Anda di halaman 1dari 58

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan ibadah yang bertujuan untuk membangun

keluarga yang bahagia, kekal, dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.Mengeni hukum perkawinan ini diatur dalam undang-undang Nomor 1

Tahun 1974. Berdasarkan pasal 1 undang-undang Tahun 1974, pengertian

perkawinan menyebutkan :

“perkawinan adalahikatan lahir batin antara seorang pria dan


seorangwanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa)”. 1
Sebagaimana yang diketahui, perkawinan merupakan suatu perintah
agama. Diperintahkan oleh agama Islam ini adalah sebagai
pemenuhan dann pengaturan kepentingan biologis manusia sebagai
ciptaan tuhan. Dengan dilaksanakan perkawinan, berarti telah
menjalankan sebagian dari ajaran syariat islam. Perkawinan
diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan yang sah menuju
kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, dibawah naungan cinta kasih
dan ridha ilahi.2

Namun, mewujudkan pernikahan yang bahagiadan kekal bukanlah

hal yang mudah, dikarenakan ketika menikah dua orang yang berbeda

membawa problem, sifat, kodrat, serta karakter mereka masing-masing


1
Moch dan Isnael, Hukum Perkawina Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2016, hlm.
35
2
Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Teori Dan Praktiknya Di
Indonesia, CV. Mondar Maju, Bandung, 2016, hlm.87
2

dalam kehidupan rumah tangga. Tidak mungkin dua orang yang berlainan

jenis bersatu dalam bingkai perenikahan cocok secara sempurna. Tak

selamanya keharmonisan akan selalau mejadi warna yang menghiasi hari-hari

pasangan suami isteri, kadang konflik bisa saja terjadi bahkan hingga

berujung perceraian.

Dalam Islam prinsipnya perceraian tidak dilarang, namun merupakan

perbuatan yang dibenci oleh Allah Swt. Hal ini dapat dilihat pada hadis

berikut yang dikutip oleh Ahmad Rofiq dalam kitab “Jalal al-Din al –Suyuti

al-Jami’ al-Saghir Juz 1”: “ Sesungguhnya perbuatan yang halal yang paling

dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).” (H.R Abu Daud, ibn Majah,

dan Al-Hakim, dari Ibn Umar).3

Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat

putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan.”4 Jadi

istilah “perceraian” secara yuridis berarti putusnya perkawinan yang

mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami isteri atau berarti berlaki–

bini (suami istri)5.

Secara garis besar, prosedur gugatan perceian dibagi kedalam dua

jenis, tergantung pihak mana yang mengajukan gugatanya, baik diajukan oleh

suami maupun oleh isteri, yaitu cerai thalaq dan cerai gugat. Cerai thalaq

adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga

3
Ahmad Rofiq, “ Hukum Perdata Islam di Indonesia” PT Raja Grafindo,Jakarta, 2005,
hlm. 213.

4
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Fokus Media, Bandung, 2005, hlm., 19.
5
Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm., 15.
3

perkawinan menjadi putus. Seorang suami yang bermaksud menceraikan

isterinya harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Pengadilan

Agama. Sedangkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya

gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi

putus. 6

Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi atau dilakukan karena alasan-

alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang uskar disembunyikan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut, tanpa mendapat izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuanya.

c. Sala satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain

e. Salah stu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri

f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran, (syiqaq) serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga.


6
Budi Susilo, Prosedur Guagtan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2002, hlm. 17
4

Selanjutnya menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, perceraian

dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut, yaitu :

a. Suami berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya

yang sukar disembuhkan.

b. Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun tanpa izin isteri dan

tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

c. Suami mendapatkan hukuman penjara 5(lima) tahun atau lebih berat

setelah perkawinan berlangsung.

d. Suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak isteri.

e. Suami mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibanya sebagai suami.

f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

(syiqaq) dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah

tangga.

g. Suami melanggar taklik talak atau perjajian perkawinan

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Dalam perkara cerai talak, sebagai penggugat adalah pihak suami dan

pihak tergugat adalah pihak isteri. Seperti telah dibahas di atas bahwa, cerai

talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami tehadap isterinya, sehingga

perkawinan menjadi putus.Tata cara perceraian diatur dalam Perundang-

undangan.7 Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut


7
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta,2005, hlm. 172
5

agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada

Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia

bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan- alasan serta

meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pengajuan perkara yang dilimpahkan pada pengadilan oleh salah satu

pihak suami maupun isteri menandakan bahwa perceraian dilakukan tanpa

membedakan hak hukum setiap warga negara. Dengan asas tersebut kedua

pihak yang berperkara hendaklah memudahkan proses jalan perkara dengan

mematuhi aturan hukum dan hadir dipersidangan, sehingga keadilan

diwajibkan untuk benar-benar teliti dalam pelaksanaanya. Hakim pun harus

mengetahui dan paham betul hak-hak seseorang secara objektif yang

kemudian dilaksankan sesuai dengan ketentuan Allah.

Hakim dalam persidangan perceraian dalam posisi ini berperan

sebagai pihak yang akan mendamaikan kedua belah pihak yang berpekara

untuk memutuskan perkara sesuai aturan. Untuk itu, hakim diharuskan

mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak (pasal 121 HIR/124 RBg).

Saat kedua belah pihak yang bersengketa dipanggil di muka sidang mereka

mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga keputusan

dilaksanakanberdasarkan aturan hukum yang tepat.8 Namun, seringkali

ketidak hadiran salah satu pihak menuntut hakim untuk menghasilkan

keputusan tersendiri oleh pengadilan. Dalam hal ketidak hadiran inilah

putusan yang dikeluarkan oleh hakim disebut dengan putusan verstek.

8
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Acara Peradilan Agama UU. No. 7 th.
1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 215
6

Mengenai pengertian verstek, tidak terlepas kaitannya dengan fungsi

beracaradan penjatuhanputusanatasperkarayang disengketakan, yang

memberiwewenangkepada hakimmenjatuhkanputusantanpa hadirnya

penggugatatautergugat.Sehubungandengan itu, persoalan verstek tidak lepas

kaitanya dengan ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 77 Rv) dan Pasal 125 ayat

(1) HIR (Pasal 73 Rv).9

Putusanverstek diartikansebagaiputusanyangdijatuhkantanpa

hadirnyatergugat padaharisidangpertamatersebut, dapatberartitidak

sajapadaharisidangpertama akantetapi jugaharisidangkeduadan seterusnya.

Walaupun demikian, pengadilan sedapat mungkin

mengambilkebijakanuntuktidaklangsungmengambilputusan verstek.

Memperhatikan penjelasan di atas, pengertian teknis verstek ialah

pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkara

meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada tanggal

yang telah ditentukan. Dengan demikian, putusan diambil dan dijatuhkan

tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.10

Mengenai perkara cerai talak pada putusan verstek yang penulis

angkat, Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1A telah memutuskan

perkara pada tahun 2019 tetang cerai talak dalam putusan verstek dengan

Nomor Putusan 0051/pdt.G/2019/PA.Bn, Hakim dimana amar putusanya

mengabulkan permohonan pemohon untuk memberi izin kepada pemohon

untuk menjatuhkan talak satu raj’i dengan secara verstek dan menghukum

9
M. Yahya Harahap, ibid, hlm. 381
10
ibid
7

pemohon untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah kepada termohon

meski tanpa adanya Rekonvensi (tuntutan) termohon.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik

melakukan penelitian lebih mendalam mengenai penerapan pertimbangan

hakim pada putusan verstek dalam perkara cerai di Pengadilan Agama

Bengkulu dengan judul, “Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan

Nafkah Iddah dan Mut’ah Pada Putusan Verstek Perkara Cerai

Talak Dengan Nomor Perkara 0051/pdt.G/2019/PA.Bn di

Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1A”

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Apakah pertimbangan dalam pengabulan nafkah iddah dan mut’ah pada

putusan verstek perkara cerai talak dengan Nomor Perkara

0051/pdt.G/2019/PA.Bn di Pengadilan Agama Bengkulu kelas 1Atelah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Apakah pengabulan nafkah iddah dan mut’ah pada putusan verstek Nomor

Perkara 0051/pdt.G/2019/PA.Bn di Pengadilan Agama Bengkulu kelas 1A

telah sesuai dengan ketentuan hukum islam yang berlaku?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui rumusan masalah di atas ialah:
8

a. Untuk mengetahui pengabulan nafkah isteri dan mut’ah pada putusan

verstekperkara cerai talak dengan Nomor Perkara

0051/pdt.G/2019/PA.Bn di Pengadilan Agama Bengkulu kelas 1A

telah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku?

b. Untuk mengetahuipengabulan nafkah iddah dan mut’ah pada putusan

verstekdengan Nomor Perkara0051/pdt.G/2019/PA.Bn di Pengadilan

Agama Bengkulu kelas 1A telah sesuai dengan ketentuan hukum

islam yang berlaku.

2. Manfaat Kajian Putusan

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

kebaikan dalam ilmu pengetahuan dan dapat menambah wawasan

mengenai perkembangan hukum di Pengadilan Agama khususnya

berkaitan dengan perkara cerai talak.

b. Secara Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bagi pembaca dan dapat dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti

selanjutnya serta dapat dijadikan acuan untuk penelitian yang

berkaitan dengan putusan verstekpertimbangan hakim dalam

perkara cerai talak.

E. Kerangka Pemikiran
9

1. Kerangka Teori

a. Teori Tujuan Hukum

1) Teori Keadilan

Keadilan berasal dari kata “adil” yang berarti, tidak berat

sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar, berpegang

pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang.11

Menurut pandangan Aristoteles, keadilan ialah suatu pemberian

hak persamaan tetapi bukan persamarataan. Aristoteles

membedakan hak persamaan sesuai dengan hak proposional.

Kesamaan hak dipandang manusia sebagai suatu unit atau

wadahyang sama, inilah yang dapat dipahami bahwa semua

orang atau setiap warga negara memiliki hak yang sama

dihadapan hukum.

Keadilan dalam hukum nasional Indonesia terdapat pada

dasar negara, yaitu Pancasila. Pada sila kelima Pancasila,

menyebutkan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat konsep

penting tentang adil dan keadilan. Adil dan keadilan adalah

pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban.12

Berdasarkan teori keadilan ini kaitnya dengan penelitian

ini, memberikan persamaan hak dan kewajiban semua orang

sama di depan hukum yakni memberi hak dan kebebasan yang


11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kedikbud.go.id/ Tanggal 3 Oktober Tahun
2019.
12
Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,hlm.50.
10

sama atas kebabasan dasar yang paling luas, seluas kebabasan

yang sama bagi setiap orang, sehingga dapat memberikan

keuntungan yang bersifat timbal balik bagi setiap orang, baik

mereka yang bersal dari kelompok beruntung maupun tidak

beruntung.

2) Teori Kepastian Hukum

Kepastian ialah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan

atau ketetapan. Hukum secara hakiki haus pasti dan adil. Pasti

sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan

itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Kepastian

hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara

normatif, bukan sosiologi.13

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur

secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan

keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Kepastian hukum

menunjukan kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,

konsisten, dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral,

melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang

13
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari : Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm.59.
11

tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang

huruk.14

Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum

yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan

harus sungguh-sungguh berfungsi sebagai peraturan yang

ditaati. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan

teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai

keadilan dan kebahagiaan.15

Berkaitan dengan penelitian ini,adanya teori kepastian

hukum memberikan jaminan mengenai hukum yang pasti,

sehingga masyarakat akan lebih tertib karena pemberlakuan

hukum yang jelas dan memberikan jalan untuk menciptakan

stabilitas yakni memberikan ketentraman bagi para pihak dan

masyarakat.

3) Teori Kemanfaatan Hukum

Kemanfaatan merupakan hal yang paling penting dalam

sebuah tujuan hukum. Dilihat dari fungsinya, tujuan hukum

memberikan perlindungan bagi setiap kepentingan manusia,

hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. 16

Teori kemanfaatan hukum dalam kaitanya dengan

penelitian ini yaitu memberikan perlindungan kepentingan bagi

14
C.S.T. Kansil, (et al), Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009, hlm. 385.
15
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 95.
16
Said Sampara dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta, 2011, hlm. 40.
12

setiap manusia sehingga menimbulkan kesesuaian, ketaatan, dan

ketertiban dalam melakukan perbuatan hukum.

b. Teori Putusan Hakim

1) Teori Kewenangan

Kewenanangan berasal dari kata dasar wenang yang

artinya sebagai hal berwenanang, hak, dan kekuasaan yang


17
dipunyai untuk melakukan sesuatu. kewenanagan adalah

kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan

legislatif (diberi oleh Undang-undang) atau dari kekuasaan

eksekutif administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari

beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan

tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan. 18

Pengadilan Agama memiliki kewenanagan absolut dan

kewenanangan relatif. Kewenangan absolut merupakan

kewenangan Pengadilan Agama untuk melaksanakan fungsi

kewenangan mengadili perkara tertentu dan terhadap rakyat

tertentu. Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) Undang-undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.19 Sedangkan

keweanangan relatif merupakan kewenangan pengadilan yang

berdsarkan daerah atau wilayah hukum. Diatur dalam Pasal 4

17
Kamus Bahasa Indonesia,https://kbbi.kedikbud.go.id/ Tanggal 3 Oktober Tahun 2019.

18
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008,
hlm. 78.
19
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
13

ayat 1(1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama. 20

2. Kerangka Konsep

a. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim adalah kerangka berpikir/dasar pemikiran yang

digunakan hakim dalam memutuskan suatu perkara (ratio decidendi).

Titik tolak pertimbangan hakim pada pendapat para dokrina, alat

bukti dan yurisprudensi. Pertimbangan hakim harus disusun secara

logis, sistematis, saling berhubungan (samenhang), dan saling

mengisi. Pertimbangan hakim secara konkrit dituangkan sebagai

analisis, argumentasi, pendapat dan kesimpulan hakim.21

Islam mewajibkan umatnya berlaku adil dalam semua urusan,

di dalam Al-quran telah diatur keadilan dalam beberapa halseperti

keadilan dalam menetapkan hukum, yang mana terdapat pada

Qs.4:58 yang artinya lebih kurang “Sesungguhnya Allah menyuruh

kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan

(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia


22
supaya kamu menetapkan dengan adil “ kemudian diatur pula

keadilan dalam memberikan hak orang lain , “ Sesungguhnya Allah

menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan... “ Qs. 16:90.

20
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
21
Lilik Mulyadi, Putusan Hkim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia , Teori, Praktik
Membuat Dan Permaslahanya, Citara Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm 164
22
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, CV Penerbit Diponegoro,
Bandung, 2015.
14

Menurut para ulama, keadilan adalah jauhnya diri mereka dari

bohong dalam periwayatan dan penyimpangan dengan melakukan

sesuatu yang mengharuskan tidak diterimanya riwayat tersebut. Al-

Hafizh Ibnu Hajar berkata “ Yang dimaksud dengan adil ialah orang

yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”.

Sedangkan definisi keadilan menurut hakim, adalah hanya

mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan

keputusan, tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisish dan

memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya. Menurut

hakim, adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyekytif

terhadap orang lain dalam memberikan hukum, sering diartikan pula

dengan persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang

lain, tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi. Seperti yang

dijelaskan dalam Alquran surah Ar-Rahman ayat 7-9 lebih kurang :

“Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan Dia meletakan


neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca
itu. Dan tegakanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu”.23

Pertimbangan atau yang sering disebut dengan konsideran


merupakan dasar putusan. Adapun yang dimuat dalam bagian
pertimbangan dari putusan adalah alasan-alasan hakim sebagai
pertanggungan jawab kepada masyarakat mengapa hakim sampai
mengambil keputusan demikian, sehingga oleh karenanya
mempunyai nilai objektif. pertimbangan dalam putusan perdata

23
Ibid
15

dibagi menjadi dua, yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau


peristiwa hukum dan pertimbangan tentang hukumnya.24
Pertimbangan duduk perkara menggambarkan dengan singkat

tetapi jelas dan kronologis tentang duduk perkara, mulai dari usaha

perdamaian, dalil-dalil gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik

bukti-bukti dan saksi-saksi serta kesimpulan para pihak serta

menggambarkan bagaimana dalam mengkonstatir dalil-dalil gugat

atau peristiwa yang diajukan oleh para pihak. Sedangkan

pertimbangan tentang hukumnya menggambarkan bagaimana hakim

dalam mengkualifisir fakta atau kejadian, penilaian hakim, tentang

fakta-fakta yang diajukan, baik dari pihak penggugat maupun pihak

tergugat dan memuat dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh

hakim dalam menilai fakta dan memutus perkara, baik hukum

tertulis maupun tidak tertulis. 25

b. Pengertian Verstek

Verstek adalah kewenanagan yang diberikan kepada hakim

untuk memeriksa dan memutus suatu perkara meskipun tergugat


26
tidak hadir dipersidangan pada tanggal yang ditentukan. kata

“verstek” itu sendiri berarti pernyatan bahwa tergugat tidak datang

pada hari sidang pertama.27

c. Nafkah Pasca Perceraia n

24
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta, 2006, hlm. 221
25
A. Mukti Arto, praktek perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm. 263
26
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.382.
27
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. , hlm. 108.
16

1. Pengertian NafkahIddah

NafkahIddah terdiri dari kata Nafkah danIddah. Secara

bahasa kata nafkah dan iddahberasal dari bahasa Arab. Jika

dikutip dari Kamus al-munawwir, kata nafkah berarti biaya,

belanja, pengeluaran uang. Sedangkan kata iddah dapat berarti

menghitung.28 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

iddah juga diartikan sebagai masa tunggu (belum boleh menikah

) bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak

maupun bercerai mati. 29

Dari pemaparan diatas, dapat dipahami bahwa Nafkah

Iddah merupakan sejumlah harta atau benda (uang), yang

bernilai yang dapat digunakan untuk biaya hidup dalam

memenuhi kebutuhan sehari-hari selama dalam masa Iddah bagi

wanita yang baru diceraikan.

2. Pengertian Mut’ah

Kata mut’ah dalam bahasa Arab berarti membawa pergi,

jika kata mut’ah digabung dengan kata thalaq maka artinya

adalah barang-barang pemberian kepada istrinya yang


30
ditalaknya. Dari pengertian kata mut’ah dalam bahasa Arab

tersebut, dapat dipahami bahwa mut’ah dalam thalak adalah

28
Ahmad Warson Munawir, Al Munawwir Kanus Arab – Indonesia, Yogyakarta, 1984,
hlm. 1548.
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kedikbud.go.id/ Tanggal 3 Oktober Tahun
2019.

30
Mahmud yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Hidakaraya Agung , Jakarta, hlm. 409
17

suatu pemberian yang diberikan oleh suami kepada mantan

isterinya sebagai penghibur.

Pengertian mut’ah dalam bahasa Indonesia dikutip dari

Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai sesuatu

(uang, barang, dsb) yang diberikan suami kepada isteri yang

diceraikanya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas

isterinya.31

F. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini berdasarkan pada penelusuran beberapa

penelitian di perpustakaan dan internet yang memiliki karakteristik yang

relatif sama dalam hak kajiannya tetapi memiliki perbedaan pada kriteria

subjek, posisi variabel penelitian atau metode penelitian yang digunakan.

Berdasarkan penulusuran yang telah dilakukan, adapun beberapa kemiripan

pada judul penelitian yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

No Nama Judul Permasalahan Hasil


1 Siti Analisis 1. Apa dasar 1. Hakim dalam

Zulaekah pelaksanaa pertimbangan memutuskan

Universitas pemberian hakim perkara menganut

Islam nafkah Pengadilan aliran

Negeri mantan isteri Agama rechtvinding, yaitu

Walisongo akibat cerai Semarang hakim dalam

31
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kedikbud.go.id/ Tanggal 3 Oktober Tahun
2019.
18

Semarang talak. (studi dalam memutuskan suatu

201632 kasus di memerintahkan perkara disamping

Pengadilan pemberian berpegangan pada

Agama nafkah mantan Undang-undang

Semarang isteri akibat juga pada hukum

Tahun 2015) cerai talak? lain yang berlaku

dimasyarakat.

2. Bagaimana 2. Pelaksanaan

pelaksanaan pemberian nafkah

isi putusan mantan isteri

hakim akibat cerai talak

Pengadilan dilaksanakan

Agama setelah suami

Semarang mengucapkan ikrar

tentang talak atau setelah

pemberian putusan

nafkah mantan berkekuatan

isteri akibat hukum tetap.

cerai talak?

32
Skripsi Siti Zulaekah, Analisis pelaksanaa pemberian nafkah mantan isteri akibat cerai

talak. (studi kasus di Pengadilan Agama Semarang Tahun 2015)


19

2 Barokah Pertimbangan 1. Apa 1. Hakim

Indah Sari Hakim pertimbangan mengambil

Universitas Dalam hukum yang di keputusan

Islam Putusan gunakan menjatuhkan

Negeri Verstek Atas hakim dalam verstek ini

Sunan pembagian menjatuhkan berdasarkan Pasal

Kalijaga Harta putusan 125 dan 126 HIR.

Yogyakarta Bersama verstek atas Dalam perkara

200933 (studi pembagian tersebut hakim

Putusan harta bersama membaginya

Pengadilan di Pengadilan sudah sesuai

Agama Agama Bekasi dengan peratuiran

Bekasi Nomor perundang-

Nomor: 619/pdt.GG/20 undangan yang

619/pdt.G/20 06/PA.Bks. berlaku dan tidak

06/PA.Bks) sesuai dengan bertentangan

peraturan dengan hukum

perundang- Islam.

undangan
33
Skripsi Barokah Indah Sari, Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Verstek Atas
pembagian Harta Bersama (studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:
619/pdt.G/2006/PA.Bks)
20

yang berlaku

maupun

hukum Islam

Dari beberapa uraian penelitian di atas digunakan untuk membedakan

antara penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian yang sudah pernah

dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain yang sejenis sehingga

menghindarkan adanya duplikasi. Adapun perbedaan penelitian ini dengan

penelitian Siti Zulekah yang berjudul “Analisis pelaksanaa pemberian nafkah

mantan isteri akibat cerai talak.(studi kasus di Pengadilan Agama Semarang

Tahun 2015)” yaitu penelitian ini dilakukan di Pengadillan Agama Semarang

dan penelitian ini menganalisis putusan yang di putus tanpa verstek, yangdari

ituberarti pembagian pemberian harta berdasarkan hadirnya dari kedua belah

pihak. Sedangkan perbedaan penelitian Barokah Indah Sari yang berjudul

“Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Verstek Atas pembagian Harta

Bersama (studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:

619/pdt.G/2006/PA.Bks) “ yaitu, penelitian ini membahas bagaimana

pertimbangan hakim dalam memutus pembagian harta bersama dalam

putusan verstek.

Pembahasan masalah dalam penelitian yang telah dilakukan tersebut

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Karna di dalam

penelitian ini, peneliti membahas mengenai pertimbangan hakim dalam

mengabulkan nafkah isteri dan mutah dalam perkara cerai talak yang diputus

secara verstek, apakah pengabulan nafkah isteri dan mut’ah yang di putus
21

secara verstekoleh hakim di Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1A ini telah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun aturan hukum Islam

yang berlaku. Sedangkan di dalam dua penelitian sebelumnya mengenai hak

isteri dan mut’ah dipengadilan yang diteliti pada penelitian sebelumnya tanpa

adanya putusan verstek.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat normatif, yaitu mengkaji norma-norma


34
hukum dalam putusan yang dikaji. Metode yang digunakan dalam

penelitrian dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada, yakni dengan

menggunakan berbagai data seperti peraturan Perundang-undangan, Putusan

Pengadilan, teori hukum, dan pendapat peneliti.

2. Pende katan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat studi

kasus. Menurut Peter Muhammad dilakukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan, secara artinya norma-norma hukum yang ada di

dalamnya terkait antara satu dengan yang lainya secara logis dan mampu

menampung permasalahan hukum yang ada serta melalui pendekatan

kasus dalam memperoleh penormaan suatu aturan hukum dalam praktik

hukum. 35

34
Iskandar. (et al), Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum (S1),
Bengkulu, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2018. hlm.62.
35
Ibid
22

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang

mempunyai kekuatan mengikat yaitu peraturan perundang-

undangan. Pada penelitian ini peneliti menggunakan sumber hukum

primer berupa Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang peradilan Agama serta Kompilasi Hukum Islam.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini digunakan untuk

mengetahui wewenang yang dimiliki hakim Pengadilan Agama

yang berkaitan dengan penelitian ini berdasarkan Undang-undang.

b. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.36 Bahan hukum skunder

yang digunakan oleh penulis yaitu Putusan Pengadilan Agama, buku-

buku yang berkaitan dengan penelitian, dan skripsi.

Bahan hukum skunder dalam penelitian ini digunakan untuk

menjelaskan mengenai data bahan hukum primer yang berkaitan

dengan penelitian sehingga dapat membantu menjawab permasalahan

yang dibahas dalam penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm.13.
23

Metode pengumpulan bahan hukum yang dilakukan oleh peneliti,

ialah studi dokumen. Metode ini digunakan untuk memperoleh data

tentang suatu masalah dengan mempelajari berkas perkara berupa

pertimbangan hakim pada putusan verstek di Pengadilan Agama

Bengkulu. Selain itu, melakukan pengkajian terhadap berbagai tulisan

yang berkaitan dengan hak ex-officio hakim untuk mempertajam analisis

terhadap putusan tersebut.

5. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang digunakan oleh peneliti ialah bahan

hukum primer dan bahan hukum skunder, secara sistematis bahan hukum

hasil pengelolahan yang digunakan peneliti kemudian dianalisis

menggunakan metode analisis secara kualitatif. Data dalam penelitian ini

akan diuraikan kedalam kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis,

sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat

diperoleh kesimpulan secara deduktif dan induktif. Hasil analisis

diuraikan sebagai jawaban dari permasalahan yang dikaji.


24

BAB II

KASUS POSISI DAN PUTUSAN

Kasus Posisi dan Putusan Verstek

1. Kasus Posisi Putusan Verstek

Berikut ini adalah kasusu posisi putusan verstek dengan nomor

perkara 0051/Pdt.G/2019/Pa.Bn tentang perkara cerai talak antara :

Yosso Widiyantoro Eko Saputro bin Sopyan Parlan, umur 34 tahun,

agama Islam, pekerjaan PNS, tempat kediaman di Jalan Raden

Fatah Gang Pahlawan RT. 10 RW. 002 No. 10, Kelurahan Pagar

Dewa, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, selanjutnya disebut

sebagai Pemohon;

Melawan

Yuliana Mega Sari binti Samsul Junaidi, umur 30 tahun, agama Islam,

pekerjaan Wirausaha, bertempat tinggal di Jalan Hibrida III Gang

Mayang 14 RT. 18, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Gading


25

Cempaka, Kota Bengkulu, selanjutnya disebut sebagai

Termohon;

DUDUK PERKARA

Bahwa Pemohon telah mengajukan surat permohonannya

tertanggal 07 Januari 2019yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan

Agama Bengkulu dalam register perkara Nomor 0051/Pdt.G/2019/PA.Bn

tanggal 07 Januari 2019 yang pada pokoknya didasarkan atas dalil-dalil

sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang

melangsungkan pernikahan pada tanggal 26 Juli 2008 dan dicatat oleh

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Ulu Musi

Kabupaten Lahat sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor:

237/25/VIII/2008, tanggal 04 Agustus 2008;

2. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon

bertempat tinggal di rumah orang tua Pemohon Jalan Raden Fatah

Gang Pahlawan RT 10 RW 002 No 10 Kelurahan Pagar Dewa

Kecamatan Selebar Kotamadya Bengkulu selama kurang lebih 2 tahun

dan selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah

rukun baik sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2

orang anak masing-masing bernama:

1. Fahda Zahratusyifa binti Yosso Widiyantoro Eko Saputro lahir tanggal

17 Desember 2009;
26

2. Fahdan Zaki Alfikri bin Yosso Widiyantoro Eko Saputro lahir tanggal

02 April 2014;

Ke 2 anak tersebut dalam asuhan Termohon;

3. Bahwa pada mulanya rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam

keadaan rukun, namun sejak bulan Juni tahun 2018 ketentraman

rumah tangga Pemohon dengan Termohon mulai goyah, yaitu antara

Pemohon dengan Termohon sering terjadi perselisihan dan

pertengkaran yang penyebabnya antara lain:

a. Termohon tidak menghargai Pemohon sebagai seorang suami;

b. Termohon terlalu berani dan seringkali mengaitkan urusan rumah

tangga dengan pihak keluarga besar baik dari keluarga Pemohon

maupun Termohon sehingga tidak dapat melanjutkan kembali

membina rumah tangga yang baik;

c. Keluarga Termohon terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga

Pemohon dan Termohon;

4. Bahwa perselisihan dan pertengkaran itu berkelanjutan terus-menerus

sehingga akhirnya sejak bulan Juni tahun 2018 hingga sekarang

selama kurang lebih 7 bulan 15 hari, Pemohon dan Termohon telah

berpisah tempat tinggal/berpisah ranjang karena Pemohon telah pergi

meninggalkan tempat kediaman bersama, yang mana dalam pisah

rumah tersebut saat ini Pemohon bertempat tinggal di kediaman orang

tua Pemohon di Jalan Raden Fatah Gang Pahlawan RT. 10 RW. 002
27

No. 10 Kelurahan Pagar Dewa Kecamatan Selebar Kotamadya

Bengkulu dan Termohon bertempat tinggal di kediaman kakak

kandungnya di Jalan Hibrida III Gang Mayang 14 RT. 18 No 17

Kelurahan Sidomulyo Kecamatan Gading Cempaka Kotamadya

Bengkulu dan selama itu sudah tidak ada hubungan dan komunikasi

lagi;

5. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus

tersebut mengakibatkan rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak

ada kebahagiaan lahir dan batin dan tidak ada harapan untuk kembali

membina rumah tangga;

6. Bahwa pihak keluarga dan Pimpinan instansi tempat Pemohon bekerja

sudah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon namun tidak

berhasil;

7. Bahwa dalam mengajukan permohonan cerai ini Pemohon telah

mendapatkan surat izin dari atasan Pemohon Nomor:

W8.U7/1205/Kp.01.0/ XII/2018, tanggal 06 Desember 2018;

8. Bahwa atas dasar uraian diatas permohonan Pemohon telah memenuhi

alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 Jo.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 116;

9. Bahwa berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, maka Pemohon mohon

agar Ketua Pengadilan Agama Bengkulu segera memeriksa dan


28

mengadili perkara ini selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya

sebagai berikut:

PRIMAIR:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Memberikan izin kepada Pemohon (Yosso Widiyantoro Eko Saputro

Bin Sopyan Parlan) untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada

Termohon (Yuliana Mega Sari Binti Samsul Junaidi) di hadapan

sidang Pengadilan Agama Bengkulu;

3. Membebankan biaya perkara menurut Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku;

SUBSIDAIR:

Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya;

Bahwa Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil menyatakan telah

memperoleh izin perceraian dari Pejabat atasan Pemohon dengan

Rekomendasi Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Nomor:

W8.U7/1205/Kp.01.0/XII/2018, tanggal 06 Desember 2018 yang

ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang

Bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan Pemohon hadir

menghadap sendiri di persidangan. Sedangkan Termohon tidak pernah

hadir di persidangan dan tidak pula menunjuk orang lain untuk sebagai
29

kuasanya yang sah, meskipun telah dipanggil dengan resmi dan patut

oleh Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Bengkulu masing-masing

dengan surat panggilan Nomor 0051/Pdt.G/2019/PA.Bn tanggal 21

Januari 2019 dan 04 Februari 2019 namun Termohon tidak pernah hadir

ke persidangan dan ketidak hadiran Termohon tersebut bukan pula

disebabkan oleh adanya suatu halangan yang sah;

Bahwa Majelis Hakim telah berusaha menasehati Pemohon agar

tetap bersabar menunggu berubahnya sikap Termohon untuk tetap

mempertahankan keutuhan perkawinannya dengan Termohon, namun

tidak berhasil;

Bahwa mediasi terhadap perkara ini tidak dapat dilaksanakan

berhubung Termohon tidak pernah hadir di persidangan;

Bahwa acara kemudian dilanjutkan dengan dibacakan surat

permohonan Pemohon tanggal 07 Januari 2019 dan atas permohonan

tersebut, Pemohon tetap mempertahankannya dengan menyampaikan

perubahan sebagaimana telah dicatat dalam berita acara sidang perkara

ini;

Bahwa Pemohon menyatakan kesanggupan dan bersedia untuk

memberikan secara sukarela kepada Termohon sebagai berikut:

- Nafkah selama masa iddah sejumlah Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah);

- Mut’ah berupa uang sejumlah Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);


30

Bahwa Pemohon untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya

diatas, didepan persidangan telah mengajukan alat-alat bukti sebagai

berikut:

A. Alat bukti tertulis, yaitu :

- Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor 237/25/VIII/2008 tanggal

04 Agustus 2008 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama

Kecamatan Ulu Musi Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera

Selatan. Bukti surat tersebut telah diberi meterai cukup dan telah

dicocokkan dengan aslinya yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua

Majelis diberi tanda P;

B. Alat bukti saksi, masing-masing bernama:

1. Doni bin Sayuti, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan

Karyawan Swasta Media Online, tempat kediaman di Jalan Setia

Negara 22 Blok P2 Perumahan Kampung Melayu Residence 5,

Kelurahan Kandang Mas, Kecamatan Kampung Melayu, Kota

Bengkulu, yang dibawah sumpahnya telah menerangkan sebagai

berikut:

2. Sinta Dewi binti Sopyan Parlan, umur 30 tahun, agama Islam,

pekerjaan Honorer Dinas Sosial Propinsi Bengkulu, tempat

kediaman di Jalan Setia Negara 22 Blok P2 Perumahan Kampung

Melayu Residence 5, Kelurahan Kandang Mas, Kecamatan

Kampung Melayu, Kota Bengkulu, yang dibawah sumpahnya

telah menerangkan sebagai berikut:


31

Bahwa, Pemohon dalam persidangan ini telah menyampaikan

kesimpulan tetap dengan permohonannya untuk bercerai dengan

Termohon, begitu juga hak Termohon akibat dari perceraian jumlahnya

seperti yang Pemohon sampaikan, Pemohon bersedia dengan sukarela

memberikan kepada Termohon dan mohon putusan;

Bahwa semua yang terjadi dalam persidangan telah dicatat dalam

berita acara sidang dan untuk meringkas uraian dalam putusan ini, maka

ditunjuk semua yang tercantum dalam berita acara sidang perkara ini,

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini;

2. Putusan Verstek

Putusan hakim dalam putusanya terdiri atas 4 (empat) bagia, yaitu

sebagai berikut37 :

1. Kepala Putusan

2. Identitas Para Pihak

3. Pertimbangan, dan

4. Amar

Pada putusan Perkara Nomor. 0051/Pdt.G/2019/Pa.Bn tentang

perkara cerai talak, terdiri dari 4 (empat) bagian tersebut, yaitu :

1. Kepala putusan

Pada putusan Pengadilan Agama bagian kepala putusan dicantumkan

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM dan dilanjutkan dengan kalimat

37
Moh. Taufik Makaroa, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
2004, hlm.126.
32

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA.

2. Identitas para pihak

Identitas para pihak dalam putusan Nomor.

0051/Pdt.G/2019/Pa.Bn tentang perkara cerai talak sebagai berikut:

Pengadilan Agama Bengkulu yang memeriksa dan mengadili

perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan. Majelis

hakim telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara cerai

talak antara :

Yosso Widiyantoro Eko Saputro bin Sopyan Parlan, umur 34 tahun,

agama Islam, pekerjaan PNS, tempat kediaman di Jalan Raden

Fatah Gang Pahlawan RT. 10 RW. 002 No. 10, Kelurahan Pagar

Dewa, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, selanjutnya disebut

sebagai Pemohon;

Melawan

Yuliana Mega Sari binti Samsul Junaidi, umur 30 tahun, agama Islam,

pekerjaan Wirausaha, bertempat tinggal di Jalan Hibrida III

Gang Mayang 14 RT. 18, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan

Gading Cempaka, Kota Bengkulu, selanjutnya disebut sebagai

Termohon;

3. Pertimbangan
33

Berikut ini adalah pertimbangan hukum dalam putusan Nomor.

0051/Pdt.G/2019/Pa.Bn tentang perkara cerai talak, yaitu :

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon

adalah sebagaimana telah diuraikan di atas;

Menimbang, bahwa Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil

menyatakan telah memperoleh izin perceraian dari Pejabat atasan Pemohon

dengan Rekomendasi Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Nomor:

W8.U7/1205/Kp.01.0/XII/2018, tanggal 06 Desember 2018 yang

ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, dengan demikian

terhadap perkara ini telah memenuhi ketentuan Pasal 3 Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990;

Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan

Pemohon hadir menghadap sendiri di persidangan. Sedang Termohon tidak

pernah hadir di persidangan dan tidak pula menunjuk orang lain untuk

sebagai kuasanya yang sah, meskipun telah dipanggil dengan resmi dan

patut oleh Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Bengkulu dengan surat

panggilan Nomor 0051/Pdt.G/2019/PA.Bn tanggal 21 Januari 2019 dan 04

Februari 2019, namun Termohon tidak pernah hadir ke persidangan dan

ketidak hadiran Termohon tersebut bukan pula disebabkan oleh adanya

suatu halangan yang sah. Oleh karena itu Termohon harus dinyatakan tidak
34

hadir dan perkara ini dapat diperiksa lebih lanjut dengan tanpa hadirnya

Termohon;

Menimbang, bahwa sesuai dengan maksud Pasal 82 ayat (1) dan (4)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

Jo Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo

Pasal 143 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam Jo. PERMA Nomor 1

Tahun 2016 Majelis Hakim telah berusaha untuk menasehati Pemohon agar

rukun kembali dengan Termohon, tetapi tidak berhasil, sementara upaya

damai melalui mediasi tidak dapat dilaksanakan karena Termohon tidak

pernah datang menghadap ke persidangan;

Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan dalil

bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon awalnya rukun dan

harmonis, tetapi sejak bulan Juni 2018 sudah mulai sering terjadi

perselisihan dan pertengkaran terus menerus, yang penyebabnya

sebagaimana Pemohon uraikan dalam posita permohonan Pemohon

akibatnya sekarang antara Pemohon dengan Termohon telah pisah tempat

tinggal selama lebih kurang 7 bulan 15 hari, maka dengan demikian tidak

mungkin lagi diharapkan antara Pemohon dengan Termohon dapat hidup

rukun damai dalam suatu rumah tangga yang bahagia;

Menimbang, bahwa ketidak hadiran Termohon ke persidangan,

Majelis Hakim menilai bahwa Termohon telah mengakui dan membenarkan


35

dalil permohonan Pemohon dan seogiyanya dengan pengakuan aquo dalil

permohonan Pemohon dipandang telah terbukti kebenarannya karena suatu

pengakuan adalah merupakan bukti bersifat sempurna, mengikat dan

menentukan (vide Pasal 311 R.Bg.), namun karena perkara ini masalah

perkawinan (perceraian) yang berhubungan dengan hukum perorangan

(personal recht) dimana suatu pengakuan baru dipandang sebagai bukti

permulaan, maka kepada Pemohon tetap dibebani wajib bukti;

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya,

Pemohon telah mengajukan bukti tertulis dan dua orang saksi masing-

masing bernama Doni bin Sayuti dan Sinta Dewi binti Sopyan Parlan, dalam

hal ini Majelis Hakim memberi pertimbangan lebih lanjut;

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti tertulis P yaitu Fotokopi

Kutipan Akta Nikah Nomor: 237/25/VII/2008 tanggal 04 Agustus 2008,

adalah akta otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, karena

itu alat bukti tersebut mempunyai nilai pembuktian yang mengikat dan

sempurna, dengan demikian telah terbukti bahwa Pemohon dan Termohon

adalah suami isteri yang sah, sehingga Pemohon dan Termohon harus

dinyatakan sama-sama berkwalitas untuk bertindak sebagai pihak-pihak

dalam perkara ini, bukti tertulis yang diajukan Pemohon telah memenuhi

syarat formil dan materiil pembuktian, maka bukti tersebut dapat diterima

sebagai bukti dalam hal hubungan hukum antara Pemohon dengan

Termohon;
36

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil permohonan Pemohon

yang berkaitan dengan peristiwa hukum terjadinya perselisihan dan

pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon, di persidangan Pemohon

telah menghadirkan dua orang saksi, kedua orang saksi tersebut tidak

terlarang sebagai saksi, keterangannya telah disampaikan di bawah sumpah

dan saling bersesuaian satu sama lain serta relevan dengan dalil permohonan

Pemohon, dengan demikian telah terpenuhi maksud Pasal 171 dan 175 serta

Pasal 308 dan 309 R.Bg., intinya adalah antara Pemohon dan Termohon

sering berselisih dan bertengkar, akibatnya antara Pemohon dengan

Termohon telah berpisah tempat tinggal selama lebih kurang 7 bulan,

Pemohon yang pergi dari rumah kediaman bersama dan tidak pernah bersatu

lagi hingga sekarang ini, serta pihak keluarga telah berusaha untuk

mendamaikan Pemohon dan Termohon, tetapi tidak berhasil, maka Majelis

Hakim berpendapat saksi Pemohon tersebut telah memenuhi syarat formil

dan materiil pembuktian, sedangkan adanya hubungan keluarga atas bukti

saksi, diperbolehkan dalam perkara perceraian sebagai lex specialist dari

aturan umum;

Menimbang, bahwa berdasarkan permohonan Pemohon yang telah

dikuatkan kebenarannya oleh bukti P dan keterangan dua orang saksi di

persidangan, maka Majelis Hakim telah menemukan fakta bahwa setelah

menikah rumah tangga Pemohon dan Termohon rukun dan harmonis kurang

lebih 10 tahun kemudian berubah mulai sering terjadi perselisihan dan

pertengkaran, akhirnya antara Pemohon dan Termohon berpisah tempat


37

tinggal sampai sekarang telah memakan waktu selama lebih kurang 7 bulan.

Maka dengan itu permohonan Pemohon tersebut harus dinyatakan telah

cukup beralasan dan tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam

suatu rumah tangga yang bahagia;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Pemohon telah

dinyatakan sudah cukup beralasan dan tidak ada harapan lagi untuk dapat

hidup rukun dalam suatu rumah tangga yang bahagia, karena rumah tangga

Pemohon dan Termohon tersebut sebenarnya telah pecah (Marriage

breakdown) sehingga untuk mencapai tujuan perkawinan yang diatur dalam

surat Ar-Rum ayat 21 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tidak tercapai, maka Majelis Hakim berpendapat dalil permohonan

Pemohon telah terpenuhi alasan perceraian sebagaimana dimaksud oleh

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan penjelasannya

huruf (f) Jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo

Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka permohonan Pemohon

tersebut sudah sepatutnya dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa karena permohonan Pemohon telah dikabulkan,

maka dengan ini kepada Pemohon (Yosso Widiantoro Eko Saputro bin

Sopyan Parlan) untuk menjatuhkan talak satu roj'i terhadap Termohon

(Yuliana Mega Sari binti Samsul Junaidi) didepan sidang Pengadilan

Agama Bengkulu;
38

Menimbang, bahwa Termohon yang telah dipanggil dengan resmi

dan patut untuk hadir menghadap di persidangan ternyata tidak hadir,

sedangkan permohonan Pemohon telah dinyatakan cukup beralasan, maka

sesuai dengan Pasal 149 ayat (1) R.Bg, permohonan Pemohon tersebut

dikabulkan dengan Verstek;

Menimbang, bahwa meskipun Termohon tidak pernah hadir di

persidangan, namun Pemohon dengan rela tanpa diminta oleh Termohon

bersedia memberikan nafkah selama masa iddah sejumlah Rp 6.000.000,-

(enam juta rupiah) dan mut’ah berupa uang sejumlah Rp 1.000.000,- (satu

juta rupiah), maka berdasarkan Pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, Majelis Hakim secara ex officio dapat menetapkan kewajiban

Pemohon untuk memberikan kepada Termohon yaitu nafkah selama masa

iddah sejumlah Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) dan mut’ah berupa uang

sejumlah Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan menghukum Pemohon

menyerahkan nafkah iddah dan mut’ah tersebut kepada Termohon yang

jumlahnya sebagaimana telah disebutkan dan akan memasukkannya

kedalam amar putusan ini;

Menimbang, bahwa karena perkara ini termasuk bidang perkawinan,

maka sesuai dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara ini dibebankan

kepada Pemohon;
39

4. Amar

Amar putusan Majelis hakim Pengadilan Agama Bengkulu Nomor.

0051/Pdt.G/Pa.Bn tentang cerai talak, sebagai berikut :

1. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk

datang menghadap di persidangan, tidak hadir;

2. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;

3. Memberi izin kepada Pemohon (Yosso Widiantoro Eko Saputro bin

Sopyan Parlan) untuk menjatuhkan talak satu roj'i terhadap Termohon

(Yuliana Mega Sari binti Samsul Junaidi) di depan sidang Pengadilan

Agama Bengkulu.

4. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon sebagai

berikut:

4.1. Nafkah selama masa iddah sejumlah Rp 6.000.000,- (enam juta

rupiah).

4.2. Mut’ah berupa uang sejumlah Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang

hingga kini berjumlah Rp. 316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah).
40

BAB III

PENGABULAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH PADA PUTUSAN

VERSTEK NOMOR PERKARA 0051/PDT.G/2019/PA.BN DI

PENGADILAN AGAMA BENGKULU KELAS 1A DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

Cerai talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama

yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (pasal 117 KHI). Adapun

akibat hukum putusnya perkawinan karena cerai talak berdasarkan pasal 149

Kompilasi Hukum Islam yaitu :

Apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang

atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al- dukhul;

b. Memberikan nafkah, maskan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)


41

kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah

dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidakhamil;

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila

qablaal-dukhul;

d. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan, termasuk didalamnya biaya

pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

Berdasarkan pasal tersebut, apabila suami akan menceraikan istrinya

ia wajib untuk memberikan nafkah seperti mut‟ah, nafkah

iddahdannafkahanak(hadhanah).Karenahaltersebutadalah sebuah kewajiban

yang harus ditunaikan oleh suami yang hendak menceraikan istrinya, maka

apabila suami tidak menunaikan kewajiban tersebut akan berdosa dan seorang

Hakim yang memutuskannya pun akan ikut menanggung beban dosa. Oleh

karena itu, dalam proses menyelesaikan perkara cerai talak hakim dianjurkan

untuk untuk bersikap aktif dengan menggunakan hak yang dimiliki karena

jabatannya untuk melindungi hak-hak istri akibat perceraian meskipun tidak

diminta oleh pihak Termohon (istri) karena demi rasa keadilan dan

mengembalikan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh istri dan anak.

Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya dan berkewajiban

membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan

dan rintangan agar dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan

biaya ringan. Hakim dalam menyelesaikan perkara perdata berkewajiban

untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hakim wajib mengadili menurut


42

hukum karena hal tersebut sebagai kendali atas asas kebebasan hakim sebab

tanpa adanya kewajiban mengadili menurut hukum, hakim dengan berlindung

atas nama kebebasan hakimdapat bertindak sewenang-wenang di dalam

menjatuhkan putusan, sedangkan tiap putusan hakim harus dianggap benar

dan harus dihormati (res judicata provaritate habitur).38

Terkait sistem hukum acara perdata yang terdapat dalam HIR/RBG

adalah menyerahkan kepada Hakim agar berperan untuk memimpin

persidangan mulai dari permulaan proses berperkara sampai dengan

berakhirnya proses perkara tersebut. Hakim di dalam memimpin persidangan

dapat melakukan beberapa tindakan seperti dengan menggunakan asas et

aequo et bono tidak terikat pada bentuk dan isi petitum atau bahkan Hakim

dapat memutus melebihi petitum yang diajukan para pihak (ultra petitum

partium).39Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 178 ayat (3)

HIR/189 R.Bg telah mengatur bahwa:40 Hakim dilarang menjatuhkan putusan

atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada yang

digugat. Pasal tersebut telah membatasi kewenangan hakim dan tidak

mengizinkan hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak

diminta atau melebihi apa yang dituntut oleh para pihak. Demikian pula

Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita

maupu petitum gugat, dianggaptelahmelampauiwewenangatauultraviresyakni

bertindak melampaui wewenangnya (beyond of powers of his authority).


38
Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, Prenada Media Group, Jakarta,
2015, hal.7
39
Ibid, hal 36
40
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Aagma dan Mahkamah
Syar’iyah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,2005, hal 57
43

Apabila putusan mengandung ultra petitum harus dinyatakan cacat (invalid)

meskipun hal tersebut dilakukan oleh hakim dengan itikad baik (good faith)

maupun sesuai dengan ketentuan umum (publik interest).

Namun aturan tersebut tidak berlaku secara kaku dan tegas.

Sepertihalnya yang dilakukan di Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1A, para

hakim dapat memutuskan lebih dari apa yang dituntut. Pertimbangan hukum

yang digunakan oleh hakim Pengadilan Agama Bengkulu tidak berpedoman

pada Pasal 178 ayat (3) HIR / 189 RBG melainkan mengacu pada pasal 41

huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang

berbunyi “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas

istrinya”. Berdasarkan pasal 41 huruf c kata “dapat” ditafsirkan boleh secara

ex officio memberi ruang kepada hakimuntuk menetapkan mut‟ah dan iddah

sebagai bentuk perlindungan hak terhadap mantan isteri akibat perceraian.

Aturan tersebut bertolak belakang dengan aturan yang terdapat dalam

pasal 178 ayat (3) HIR/ 189 RBG yang melarang Hakim untuk menjatuhkan

putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada

yang digugat”.

Selain alasan penafsiran pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 diatas, menurut M. Yahya Harahap mengenai batas kebolehan

hakim untuk memutus secara ex officio dapat berpedoman pada Putusan MA

No. 140K/Sip/1971. Putusan ini menegaskan, putusan judex facti yang

bertitik tolak dari petitum subsidair et aequo et bono atau mengadili


44

berdasarkan kebijaksanaan Pengadilan, dapat dibenarkan dengan syarat

asalputusan itu masihdalam kerangka yang serasi dengan petitum primair. 41

Dengan demikian, tindakan hakim Pengadilan Agama Bengkulu

dalam hal menetapkanmut‟ah dan iddahtidakdituntuttermohon namunkarena

hal tersebut berkaitan erat dengan hukum akibat putusnya perkawinan karena

talak, maka hakim secara ex officio menghukum pemohonuntukmembayarkan

mut‟ahdaniddahkepadatermohon,bukanlah sebuah ultra petitum. Tujuan

hakim dalam menerapkan ex officio yaitu untuk menegakkan keadilan bagi

hakim bersifat mutlak sedangkan ultra petitum partium bersifatmuqoyyad.

Hak ex officio hakim merupakan hak atau kewenangan yang dimiliki

oleh hakim karena jabatannya, dan salah satunya adalah memberikan sesuatu

yang tidak ada dalam tuntutan. Dalam perkera perceraian, hakim dapat

memutus lebih dari yang diminta karena jabatanya, hal ini berdasarkan Pasal

41 huruf C Undang-undang Perkawinan,42

Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1A dalam menerapkan hak ex

officio tersebut diterapkan khusus dalam perkara cerai talak, terutama pada

nafkah yang sering tidak dituntut oleh isteri seperti mut‟ah, iddah. Hak ex

officio di Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1Aditerapkan dengan melihat

kasus permasalahan tertentu yang terjadi diantara para pihak. Hakim

menerapkan Hak ex officio bertujuan demi rasa keadilan dan untuk

mengembalikan hak-hak yang dimiliki oleh istri akibatperceraian.43


41
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.319
42
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm.11
43
Wawancara dengan Sri Andriani, SH, Panitera Pengadilan Agama Bengkulu, Tanggal 3
oktober 2019.
45

Berdasarkan putusan dengan nomor perkara 0051/pdt.G/2019/Pa.Bn di

Pengadilan Agama Bengkulu yang penulis teliti, tidak ada tuntutan dari termohon

mengenai nafkah iddah dan mut’ahtetapi Hakim secara ex officio dapat

memutuskan menghukum suami untuk memberikan

nafkahiddahdanmut‟ah.Setiapperkarayangditanganiolehhakim dan ditetapkan

secara ex officio terkait nafkah berbeda-beda sesuai dengan pertimbangannya.

Majelis Hakim dalam mempertimbangkan mengenai besarnya nafkah yang harus

diberikan oleh Pemohon kepada Termohon, sesuai dengan pasal 160 Kompilasi

Hukum Islam, harus disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

Misalnya dengan melalui pertimbangan jenis pekerjaan Pemohon, penghasilan

bersih setiap bulannya, dan waktu mereka hidup bersama dalam rumah tangga.

Selain itu, hakim dalam memutuskan perkara yang diputus secara ex

officio juga melihat pada permasalahan yang terjadi, kerelaan dari pihak

Termohon, dan jenis nafkah yang pantas diberikan kepada Termohon.

Menurut Penulis, Hakim Pengadilan Agama Bengkulu dalam menerapkan

Hak ex officio mengutamakan skala prioritas pada asas keadilan. Hal tersebut

berdasarkan pertimbangan hakim bahwa meski tanpa adanya tuntutan dari isteri,

karena tidak hadirnya termohon didalam persidangan atau verstek maka otomatis

dalam putusan tersebut tidak ada tuntutan. Tetapi permasalahannya adalah ketika

gugatan dari suami terbukti dan dikabulkan oleh hakim, dan ketika hakim

mengabulkan tanpa adanya tuntutan apapun dari pihak istri, maka hakim dalam

memutuskannya dirasa kurang adil tanpa mengabulkan atau memberikan hak yang

dimiliki oleh isteri.


46
47

BAB IV

PENGABULAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH PADA PUTUSAN

VERSTEK NOMOR PERKARA 0051/PDT.G/2019/PA.BN DI

PENGADILAN AGAMA BENGKULU KELAS 1A DALAM

KETENTUAN HUKUM ISLAM YANG BERLAKU

A. Al-Quran

1. Al-Quran

Firman Allah Swt dalam surat At-Thalaq ayat 7 yang kurang lebih

memiliki arti:

Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah

memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah

tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa

yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan

kelapangan sesudah kesempitan” (Q.s At- Thalaq:7).

Maksud ayat diatas adalah pemberian nafkah suami kepada istri dan

anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya. Jika suami kurang mampu,

maka ia dapat memberikan nafkah kepada istri dan anaknyaseadanya sesuai

dengan kemampuannya. Oleh karena itu, hakim dalam memutuskan hak

nafkah kepada istri dan anak harus melihat kesanggupan suami yang dapat

dilihat dari hasil usaha atau pekerjaan suami. Hakim Pengadilan Agama
48

Bengkulu Kelas 1A dalam menerapkan hak ex officio sudah sesuai dengan

ayat tersebut, karena dapat dilihat ketika suami menyanggupi hanya sekian

hakim akan menerimanya, tetapi ketika suami memberikan nafkah kecil atau

tidak sesuai dengan hasil usaha atau pekerjaannya dengan dibuktikan slip gaji

maka hakim akan mempertimbangkannya lagi.

Mengenai ketentuan mut‟ah, nafkah iddah terdapat dalam firman

Allah Swt yang lebih kurang memiliki arti berikut:

Artinya:“Tidak ada sesuatu apapun (mahar) atas kamu jika kamu

menceraikan istri-istrimu, sebelum kamu bercampur dengan mereka

dan sebelum kamu menetukan maharnya. Dan hendaklah kamu

berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang

mampu menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut

yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-

orang yang berbuat kebajikan”.(Q.s Al-Baqarah : 236)

Artinya: “jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur

dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan

maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu

tentukan itu, kecuali jika istri- istrimu itu memaafkan atau

dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan

kamu itu lebih dekat dengan takwa. Dan janganlah kamu melupakan

keutamaan diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha melihat apa

yang kamu kerjakan”. (Q.s Al- Baqarah:237)


49

B. Tinjauan Syariat Islam

Syariat adalah keadilan dan seluruhnya merupakan rahmat,

kebijaksanaan, dan kemaslahatan bagi umat secara keseluruhan. Oleh karena

itu, setiap maslahat yang keluar dari garis keadilan kepada kerusakan, dan

dari kebijaksanaan kepada kesia-siaan, semuanya tidaklah termasuk dalam

syariatwalaupun dimasukkan kedalamnya segala macam dalil. Penggunaan

kepentingan umum atau kemaslahatan ini merupakan salah satu sumber

yurisprudensi hukum Islam dan merupakan alternatif dalam menghadapi

perkembangan hukumIslam.

Kepastian perceraian yang dilakukan didepan Pengadilan tidak saja

dipandang sebagai aturan hukum negara, tetapi juga hukum syarak karena

bersesuaian, saling mendukung, dan menunjukkan tata cara yang benar dalam

pelaksanaan perceraian menurut syariat Islam. Perceraian di Pengadilan

merupakan salah satu praktek syariat yang benar, dan sekaligus dapat

menggugurkan kebiasaan-kebiasaan talak yang tidak sesuai dengan nash,

yakni hanya berpikir tentang cerai tanpa memikirkan dampak negatifnya

secara menyeluruh.44Putusan hakim Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1A

dalam perkara cerai talak seperti pada putusan Nomor:

0051/Pdt.G/2019/PA.Bn merupakan sebuah kasus perceraian (cerai talak)

yang didalamnya hakim telah menggunakan hak ex officio. Penggunaan hak

ex officio yang dalam putusannya hakim menghukum suami untuk

memberikan nafkah iddah, dan mut‟ah walaupun tidak diminta oleh istri

44
Ahmad Fanani, Hak Ex Officio Hakim: Studi Kasus Perceraian di Pengadilan Agama
Sidoarjo No. 3513 Th.2015, Jurnal Tsaqafah Vol. 13, No.2, November 2017, hal.350
50

atau Termohon merupakan bentuk implementasi dari prinsip-prinsip syariat

Islam yang mengatur bahwa suami berkewajiban untuk memberi nafkah

kepada mantan isteri setelah terjadi ceraitalak.

Pertimbangan hakim dalam menerapkan hak ex officio terhadap hak

isteri dan anak dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama Bengkulu

Kelas 1A sudah sesuai dengan tujuan syariat bahwa kemudharatan itu harus

dihilangkan. Seperti dalam Qawaid Fiqhiyyah yang memiliki arti : Madharat

itu harus dihilangkan45

Adapun maksud dari kaidah tersebut adalah apabila hak-hak isteri dan

anak tidak diberikan akan menimbukan kemudharatan-kemudharatan yang

dapat mengancam jiwa keduanya.

Putusan-putusan di atas hakim menjelaskan bahwa tujuan

diterapkannya hak ex officio itu adalah untuk mengembalikan hak-hak

isteri dan anak serta mewujudkan rasa keadilan, sehingga dengan hal

tersebut tidak menimbulkan kemudharatan bagi keduanya.

C. Pendapat Ulama

Ketentuan dalam kitab Bughyatul Musytarsidin halaman 214:

Artinya: “wajib diberi mut’ah istri yang diceraikan dalam keadaan telah

dicampuri (ba’da dukhul) apabila diceraikan dengan talak ba’in maupun

raj’i”.

Ketentuan dalam kitab Syarqawi „alat Tahrir juz IV halaman 139 :

Artinya:“Dan wajib nafkah untuk perempuan dalam iddah, jika ada dalam
45
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Basscom Multimedia Grafika,jakarta,
2015, hal.75
51

talak raj’i, karena perempuan tersebut masih menjadi tanggungan dan masih

dalam kekuasaan bekas suaminya”.

Hadis tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam

menentukan nafkah kepada isteri seperti yang tertuang dalam putusan cerai

talak Nomor 0051/Pdt.G/2019/PA.Bn bahwa mengenai kewajiban mut‟ahdan

iddahdalam norma hukum Islam ketentuan dalam kitab Bughyatul

Musytarsidin dan kitab Syarqawi alatTahrir.

Imam Syafi’i menuturkan dalam Al-Ummu, “Jika Suami menalak

isterinya dan ia masih memiliki kuasa untuk merujuk, ia berkewajiban

memberi nafkah pada isteri selama masa iddah. Sebab yang menghalangi

isterinya berstatus halal dicampuri dan diajak bersenang-senang adalah

dirinya sendiri. 46

Para fuqaha empat mazhab berbeda pendapat tentang mut’ah47

- Malik berpendapat bahwa mut’ah hanya disuantkan, tidak diwajibkan

- Abu Hanifah berpendapt bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap wanita

yang dicerai sebelum digauli, sedangkan suami belum menentukan

maskawin untuknya.

- Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap isteri yang

dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak suami, kecuali

isteri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan belum digauli.

- Hanbali berpendapat bahwa mut’ah wajib bagi isteri yang dicerai.

Pada putusan perkaraNomor: 0051Pdt.G/2019/PA.Bn tidak ada


46
Syaikh Husain bin’Audah, Ensiklopedia Fiqih Praktis, hlm.184
47
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, Analisa Fiqih Mujtahid, Pustaka Amani,
Jakarta, 2007,hlm.622
52

tuntutan apapun dari pihak Termohon sebagai bekas istrinya, maka untuk

melindungi hak

istriHakimsecaraexofficioakanmenghukumPemohonuntukmembayarnafk

ahberupamut‟ahsebesarRp.1.000.000,- dan nafkah iddah sebesar

Rp.6.000.000,-. Maka hal tersebut tidak dipermasalahkan oleh

Termohon.

Berdasarkan Pada putusan-putusan hakim di Pengadilan Agama

Bengkulu tahun 2019 yang diputus secara ex officio untuk menghukum

suami untuk wajib

membayarnafkahiddahkebanyakankarenatalakraj‟i,maka sesuai dengan

pendapat para Fuqaha yang sepakat bahwa wajib mendapatkan nafkah

dan tempat tinggal. Namun di dalam praktiknya, hakim

PengadilanAgama Bengkulu memutuskan nafkah iddah dengan

menghukum suami membayar sesuai dengan pertimbangan Majelis

Hakim yaitu dengan sejumlah uang tanpa disertai dengan tempat tinggal.

Karena dengan melaui pemberian uang akan lebih mudah diberikan

dibandingkan denga benda atau yang lainnya.

Begitupundenganmut‟ah,hakimdalammenetapkanmut‟ah kepada isteri

mengenai besarannya tidak mengacu pada pendapat Imam Syafi‟i (qaul

jadid), tetapi sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan suami yang

dinilai oleh hakim layak dan patut (pasal 160 KHI). Hakim dalam

menerapkan hak exofficiohanya terbatas pada 3 hal yaitu mut‟ah, nafkah

iddah, dan nafkah anak. Selain itu terkait nafkah madhiyah biasanya
53

diterapkan ketika ada rekonvensi (tuntutan) dari termohon saja.


54

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahsan dan analisis pada bab sebelumnya

terhadap permaslahan yang diteliti, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan sebagai berikut :

1. Putusan hakim terhadap perkara cerai talak dengan nomor perkara

0051/pdt.G/2019/Pa.Bn di Pengadilan Agama Bengkulu telah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pengabulan nafkah iddah dan mut’ah pada

perkara cerai talak oleh hakim di Pengadilan Agama Bengkulu

tersebut sudah sesuai dengan syariat hukum islam.

B. Saran

1. Penulis menyarankan

bagi lembaga peradilan khususnya Peradilan Agama, melalui hakim

agar menghasilkan produk hukum yang yang berkualitas yaitu suatu

produk hukum yang memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar

keadilan prosedural, tetapi juga harus mampu menggali keinginan

masyarakat dan memiliki komitmen tercapainya keadilan serta

memenuhi unsur kepastian hukum, keadilan dan manfaat bagi banyak

orang.

2. Diharapkan kedepanya
55

agar hukum acara Pengadilan Agama terutama mengenai putusan

verstek dapat di atur lebih baik lagi, dan juga putusan verstek yang

saat ini masih diatur dalam HIR dan RB,g harus dilakukan unifikasi

dan kodifikasi hukum agar dapat diatur lebih jelas dalam Undang-

undang.
56

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, CV Penerbit
Diponegoro, Bandung, 2015.

BUKU
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Basscom Multimedia
Grafika,jakarta, 2015

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan


Sosiologis), Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002.

Ahmad Fanani, Hak Ex Officio Hakim: Studi Kasus Perceraian di


Pengadilan Agama Sidoarjo No. 3513 Th.2015, Jurnal Tsaqafah Vol.
13, No.2, November 2017

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia PT Raja


Grafindo,Jakarta, 2005.

Bambang Sugeng A.S. dan sujayiadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen
Litigasi Perkara Perdata, Kencana, Jakarta, 2011.

Budi Susilo, Prosedur Guagtan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2002

Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari : Memahami dan Memahami


Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, Analisa Fiqih Mujtahid, Pustaka


Amani, Jakarta, 2007

Iskandar. Dkk,Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum (S1),


Bengkulu, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2018.

Kansil C.S.T, Christine, S.T Kansil, Engeliieb R, Palandeng dan Godlieb N


Mamahit, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009, hlm. 385.

Lilik Mulyadi, Putusan Hkim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia ,


Teori, Praktik Membuat Dan Permaslahanya, Citara Aditya Bakti,
Bandung, 2009, hlm 164
57

M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Aagma dan


Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005

Moch dan Isnael, Hukum Perkawina Indonesia, Refika Aditama, Bandung,


2016.

Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta,


2013.

Mukti Arto, praktek perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,


2004.

Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 2008.

Said Sampara dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta, 2011

Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Teori Dan


Praktiknya Di Indonesia, CV. Mondar Maju, Bandung, 2016

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta,2005.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,


Yogyakarta, 2009.

Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, Prenada Media Group,
Jakarta, 2015

Syaikh Husain bin’Audah, Ensiklopedia Fiqih Praktis.

Yahya Harahap M, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

_______________, Kedudukan dan Kewenangan Acara Peradilan Agama


UU. No. 7 th. 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

_______________, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan


Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
58

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perubahan Tahun 2019 Tentang


Perkawinan

Undang-undang Nomor 7 Tahun sebagaimana telah diubah terahir dengan


Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974

Instruksi Presiden R.I Nomor 1Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam,


Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Tahun 2000

Putusan Mahkamah Agung Nomor 140K/Sip/1971.

Kamus

Kamus Besar Indonesia, https://kbbi.kedikbud.go.id/ Tanggal 3 Oktober


Tahun 2019.

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Hidakarya Agung, Jakarta,


hlm.409

Anda mungkin juga menyukai