspor
B. teori regional resource endowment lebih berorientasi pada permintaan dari luar,
sedangkan teori export base mengandalkan kekuatan permintaan internal
C. teori regional resource endowment lebih berorientasi pada inward looking (strategi ke
dalam), sedangkan teori export base mengandalkan kekuatan permintaan eksternal
(outward looking)
D. teori regional resource endowment lebih berorientasi pada pertanian, sedangkan teori
export base mengandalkan industri
4. Teori pertumbuhan Neoklasik menyatakan bahwa pertumbuhan wilayah bergantung pada
tiga faktor berikut, kecuali …
A. produktivitas pertanian
B. tenaga kerja
C. ketersediaan modal (investasi)
D. kemajuan teknologi
5. Sebagai antitesis dari teori Neoklasik yang percaya adanya keseimbangan wilayah muncul
teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya …
A. meyakini bahwa mekanisme pasar akan mengurangi disparitas pertumbuhan
antarwilayah
B. tidak percaya pada mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk ketimpangan
wilayah
C. ketimpangan antarwilayah dapat diatasi dengan meningkatkan produksi
D. sistem pasar bebas antarwilayah akan meningkatkan perekonomian wilayah yang belum
berkembang
6. Menurut Myrdal, perkembangan ekonomi akan menyebabkan munculnya pasar-pasar baru
yang akan mengonsumsi produk dari wilayah yang belum berkembang. Hal ini disebut juga..
A. spread effect
B. backwash effect
C. forward linkage
D. backward linkage
7. Dampak berganda dari adanya tambahan pada satu aktivitas ekonomi terhadap aktivitas
perekonomian secara keseluruhan disebut juga ….
A. backwash effects
B. spread effects
C. multiplier effects
D. forward linkages
8. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan wilayah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian besar, yaitu faktor ekonomi dan non-ekonomi. Berikut ini yang termasuk faktor
ekonomi adalah …
A. sumber daya alam
B. pendidikan dan budaya
C. tenaga kerja
D. politik dan administrasi
9. Berikut ini yang merupakan ciri asas sentralisasi sebagai paradigma pengembangan wilayah
adalah ….
A. adanya kemandirian pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, baik secara politis
maupun ekonomis, khususnya dalam pembiayaan pembangunan;
B. pelaksanaan pembangunan daerah sesuai kebutuhan karena pelaksanaan pembangunan
daerah tidak dikendalikan pemerintah pusat, sehingga hasil-hasilnya tepat sasaran dan
terasa manfaatnya.
C. adanya anggapan bahwa setiap daerah mempunyai ciri khas masing-masing sehingga
keragaman menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan pembangunan.
D. adanya jarak antara pemerintah pusat dan daerah karena pelaksanaan pembangunan
cenderung “didominasi” pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah sekadar
menjadi objek
10. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, penataan ruang wilayah nasional,
penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling
melengkapi satu sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam
penyelenggaraannya. Dalam hal ini, penataan ruang dilaksanakan dengan secara ….
A. berjenjang
B. terpusat
C. komplementer
D. seragam
Cocokanlah jawaban anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di bagian akhir
modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian gunakan rumus berikut untuk mengetahui
tingkat penguasaan anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2

jumlah jawaban yang benar


Tingkat penguasaan= x 100 %
Jumlah soal

Arti tingkat penguasaan : 90 – 100% = baik sekali

80 – 89% = baik

70 – 79% = cukup

<70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan pada modul 3.
Bagus ! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama
bagian yang belum dikuasai.

Daftar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. 2014. Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Alkadri, dkk. 1999. Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah: Konsep Dasar,
Contoh Kasus, dan Implikasi Kebijakan. Edisi Revisi. Jakarta: Pusat Pengkajian
Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT).
Blair, John P. 1991. Urban and Regional Economics. Homewood, IL : Irwin.
Budiharsono. 2002. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Burns, Leland S. dan John Friedman. 1985. The Art of Planning: Selected Essays of Harvey S.
Perloff. New York: Plenum Press.
Hadjisarosa, Poernomosidi. 1982. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia.
Jakarta: Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Johara T. Jayadinata. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan
Wilayah. Bandung: ITB.
Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial,
dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim, dan Dyah R. Panuju. 2009. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Susantono, Bambang. 2012. Manajemen Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: UI
Press.
Tarigan, Robinson. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.
Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1
1. A Ciri tentang pengertian perencanaan adalah (1) Pada suatu perencanaan harus
terkandung suatu tujuan tertentu yang merupakan suatu hasil akhir yang diharapkan. (2)
Perlu disadari bahwa proses pencapaian tujuan akhir tersebut memerlukan waktu tertentu
untuk mewujudkannya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan
beberapa sasaran sebagai tahapan-tahapan dari pencapai tujuan akhir yang diharapkan.
(3) Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan rentang waktu tertentu untuk
mencapainya. Oleh karena itu, setiap perencanaan selalu dapat dikaitkan dengan jangka
waktu tertentu.
2. B Glasson selanjutnya menetapkan urutan langkah-langkah perencanaan sebagai berikut:
(1) identifikasi masalah; (2) perumusan sasaran utama dan tujuan objektif terukur yang
berkaitan dengan masalah; (3) identifikasi kemungkinan adanya hambatan; (4) proyeksi
situasi di masa depan. (5) penetapan dan evaluasi rencana tindakan alternatif; pembuatan
rencana yang telah dipilih, yang bentuk umumnya dapat mencakup pernyataan kebijakan
atau strategi serta rencana definitif
3. B Nugroho dan Dahuri (2004) juga menjelaskan bahwa terdapat empat maksud dari
perencanaan pembangunan wilayah, yaitu (1) memberikan perlindungan sosial dan
ekonomi karena adanya ketimpangan, kemiskinan, dan tekanan terhadap sumber daya
alam; (2) sebagai media untuk terjadinya mekanisme pasar; (3) menyediakan perangkat
bagi perencanaan pembangunan itu sendiri; (4) merupakan suatu upaya untuk
membangun sistem kelembagaan yang lebih baik lagi.
4. C Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode
perencanaan.
5. D Pembedaan ini didasarkan atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut. Perencanaan
alokatif (allocative planning) berkenaan dengan koordinasi, penyelarasan hal-hal yang
bertentangan agar sistem yang bersangkutan dapat berjalan secara efisien sepanjang
waktu sesuai dengan kebijaksanaan yang ditempuh. Sering juga dinamakan perencanaan
yang bersifat mengatur (regulatory planning). Sementara itu, perencanaan inovatif
(innovative planning) berkenaan dengan perbaikan/pengembangan sistem yang
bersangkutan sebagai keseluruhan dengan menunjukkan sasaran-sasaran baru dan
berusaha menimbulkan perubahan-perubahan besar.
6. A Perencanaan model top-down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu
berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencanaan pada level yang
lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi.
Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana dari
institusi yang lebih rendah.
7. D unsur model perencanaan pola pemikiran konsep idealized planning model yang
dikemukakan oleh Bendavid Val adalah perumusan tujuan, evaluasi, implementasi,
rencana implementasi, kajian komparasi, identifikasi pilihan-pilihan, perumusan sasaran,
pengumupulan dan analisis data, dan publikasi rencana
8. B Dalam pendekatan sektoral, untuk tiap sektor/komoditas, semestinya dibuat analisis
sehingga dapat diketahui (1) sektor/komoditas yang memiliki competitive advantage di
wilayah tersebut, artinya komoditas tersebut dapat bersaing di pasar global; (2)
sektor/komoditas basis dan nonbasis; (3) sektor/komoditas yang memiliki nilai tambah
yang tinggi, (4) sektor/komoditas memiliki forward linkage dan backward linkage yang
tinggi, (5) sektor/komoditas yang perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
minimal wilayah tersebut, (6) sektor/komoditas yang banyak menyerap tenaga kerja per
satu satuan modal dan per satu hektare lahan
9. C Pendekatan regional semestinya dapat menjawab berbagai pertanyaan yang belum
terjawab apabila hanya menggunakan pendekatan sektoral seperti berikut ini (1) Lokasi
dari berbagai kegiatan ekonomi yang akan berkembang.; (2) Penyebaran penduduk di
masa yang akan datang dan kemungkinan munculnya pusat-pusat permukiman baru. (3)
Adanya perubahan pada struktur ruang wilayah dan prasarana yang perlu dibangun untuk
mendukung perubahan struktur ruang tersebut; (4) Perlunya penyediaan berbagai fasilitas
sosial yang seimbang pada pusat-pusat permukiman dan pusat berbagai kegiatan ekonomi
yang berkembang; (5) Perencanaan jaringan penghubung (prasarana dan mode
transportasi) yang akan menghubungkan berbagai pusat kegiatan atau permukiman secara
efisien.
10. C Unsur-unsur struktur ruang yang utama adalah (1) Orde-orde perkotaan, termasuk di
dalamnya konsentrasi permukiman; (2) sistem jaringan lalu lintas, termasuk penetapan
jaringan jalan primer, jaringan jalan sekunder, dan jaringan jalan lokal; (3) kegiatan
ekonomi berskala besar yang terkonsentrasi, seperti kawasan industri, kawasan
pariwisata, kawasan pertambangan, dan kawasan perkebunan.

Tes Formatif 2
1. B Teori kepemilikan sumber daya atau regional resource endowment berargumen bahwa
kemajuan ekonomi suatu wilayah bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki
wilayah tersebut dan juga bergantung pada permintaan (demand) terhadap komoditas
yang dihasilkan oleh wilayah tersebut.
2. D Sumber daya yang baik berciri: (1) mendukung produksi nasional, (2) memiliki efek
backward and forward linkages yang luas, (3) memiliki efek multiplier, yaitu
kemampuan meningkatkan permintaan (demand) produksi barang dan jasa wilayah.
Sumber daya dapat dikatakan tidak berguna apabila tidak digunakan dalam kegiatan
produksi.
3. C Teori yang dikemukakan oleh Douglass C. North pada 1955 ini merupakan perluasan
dari teori resources endowment, menurutnya teori pertama yang lebih berorientasi pada
inward looking (strategi ke dalam), teori export base mengandalkan kekuatan permintaan
eksternal (outward looking)
4. A Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan wilayah bergantung pada tiga faktor yaitu
tenaga kerja, ketersediaan modal (investasi), dan kemajuan teknologi (eksogen, terlepas
dari faktor investasi dan tenaga kerja
5. B Sebagai antitesis dari teori Neoklasik yang percaya adanya keseimbangan wilayah
muncul teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya “tidak percaya pada
mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk ketimpangan wilayah”. Tokohnya
adalah Myrdal, melalui Teori Penyebab Kumulatif atau Cummulative Caution Theory
yang mengungkapkan dua kekuatan yang bekerja pada proses pertumbuhan wilayah,
yaitu efek sebar (spread effect) yang bersifat positip, dan efek balik yang negatif
(backwash effect).
6. A spread effect, akan muncul pasar-pasar baru yang akan mengonsumsi produk dari
wilayah yang belum berkembang. Inovasi dan teknologi juga akan tersebar dengan baik
dalam wilayah tersebut.
7. C Multiplier effects adalah dampak berganda dari adanya tambahan pada satu aktivitas
ekonomi terhadap aktivitas perekonomian secara keseluruhan.
8. A . Faktor ekonomi meliputi: (1) sumber daya alam, (2) akumulasi modal atau investasi,
(3) kemajuan teknologi
9. D Ciri asas sentralisasi adalah (1) Adanya jarak antara pemerintah pusat dan daerah
karena pelaksanaan pembangunan cenderung “didominasi” pemerintah pusat, sedangkan
pemerintah daerah sekadar menjadi objek; (2) Adanya ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat, baik secara politis maupun ekonomis, khususnya dalam
pembiayaan pembangunan; (3) Pelaksanaan pembangunan daerah sering kali kurang
sesuai kebutuhan karena pelaksanaan pembangunan daerah dikendalikan pemerintah
pusat, sehingga seringkali hasil-hasilnya tidak tepat sasaran dan kurang terasa
manfaatnya; (4) Adanya anggapan bahwa semua daerah mempunyai kesamaan sehingga
mengabaikan keragaman dan ciri khas masing-masing daerah.
10. C Komplementer” adalah bahwa penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu
sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam
penyelenggaraannya

Anda mungkin juga menyukai