Anda di halaman 1dari 40

CRITICAL JOURNAL

Diajukan untuk memenuhi tugas dasar epidemiologi

Dosen Pengampuh : Yulia Khairina Ashar SKM,MKM

OLEH:

KHAIRUL UMAM PRAYOGI (0801183485)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN 2019/2020

JURNAL I ( Cross Sectional )


ISSN 1978 - 1059
Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2014, 9(1): 1—6

HUBUNGAN ASUPAN GIZI DAN TINGGI BADAN IBU


DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA

(Correlation of Nutrients Intake and Maternal Height with Nutritional Status


in Children Under Five Years Old)

Farida Hanum1*, Ali Khomsan1, dan Yayat Heryatno1

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
1

ABSTRACT

The objectives of this study were to analyze relationship of maternal height, nutrients intake and
nutritional status in children under five years. The study design used was cross-sectional study with 90
children as subjects that consisted of 47 stunting children and 43 normal children. This study showed that
short mothers (height <150 cm) were more prevalent in stunting children (74.5%) compared to normal
children (60.5%). Energy and protein adequacy level of stunting and normal children were relatively severe
deficient. There were no significant relationship between maternal height and energy adequacy level with
nutritional status. However, there was a negative relationship between protein adequacy level with
nutritional status (p<0.05; r=-0.223).

Keywords: children under five years, maternal height, nutrients intake, nutritional status

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan tinggi badan ibu, asupan gizi dan status gizi anak balita. Desain
penelitian yang digunakan adalah cross sectional study dengan subjek sebanyak 90 anak terdiri dari 47 anak
stunting dan 43 anak normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang pendek (TB<150 cm) lebih banyak
terdapat pada anak stunting (74.5%) dibandingkan anak normal (60.5%). Tingkat kecukupan energi dan protein
anak stunting maupun anak normal masih tergolong defisit berat. Hasil uji korelasi Pearson diketahui bahwa tidak
ada hubungan signifikan antara tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan energi dengan status gizi. Namun,
terdapat hubungan negatif antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (p<0.05, r=-0.223).

Kata kunci: anak balita, asupan gizi, status gizi, tinggi badan ibu

Korespondensi: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor,
*

Bogor 16680. Email: farida_hanum28@ymail.com

JGP, Volume 9, Nomor 1, Maret 2014 1


Hanum dkk.

PENDAHULUAN Desa Batulawang, Kecamatan Cipanas, Kabupaten


Cianjur. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara
Stunting adalah masalah gizi utama yang masih purposive atas pertimbangan memiliki prevalensi
banyak terjadi di Indonesia. Data Riset Ke-sehatan kurang gizi kronis yang tinggi. Penelitian dilaksana-
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi kan bulan Desember 2013—Febuari 2014.
nasional anak balita pendek (stunted) dan anak balita
sangat pendek (severe stunted) ber-dasarkan indeks Jumlah dan Cara Penarikan Subjek
tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 37.2% Populasi adalah seluruh anak usia dibawah
(terdiri dari 18.0% sangat pendek dan 19.2% pendek). lima tahun (balita) di wilayah Kabupaten Cianjur,
Hasil ini memperlihatkan bahwa lebih dari sepertiga responden penelitian yaitu ibu dari anak balita
anak balita Indonesia adalah stunting. Sementara yang menjadi subjek. Pemilihan subjek penelitian
prevalensi anak balita stunted di Jawa Barat tahun dilakukan secara purposive berdasarkan atas per-
2010 sebesar 33.6%. timbangan memiliki prevalensi kurang gizi kronis
Stunting sangat berdampak pada kehidupan yang tinggi diantara kecamatan yang lain. Lima po-
sosial dan ekonomi masyarakat karena sangat ber- syandu di Desa Batulawang dipilih secara purposive
hubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan berdasarkan kepemilikan kelengkapan data yang
kemampuan anak. Penelitian Hizni et al. (2009) paling baik. Pada masing-masing posyandu diambil
menemukan bahwa stunting pada anak balita ber- secara random, sehingga jumlah subjek minimal
hubungan signifikan dengan perkembangan kemam- yang diperoleh adalah 90 anak, terdiri dari 47 anak
puan berbahasa. Walker et al. (2005) menyatakan stunting dan 43 anak normal. Anak balita yang
stunting dapat menyebabkan gangguan perkem- dipi-lih menjadi subjek adalah anak yang termasuk
bangan kognitif. Hal ini juga dibuktikan dalam pe- ke dalam kriteria inklusi. Kriteria inklusi subjek
nelitian Solihin et al. (2013) di Bogor bahwa secara yang digunakan adalah anak usia balita (6—59
signifikan penurunan skor tes kognitif berhubungan bulan), tinggal bersama ibu kandung, tinggal di
dengan status gizi (TB/U) balita. dalam area penelitian, tercatat di posyandu, serta
Berbagai faktor dapat memengaruhi terjadi- ibu bersedia dijadikan responden.
nya stunting. Status gizi orangtua, terutama sta-
tus gizi ibu sangat berkaitan dengan kejadian anak Jenis dan Cara Pengumpulan Data
pendek. Penelitian Zottarelli et al. (2007) di Mesir Variabel-variabel yang diteliti meliputi sosial
menunjukkan bahwa tinggi badan ibu <150 cm cen- ekonomi keluarga (pendapatan per kapita dan be-sar
derung memiliki anak yang stunting. keluarga), karakteristik anak balita (usia, jenis
Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, ba- kelamin, dan tinggi badan), karakteristik ibu (tinggi
lita adalah periode emas dalam kehidupan anak yang badan, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan gizi)
dicirikan oleh pertumbuhan dan perkembangan ber- dan asupan gizi (asupan energi dan protein) anak.
langsung pesat serta rentan terhadap kekurangan gizi. Pengumpulan data tersebut dilakukan mela-lui
Berdasarkan penelitian Ramli et al. (2009) yang wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran
dilakukan di Provinsi Maluku, prevalensi stunting anak antropometri dan food recall 1x24 jam. Penggunaan
usia 12—59 bulan adalah 38.4% sedangkan un-tuk anak food recall 24 jam selama satu hari berdasarkan atas
usia 6—11 bulan prevalensi stunting adalah 29%. Anak pertimbangan pelaksanaan penelitian yang dilakukan
usia balita membutuhkan asupan gizi per kilogram di wilayah perdesaan sehingga keragam-an pangan
berat badan relatif lebih banyak dan me-madai yang dikonsumsi masyarakat cenderung sama setiap
dibandingkan usia lain guna mendukung opti-malnya hari.
pertumbuhan. Berdasarkan uraian tersebut di atas,
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan Pengolahan dan Analisis Data
tinggi badan ibu, asupan gizi, dan status gizi anak Tinggi badan ibu dikelompokkan menjadi ibu
balita. pendek (<150 cm) dan ibu normal (≥150 cm) (Zottarel-li
et al. 2007). Pengetahuan gizi ibu diukur menggu-nakan
METODE 10 pertanyaan tentang gizi dan makanan, gizi dan
pertumbuhan, serta gizi dan perkembangan. Penilaian
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian pengetahuan gizi ibu diketegorikan men-jadi tiga, yaitu
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari pengetahuan gizi ibu baik bila total nilai >80%, sedang
penelitian payung yang berjudul “Masalah dan Solusi bila 60—80% dan kurang bila <60% dari 10 pertanyaan
Stunting Akibat Kurang Gizi Kronis di Wilayah (Khomsan et al. 2013). Konsumsi pangan anak balita
Perdesaan”. Penelitian payung tersebut dilakukan yang diketahui dari metode Food Recall 1x24 jam
oleh tim peneliti yaitu Faisal Anwar, Ali Khomsan, dihitung tingkat kecukupan energi dan proteinnya.
Anna Vipta Resti Mauludyani dan Karina Rahma-dia Tingkat kecukupan energi dan pro-tein dikategorikan
Ekawidyani. Desain penelitian yang digunakan adalah menjadi normal (90—119% AKG), defisit tingkat ringan
cross sectional study. Lokasi penelitian di (80—89% AKG), defisit tingkat

2 JGP, Volume 9, Nomor 1, Maret 2014


Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi Balita

sedang (70—79% AKG) dan defisit tingkat berat (<70% Proporsi laki-laki dan perempuan secara ke-
AKG). Status gizi anak balita dinilai berdasarkan in- seluruhan tidak jauh berbeda, dengan lebih dari
deks tinggi badan terhadap umur menurut standar separuh anak (51.1%) adalah perempuan. Anak
baku WHO-NCHS adalah pendek (z-skor <-2.0) dan stunting lebih banyak berjenis kelamin laki-laki
normal (z-skor ≥-2.0) (Depkes 2013). (55.3%). Sebaliknya anak normal lebih banyak ada-
Pengolahan data meliputi editing, cleaning, lah perempuan (58.1%) (Tabel 1). Beberapa pene-
dan analisis data menggunakan Microsoft Excel litian seperti Teshome et al. (2009) dan Malla &
2010 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Sebelum Shrestha (2004) menunjukkan bahwa anak laki-laki
analisis dilakukan, uji normalitas dilakukan lebih mudah mengalami malnutrisi dibandingkan
menggunakan Kolmogorov-Smirnov test. Uji anak perempuan. Kondisi ini dapat terjadi karena
statistik yang diguna-kan adalah uji korelasi adanya perbedaan praktik makan yang diberikan
Pearson untuk menganalisis hubungan antara tinggi oleh orangtua.
badan ibu, tingkat kecu-kupan energi dan protein
dengan status gizi (TB/U) anak balita. Karakteristik Ibu
Sebagian besar ibu anak (67.8%) tergolong
HASIL DAN PEMBAHASAN pendek. Anak stunting (74.5%) lebih banyak memi-liki
ibu yang pendek daripada anak normal (60.5%) (Tabel
Karakteristik Anak Balita
2). Black et al. (2008) menjelaskan status gizi yang
Subjek penelitian ini berumur 6—59 bulan. buruk dan tinggi badan ibu yang pendek dapat
Secara keseluruhan, proporsi umur anak tersebar meningkatkan risiko kegagalan pertumbuhan
hampir merata dengan terbanyak pada umur 48—59 intrauterine. Pertumbuhan janin kurang memadai
bulan (22.2%). Tabel 1 menunjukkan anak stunting selama dalam kandungan akan berdampak pada
lebih banyak berumur 48—59 bulan (29.8%) sedang- pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih
kan anak normal lebih banyak berumur 6—11 bulan rendah. Jika dilihat dari pendidikan ibu, sebagian
(37.2%). Hal ini mengindikasikan bertambahnya umur besar ibu anak secara keseluruhan masih memiliki
anak, maka akan semakin jauh dari pertum-buhan tingkat pendidikan formal yang rendah yaitu Seko-lah
linier normal. Kondisi ini diduga disebabkan oleh Dasar (SD). Anak stunting (70.2%) lebih sedikit
semakin tinggi usia anak maka kebutuhan e-nergi dan memiliki ibu yang pendidikan SD daripada anak
zat gizi juga semakin meningkat. Pertum-buhan anak normal (79.1%). Penelitian Semba et al. (2008) me-
semakin menyimpang dari normal de-ngan laporkan bahwa tingkat pendidikan ibu secara sig-
bertambahnya umur jika penyediaan makanan nifikan berkaitan dengan status gizi anak. Ibu yang
(kuantitas maupun kualitas) tidak memadai. Pene- memiliki pendidikan tinggi akan berdampak pada pola
litian Zottarelli et al . (2007) di Mesir melaporkan asuh yang diberikan kepada anak. Peningkatan
bahwa anak stunting lebih banyak pada umur ≥12 pendidikan ibu secara signifikan berkaitan dengan
bulan dibandingkan <12 bulan. Ramli et al. (2009) penurunan kejadian stunting pada anak balita. Ber-
yang melakukan penelitian di provinsi Maluku juga dasarkan pekerjaan ibu, sebagian besar ibu anak tidak
menunjukkan bahwa peningkatan usia anak secara bekerja (79.0%). Ibu yang bekerja lebih ba-nyak pada
statistik berkaitan dengan kejadian stunting anak anak stunting (23.4%) dibandingkan anak normal
umur 0—59 bulan. (18.6%). Mamabolo et al. (2005) menyatakan ibu yang
bekerja erat kaitannya dengan pemberian pola asuh
Tabel 1. Sebaran Karakteristik dan Status Gizi anak. Kejadian stunting anak mengalami peningkatan
Anak Balita pada ibu yang bekerja. Ibu yang banyak bekerja di
luar rumah akan semakin sedikit mem-berikan
Karakteristik Stunting Normal Total
perhatian kepada anak dibandingkan ibu ru-mah
Anak n % n % n %
tangga atau tidak bekerja.
Umur: Berdasarkan rata-rata skor pengetahuan gizi,
6—11 bulan 2 4.3 16 37.2 18 20.0 ibu anak stunting cenderung lebih baik daripada
12—23 bulan 9 19.2 9 20.8 18 20.0 ibu anak normal. Kondisi ini diduga karena ibu anak
24—35 bulan 12 25.4 6 14 18 20.0 stunting (6.9±2.4 tahun) memiliki rata-rata lama
36—47 bulan 10 21.3 6 14 16 17.8 pendidikan relatif lebih tinggi daripada ibu anak
48—59 bulan
14 29.8 6 14 20 22.2 normal (6.1±1.8 tahun). Akan tetapi, tingkat
47 100 43 100 90 100 penge-tahuan gizi yang baik lebih banyak dimiliki
Total oleh ibu anak normal (39.5%) dibandingkan ibu
Rata-rata ± SD 37±14.5 24±16.3 30.5±16.6 anak stunting (38.3%).
Jenis Kelamin:
Laki-laki 26 55.3 18 41.9 44 48.9 Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Perempuan 21 44.7 25 58.1 46 51.1 Berdasarkan tingkat kecukupan energi, se-
Total 47 100 43 100 90 100 Cara keseluruhan sebagian besar anak(62.2%)

3
JGP, Volume 9, Nomor 1, Maret 2014
Hanum dkk.

Tabel 2. Sebaran Karakteristik Ibu dan Status Gizi Anak Balita


Stunting Normal Total
Karakteristik Ibu
n % n % n %
Tinggi Badan:
Pendek (<150 cm) 35 74.5 17 60.5 61 67.8
Normal (≥150 cm) 12 25.5 26 39.5 29 32.2
Rata-rata ± SD 147.6±3.6 149.3±5.7 148.4±4.8
Pendidikan:
Tidak sekolah 0 0 1 2.3 1 1.1
SD 33 70.2 34 79.1 67 74.5
SMP 10 21.3 8 18.6 18 20.0
SMA 3 6.4 0 0 3 3.3
PT 1 2.1 0 0 1 1.1
Pekerjaan:
Tidak bekerja 36 76.6 35 81.4 71 79.0
Buruh tani/kebun 5 10.6 5 11.6 10 11.1
Buruh lainnya 1 2.1 0 0.0 1 1.1
Pedagang 3 6.5 0 0.0 3 3.3
Petani 1 2.1 0 0.0 1 1.1
Wiraswasta 0 0 2 2.2 2 2.2
Guru TK 1 2.1 1 1.1 2 2.2
Pengetahuan gizi:
Kurang (<60%) 3 6.4 7 16.3 10 11.1
Sedang (60—80%) 26 55.3 19 44.2 45 50.0
Baik (>80%) 18 38.3 17 39.5 35 38.9
Rata-rata ± SD 79.2±14.4 78.6±17.9 78.9±16.2

berada pada kondisi defisit berat. Anak normal Tabel 3. Sebaran Tingkat Kecukupan Energi dan
cenderung memiliki tingkat kecukupan energi lebih Status Gizi Anak Balita
tinggi dibandingkan anak stunting. Tingkat
kecukupan energi yang defisit berat lebih banyak Tingkat Stunting Normal Total
dimiliki oleh anak stunting (63.8%) daripada anak Kecukupan N % n % N %
normal (60.5%) (Tabel 3). Energi:
Hasil yang sama juga terdapat pada tingkat Defisit berat 30 63.8 26 60.5 56 62.2
kecukupan protein anak yang lebih dari separuh Defisit sedang 6 12.8 3 7.0 9 10.0
(53.3%) juga tergolong defisit berat. Namun, anak Defisit ringan 3 6.4 3 7.0 6 6.7
stunting cenderung memiliki tingkat kecukupan pro- Normal 6 12.8 8 18.5 14 15.6
tein lebih tinggi dibandingkan anak normal. Tingkat Kelebihan 2 4.2 3 7.0 5 5.6
kecukupan protein yang defisit berat lebih banyak Total 47 100 43 100 90 100
terdapat pada anak normal (55.8%) daripada anak Rata-rata±SD 60.9±26.9 63.3±41.8 62.0±34.7
stunting (51.1%). Hal ini diduga karena anak stunt-ing Protein:
lebih banyak berusia diatas satu tahun sehingga
Defisit berat 24 51.1 24 55.8 48 53.3
konsumsi anak lebih banyak dan beragam termasuk
Defisit sedang 3 6.4 4 9.3 7 7.8
pangan sumber protein, sedangkan anak normal ba- Defisit ringan 10 21.3 4 9.3 14 15.6
nyak berusia kurang dari 1 tahun sehingga konsumsi Normal 6 12.8 5 11.6 11 12.2
anak cenderung hanya MP-ASI dengan konsumsi pa- Kelebihan 4 8.4 6 14.0 10 11.1
ngan sumber protein lebih rendah (Tabel 3). Total 47 100 43 100 90 100
Rata-rata±SD 70.2±44.8 66.2±46.5 68.3±45.4
Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi
(TB/U) diduga karena ibu pendek akibat patologis atau
Hasil uji korelasi Pearson tidak ada hubung- kekurangan zat gizi bukan karena kelainan gen da-lam
an yang signifikan (p>0.05, r=0.562) antara tinggi kromosom. Mamabolo et al. (2005) menjelas-kan
badan ibu dengan status gizi (TB/U) anak. Hal ini bahwa orangtua yang pendek karena gen dalam
4 JGP, Volume 9, Nomor 1, Maret 2014
kromosom yang membawa sifat pendek kemung-kinan
besar akan menurunkan sifat pendek terse-but vei oleh Solihin et al. (2013) yang menunjukkan
kepada anaknya. Apabila sifat pendek orangtua adanya hubungan signifikan positif antara tingkat
disebabkan masalah gizi maupun patologis, maka sifat kecukupan protein dengan status gizi anak balita.
pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada Setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan
anaknya. Penelitian ini tidak meneliti faktor-faktor protein balita, akan menambah z-skor TB/U balita
yang memengaruhi tinggi badan ibu sehingga tidak sebesar 0.024 satuan. Penelitian yang dilakukan oleh
dapat dibedakan apakah tinggi badan ibu saat ini Anindita pada tahun 2012 di Semarang juga menun-
merupakan pengaruh genetik atau karena pengaruh jukkan bahwa tingkat kecukupan protein secara sig-
patologis maupun malnutrisi. Hasil penelitian ini se- nifikan berhubungan dengan status gizi balita. Hasil
suai dengan penelitian Kusuma dan Nuryanto (2013) penelitian ini juga menjelaskan jika protein dikait-
bahwa tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan kan dengan tinggi badan anak, ada anak-anak yang
status gizi anak balita. Namun bertentangan dengan mempunyai tinggi badan normal yang mengalami
penelitian Solihin et al. (2013), Semba et al. (2008), defisiensi protein. Bahkan sebaliknya anak-anak yang
dan Zottarelli et al. (2007) yang menyatakan bah-wa tinggi badannya pendek ternyata saat ini mem-punyai
tinggi badan ibu berhubungan signifikan dengan status asupan protein yang baik. Konsumsi protein tidak
gizi (TB/U) anak balita. Kejadian anak stunt-ing secara langsung berkaitan dengan tinggi badan akan
mengalami peningkatan pada ibu yang memiliki tetapi tinggi badan merupakan gambaran asu-pan
TB<150 cm. pangan pada masa lampau.

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Sta- KESIMPULAN


tus Gizi (TB/U)
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
ada hubungan signifikan antara tingkat kecukupan tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan e-nergi
energi dengan status gizi balita (p>0.05; r=-0.123). dengan status gizi. Namun, terdapat hubung-an
Hal ini diduga karena tingkat kecukupan energi yang negatif antara tingkat kecukupan protein de-ngan
diperoleh hanya menggambarkan keadaan konsumsi status gizi anak balita. Sosial ekonomi keluarga
anak sekarang, sementara status gizi anak sekarang antara anak stunting dan normal tidak jauh berbeda.
merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terda- Tingkat kecukupan energi dan protein anak normal
hulu, sehingga konsumsi hanya pada hari tertentu masih tergolong defisit berat. Kondisi ini membuat
tidak langsung memengaruhi status gizinya. perlu dilakukan intervensi terutama berupa pe-
Hasil penelitian ini bertentangan dengan pe- ningkatan konsumsi kepada anak normal yang umur
nelitian Solihin et al. (2013) di Kabupaten Bogor mereka lebih muda dibandingkan anak stunting agar
yang melaporkan bahwa tingkat kecukupan energi tidak menjadi stunting kedepannya.
balita berhubungan positif dengan status gizi balita
secara signifikan. Makin tinggi tingkat kecukupan UCAPAN TERIMA KASIH
energi, semakin baik status gizi balita. Setiap pe-
nambahan satu persen tingkat kecukupan energi Ucapan terima kasih penulis sampaikan
balita, akan menambah z-skor TB/U balita sebesar kepa-da Prof. Dr. Ir Faisal Anwar, MS dan peneliti
0.032 satuan. lainnya yang telah mengizinkan menggunakan data
studi Masalah dan Solusi Stunting Akibat Gizi Kronis
Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan di Wilayah Perdesaan.
Sta-tus Gizi (TB/U)
Berdasarkan uji korelasi Pearson terdapat DAFTAR PUSTAKA
hubungan negatif antara kecukupan protein de-ngan
status gizi balita (p<0.05; r=-0.223). Hasil ini diduga Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gra-
karena penggunaan protein tersebut belum memadai media Pustaka Utama, Jakarta.
dan efisien untuk proses pertumbuhan li-nier. Anindita P. 2012. Hubungan tingkat pendidikan ibu,
Almatsier (2004) menjelaskan gangguan gizi termasuk pendapatan keluarga, kecukupan protein &
stunting disebabkan oleh faktor primer dan sekunder. zinc dengan stunting (pendek) pada balita
Faktor primer terjadi karena kurang-nya konsumsi usia 6—35 bulan di Kecamatan Tembalang
makanan secara kuantitas maupun kualitas. Faktor Kota Se-marang. Jurnal kesehatan
sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat- masyarakat, 1(2), 617—626.
zat gizi yang telah dikonsumsi tidak sampai ke dalam Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de
sel tubuh, misalnya penyakit infeksi, namun pada Onis M, Ezzati M, Mathers C, River J. 2008.
penelitian ini tidak dilakukan. Mater-nal and child undernutrition: Global
Terdapat penelitian lain yang tidak sejalan and re-gional exposures and health
dengan hasil penelitian ini seperti penelitian sur- consequences. Lancet, 371, 243—260.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2013. RISKESDAS
JGP, Volume 9, Nomor 1, Maret 2014
5
Hanum dkk.

Indonesia Tahun 2013. Departemen fives in North Maluku Province of Indonesia.


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Biomed Central (BMC) Pediatrics, 9, 64.
Hizni A, Julia M, & Gamayanti IL. 2009. Stunted sta- Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, &
tus and its relationship with development of Bloem MW. 2008. Effect of parental formal
children underfive in northern beach area of education on risk of child stunting in Indone-
Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Jur- sia and Bangladesh: a cross-sectional study.
nal Gizi Klinik Indonesia, 6(3), 131—137. Lancet, 371, 322—328.
Khomsan A. Faisal A, Neti H, Nani S, & Oktarina. Solihin RDM, Anwar F, & Sukandar D. 2013. Kaitan
2013. Tumbuh Kembang dan Pola Asuh Anak. antara status gizi, perkembangan kognitif,
IPB Press, Bogor. dan perkembangan motorik pada anak usia
Kusuma KE & Nuryanto. 2013. Faktor risiko kejadian prasekolah. Jurnal Penelitian Gizi dan
stunting pada anak usia 2-3 tahun (studi di Makan-an, 36 (1), 62—72.
Ke-camatan Semarang Timur). Journal of Teshome B, Kogi-Makau W, Getahun Z, & Taye G.
Nutri-tion College, 2(4), 523—530. 2009. Magnitude and determinants of stunting
Malla S & Shrestha SM. 2004. Complementary feeding in children underfive years of age in food sur-
practices and its impact on nutritional status of plus region of Ethiopia: The case of West Go-
under two old children in urban areas of the jam Zone. Ethiop. J. Health, 23(2), 98—106.
Kathmandu, Nepal. Journal of Nepal Health Walker SP, Chang SM, Powell CA, & McGregor SM.
Research Council, 2(1), 1—4. 2005. Effects of early childhood psychosocial
Mamabolo RL, Alberts M, Steyn NP, re-van de Wall stimulation and nutritional supplementation
HAD, & Levitt NS. 2005. Prevalence and deter- on cognition and education in growth stunted
minants of stunting and overweight in 3-year- Jamaican children: prospective cohort study.
old black South African children residing in the Lancet, 366, 1804—1807.
Central Region of Limpopo Province, South Af- Zottarelli LK, Sunil TS, & Rajaram S. 2007.
rica. Public Health Nutrition, 8(5), 501—508. Influence of parenteral and socio economic
Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, & Dib- factors on stunting in children under 5 years
ley MJ. 2009. Prevalence and risk factors for in Egypt. La Revue de Santela de la
stunting and severe stunting among under- Mediterranee Orien-tale, 13(6), 1330—1342.
6 JGP, Volume 9, Nomor 1,
Maret 2014

Kritikan tentang jurnal I ( Cross Scectional )


Berdasarkan penelitian pada jurnal diatas bahwasannya desain yang mereka gunakan
sesuai dengan yang mereka cantumkan yaitu menggunakan metode cross scectional hal ini
dibuktikan melalui jurnal yang mereka buat yaitu hubungan asupan gizi dan tinggi badan ibu
dengan status gizi anak balita, metode cross scectional merupakan suatu penelitian yang
mempelajari dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan
observasi dan pengumpulan data sekaligus atau pada suatu saat. Variabel-variabel yang
mereka teliti meliputi sosialekonomi keluarga (pendapatan per kapita dan be-sar keluarga),
karakteristik anak balita (usia, jenis kelamin, dan tinggi badan), karakteristik ibu (tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan gizi) dan asupan gizi (asupan energi dan
protein) anak. Pengumpulan data tersebut dilakukan mela-lui wawancara menggunakan
kuesioner, pengukuran antropometri dan food recall 1x24 jam. Penggunaan food recall 24
jam selama satu hari berdasarkan atas pertimbangan pelaksanaan penelitian yang dilakukan di
wilayah perdesaan sehingga keragam-an pangan yang dikonsumsi masyarakat cenderung
sama setiap hari. Faktor resiko pada penelitian ini yaitu hubungan antara asupan gizi dan
tinggi badan ibu sedangkan efeknya adalah status gizi pada anak balita tersebut.
JURNAL II ( CASE CONTROL )
ARKESMAS, Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 ~ 112

Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Pada Masyarakat Di


Wilayah Kerja Puskesmas Bambu Apus Kota Tangerang
Selatan
The Risk Factors of Tuberculosis In Community
At The Work Area of Bambu Apus Health Center
Rony D Alnur dan Rismawati Pangestika
Program studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof.
Dr. HAMKA

Korespondensi Penulis: Rony D Alnur, Program studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-ilmu
Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, E-mail: ronyalnur@uhamka.ac.id

ABSTRAK
Tuberkulosis Paru yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis, merupakan penyakit menular yang
masih menjadi permasalahan global. Saat ini, Indonesia masuk dalam negara dengan beban tinggi
Tuberkulosis Paru dan menduduki peringkat ke-2 sebagai negara dengan jumlah penderita Tuberkulosis
Paru terbanyak setelah India. Salah satu kelompok berisiko menderita Tuberkulosis Paru adalah kelompok
masyarakat menengah ke bawah . Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada kelompok tersebut. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi case control. Sampel penelitian sebanyak 60
orang yang terdiri dari 30 orang penderita Tuberkulosis Paru dan 30 orang bukan penderita Tuberkulosis
Paru sebagai kontrol. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji Chi- Square pada tingkat
kepercayaan 95%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko Tuberkulosis Paru di wilayah
kerja Puskesmas Bambu Apus adalah riwayat kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru (OR:
3,5; 95% CI: 1,112-11,017; p= 0,02) dan Kebiasaan merokok keluarga (OR: 4,3; 95% CI: 1,203-15,605;
p= 0,02). Sedangkan, tingkat pendidikan dan kepadatan hunian bukan merupakan variabel yang
berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus.

Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, Riwayat Kontak Serumah, Kebiasaan Merokok Keluarga

ABSTRACT
Tuberculosis caused by Mycrobacterium tuberculosis, is an infectious disease that is still a global problem.
Currently, Indonesia is included in the country with a high burden of Tuberculosis and ranks second as the
country with the highest number of Tuberculosis patients after India. One group at risk of suffering from
Tuberculosis was the middle to lower class of society. Therefore, this studied aims to determine the risk factors
associated with incidence of Tuberculosis in the group. This studied used a quantitative with a case control
study design. The sample was 60 people that was 30 people with Tuberculosis and 30 non-Tuberculosis patients
as controls. Data was analyzed by univariate and bivariate by Chi-Square test at 95% confidence level. The
results of this studied indicate that the risk factors for Tuberculosis in the work area of Bambu Apus Health
Center are household contact with Tuberculosis patients (OR: 3.5; 95% CI: 1.112-11.017; p = 0.02) and
smoking habits of family ( OR: 4.3; 95% CI: 1,203-15,605; p = 0.02). While, the level of education and
occupancy density did not a variable associated with the incidence of Tuberculosis in the
work area of Bambu Apus Health Center.
Key Words: Tuberculosis, Household Contact, Smoking Habits of Family

113 ~ Rony D Alnur dan Rismawati Pangestika Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja...
PENDAHULUAN laki - laki, 123,453 wanita) dengan CDR (Case
Tuberkulosis Paru merupakan penyakit Detection Rate) sebesar 60,59%.
menular yang masih menjadi permasalahan di
dunia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Hasil survei awal yang dilakukan oleh
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala utama peneliti bersama dengan kader Tuberkulosis
Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus
yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. didapatkan informasi bahwa mayoritas
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu masyarakat yang menderita Tuberkulosis Paru di
wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus adalah
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, mayarakat pada kelompok menengah ke bawah.
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan Berdasarkan survei tersebut, peneliti tertarik
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa untuk melakukan penelitian dengan
memfokuskan sasaran penelitian pada
kegiatan fisik dan demam meriang lebih dari satu masyarakat kelompok tersebut.
bulan (Kemenkes RI, 2018). Adapun indikator pendapatan kepala
Menurut WHO dalam Global Tuberculosis keluarga berdasarkan UMK (Upah Minimum
Report 2017, Tuberkulosis Paru merupakan salah Kabupaten/Kota) digunakan sebagai acuan
satu penyakit dari 10 penyebab kematian di dunia. dalam penentuan kelompok sasaran. Adapun
Tuberkulosis Paru juga merupakan penyebab topik penenlitian ini adalah hubungan faktor
utama kematian yang berkaitan dengan anti risiko (Tingkat pendidikan, riwayat kontak
microbial resestence dan pembunuh utama serumah, kebiasaan merokok keluarga dan
penderita HIV. Pada tahun 2016, diperkirakan kepadatan hunian) dengan kejadian
terdapat 10,4 juta kasus baru (insidensi) Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
Tuberkulosis di seluruh dunia, diantaranya 6,2 juta Bambu Apus Kota Tangerang Selatan.
laki - laki, 3,2 juta wanita dan 1 juta adalah anak
- anak dan diantara penderita Tuberkulosis Paru SUBYEK DAN METODE
tersebut, 10% diantaranya merupakan penderita Populasi target untuk kasus dari penelitian
HIV positif. 7 negara yang menyumbang 64% ini adalah semua penderita Tuberkulosis Paru dan
kasus baru Tuberkulosis Paru di dunia adalah berdomisili di Kota Tangerang Selatan, sedangkan
India, Indonesia, Tiongkok, Filipina, Pakistan, populasi kontrol dalam penelitian ini adalah semua
Nigeria dan Afrika Selatan. Pada tahun yang orang yang tidak menderita Tuberkulosis Paru dan
sama 1,7 orang meninggal karena Tuberkulosis berdomisili di Kota Tangerang Selatan. Cara
Paru termasuk di dalamnya 0,4 juta merupakan pengambilan sampel dengan cara simple random
penderita HIV. Namun secara global tingkat sampling. Sampel diambil dengan ketentuan dasar
kematian penderita Tuberkulosis Paru memenuhi krit
mengalami penurunan sebanyak 37% dari tahun eria inklusi yang telah ditetapkan. Sampel
2000 - 2016 (WHO, 2017). kasus pada penelitian ini adalah masyarakat yang
Data dari Profil Kesehatan Republik menderita Tuberkulosis Paru dan tercatat di
Indonesia tahun 2016 menyatakan bahwa puskesmas Bambu Apus sedangkan sampel kasus
terdapat 156.723 kasus baru Tuberkulosis Paru dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tidak
BTA positif yang terdiri dari 95.382 (61%) laki menderita Tuberkulosis Paru dan berdomisili di
- laki dan 61.341 (39%) wanita. 1.507 (0,96%) sekitar rumah sampel kelompok kasus.
penderita Tuberkulosis Paru BTA positif Kriteria inklusi dan eksklusi yang
merupakan anak usia 0 - 14 tahun, 117.474 digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan
(74,96%) penderita Tuberkulosis Paru BTA untuk memfokuskan sampel penelitian yang akan
positif merupakan usia produktif (15 - 54 tahun) diteliti. Adapun kriteria insklusi pada kelompok
dan 37.742 (24,08%) penderita Tuberkulosis kasus adalah masyarakat (<UMK Kota Tangerang
Paru BTA positif merupakan lansia. Sedangkan Selatan: Rp. 3.555.834,-), menderita Tuberkulosis
hasil cakupan penemuan semua kasus penyakit Paru yang tercatat di Puskesmas Bambu Apus,
Tuberkulosis Paru sebanyak 298.128 (174.675 berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Bambu
Apus dan bersedia berpatisipasi dalam penelitian
sedangkan kriteria eksklusi pada kelompok kasus adalah responden tidak berada di tempat saat
pengumpulan data. Adapun kriteria insklusi pada
ARKESMAS, Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 ~ 11
kelompok kontrol adalah masyarakat (<UMK dalam penelitian ini berupa kuesioner yang di
Kota Tangerang Selatan: Rp. 3.555.834,-), tidak dalamnya terdapat beberapa pertanyaan mengenai
tercatat di Puskesmas Bambu Apus sebagai faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru.
penderita Tuberkulosis Paru, berdomisili di Pengolahan data yang telah dikumpulkan dilakukan
sekitar rumah penderita Tuberkulosis Paru dan dengan menggunakan program komputer. Penyajian
bersedia berpatisipasi dalam penelitian, data disajikan dalam bentuk tabel distribusi
sedangkan kriteria eksklusi pada kelompok frekuensi yang disertai penjelasan
kontrol adalah responden tidak berada di tempat - penjelasan dan selanjutnya disajikan dalam
saat pengumpulan data bentuk tabel analisis hubungan antara variabel
Penelitian ini merupakan penelitian
yaitu tabel 2x2.
observasional analitik dengan desain studi kasus
kontrol yaitu penelitian analitik yang HASIL
membandingkan antara kelompok orang yang Karakteristik responden yang digambarkan
menderita penyakit (kasus) dengan kelompok dalam penelitian ini meliputi kelompok umur, jenis
lainnya yang tidak menderita penyakit (kontrol). kelamin dan tingkat pendidikan responden.
Pada penelitian ini kasus atau subjek dengan Gambaran karakteristik responden menurut
atribut positif diidentifikasi terlebih dahulu, kelompok umur, jenis kelamin dan tingkat
kemudian sebagai kontrolnya dicarikan subjek pendidikan responden disajikan pada tabel 1.
negatif (Lameshow dkk., 1997). Penelitian ini Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa
dilaksanakan pada bulan agustus 2018 sampai berdasarkan kelompok umur, dari total 60 orang
dengan bulan januari 2019. Penelitian dalam responden yang diteliti, kelompok responden
rangka pengumpulan data dilakukan di wilayah tertinggi terdapat pada kelompok umur 35 - 54
kerja Puskesmas Bambu Apus Kota Tangerang tahun yakni sebanyak 33 orang responden (55%),
Selatan. dimana 18 orang responden pada kelompok kasus
Variabel bebas yang diteliti pada penelitian dan 15 orang responden pada kelompok kontrol).
ini adalah tingkat pendidikan, riwayat kontak Sedangkan kelompok responden terendah terdapat
serumah, kebiasaan merokok keluarga, dan pada kelompok umur >74 tahun yakni 1 orang
kepadatan hunian. Sedangkan variabel terikat pada responden (1,7%), dimana responden tersebut
penelitian adalah kejadian Tuberkulosis Paru. terdapat pada kelompok kasus.
Adapun instrumen penelitian yang digunakan

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Kejadian TB Paru Total


Kasus Kontrol
n % n % n %
Kelompok Umur
15-34 9 30,0 5 16,7 14 23,3
35-54 18 60,0 15 50,0 33 55,0
55-74 2 6,7 10 33,3 12 20,0
>74 1 3,3 0 0 1 1,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 73,3 7 23,3 29 48,3
Perempuan 8 26,7 23 76,7 31 51,7
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 2 6,7 0 0 2 3,3
SD 5 16,7 8 26,7 13 21,7
SMP 9 30,0 4 13,3 12 21,7
SMA 12 40,0 15 50,0 27 45,0
Perguruan Tinggi 2 6,7 3 10 5 8,3
115 ~ Rony D Alnur dan Rismawati Pangestika Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja...
dan kepadatan hunian) terhadap variabel terikat
(kejadian Tuberkulosis Paru) dilakukan analisis
bivariat yang berupa tabulasi silang antar
Pada tabel 1, juga dapat dilihat bahwa variabel yang diuraikan pada tabel 2.
berdasarkan jenis kelamin dapat diketahui bahwa Pada tabel 2, berdasarkan hasil uji statistik
dari total 60 orang responden yang diteliti dapat yang dilakukan pada variabel tingkat pendidikan
diketahui bahwa kelompok responden tertinggi responden dengan kejadian Tuberkulosis Paru
terdapat pada kelompok dengan jenis kelamin menunjukkan tidak ada hubungan bermakna secara
perempuan yakni 31 orang responden (51,7%) statistik antara tingkat pendidikan responden
dimana 8 orang responden terdapat pada kelompok dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah
kasus dan 23 orang responden terdapat pada kerja Puskesmas Bambu Apus dengan nilai (p=
kelompok kontrol. Sedangkan kelompok 0,19). Pada variabel lain, hasil analisis uji statistik
responden terendah terdapat pada kelompok yang dilakukan pada variabel riwayat kontak
dengan jenis kelamin laki-laki yakni 29 orang keluarga serumah dengan kejadian Tuberkulosis
responden (48,3%) dimana 22 orang responden Paru menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna
terdapat pada kelompok kasus dan 7 orang secara statistik antara riwayat kontak keluarga
responden terdapat pada kelompok kontrol. serumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di
Selanjutnya, pada variabel tingkat pendidikan wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus dengan
dapat diketahui bahwa responden dengan tingkat nilai OR= 3,50 (95% CI: 1,112-11,017; p= 0,02).
pendidikan tertinggi terdapat pada responden Hal ini menujukkan bahwa orang yang memiliki
dengan tingkat pendidikan terakhir SMA (Sekolah riwayat kontak serumah memiliki risiko 3.5 kali
Menengah Atas) yakni sebanyak 27 orang untuk menderita Tuberkulosis Paru. Selanjutnya,
responden (45,0%) dimana 12 orang responden hasil analisis uji statistik yang dilakukan pada
terdapat pada kelompok kasus dan 15 orang variabel kebiasaan merokok keluarga dengan
responden terdapat pada kelompok kontrol. kejadian Tuberkulosis Paru menunjukkan adanya
Sedangkan kelompok responden dengan tingkat hubungan bermakna secara statistik antara
pendidikan terendah terdapat pada responden yang kebiasaan merokok keluarga dengan kejadian
tidak sekolah yakni sebanyak 2 orang responden Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
(3,3%) dimana responden tersebut terdapat pada Bambu Apus dengan nilai OR= 4,33 (95% CI:
kelompok kasus.
Untuk mengetahui seberapa besar faktor
risiko variabel bebas (tingkat pendidikan, riwayat
kontak serumah, kebiasaan merokok keluarga

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Berdasarkan Variabel Penelitian

Variabel Kasus Kontrol P Value Odds Ratio (95%CI)


Tingkat Pendidikan
Rendah 17 12 0,196** 1,962 (0,702-5,479)
Tinggi 13 18
Riwayat Kontak serumah
Ada 14 6 0,028* 3,500 (1,112-11,017)
Tidak ada 16 24
Kebiasaan Merokok Kelu-
arga
Merokok 26 18 0,020* 4,333 (1,203-15,605)
Tidak Merokok 4 12
Kepadatan Hunian
Padat 10 11 0,787** 0,864 (0,299-2,498)
Tidak Padat 20 19
*Variabel yang berhubungan
**Variabel yang tidak berhubungan
1,203-15,605; p= 0,02). Hal ini juga menujukkan bahwa orang yang anggota keluarga serumahnya
memiliki kebiasaan merokok, memiliki risiko 4 kali untuk menderita Tuberkulosis Paru.
Selain pada ketiga variabel di atas, pada penelitian ini juga dilakukan analisis uji statistik pada
variabel kepadatan hunian dengan kejadian Tuberkulosis Paru. Hasil analisis uji statistik yang
dilakukan menunjukkan tidak ada hubungan bermakna secara statistik antara kepadatan hunian
dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus dengan nilai (p= 0,78).

DISKUSI
Menurut teori Lawrance Green, Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi
(faktor pemudah) dalam mewujudkan perilaku kesehatan (Notoatmodjo S, 2012). Hasil Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Fitriani E, 2013) di Kabupaten Brebes yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penderita Tuberkulosis Paru di wilayah
kerja Puskesmas Ketanggungan. Tidak ditemukannya hubungan antara tingkat pendidikan dengan
kejadian Tuberkulosis Paru diduga karena banyaknya responden dalam penelitian ini baik pada kelompok
kasus maupun kelompok kontrol yang tingkat pendidikannya menengah ke atas.
Selanjutnya, pada variabel riwayat kontak serumah, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang signifikan dengan kejadian Tubekulosis Paru. Penderita penyakit Tuberkulosis Paru
kemungkinan besar akan menularkan kuman Tuberkulosis pada orang yang menghabiskan waktu sepanjang
hari dengan mereka, dalam hal ini termasuk anggota keluarga, teman dan rekan kerja atau teman sekolah
(Centers for Disease Control and Prevention, 2016). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Fitriani E, 2013) di Kabupaten Brebes yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
riwayat kontak dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Ketanggungan dengan nilai
OR sebesar 5 kali. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Rohayu N, 2016) di
Kabupaten Buton Selatan yang menyatakan ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian
ARKESMAS, Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 ~ 116 Tuberkulosis Paru. Hasil uji statistik menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan
Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas merokok anggota keluarga dengan kejadian
Kadatua. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
(Rohayu N, 2016) didapatkan bahwa orang yang
Bambu Apus. Kebiasaan merokok dan atau
memiliki riwayat kontak 5 kali berisiko menderita
menghisap asap rokok (perokok pasif) memperburuk
Tuberkulosis Paru.
Terdapatnya hubungan antara riwayat gejala Tuberkulosis Paru pada individu. Dimana
kontak serumah dengan kejadian Tuberkulosis perokok pasif akan lebih mudah terinfeksi bakteri
Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus Microbacterium tuberculosis. Hal ini disebabkan
diduga disebabkan oleh sebahagian besar dari asap rokok memiliki dampak buruk pada daya tahan
responden yang diteliti pada kelompok kasus paru terhadap bakteri. Hasil penelitian ini sejalan
maupun kontrol memiliki riwayat kontak dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Lalombo
penderita Tuberkulosis Paru sebelumnya. Hal ini dkk., 2015) di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang
didukung dengan hasil observasi di lapangan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
menunjukkan banyaknya responden yang anggota kebiasaan merokok dengan kejadian Tuberkulosis
keluarganya sedang atau pernah menderita Paru di wilayah kerja Puskesmas Ketanggungan
Tuberkulosis Paru. Sebagaimana diketahui bahwa dengan nilai OR sebesar 5,4 kali. Tingginya
Mode of transmission penyakit Tuberkulosis Paru persentase kebiasaan merokok anggota keluarga
dapat melalui droplet, sehingga keterpaparan yang mencapai 71,7% diduga menjadi faktor
dengan droplet penderita Tuberkulosis Paru pada penyebab adanya hubungan antara kebiasaan
mereka yang tinggal serumah akan lebih tinggi merokok anggota keluarga serumah dengan kejadian
dibandingkan tidak tinggal serumah. Tuberkulosis Paru.
Pada variabel kebiasaan merokok, peneliti
melihat sejauh mana kebiasaan merokok anggota Kepadatan hunian juga merupakan variabel
keluarga serumah mempengaruhi keterpaparan yang diteliti dalam penelitian ini. Hasil
117 ~ Rony D Alnur dan Rismawati Pangestika Faktor Risiko
Tuberkulosis Paru Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja...
uji statistik pada variabel kepadatan hunian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan secara
statistik antara kepadatan hunian dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu
Apus. Hasil Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rohayu N, 2016) di
Kabupaten Buton Selatan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Kadatua Kabupaten Buton Selatan. Pada penelitian
tersebut diketahui bahwa orang yang tinggal di hunian padat berisiko 8 kali untuk menderita Tuberkulosis
Paru.
Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara variabel kepadatan hunian
dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus namun variabel ini berpotensi
memiliki dampak di masa yang akan datang mengingat banyaknya responden yang berdomisili dengan
status hunian padat. Hal ini didukung hasil observasi yang menunjukkan banyaknya responden yang tinggal
di kost - kostan di wilayah Kecamatan Pamulang Kota Tangerang selatan. Selain itu tidak terdapatnya
hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian Tuberkulosis Paru diduga dipengaruhi oleh proporsi
kepadatan hunian pada kelompok kasus dan kontrol yang hampir sama.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa riwayat kontak
serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dan kebiasaan merokok keluarga memiliki hubungan
secara statistik dan merupakan faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru sedangkan tingkat pendidikan
responden dan kepadatan hunian tidak memiliki hubungan secara statistik dan bukan merupakan
faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas bambu Apus, Kota Tangerang
Selatan. Sehingga, berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti merekomendasikan untuk terus
meningkatkan upaya kegiatan preventif dan promotion khususnya pada faktor risiko Tuberkulosis Paru
yang dipengaruhi oleh faktor perilaku anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. (2016).
How TB Spreads.
Retrieved from
https://www. cdc . gov/tb/topic/basics/h owtbspreads.htm
Fitriani, Eka. (2013). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru (Studi Kasus di
Puskesmas Ketanggungan Kabupaten Brebes Tahun 2012). Unnes Journal of Public Health, 2(1), 2–5.
Retrieved from https://doi.org/https://doi.org/10.1529 4/ujph.v2i1.3034
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Profil Data
Kesehatan Indonesia. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; Tuberkulosis. Jakarta.
Retrieved from
h t t p : / / w w w. d e p k e s . g o . i d / d o w n l o a d . php?file=download/pusdatin/infodatin/ infodatin
%20tuberkulosis%202018.pdf
Lalombo, A. Yulied., Palandeng, Henry., Kallo, D. Vanri., (2015). Hubungan Kebiasaan Merokok dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Siloam Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan sangihe.
Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/
article/view/7529/7081
Lameshow, S., Hosmer, D. W., Klar, J. Lwanga, S.(1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Cetakan Ke-1 Jakarta: PT. Rineka Cipta
Rohayu, Nurliza. (2016). Analisis Faktor Risiko
Kejadian TB Paru BTA Positif Pada Masyarakat
Pesisir Di Wilayah Kerja Puskesmas Kadatua
Kabupaten Buton Selatan Tahun 2016, 58, 1–15.
Retrieved from
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKE%20
SMAS/article/view/1257/903
UMK Provinsi Banten. (2018). Keputusan Gubernur
Banten Nomor 561/Kep. 442-Huk/2017. Banten
Retrieved from
https://spn.or.id/dppspn/UMK-TAHUN-2018-
BANTEN.pdf
WHO 2017. Global Tuberculosis Report 2017. Jenewa
Kritikan Jurnal II ( Case Control )
Berdasarkan pada jurnal diatas terlihat jelas bahwa jurnal tersebut berdesain atau
menggunakan desain case control, hal ini karena mereka mengangkat kasus penyakit yang
mereka teliti yaitu penyakit tuberculosis paru yang ada di wilayah kerja puskesmas bamboo
apus kota Tanggerang Selatan. Penyakit Tb paru merupakan penyakit yang masa latennya
panjang dan cocok diteliti dengan menggunakan desain case control. Pada penelitian ini juga
peneliti hanya berfokus pada satu variable penyakit yang masa latennya panjang yang diderita
pasien pada puskesmas di wilayah kerja puskesmas bamboo apus kota tanggerang selatan.
Pada jurnal ini peneliti membandingkan antara kelompok orang yang menderita penyakit
(kasus) dengan kelompok lainnya yang tidak menderita penyakit (control). Pada penelitian ini
kasus atau subjek dengan atribut positif diidentifikasikan terlebih dahulu, kemudian sebagai
kontrolnya dicarikan subjek negative. Variable bebas yang diteliti pada penelitian ini adalah
tingkat pendidikan, riwayat kontak serumah, kebiasaan merokok keluarga, dan kepadatan
hunian. Sedangkan variable terikat pada penelitian ini adalah kejadian tuberculosis paru.
Populasi target untuk kasus ini adalah semua penderita TB paru sedangkan populasi kontro
dalam penelitian ini adalah semua orang yang tidak menderita TB parudan berdomisili di Kota
Tanggerang Selatan. Kelemahan pada penelitian ini adalah kelompok control tidak
dicantumkan dan tidak dikaitkan dengan judul jurnal sehingga harus lebih teliti lagi dalam
menganalisis pada jurnal ini.
JURNAL III ( Kohort Prospektif)

HUBUNGAN HELICOBACTER PYLORI DENGAN BERATNYA KEJADIAN INFARK


MIOKARD AKUT PADA PASIEN RAWAT INAP DI ICCU RS SEKITAR MANADO
PERIODE NOVEMBER 2013 SAMPAI JANUARI 2014

1
Suryadi Dharmawan
2
Starry H. Rampengan
2
Ventje Kawengian

1 2
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email:
gdragon236@yahoo.com

Abstract: Acute myocardial infarction (AMI) is one of the most frequent causes of death in United
States and other developed countries and estimated the possible relationship between infectious agents
with the atherosclerosis process. Several studies have reported H.pylori infection associated with acute
coronary syndrome and H.pylori relationship with inflammatory responses in acute myocardial
infarction, but only one study seek a relationship H.pylori with the severity of AMI, although the
results are not significant. Objective: To determine the correlation between Helicobacter pylori with
the severity of acute myocardial infarction. Methods: This study used a prospective cohort study with
observational-analytic approach. The samples in this study were patients AMI in hospitals around
Manado period November 2013 - January 2014 with purposive sampling, the severity of AMI is
assessed from measurements of Left Ventricle Ejection Fraction (LVEF) using 2D echocardiography
and analyzed using Chi-Square test. Results: From the patients who experienced AMI (n = 22), six
samples (27%) were infected by H.pyori and all the patients had LVEF> 30%, and 16 samples (73%)
were not infected by H. pylori with two samples had LVEF <30% and 14 samples had LVEF> 30%.
The results of the Chi-square test showed there was no significant correlation (p = 1.000).
Conclusions: There was no significant correlation between the H.pylori with the severity of the Acute
myocardial infarction case.
Keywords: Helicobacter pylori, acute myocardial infarction

Abstrak: Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu penyebab kematian paling sering di
Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya dan diduga adanya hubungan antara agen infeksius
dengan proses aterosklerosis tersebut. Beberapa penelitian melaporkan infeksi H.pylori berkaitan
dengan terjadinya sindroma koroner akut dan adanya hubungan H.pylori dengan respon inflamasi pada
infark miokard akut, tetapi baru satu penelitian yang mencari hubungan H.pylori dengan beratnya IMA
walaupun hasilnya tidak bermakna. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara H.pylori dengan
beratnya kejadian Infark Miokard Akut. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort prospektif
dengan pendekatan observasional-analitik. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien IMA di RS
sekitar Manado periode November 2013 – Januari 2014 dengan teknik purposive sampling untuk
pengambilan sampel, beratnya IMA dinilai dari pengukuran FEVK menggunakan ekokardiografi 2D
dan dianalisa dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. Hasil: Dari pasien yang mengalami IMA
(n=22) ditemukan enam sampel (27%) terinfeksi H.pyori dan semuanya memiliki FEVK >30%, serta
16 sampel (73%) tidak terinfeksi H.pylori dengan dua sampel memiliki FEVK <30% dan 14 sampel
memiliki FEVK >30%. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna (p=1.000). Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara H.pylori dengan
beratnya kejadian Infark Miokard Akut. Kata kunci: H.pylori, infark miokard akut
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 1, Maret 2014

Infark Miokard Akut (IMA) adalah penyakit tercatat sebagai pasien di ICCU RS sekitar
yang ditandai dengan nekrosis sebagian otot Manado yang melakukan pemeriksaan
jantung yang merupakan salah satu ekokardiografi dengan teknik purposive
penyebab kematian paling sering di Amerika sampling. Sampel diambil sesuai dengan
Serikat dan negara-negara maju lainnya. criteria yaitu penderita penyakit infark
Aterosklerosis koroner sering merupakan miokard akut yang mendapatkan
faktor yang mendasari dalam proses pemeriksaan ekokardiografi. Pada penelitian
terjadinya Infark Miokard. Baru-baru ini ini dilakukan penelitian pada tiga variable
mulai diperkirakan adanya kemungkinan
yaitu : variable bebas yaitu H.pylori pada
hubungan antara agen infeksius dengan
1,2,3 penderita infark miokard akut, variabel
aterosklerosis. tergantung yaitu infark miokard akut yang
Data penyakit jantung koroner pada terjadi pada subjek yang diteliti. variable
tahun 2001, diperkirakan seluruh dunia perancu yaitu usia, jenis kelamin genetik,
mencapai 11.8 persen dari semua kematian riwayat hipertensi, riwayat DM,
(5.7 juta) di negara-negara berpenghasilan dislipidemia, merokok, menopause dan
rendah dan 17.3 persen dari semua kematian lokasi infark, dengan batasan:
(1.36 juta) di negara-negara berpenghasilan
1. H.pylori adalah bakteri yang
tinggi. Sekitar 865,000 orang Amerika
menginfeksi lapisan lendir dari lambung
menderita infark miokard akut (IMA) per
dan duodenum, berbentuk spiral, batang
tahun. Berdasarkan data Riskesdas 2007
Gram-negatif dengan flagela yang
menunjukkan prevalensi penyakit
kardiovaskular di Indonesia berkisar antara lophotrichous, ditemukan pada pasien
2.6% di lampung, hingga 12.6% di Aceh infark miokard akut dari hasil
dan proporsi kematian akibat penyakit ini pemeriksaan plasma darah di bagian
mencapai 4.6%.
4,5 ICCU RS sekitar Manado, dengan hasil
Infeksi Helicobacter pylori telah < 0.90 (negatif), 0.91-0.99 (equivocal),
dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular ≥ 1.00 (positif)
- Infark Miokard Akut adalah nekrosis
dan beberapa penelitian melaporkan adanya
hubungan H.pylori dengan respon inflamasi miokardium akibat dari interupsi aliran
pada infark miokard akut, tetapi baru satu darah ke area itu yang hampir selalu
disebabkan oleh aterosklerosis arteri
penelitian yang mencari hubungan H.pylori
koroner dan sering tumpah tindih dengan
dengan beratnya IMA walaupun hasilnya
trombus koroner yang terjadi secara
tidak bermakna. H.pylori adalah bakteri
mendadak selama 7 hari. Dibuktikan
yang berbentuk spiral, batang gram-negatif
6,7 dengan nyeri dada yang belangsung
dengan flagella yang lophotrichous. lebih dari 30 menit, Gelombang T yang
tinggi, elevasi ST, peningkatan CKMB
METODE PENELITIAN dan cTn T atau cTn I, disertai dengan
diagnosis dari rekam medik pasien.
Data penelitian dilaksanakan mulai
dari bulan November 2013 hingga bulan
- Beratnya Kejadian IMA adalah berat
Januari 2014. Penelitian ini merupakan studi
atau tidaknya kejadian IMA yang
kohort prospektif dengan metode
berlangsung dengan pengukuran melalui
observasional -analitik. Penelitian ini
ekokardiografi, dalam hal ini FEVK
dilakukan di bagian ICCU Rumah Sakit
yang dibagi menjadi <30% (berat) dan
Umum Prof. dr. R. D. Kandou dan Rumah
≥30% (tidak).
Sakit Siloam. Populasi pada penderita ini
- Usia : Umur dari sampel yang dilihat
yaitu penderita infark miokard akut dengan
pada rekam medik, dibagi menjadi <40
populasi terjangkau pada penelitian ini yaitu
tahun, dan ≥ 40 tahun.
penderita infark miokard akut di ICCU RS
- Jenis Kelamin : Jenis kelamin dari
sekitar Manado. Sampel pada penelitian ini
yaitu penderita infark miokard akut yang sampel yang dilihat pada rekam medik,
di bagi menjadi laki-laki dan perempuan.
Dharmawan, Rampengan, Kawengian; Hubungan Helicobacter Pylori...

- Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga mg/dL). Lebih dari normal dianggap


dari sampel apakah keluarganya pernah positif.
mengalami PJK yang ditanyakan 12. Trigliserida (TGL) : Hasil dari
langsung dengan wawancara, dibagi pemeriksaan lipid sampel yang dilihat
menjadi negative untuk sampel yang pada rekam medik, dibagi menjadi
tidak memiliki riwayat keluarga IMA normal (<150 mg/dL), batas tinggi (150-
dan positif untuk sampel yang tidak. 199 mg/dL), tinggi (200-499 mg/dL),
- Tekanan Darah Sistole dan Diastole : sangat tinggi (≥500 mg/dL). Lebih dari
Tekanan darah dari sampel yang dilihat normal d anggap positif.
pada rekam medik, dibagi menjadi 13. Riwayat Merokok : Riwayat merokok
normal (sistole <120 mmHg dan diastole dari sampel apakah pernah merokok atau
<80 mmHg), prehipertensi (sistole 120- sedang merokok yang ditanyakan
139 mmHg atau diastole 80-89 mmHg), langsung dengan wawancara, dibagi
hipertensi stage 1 (sistole 140-159 menjadi negatif untuk sampel yang tidak
mmHg atau diastole 90-99 mmHg), pernah merokok dan positif untuk
hipertensi stage 2 (sistole ≥160 mmHg sampel yang sedang atau pernah
atau diastole ≥100 mmHg). Sistolik dan merokok.
diastolik Lebih dari normal serta pernah 14. Menopause: Peristiwa dimana seorang
mengkonsumsi obat antihipertensi perempuan tidak mengalami masa
dianggap mengalami hipertensi. menstruasi selama 12 tahun dari
menstruasi terakhir atau dengan melihat
8. Riwayat Diabetes Melitus (DM): umur sampel yang memasuki usia 50
Riwayat DM dari sampel apakah pernah tahun. Dibagi menjadi negatif untuk
mengalami atau sedang mengalami DM sampel yang tidak mengalami
yang ditanyakan langsung dengan menopause dan positif untuk sampel
wawancara serta hasil pemeriksaan gula yang mengalami menopause.
darah sewaktu (GDS) atau gula darah 15. Lokasi Infark : Lokasi infark dari sampel
puasa (GDP) yang dilihat pada rekam yang dilihat pada rekam medik, dibagi
medik, dibagi menjadi negative untuk menjadi anterior, inferior, posterior,
sampel yang tidak memiliki riwayat DM inferoanterior, dan inferoposterior.
dan positif untuk sampel yang memiliki Pengambilan data dilakukan dengan
riwayat DM serta GDS ≥200mg/dL atau menggunakan suntik untuk pengambilan
GDP ≥126mg/dL. darah dan kemudian diberiksa dengan
9. Total Kolestrol : Hasil dari pemeriksaan pemeriksaan serologi untuk mengetahui
lipid sampel yang dilihat pada rekam antigen antibody H.pylori dan pemeriksaan
medik, dibagi menjadi normal (<200 ekokardiografi pada penderita IMA. Data
mg/dL), batas tinggi (200-239 mg/dL), kemudian akan dianalisis menggunakan
tinggi (≥240 mg/dL). Lebih dari normal program SPSS versi 20 dengan
dianggap positif. menggunakan analisis uji tabulasi silang
10. High density Lipoprotein (HDL) : Hasil yang dilakukan untuk melihat hubungan
dari pemeriksaan lipid sampel yang antara variable bebas dan variable
dilihat pada rekam medik, dibagi tergantung, serta analisis deskriptif untuk
menjadi rendah (<40 mg/dL), sedang melihat distribusi sampel
(40-59 mg/dL), tinggi (≥60 mg/dL).
11. Low density Lipoprotein (LDL) : Hasil
HASIL
dari pemeriksaan lipid sampel yang
dilihat pada rekam medik, dibagi Dari hasil penelitian menunjukkan
menjadi normal (<100 mg/dL), bahwa terdapat dua orang penderita IMA
mendekati normal (100-129 mg/dL), dengan infeksi H.pylori negatif memiliki
batas tinggi (130-159 mg/dL), tinggi nilai FEVK < 30% (100%), 14 orang dengan
(160-189 mg/dL), sangat tinggi≥190( H.pylori negatif memiliki nilai FEVK≥
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 1, Maret 2014

30% (70%), enam orang H.pylori positif p=0.055 berarti dalam penelitian ini tidak
memiliki nilai FEVK≥ 30% (30%). Nilai terdapat hubungan yang bermakna antara
p=1.000 berarti dalam penelitian ini tidak banyaknya faktor risiko PJK dengan
terdapat hubungan yang bermakna antara H.pylori terhadap IMA (Tabel 2).
H.pylori dengan beratnya kejadian terhadap
IMA (Tabel 1).
Tabel 3. Distribusi berdasarkan jenis IMA dan
H.pylori terhadap IMA
Tabel 1. Distribusi berdasarkan H.pylori dan Jenis IMA H.pylori (-) H.pylori (+) p
beratnya kejadian IMA 8 5
FEVK FEVK STEMI
50% 83.3%
H.pylori p 8 1
<30% >30%
NSTEMI 0.333
2 14 50%% 16.7%
Negatif 16 6
100% 70% Total
0 6 100% 100%
Positif 1.000 Dianalisa dengan tabulasi silang, FR : faktor risiko
0% 30%
2 20
Total
100% 100% Tabel 4. Karakteristik FR dengan H.pylori
Dianalisa dengan tabulasi silang, FEVK: fraksi dalam berperan terjadinya IMA
ejeksi ventrikel kiri
H.pylori H.pylori
Jenis IMA p
(+) (n=6) (-) (n=16)
Tabel 2. Distribusi berdasarkan faktor risiko dan Umur 2.00±0.00 1.94±0.25 1.000
H.pylori terhadap IMA Jenis
Kelamin 2.00±0.00 1.88±0.34 1.000
H.pylori H.pylori
Jumlah FR p Riwayat
(-) (+) Keluarga 1.33±0.52 1.50±0.52 0.646
1 2 Tekanan
<5
6.2% 33.3% Darah
7 4
Sistole 1.50±1.23 2.06±1.12 0.215
5
43.8% 66.7% Diastole 1.50±0.84 1.94±0.99 0.777
8 0 0.055 Riwayat
≥6 DM 1.17±0.41 1.50±0.52 0.333
50% 0%
16 6 Lipid
Total
100% 100% Total
Dianalisa dengan tabulasi silang, FR: faktor risiko 1.50±0.84 1.56±0.73 0.788
Kolestrol
HDL 1.50±0.55 1.38±0.50 0.655
Penelitian ini juga menunjukkan LDL 2.50±1.38 2.19±1.33 0.041*
bahwa terdapat satu orang penderita IMA
TGL 1.17±0.41 1.75±0.86 0.293
dengan faktor risiko sebanyak kurang dari 5 Riwayat
tidak terinfeksi H.pylori (6.2%), dua orang 1.83±0.41 1.88±0.34 1.000
penderita IMA dengan faktor risiko Merokok
Dianalisa dengan tabulasi silang. Variabel
sebanyak kurang dari 5 terinfeksi H.pylori diperlihatkan dalam rata-rata±simpang baku, FR:
(33.3%), tujuh orang penderita IMA dengan Faktor Risiko, DM: Diabetes Melitus, HDL: High
faktor risiko sebanyak 5 tidak terinfeksi Density Lipoprotein, LDL: Low Density Lipoprotein,
H.pylori (43.8%), empat orang penderita TGL: Trigliserida, FEVK: Fraksi Ejeksi Ventrikel
IMA dengan faktor risiko sebanyak 5 Kiri
terinfeksi H.pylori (66.7%), dan delapan
orang penderita IMA dengan faktor risiko Dari hasil penelitian menunjukkan
sebanyak lebih dari atau sama dengan 6 bahwa terdapat delapan orang penderita
tidak terinfeksi H.pylori (50%), Nilai IMA dengan jenis STEMI tidak terinfeksi
Dharmawan, Rampengan, Kawengian; Hubungan Helicobacter Pylori...

H.pylori (50%), lima orang penderita IMA teori dimana seropositif H.pylori meningkat
dengan jenis STEMI terinfeksi H.pylori sesuai dengan pertambahan usia. Masih
(83.3%), delapan orang penderita IMA belum diketahui bagaimana H.pylori bisa
dengan jenis NSTEMI tidak terinfeksi menginfeksi dan rute transmisinya. Karena
H.pylori (50%), satu orang penderita IMA manusia sebagai satu-satunya hospes, ada
dengan jenis NSTEMI terinfeksi H.pylori kemungkinan di Negara maju H.pylori
(16.7%). Nilai p=0.333 berarti dalam menginfeksi dari saudara atau orang tua
penelitian ini tidak terdapat hubungan yang melalui rute gastro-oral. Sedangkan d
Negara berkembang, fecal-oral dapat
bermakna antara jenis IMA dengan H.pylori 12
terhadap IMA (Tabel 3). terjadi.
Penelitian ini juga menunjukkan Menurut jenis kelamin, dari enam
bahwa sebagian besar faktor risiko tidak sampel yang mengalami IMA, semuanya
terdapat hubungan signifikan dengan berjenis kelamin laki-laki (100%). Hal ini
H.pylori dalam berperan terjadinya IMA sesuai dengan penelitian yang dilakukan
(p=>0.05). Hanya LDL yang menunjukkan oleh sreenivasan, dimana infeksi H.pylori
hubungan yang bermakna dengan H.pylori lebih dominan pada laki-laki dibandingkan
dalam berperan terjadinya IMA (p=0.041) dengan perempuan. Adanya perbedaan pada
jenis kelamin ini mungkin karena bedanya
(Tabel 4).
gaya hidup dan kebiasaan masyarakat laki-
laki dan perempuan terutama merokok dan
BAHASAN konsumsi alcohol, yang dapat mengaktifkan
IMA adalah suatu keadaan yang terjadi infeksi H.pylori. Sebuah studi terbaru
bila sirkulasi ke daerah jantung tersumbat menunjukkan H.pylori menggunakan
dan timbul nekrosis. Prevalensi IMA reseptor 70KDa Lf untuk memperoleh zat
meningkat seiring dengan pertambahan usia besi secara langsung pada lambung. Karena
dan faktor resiko lain yaitu hiperlipidemia, asap rokok dari daun tembakau memiliki
diabetes melitus, merokok, hipertensi, jenis 84ug besi/g, maka merokok merupakan
kelamin pria, dan riwayat keluarga yang factor resiko terkuat. Sementara pada
semuanya berperan dalam pembentukan perempuan, kehilangan darah saat
aterosklerosis.
8-10 menstruasi dapat dianggap sebagai faktor
untuk menurunkan zat besi sehingga
Berdasarkan data yang diperoleh dari 13
penelitian menunjukkan pasien dengan prevalensi H.pylori lebih rendah.
diagnosa IMA yang pernah dirawat di BLU Berdasarkan data yang diperoleh,
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan sampel yang terinfeksi H.pylori dan
RS Siloam yang dijadikan sampel pada memiliki riwayat keluarga menderita IMA
periode November 2013 – Januari 2014 berjumlah dua orang (33%) dan yang tidak
adalah sebanyak 22 kasus. memiliki riwayat keluarga berjumlah empat
Dari 22 kasus tersebut, terdapat enam orang (67%). Hasil ini menunjukkan bahwa,
sampel yang terinfeksi H.pylori dengan infeksi H.pylori lebih sedikit pada sampel
presentase 27.3%. Hasil penelitian ini yang memiliki riwayat keluarga mendeita
menunjukkan, bahwa jumlah pasien IMA IMA dibandingkan dengan yang tidak
yang terinfeksi H.pylori lebih sedikit memiliki riwayat keluarga menderita IMA.
dibandingkan dengan pasien IMA yang Hal ini dapat terjadi karena terdapat
tidak terinfeksi. Hal ini didukung oleh hasil berbagai penelitian yang mengatakan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Dario dkk, tidak ada hubungan yang bermakna antara
terdapat 29% sampel yang terinfeksi H.pylori dengan riwayat keluarga menderita
14
H.pylori pada 100 sampel sebagai kasus dan IMA.
11 Berdasarkan hasil penelitian, dari
26% pada 93 sampel sebagai kontrol.
Dari enam sampel yang terdeteksi enam sampel yang terinfeksi H.pylori,
memiliki H.pylori, semuanya berumur lebih sebanyak lima orang tidak memiliki riwayat
dari 40 tahun (100%). Hal ini sesuai dengan DM (83%) dan satu orang memiliki riwayat
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 1, Maret 2014

DM (17%). Hal ini menunjukkan pasien yang diagnosis melalui endoskopi biopsi karena
terinfeksi H.pylori dan tidak memiliki riwayat merupakan gold standard dalam
DM lebih banyak dibandingkan dengan yang pemeriksaan H.pylori.
tidak. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Penelitian ini juga mendapatkan bahwa
yang dilakukan oleh Abdulbari dkk yang terdapat hubungan yang signifikan antara
mendapatkan prevalensi sampel dengan DM LDL dan H.pylori dalam berperan terjadinya
dan terinfeksi H.pylori 63.3%. Ini dapat IMA. sedangkan total kolestrol, HDL dan
terjadi mungkin karena adanya perbedaan TGL tidak ada hubungan yang signifikan.
tempat, dimana Abdulbari melakukan Ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Hack-
penelitian ini di Qatar sedangkan penelitian Lyoung dkk, yang mengatakan H.pylori
dilakukan d Indonesia tepatnya d Manado,
berhubungan dengan kolestrol LDL pada
bisa juga dikarekanan kurangnya sampel pada
orang tua di Korea sehingga menunjukkan
penelitian ini sehingga memunculkan hasil
15 infeksi H.pylori dapat menyebabkan
yang berbeda. perubahan lipid, dan sebagai
Hasil analisa statistik menunjukkan kontribusi terhadap pembentukan
tidak terdapat hubungan yang bermakna 16
ateroskelrosis.
antara H.pylori dengan beratnya kejadian Beberapa mekanisme telah diusulkan
IMA (p=1.000). Dapat dilihat pada untuk menjelaskan hubungan antara infeksi
penelitian ini bahwa pasien yang mengalami dan lipid darah, dengan beberapa hasil
IMA dan terinfeksi H.pylori semuanya menunjukkan bahwa infeksi virus dan
memiliki nilai FEVK lebih dari atau sama bakteri dapat mengubah metabolisme lipid
dengan 30%. Hal ini sejalan dengan
dari sel yang terinfeksi, dan hasil lain
penelitian yang dilakukan oleh Dario dkk,
menunjukkan bahwa lipid meningkat
bahwa tidak terdapat hubungan yang
sebagai hasil dari usaha tubuh untuk
signifikan antara infeksi H.pylori dengan
beratnya penyakit IMA, dimana Dario dkk melawan infeksi. Hasil lain juga
menggunakan jumlah pembuluh darah arteri menunjukkan bahwa LDL memiliki sifat
koroner yang terkena infark dalam antimikroba dan terlibat langsung dalam
mengukur beratnya kejadian IMA, menonaktifkan mikroba patogen. Hal ini
sedangkan penelitian ini menggunakan hasil telah dikonfirmasi oleh penelitian yang
ekokardiografi dalam bentuk FEVK. Jung menunjukkan bahwa tikus dengan reseptor
tsai dkk juga tidak menemukan hubungan LDL yang rusak akan meningkatkan kadar
yang bermakna antara H.pylori dengan LDL, sehingga dapat melindungi tikus
beratnya kejadian IMA, walaupun terdapat terhadap infeksi oleh bakteri gram negatif
insiden yang lebih tinggi pada tiga areteri 17
seperti H.pylori.
koroner yang terkena. Penelitian lebih lanjut
perlu dilakukan untuk mengetahui peran SIMPULAN DAN SARAN
H.pylori dalam perkembangan penyakit
11 Dari hasil dan pembahasan penelitian,
IMA dan PJK.
maka dapat disimpulkan tidak terdapat
Hasil analisa statistik juga hubungan yang bermakna antara H.pylori
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang dengan beratnya kejadian IMA (p=1.000).
bermakna antara banyaknya jumlah faktor Untuk pembaca tetap perlu mewaspadai
risiko PJK (p=0.055) dan jenis infark H.Pylori sebagai faktor risiko IMA karena
(p=0.333) terhadap H.pylori. Tidak terdapat penelitian yang mengatakan ada
didapatkan penelitian terdahulu yang hubungan H.Pylori sebagai faktor resiko
dilakukan untuk mendukung hasil penelitian IMA dan ada juga beberapa yang
ini, tetapi hasil ini terjadi diduga karena mengatakan tidak ada hubungan, serta perlu
tidak didapatkan hubungan yang bermakna dilakukan penelitian kembali dengan
antara H.pylori dengan infark miokard akut, diagnosis H.Pylori melalui endoskopi biopsi
sehingga perlu dilakukan penelitian kembali agar spesifitas lebih tinggi sesuai dengan
dengan jumlah sampel yang lebih besar dan gold standart dan sebaiknya dilakukan
Dharmawan, Rampengan, Kawengian; Hubungan Helicobacter Pylori...
dengan sampel yang lebih besar serta melakukan pengukuran FEVK lebih awal sebelum
dilakukan pengobatan lebih lanjut atau mengubah prediktor untuk mengukur beratnya
kejadian infark miokard menjadi kematian yang dialami atau banyaknya komplikasi yang
terkena.

DAFTAR PUSTAKA
1. Azarkar Z, Jafarnejad M, Sharifzadeh G. The relationship between helicobacter pylori infection and
myocardial infarction [internet]. 2011. [dikutip 27 agustus 2013]. Akses:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/art icles/PMC3766939/
2. Abdul-Gafour WK, Baqir HI, Al-Raubyee RS. Helicobacter Pylori Seropositivity and Acute
Myocardial Infarction. Al – Kindy Col Med J 2011;7(2): 9-15.
3. Gaby AR. Nutritional Treatments for Acute Myocardial Infarction. Alternative Medicine Review
2010:15(2):113-23
4. Fuster V, Walsh RA, O'Rourke RA, Poole-Wilson P. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
In: Richard A, Walsh I, Daniel I, Simon, editor. Hurst's The Heart Vol. 1 (12 th edition). China:
McGraw-Hill Companies; 2008.
5. Tarukbua YK. 2013. “Hubungan Antara Golongan Darah dan Penyakit Jantung Koroner”[skripsi].
Fakultas Kedokteran. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
6. Kayser FH. Bacteria as Human Pathogens. In: Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM,
editors : Medical Microbiology; volume 1; 1st edition. Germany : Thieme. 2005. p. 307-8.
7. Khodaii Z, Vakili H, Ghaderian SM, Najar RA, Panah AS. Association of Helicobacter pylori
infection with acute myocardial infarction. Coron Artery Dis 2011:22(1):6-11
8. Dorland WAN. Kosa Kata. Dalam: Koesmawati H, Hartanto H, Salim IN, Setiawan L, Valleria,
Suparman W, editor. Kamus Kedokteran. Edisi ke-29. Jakarta: EGC; 2002. h. 1094

9. Rich MW. Epidemiology, clinical features, and prognosis of acute myocardial infarction in the
elderly. Am J Geriatr Cardiol 2006:15(1):7-11
10. Bolooki HM, Askari A. Acute Myocardial Infarction [internet]. [dikutip : 16 Januari 2014].
Akses : http://www.clevelandclinicmeded.co m/medicalpubs/diseasemanagement/cardiolo gy/acute-
myocardial-infarction/
11. Nakie D, Veev A, Jovie A, Patrk J, Zekanovie D, Klarin I, et al. Helicobacter pyloriInfection and
Acute Myocardial Infarction. Original scientific paper 2011;3:781–5.
12. Logan RPH, Walker MM. ABC of the upper gastrointestinal tract Epidemiology and diagnosis of
Helicobacter pylori infection. BMJ 2001:323:920
13. Sasidharan S, Ghayethry B, Ravichandran M, Latha LY, Lachumy SJ, Leng KM, et al. Prevalence
of Helicobacter pylori infection among patients referred for endoscopy: Gender and ethnic
differences in Kedah, Malaysia. Asian Pacific Journal of Tropical Disease 2012:55-59.
14. Eskandarian R, Ghorbani R, Shiyasi M, Momeni B, Hajifathalian K, Madani M. Prognostic role
of Helicobacter pylori infection in acute coronary syndrome: a prospective cohort study.
Cardiovasc J Afr 2012; 23:131–135
15. Bener A, Micallef R, Afifi M, Derbala M, AL-MULLA HM, Usmani MA. Association between
type 2 diabetes mellitus and Helicobacter pylori infection. The Journal of The Royal Society for
the Promotion of Health 2007:127(6):272-4.
16. Kim HL, Jeon HH, Park IY, Choi JM, Kang JS, Min KW. Helicobacter pylori Infection is
Associated with Elevated Low Density
Lipoprotein Cholesterol Levels in Elderly
Koreans. J Korean Med
Sci 2011:26(5):654–658
17. Kresser C. What Causes Elevated LDL
Particle Number [internet]. [dikutip: 03
februari 2014]. Akses : http://chriskresser.com/what-causes-elevated-ldl-particle-number
Kritikan Jurnal III ( Kohort Prospektif )
Dari jurnal penelitian diatas terlihat jelas bahwasannya jurnal tersebut menggunakan
desain kohort prospektif dibuktikan dengan kasus pada jurnal ini yaitu hubungan helicobacter
dengan beratnya kejadian infark miokard akut pada pasien rawat inap di iccu rs di sekitar
Manado periode November 2013 sampai januari 2014. peneliti melakukan penelitian yang
dilaksanakan mulai dari bulan November 2013 hingga bulan januari 2014. Hal ini sesuai
dengan desain studi kohort prospektif yaitu apabila faktor risiko, atau faktor penelitian diukur
dari awal penelitian, kemudian dilakukan follow up untuk melihat kejadian penyakit di masa
yang akan datang. Penelitian ini dilakukan di bagian ICCU Rumah Sakit Umum Prof. dr. R.
D. Kandou dan Rumah Sakit Siloam. Populasi pada penderita ini yaitu penderita infark
miokard akut dengan populasi terjangkau pada penelitian ini yaitu penderita infark miokard
akut di ICCU RS sekitar Manado. Sampel pada penelitian ini yaitu penderita infark miokard
akut yang tercatat sebagai pasien di ICCU RS sekitar Manado yang melakukan pemeriksaan
ekokardiografi dengan teknik purposive sampling. Sampel diambil sesuai dengan criteria
yaitu penderita penyakit infark miokard akut yang mendapatkan pemeriksaan ekokardiografi.
Pada penelitian ini dilakukan penelitian pada tiga variable yaitu : variable bebas yaitu
H.pylori pada penderita infark miokard akut, variabel tergantung yaitu infark miokard akut
yang terjadi pada subjek yang diteliti. variable perancu yaitu usia, jenis kelamin genetik,
riwayat hipertensi, riwayat DM, dislipidemia, merokok, menopause dan lokasi infark.
JURNAL IV (Kohort Retrospektif)

HUBUNGAN KEHAMILAN PADA USIA REMAJA DENGAN KEJADIAN


PREMATURITAS, BERAT BAYI LAHIR RENDAH DAN ASFIKSIA

RELATIONSHIP BETWEEN ADOLESCENT PREGNANCY WITH


PRETERM BIRTH, LOW BIRTH WEIGHT AND ASPHYXIA

Lutfatul Latifah dan Mekar Dwi Anggraeni Jurusan Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRACT
Pregnancy and labor in adolescent contribute to increase perinatal death in Indonesia. In
adolescent pregnancy, complications such as preterm labor, low birth weight, and perinatal
death often occur. The aim of this study to determine the association between adolescent
pregnancy and preterm birth, low birth weight and asphyxia. Methods : All adolescent
women who gave birth at Margono Soekarjo Purwokerto hospital in 2009 (n=60) were
included in this population -based a survey of cohort retrospective study. Chi Square was
used to analyse the relation between adolescent pregnancy and preterm birth, low birth
weight and asphyxia. Result of this study shows the average age of adolescent mother were
17,8 years old, with deviation standard 1,038, youngest age was 14 and oldest was 19.
Bivariate analysis shows there are significant relationship between adolescent pregnancy
and preterm bith with p=0,012 and OR= 3,857, and between adolescent pregnancy and low
birth weight with p=0,001 and OR=7. Meanwhile there is no relationship between
adolescent pregnancy and asphyxia.
Key words : adolescent pregnancy, preterm birth, low birth weight, asphyxia
Kesmasindo Volume 6, ( 1) Januari 2013, Hal. 26-34
PENDAHULUAN
sebesar 16,39/1000 dan 2,3/1000
Angka Kematian Bayi (AKB) atau kelahiran hidup Tiga
Infant Mortality Rate (IMR) di Indonesia
masih cukup tinggi. Hingga tahun 2008, penyebab utama kematian bayi adalah
AKB sebesar 31,04/1000 kelahiran infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),
hidup. Angka tersebut masih lebih komplikasi perinatal dan diare.
tinggi dibanding Malaysia dan Gabungan ketiga penyebab ini
Singapura yang masing-masing memberi andil bagi 75% kematian
27 Jurnal Kesmasindo Volume 6, Nomor 1 Januari 2013, Hal. 26-34

bayi (United Nation Development kenyataan lebih dari 50% remaja


Programme (UNDP) Indonesia, 2005). hamil tidak menerima perawatan
UNDP Indonesia (2005) prenatal sampai trimester kedua, 10%
menyebutkan bahwa 39% dari remaja hamil tidak menerima
kematian bayi terjadi pada bayi baru perawatan prenatal sampai trimester
lahir/BBL (usia 0-28 hari), dan ketiga (Hockaday, Crase, Shelley &
kematian BBL 79 % terjadi pada Stockdale, 2000). Ibu remaja hamil
periode neonatal dini (usia 0-7 hari). juga menunjukkan angka kejadian
Penyebab kematian neonatal dini komplikasi yang tinggi meliputi
adalah asfiksia, imaturitas, hipotermia, preeklamsia, penyakit menular
infeksi (Pilliteri, 2003). Sementara itu seksual, malnutrisi dan solusio
menurut SDKI 2002-2003, penyebab plasenta (Grady & Bloom, 2004).
kematian neonatal dini adalah Masalah malnutrisi yang diderita oleh
prematuritas dan Low Birth Weight ibu hamil remaja dapat menyebabkan
(35%) dan asfiksia (33,6%). risiko kelahiran bayi prematur
Proses kehamilan dan kelahiran (Sarwono, 2005) dan juga mengalami
pada usia remaja turut berkontribusi berat lahir rendah (Cater & Coleman,
dalam meningkatkan angka kematian 2006). Peningkatan kebutuhan nutrisi
perinatal di Indonesia. Menurut selama kehamilan dapat membahayakan

Sarwono (2005) pada ibu hamil usia pertumbuhan remaja dengan potensial yang
sama terhadap fetus. Berat bayi lahir yang
remaja sering mengalami komplikasi
rendah dan penyulit selama kehamilan dan
kehamilan yang buruk seperti
persalinan dapat terjadi akibat tidak
persalinan prematur, berat bayi lahir
adekuatnya nutrisi, karena kebutuhan nutrisi
rendah (BBLR) dan kematian masih dibutuhkan untuk pertumbuhan fisik
perinatal. Grady dan Bloom (2004), dari remaja sehingga terjadi kompetisi dengan
mengatakan bahwa kehamilan di kebutuhan untuk janin. WHO (1999),

bawah umur 16 tahun berhubungan memperkirakan sekitar 25 juta bayi BBLR lahir

dengan peningkatan angka kematian tiap tahun di dunia ini merupakan 17% dari
total kelahiran
perinatal dan lebih dari 18% kelahiran
prematur terjadi pada kelompok umur
ini. Beberapa komplikasi yang ditemui
pada remaja hamil didasarkan pada
Lutfatul Latifah, Hubungan Kehamilan Pada Usia Remaja 28

hidup. Hampir 95 % dari bayi BBLR lahir rendah (<2500gr) dan bayi
ini lahir di negara berkembang dan prematur (<38 usia gestasi), melalui
sebagian besar diantaranya lahir dari analisis multivariat dengan mengotrol
ibu usia remaja. ante natal care (ANC), etnik, paritas
Hasil penelitian terhadap 900 dan kejadian toxemia ternyata usia ibu
remaja di Camden, New Jersey, tahun tetap menjadi predisposisi yang
1992 didapatkan pada primi muda signifikan untuk kejadian tersebut.
terjadi peningkatan BBLR. Hal ini Sedangkan penelitian Thato, Rachukul
terjadi karena umur remaja yang relatif dan Sopajaree (2004) di rumah sakit
muda berkontribusi terhadap kejadian daerah di Bangkok dari tahun 2001-
BBLR sebagai akibat dari penurunan 2003 menunjukkan bahwa
usia menarkhe yang terjadi pada setiap dibandingkan dengan ibu hamil
tahun (Departement of Obstetrics and dewasa, ibu hamil remaja lebih rendah
Gynecology, 1992). Jadi usia persentasenya dalam hal operasi seksio
kronologis pada hakekatnya tidak (OR 2.05, CI 1.44, 2.92). Ibu hamil
dapat menjadi preditor yang baik remaja juga memiliki angka kejadian
untuk suatu hasil kehamilan. Namun kelahiran prematur lebih tinggi (OR
remaja tetap digolongkan sebagai 1.21, CI 1.01, 1.75) dan melahirkan
risiko tinggi terjadinya kematian pada bayi dengan berat lahir rendah (2931
ibu hamil dan berat badan yang rendah gr dan 3077 gr, p<0.001).
sebelum hamil.
Hasil penelitian sebelumnya Hasil penelitian Demir,
yang dilakukan oleh Leppert, Kadyyfcy, Ozgunen, Evruke dan
Namerow dan Barker (2003) pada 911 Karaca dari tahun 2001-2002 dengan
ibu hamil di rumah sakit pendidikan di melibatkan 442 ibu hamil remaja (<19
daerah urban menunjukkan hasil tahun). Rata-rata usia sewaktu
bahwa ibu hamil remaja (13-19) menikah adalah 18.24 tahun dan usia
meskipun dibandingkan dengan ibu gestasi 38.2 minggu. Rata-rata skor
hamil dewasa (20-36 tahun) lebih apgar pada menit pertama adalah 6.79
rendah dalam hal melahirkan dengan dan menit kelima 8.37, sedangkan
operasi seksio namun lebih tinggi angka persalinan dengan operasi
dalam melahirkan bayi dengan berat seksio adalah 25.8% dimana penyebab
- Jurnal Kesmasindo, Volume 6, Nomor 1 Januari 2013, Hal. 26-34

umumnya adalah pregnancy induced diteliti. Populasi dalam penelitian ini


hypertension (PIH) dan persalinan adalah ibu usia remaja yang
letak lintang atau sungsang. melakukan persalinan di Rumah Sakit
Komplikasi yang paling sering dialami Margono Soekarjo Purwokerto
adalah PIH (14.5%), kelahiran sepanjang tahun 2009 yaitu sebanyak
prematur (7.0%) dan melahirkan bayi 62 orang akan tetapi yang berhasil
berat lahir rendah (<2000gr) (10.2%). diidentifikasi hanya 60 orang. Sampel
Angka persalinan di Rumah merupakan bagian dari populasi yang
Sakit Margono Soekarjo Purwokerto akan dijadikan obyek penelitian.
tahun 2009 sebanyak 1236 dan 62 Pengambilan sampel adalah dengan
diantaranya adalah ibu yang berusia metode sampel jenuh dimana seluruh
dibawah 20 tahun. Dengan melihat populasi dijadikan sebagai sampel.
data tersebut menunjukkan bahwa Instrumen penelitian yang digunakan
angka ibu hamil yang berusia remaja adalah chek list yang diisi oleh peneliti
di wilayah Kabupaten Banyumas dengan melihat data sekunder yaitu
masih cukup tinggi. Berdasarkan data berupa rekam medis pasien.
tersebut dan temuan pada penelitian Analisa data univariat untuk
sebelumnya maka perlu dilakukan variabel independen dan variabel
penelitian sejenis untuk melihat dependen dengan data katagori
keterkaitan antara kehamilan remaja menggunakan jumlah dan proporsi
dengan kejadian prematuritas, BBLR sedangkan data numerik variabel
dan asfiksia di Rumah Sakit Margono independen dan dependen dianalisa
Soekarjo Purwokerto. mean, median, modus, standar deviasi
dan 95% Confidence Interval (CI).
METODE PENELITIAN Analisa bivariat variabel independen
Metode penelitian yang dan variabel dependen akan dilakukan
digunakan adalah penelitian survei dengan uji Chi Square untuk mengetahui
dengan pendekatan cohort retrospektif. apakah terdapat hubungan antara kehamilan
pada usia remaja dengan prematuritas, BBLR
Menurut Notoadmojo (2002), populasi
dan asfiksia.
adalah keseluruhan obyek penelitian
atau obyek yang
Lutfatul Latifah, Hubungan Kehamilan Pada Usia Remaja 30

HASIL DAN PEMBAHASAN berpendidikan SD 9 orang dan


berpendidikan SMA 20 orang. Tidak
Karakteristik Responden
ada dari responden ibu usia remaja
Tabel 1. Distribusi Responden
Berdasarkan Usia yang berpendidikan perguruan tinggi.

Vari- Mean SD Minimal- 95% CI


Jenis pekerjaan pada ibu usia remaja
abel Maksimal adalah siswa sebanyak 11 orang, IRT
Umur 17,8 1,038 14-19 17,53-18,07 45 orang dan buruh 4 orang. Hasil
studi tentang kehamilan remaja yang
Hasil penelitian menunjukkan
dilakukan oleh Grady, et al (2004),
bahwa rata-rata usia responden pada
melaporkan, bahwa satu dari tiga
kelompok remaja adalah 17,8 tahun
remaja perempuan tidak menyelesai-
dengan usia termuda 14 tahun.
kan pendidikannya sebelum menjadi
Swasono (1998), bahwa kira-kira 14
hamil. Sebuah penelitian yang
juta perempuan muda berumur 15 – 19
dilakukan oleh Raatikainen, Heiskanen
tahun melahirkan anak pertamanya, di
& Verkasalo (2005) ibu remaja hamil
Amerika Latin dan Karibia 12 – 28 %
juga lebih sering tidak bekerja (37.6%)
perempuan, pertama kali melahirkan
daripada ibu hamil dewasa (16.9%)
pada usia 15 – 17 tahun; di Afrika
dengan p<0.001. Hasil penelitian
Utara dan Timur tengah 3 – 27 %
Grogers dan Bronars
perempuan melahirkan seawal ini.
(1993 dalam Hanum, 1997)
Kurang dari seperlima perempuan di
membuktikan bahwa tingkat
Asia melahirkan pada usia 18 tahun.
pendidikan perempuan berkaitan
Tabel. 2. Distribusi Responden pada
Kelompok Kasus Menurut dengan usia kawin pertamanya.
Tingkat Pendidikan
Semakin dini seorang perempuan
Tingkat Frekuensi Prosentase melakukan perkawinan, semakin
Pendidikan
SD 9 15,0 rendah tingkat pendidikannya.
SMP 31 51,7
SMA 20 33,3 Perempuan yang dikawinkan di bawah
PT 0 0
JUMLAH 60 100 umur ketentuan Undang-Undang
Perkawinan (dibawah 16 tahun)
Tingkat pendidikan ibu remaja
sebanyak 15 % berasal dari kalangan
paling banyak adalah SMP yaitu
perempuan putus sekolah dasar.
sejumlah 31 orang (51,7%),
- Jurnal Kesmasindo, Volume 6, Nomor 1 Januari 2013, Hal. 26-34

Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Distribusi responden berdasar-


Jenis Pekerjaan
kan jenis pekerjaan terbanyak adalah
Pekerjaan Frekuensi Prosentase
Siswa 11 18,3 IRT yaitu 45 orang (75%). Sedangkan
IRT 45 75,0
Buruh 4 6,7
responden yang bekerja sebagai siswa
JUMLAH 60 100 dan buruh masing-masing 18,3% dan
6,7%.

Hubungan Kehamilan Remaja dengan Prematuritas


Tabel 4. Distribusi Responden Menurut Kejadian Prematuritas
Kelahiran Prematur Total OR (95% CI) P value
Usia Ya Tidak
n % n % n %
Remaja 18 30 42 70 60 100 3.857 0,012
Bukan Remaja 6 10 54 90 60 100 1,41-10,57
Jumlah 24 20 96 80 120 100

Hasil analisis hubungan antara Hasil penelitian ini


kehamilan remaja dengan prematuritas menunjukkan bahwa terdapat
diperoleh bahwa ada sebanyak 18 hubungan yang bermakna antara
(30%) remaja yang melahirkan bayi kehamilan remaja dengan kejadian
premature. Sedangkan diantara ibu prematuritas dan BBLR dimana nilai p
yang bukan remaja, ada 6 (10%) yang untuk kehamilan remaja dnegan
melahirkan bayi premature. Hasil uji prematuritas adalah 0,012 dan untuk
statistic diperoleh nilai p=0,012, maka BBLR 0,001. Berkaitan dengan hasil
dapat disimpulkan ada perbedaan penelitian ini, terdapat beberapa
proporsi kejadian prematuritas pada penelitian lain yang menunjang hasil
kehamilan remaja dan bukan remaja penelitian ini. Hasil penelitian terhadap 900

(ada hubungan yang signifikan antara remaja di Camden, New Jersey, tahun 1992
didapatkan pada primi muda terjadi
kehamilan remaja dengan
peningkatan BBLR. Hal ini terjadi karena umur
prematuritas). Dari hasil analisis
remaja yang relatif muda ber-kontribusi
diperoleh pula nilai OR=3,875, artinya
terhadap kejadian BBLR sebagai akibat dari
ibu remaja mempunyai peluang 3,88 penurunan usia menarkhe yang terjadi pada
kali untuk melahirkan bayi premature setiap
dibanding ibu bukan remaja.
Lutfatul Latifah, Hubungan Kehamilan Pada Usia Remaja 32

tahun (Departement of Obstetrics and Gynecology, 1992).


Hubungan Kehamilan Remaja dengan BBLR
Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Kejadian BBLR
BBLR Total OR P value
Usia Ya Tidak (95% CI)
n % % n %
Remaja 20 33,3 40 66,7 60 100 7 0,001
Bukan Remaja 4 6,7 56 93,3 60 100 2,22-22,06
Jumlah 24 20 96 80 120 100

Hasil analisis hubungan antara proporsi kejadian BBLR pada


kehamilan remaja dengan BBLR kehamilan remaja dan bukan remaja
diperoleh bahwa ada sebanyak 20 (ada hubungan yang signifikan antara
(33,3%) remaja yang melahirkan bayi kehamilan remaja dengan BBLR).
BBLR. Sedangkan diantara ibu yang Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
bukan remaja, ada 4 (6,7%) yang OR=7, artinya ibu remaja mempunyai
melahirkan bayi BBLR. Hasil uji peluang 7 kali untuk melahirkan bayi
statistic diperoleh nilai p=0,001, maka BBLR dibanding ibu bukan remaja.
dapat disimpulkan ada perbedaan
Hubungan Kehamilan remaja dengan Asfiksia
Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Kejadian Asfiksia

Usia Asfiksia Total OR P


Ya Tidak (95% CI) value
n % n % n %
Remaja 7 11,7 53 88,3 60 100 7,792 0,061
Bukan Remaja 1 1,7 59 98,3 60 100 0,93-65,4
Jumlah 8 6,7 112 93,3 120 100

Hasil analisis hubungan antara perbedaan proporsi kejadian asfiksia


kehamilan remaja dengan BBLR pada kehamilan remaja dan bukan
diperoleh bahwa ada sebanyak 7 remaja (tidak ada hubungan antara
(11,7%) remaja yang melahirkan bayi kehamilan remaja dengan asfiksia).
dengan asfiksia. Sedangkan diantara Menurut Rochjati (2000), pada ibu
ibu yang bukan remaja, ada 1 (1,7%) hamil usia remaja sering mengalami
yang melahirkan bayi dengan. Hasil komplikasi kehamilan yang buruk
uji statistic diperoleh nilai p=0,061, seperti persalinan prematur, berat bayi
maka dapat disimpulkan tidak ada lahir rendah (BBLR) dan kematian
33. Jurnal Kesmasindo, Volume 6, Nomor 1 Januari 2013, Hal. 26-34

perinatal. Beberapa komplikasi yang yang bermakna antara kehamilan


ditemui pada remaja hamil didasarkan remaja dengan kelahiran prematur dan
pada kenyataan lebih dari 50% remaja BBLR dengan nilai OR 3,86 dan 7.
hamil tidak menerima perawatan
prenatal sampai trimester kedua, 10% SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
remaja hamil tidak menerima
perawatan prenatal sampai trimester ← Karakteristik responden ibu

ketiga (Martin, Hamilton, Ventura & remaja berusia rata-rata 17,8

Munson, 2003). Ibu remaja hamil juga tahun dengan pendidikan


terbanyak SMP dan pekerjaan
menunjukkan angka kejadian
sebagai IRT.
komplikasi yang tinggi meliputi
← Terdapat hubungan antara
preeklamsia, penyakit menular
kehamilan remaja dengan
seksual, malnutrisi dan solusio
prematuritas dimana nilai
plasenta (Cole-McCrew & Shore,
p=0,012 dengan OR 3,58.
1991). Masalah malnutrisi yang
← Terdapat hubungan antara
diderita oleh ibu hamil remaja dapat
kehamilan remaja dengan
menyebabkan risiko kelahiran bayi
kejadian BBLR dimana nilai
prematur (Martin, 2003) dan juga
p=0,001 dengan OR 7.
mengalami berat lahir rendah
(Morgan, 1995). ← Tidak ada hubungan antara
kehemilan remaja dengan
Sebuah penelitian retrospektif yang
asfixia dimana nilai p>0,05.
dilakukan oleh Thato, Rachukul &
2. Saran
Sopajaree (2004) ibu hamil remaja
Perlunya penelitian lebih lanjut
juga memiliki angka kelahiran
tentang hubungan kehamilan remaja
prematur (OR 1.21, CI 1.01, 1.75) dan
dengan prematuritas, BBLR dan asfixia
melahirkan bayi dengan berat lahir
dengan jumlah sampel yang lebih besar
rendah (2931 gr dan 3077 gr, dan metode penelitian yang lain, misalnya
p<0.001). Hasil penelitian ini dengan metode kohort prospektif.
menemukan bahwa terdapat hubungan
Lutfatul Latifah, Hubungan Kehamilan Pada Usia Remaja 34

DAFTAR PUSTAKA Katherine, W.L., Barbara, P.L., & Catherine


P.M. (2002). Postpartum depression.
Afiyanti, Y. (2002). Deteksi dan pencegahan The New England Journal of Medicine,
dini postpartum. Jurnal Keperawatan 347 (3), 194-199.
Indonesia, 6(2), 70-76. Laura,M.J.,(2002). Postpartum depression.
Bloch M, Schmidt PJ, Danaceau M, Murphy J, The Journal of the American Medical
Nieman L, Rubinow DR. (2000)Effects Association, 287 (6), 762-765.
of gonadal steroids in women with a May & Mehlmeister (1994). Maternal and
history of postpartum depression. Am J neonatal nursing. 3 nd.ed. Philadelphia :
Psychiatry,157:924-30 J.B Lippincott Co.
Chabrol, H.,Teissedre, F., Saint-Jean, M., Miller,L.J., (2002) Post Partum Depression.
Teisserye, N., Roge, B.,& Mullet, E. JAMA, 287(6),762-765
(2002). Prevention and treatment of Murray L, Carothers AD. (1990)The
post-partum depression : a controlled validation of the Edinburgh Postnatal
randomized study on women at risk. Depression Scale on a community
Phsycological Medicine, 32 (6), 1039- sample. Br J Psychiatry;157,288-290
1047. Reeder. et all. (1997). Family, newborn and
Clifford, C., Day, A., Cox, J.,& Warrett, J. womens health care. Philadelphia : J.B
(1999). A cross-cultural analysis of the Lippincott Co
use of the Edinburgh post-natal Saifuddin, A.B., Wiknjosastro, G.H., Affandi,
depression scale (EPDS) in health B., & Waspodo, D.,(2002).Buku
visiting practice. Journal of Advanced panduan praktis pelayanan kesehatan
Nursing, 30 (3), 655-664. maternal dan neonatal. Edisi I, Cetakan
Cohen, S.M. et all (1991). Maternal, neonatal I. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
and womens health nursing. Sarwono Prawiroharjdo.
Pennsylvania : Springhouse Sugiyono. (1999). Statistik Nonparametris
Cox JL, Holden JM, Sagovsky Untuk Penelitian. Bandung : CV.
R.(1987)Detection of postnatal ALFABETA
depression: development of the 10-item Uwakwe, R.,(2003). Affective (depressive
Edinburgh Postnatal Depression Scale. morbodity in puerperal Nigerian
Br J Psychiatry,150:782-6 women : validation of the Edinburgh
Departemen Kesehatan RI. (2000). Profil postnatal depression scale. Acta
Kesehatan Indonesia 1999. Jakarta: Psychiatr Scand, 107, 251-259
Pusat Data Kesehatan Jakarta. Wisner KL, Perel JM, Peindl KS, Hanusa BH,
Downie, J., Wynaden, D., McGowan, S.,Juliff, Findling RL, Rapport D. (2001)
D., Axten, C., Fitzpatrick, L., Ogilvie, Prevention of recurrent postpartum
S., & Painter, S. (2003). Using the depression: a randomized clinical trial.
Edinburgh postnatal depression scale to J Clin Psychiatry;62:82-6
achieve best practice standards. Nursing Wisner, K L., Parry, B.L., Piontek,
and Health Sciences, 5, 283-287. C.M.(2002) Post Partum
Georgiopoulos AM, Bryan TL, Wollan P, et al. Depression. The New England
(2001)Routine screening for Journal of Medicine, 347 (3), 194-
postpartum depression. J Fam 199
Pract.,50:117-122.
Gorrie, T.M et all (1998). Foundations of
maternal newborn nursing. 2 nd.ed.
USA : W.B Saubders Co
Heh, S.,& Fu, Y. (2002). Effectiveness of
informational support in reducing the
security of postnatal depression in
Taiwan. Journal of Advanced Nursing,
42 (3), 30-36.
International Council on Management of
Population Programmes/ICOMP,
(1997).Adolescents/youth reproductive
health hazards. Feedback23(3):5 (1997).
Kritikan Jurnal IV ( Kohort Retrospektif )
Dari penelitian jurnal diatas terlihat bahwa jurnal tersebut berdesain atau
menggunakan desain kohort retrospektif, hal tersebut sesuai dalam kasus penyakit yang
mereka teliti yaitu efek atau penyakit yang sudah terjadi dimasa lampau sebelum dimulainya
penelitian. Dengan demikian variable tersebut diukur melalui catatan historis, yang
dinyatakan dalam metode jurnal mereka yaitu Populasi dalam penelitian ini adalah ibu usia
remaja yang melakukan persalinan di Rumah SakitMargono Soekarjo Purwokerto sepanjang
tahun 2009 yaitu sebanyak 62 orang akan tetapi yang berhasil diidentifikasi hanya 60 orang.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan dijadikan obyek penelitian. Pengambilan
sampel adalah dengan metode sampel jenuh dimana seluruh populasi dijadikan sebagai
sampel. Instrumen penelitian yang digunakan adalah chek list yang diisi oleh peneliti dengan
melihat data sekunder yaitu berupa rekam medis pasien.
Analisa data univariat untuk variabel independen dan variabel dependen dengan data
katagori menggunakan jumlah dan proporsi sedangkan data numerik variabel independen
dan dependen dianalisa mean, median, modus, standar deviasi dan 95% Confidence Interval
(CI). Analisa bivariat variabel independen dan variabel dependen akan dilakukan
dengan uji Chi Square untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kehamilan pada
usia remaja dengan prematuritas, BBLR dan asfiksia.

Anda mungkin juga menyukai