OLEH:
MEDAN 2019/2020
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
1
ABSTRACT
The objectives of this study were to analyze relationship of maternal height, nutrients intake and
nutritional status in children under five years. The study design used was cross-sectional study with 90
children as subjects that consisted of 47 stunting children and 43 normal children. This study showed that
short mothers (height <150 cm) were more prevalent in stunting children (74.5%) compared to normal
children (60.5%). Energy and protein adequacy level of stunting and normal children were relatively severe
deficient. There were no significant relationship between maternal height and energy adequacy level with
nutritional status. However, there was a negative relationship between protein adequacy level with
nutritional status (p<0.05; r=-0.223).
Keywords: children under five years, maternal height, nutrients intake, nutritional status
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan tinggi badan ibu, asupan gizi dan status gizi anak balita. Desain
penelitian yang digunakan adalah cross sectional study dengan subjek sebanyak 90 anak terdiri dari 47 anak
stunting dan 43 anak normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang pendek (TB<150 cm) lebih banyak
terdapat pada anak stunting (74.5%) dibandingkan anak normal (60.5%). Tingkat kecukupan energi dan protein
anak stunting maupun anak normal masih tergolong defisit berat. Hasil uji korelasi Pearson diketahui bahwa tidak
ada hubungan signifikan antara tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan energi dengan status gizi. Namun,
terdapat hubungan negatif antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (p<0.05, r=-0.223).
Kata kunci: anak balita, asupan gizi, status gizi, tinggi badan ibu
Korespondensi: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor,
*
sedang (70—79% AKG) dan defisit tingkat berat (<70% Proporsi laki-laki dan perempuan secara ke-
AKG). Status gizi anak balita dinilai berdasarkan in- seluruhan tidak jauh berbeda, dengan lebih dari
deks tinggi badan terhadap umur menurut standar separuh anak (51.1%) adalah perempuan. Anak
baku WHO-NCHS adalah pendek (z-skor <-2.0) dan stunting lebih banyak berjenis kelamin laki-laki
normal (z-skor ≥-2.0) (Depkes 2013). (55.3%). Sebaliknya anak normal lebih banyak ada-
Pengolahan data meliputi editing, cleaning, lah perempuan (58.1%) (Tabel 1). Beberapa pene-
dan analisis data menggunakan Microsoft Excel litian seperti Teshome et al. (2009) dan Malla &
2010 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Sebelum Shrestha (2004) menunjukkan bahwa anak laki-laki
analisis dilakukan, uji normalitas dilakukan lebih mudah mengalami malnutrisi dibandingkan
menggunakan Kolmogorov-Smirnov test. Uji anak perempuan. Kondisi ini dapat terjadi karena
statistik yang diguna-kan adalah uji korelasi adanya perbedaan praktik makan yang diberikan
Pearson untuk menganalisis hubungan antara tinggi oleh orangtua.
badan ibu, tingkat kecu-kupan energi dan protein
dengan status gizi (TB/U) anak balita. Karakteristik Ibu
Sebagian besar ibu anak (67.8%) tergolong
HASIL DAN PEMBAHASAN pendek. Anak stunting (74.5%) lebih banyak memi-liki
ibu yang pendek daripada anak normal (60.5%) (Tabel
Karakteristik Anak Balita
2). Black et al. (2008) menjelaskan status gizi yang
Subjek penelitian ini berumur 6—59 bulan. buruk dan tinggi badan ibu yang pendek dapat
Secara keseluruhan, proporsi umur anak tersebar meningkatkan risiko kegagalan pertumbuhan
hampir merata dengan terbanyak pada umur 48—59 intrauterine. Pertumbuhan janin kurang memadai
bulan (22.2%). Tabel 1 menunjukkan anak stunting selama dalam kandungan akan berdampak pada
lebih banyak berumur 48—59 bulan (29.8%) sedang- pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih
kan anak normal lebih banyak berumur 6—11 bulan rendah. Jika dilihat dari pendidikan ibu, sebagian
(37.2%). Hal ini mengindikasikan bertambahnya umur besar ibu anak secara keseluruhan masih memiliki
anak, maka akan semakin jauh dari pertum-buhan tingkat pendidikan formal yang rendah yaitu Seko-lah
linier normal. Kondisi ini diduga disebabkan oleh Dasar (SD). Anak stunting (70.2%) lebih sedikit
semakin tinggi usia anak maka kebutuhan e-nergi dan memiliki ibu yang pendidikan SD daripada anak
zat gizi juga semakin meningkat. Pertum-buhan anak normal (79.1%). Penelitian Semba et al. (2008) me-
semakin menyimpang dari normal de-ngan laporkan bahwa tingkat pendidikan ibu secara sig-
bertambahnya umur jika penyediaan makanan nifikan berkaitan dengan status gizi anak. Ibu yang
(kuantitas maupun kualitas) tidak memadai. Pene- memiliki pendidikan tinggi akan berdampak pada pola
litian Zottarelli et al . (2007) di Mesir melaporkan asuh yang diberikan kepada anak. Peningkatan
bahwa anak stunting lebih banyak pada umur ≥12 pendidikan ibu secara signifikan berkaitan dengan
bulan dibandingkan <12 bulan. Ramli et al. (2009) penurunan kejadian stunting pada anak balita. Ber-
yang melakukan penelitian di provinsi Maluku juga dasarkan pekerjaan ibu, sebagian besar ibu anak tidak
menunjukkan bahwa peningkatan usia anak secara bekerja (79.0%). Ibu yang bekerja lebih ba-nyak pada
statistik berkaitan dengan kejadian stunting anak anak stunting (23.4%) dibandingkan anak normal
umur 0—59 bulan. (18.6%). Mamabolo et al. (2005) menyatakan ibu yang
bekerja erat kaitannya dengan pemberian pola asuh
Tabel 1. Sebaran Karakteristik dan Status Gizi anak. Kejadian stunting anak mengalami peningkatan
Anak Balita pada ibu yang bekerja. Ibu yang banyak bekerja di
luar rumah akan semakin sedikit mem-berikan
Karakteristik Stunting Normal Total
perhatian kepada anak dibandingkan ibu ru-mah
Anak n % n % n %
tangga atau tidak bekerja.
Umur: Berdasarkan rata-rata skor pengetahuan gizi,
6—11 bulan 2 4.3 16 37.2 18 20.0 ibu anak stunting cenderung lebih baik daripada
12—23 bulan 9 19.2 9 20.8 18 20.0 ibu anak normal. Kondisi ini diduga karena ibu anak
24—35 bulan 12 25.4 6 14 18 20.0 stunting (6.9±2.4 tahun) memiliki rata-rata lama
36—47 bulan 10 21.3 6 14 16 17.8 pendidikan relatif lebih tinggi daripada ibu anak
48—59 bulan
14 29.8 6 14 20 22.2 normal (6.1±1.8 tahun). Akan tetapi, tingkat
47 100 43 100 90 100 penge-tahuan gizi yang baik lebih banyak dimiliki
Total oleh ibu anak normal (39.5%) dibandingkan ibu
Rata-rata ± SD 37±14.5 24±16.3 30.5±16.6 anak stunting (38.3%).
Jenis Kelamin:
Laki-laki 26 55.3 18 41.9 44 48.9 Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Perempuan 21 44.7 25 58.1 46 51.1 Berdasarkan tingkat kecukupan energi, se-
Total 47 100 43 100 90 100 Cara keseluruhan sebagian besar anak(62.2%)
3
JGP, Volume 9, Nomor 1, Maret 2014
Hanum dkk.
berada pada kondisi defisit berat. Anak normal Tabel 3. Sebaran Tingkat Kecukupan Energi dan
cenderung memiliki tingkat kecukupan energi lebih Status Gizi Anak Balita
tinggi dibandingkan anak stunting. Tingkat
kecukupan energi yang defisit berat lebih banyak Tingkat Stunting Normal Total
dimiliki oleh anak stunting (63.8%) daripada anak Kecukupan N % n % N %
normal (60.5%) (Tabel 3). Energi:
Hasil yang sama juga terdapat pada tingkat Defisit berat 30 63.8 26 60.5 56 62.2
kecukupan protein anak yang lebih dari separuh Defisit sedang 6 12.8 3 7.0 9 10.0
(53.3%) juga tergolong defisit berat. Namun, anak Defisit ringan 3 6.4 3 7.0 6 6.7
stunting cenderung memiliki tingkat kecukupan pro- Normal 6 12.8 8 18.5 14 15.6
tein lebih tinggi dibandingkan anak normal. Tingkat Kelebihan 2 4.2 3 7.0 5 5.6
kecukupan protein yang defisit berat lebih banyak Total 47 100 43 100 90 100
terdapat pada anak normal (55.8%) daripada anak Rata-rata±SD 60.9±26.9 63.3±41.8 62.0±34.7
stunting (51.1%). Hal ini diduga karena anak stunt-ing Protein:
lebih banyak berusia diatas satu tahun sehingga
Defisit berat 24 51.1 24 55.8 48 53.3
konsumsi anak lebih banyak dan beragam termasuk
Defisit sedang 3 6.4 4 9.3 7 7.8
pangan sumber protein, sedangkan anak normal ba- Defisit ringan 10 21.3 4 9.3 14 15.6
nyak berusia kurang dari 1 tahun sehingga konsumsi Normal 6 12.8 5 11.6 11 12.2
anak cenderung hanya MP-ASI dengan konsumsi pa- Kelebihan 4 8.4 6 14.0 10 11.1
ngan sumber protein lebih rendah (Tabel 3). Total 47 100 43 100 90 100
Rata-rata±SD 70.2±44.8 66.2±46.5 68.3±45.4
Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi
(TB/U) diduga karena ibu pendek akibat patologis atau
Hasil uji korelasi Pearson tidak ada hubung- kekurangan zat gizi bukan karena kelainan gen da-lam
an yang signifikan (p>0.05, r=0.562) antara tinggi kromosom. Mamabolo et al. (2005) menjelas-kan
badan ibu dengan status gizi (TB/U) anak. Hal ini bahwa orangtua yang pendek karena gen dalam
4 JGP, Volume 9, Nomor 1, Maret 2014
kromosom yang membawa sifat pendek kemung-kinan
besar akan menurunkan sifat pendek terse-but vei oleh Solihin et al. (2013) yang menunjukkan
kepada anaknya. Apabila sifat pendek orangtua adanya hubungan signifikan positif antara tingkat
disebabkan masalah gizi maupun patologis, maka sifat kecukupan protein dengan status gizi anak balita.
pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada Setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan
anaknya. Penelitian ini tidak meneliti faktor-faktor protein balita, akan menambah z-skor TB/U balita
yang memengaruhi tinggi badan ibu sehingga tidak sebesar 0.024 satuan. Penelitian yang dilakukan oleh
dapat dibedakan apakah tinggi badan ibu saat ini Anindita pada tahun 2012 di Semarang juga menun-
merupakan pengaruh genetik atau karena pengaruh jukkan bahwa tingkat kecukupan protein secara sig-
patologis maupun malnutrisi. Hasil penelitian ini se- nifikan berhubungan dengan status gizi balita. Hasil
suai dengan penelitian Kusuma dan Nuryanto (2013) penelitian ini juga menjelaskan jika protein dikait-
bahwa tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan kan dengan tinggi badan anak, ada anak-anak yang
status gizi anak balita. Namun bertentangan dengan mempunyai tinggi badan normal yang mengalami
penelitian Solihin et al. (2013), Semba et al. (2008), defisiensi protein. Bahkan sebaliknya anak-anak yang
dan Zottarelli et al. (2007) yang menyatakan bah-wa tinggi badannya pendek ternyata saat ini mem-punyai
tinggi badan ibu berhubungan signifikan dengan status asupan protein yang baik. Konsumsi protein tidak
gizi (TB/U) anak balita. Kejadian anak stunt-ing secara langsung berkaitan dengan tinggi badan akan
mengalami peningkatan pada ibu yang memiliki tetapi tinggi badan merupakan gambaran asu-pan
TB<150 cm. pangan pada masa lampau.
Korespondensi Penulis: Rony D Alnur, Program studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-ilmu
Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, E-mail: ronyalnur@uhamka.ac.id
ABSTRAK
Tuberkulosis Paru yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis, merupakan penyakit menular yang
masih menjadi permasalahan global. Saat ini, Indonesia masuk dalam negara dengan beban tinggi
Tuberkulosis Paru dan menduduki peringkat ke-2 sebagai negara dengan jumlah penderita Tuberkulosis
Paru terbanyak setelah India. Salah satu kelompok berisiko menderita Tuberkulosis Paru adalah kelompok
masyarakat menengah ke bawah . Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada kelompok tersebut. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi case control. Sampel penelitian sebanyak 60
orang yang terdiri dari 30 orang penderita Tuberkulosis Paru dan 30 orang bukan penderita Tuberkulosis
Paru sebagai kontrol. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji Chi- Square pada tingkat
kepercayaan 95%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko Tuberkulosis Paru di wilayah
kerja Puskesmas Bambu Apus adalah riwayat kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru (OR:
3,5; 95% CI: 1,112-11,017; p= 0,02) dan Kebiasaan merokok keluarga (OR: 4,3; 95% CI: 1,203-15,605;
p= 0,02). Sedangkan, tingkat pendidikan dan kepadatan hunian bukan merupakan variabel yang
berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus.
Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, Riwayat Kontak Serumah, Kebiasaan Merokok Keluarga
ABSTRACT
Tuberculosis caused by Mycrobacterium tuberculosis, is an infectious disease that is still a global problem.
Currently, Indonesia is included in the country with a high burden of Tuberculosis and ranks second as the
country with the highest number of Tuberculosis patients after India. One group at risk of suffering from
Tuberculosis was the middle to lower class of society. Therefore, this studied aims to determine the risk factors
associated with incidence of Tuberculosis in the group. This studied used a quantitative with a case control
study design. The sample was 60 people that was 30 people with Tuberculosis and 30 non-Tuberculosis patients
as controls. Data was analyzed by univariate and bivariate by Chi-Square test at 95% confidence level. The
results of this studied indicate that the risk factors for Tuberculosis in the work area of Bambu Apus Health
Center are household contact with Tuberculosis patients (OR: 3.5; 95% CI: 1.112-11.017; p = 0.02) and
smoking habits of family ( OR: 4.3; 95% CI: 1,203-15,605; p = 0.02). While, the level of education and
occupancy density did not a variable associated with the incidence of Tuberculosis in the
work area of Bambu Apus Health Center.
Key Words: Tuberculosis, Household Contact, Smoking Habits of Family
113 ~ Rony D Alnur dan Rismawati Pangestika Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja...
PENDAHULUAN laki - laki, 123,453 wanita) dengan CDR (Case
Tuberkulosis Paru merupakan penyakit Detection Rate) sebesar 60,59%.
menular yang masih menjadi permasalahan di
dunia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Hasil survei awal yang dilakukan oleh
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala utama peneliti bersama dengan kader Tuberkulosis
Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus
yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. didapatkan informasi bahwa mayoritas
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu masyarakat yang menderita Tuberkulosis Paru di
wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus adalah
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, mayarakat pada kelompok menengah ke bawah.
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan Berdasarkan survei tersebut, peneliti tertarik
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa untuk melakukan penelitian dengan
memfokuskan sasaran penelitian pada
kegiatan fisik dan demam meriang lebih dari satu masyarakat kelompok tersebut.
bulan (Kemenkes RI, 2018). Adapun indikator pendapatan kepala
Menurut WHO dalam Global Tuberculosis keluarga berdasarkan UMK (Upah Minimum
Report 2017, Tuberkulosis Paru merupakan salah Kabupaten/Kota) digunakan sebagai acuan
satu penyakit dari 10 penyebab kematian di dunia. dalam penentuan kelompok sasaran. Adapun
Tuberkulosis Paru juga merupakan penyebab topik penenlitian ini adalah hubungan faktor
utama kematian yang berkaitan dengan anti risiko (Tingkat pendidikan, riwayat kontak
microbial resestence dan pembunuh utama serumah, kebiasaan merokok keluarga dan
penderita HIV. Pada tahun 2016, diperkirakan kepadatan hunian) dengan kejadian
terdapat 10,4 juta kasus baru (insidensi) Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
Tuberkulosis di seluruh dunia, diantaranya 6,2 juta Bambu Apus Kota Tangerang Selatan.
laki - laki, 3,2 juta wanita dan 1 juta adalah anak
- anak dan diantara penderita Tuberkulosis Paru SUBYEK DAN METODE
tersebut, 10% diantaranya merupakan penderita Populasi target untuk kasus dari penelitian
HIV positif. 7 negara yang menyumbang 64% ini adalah semua penderita Tuberkulosis Paru dan
kasus baru Tuberkulosis Paru di dunia adalah berdomisili di Kota Tangerang Selatan, sedangkan
India, Indonesia, Tiongkok, Filipina, Pakistan, populasi kontrol dalam penelitian ini adalah semua
Nigeria dan Afrika Selatan. Pada tahun yang orang yang tidak menderita Tuberkulosis Paru dan
sama 1,7 orang meninggal karena Tuberkulosis berdomisili di Kota Tangerang Selatan. Cara
Paru termasuk di dalamnya 0,4 juta merupakan pengambilan sampel dengan cara simple random
penderita HIV. Namun secara global tingkat sampling. Sampel diambil dengan ketentuan dasar
kematian penderita Tuberkulosis Paru memenuhi krit
mengalami penurunan sebanyak 37% dari tahun eria inklusi yang telah ditetapkan. Sampel
2000 - 2016 (WHO, 2017). kasus pada penelitian ini adalah masyarakat yang
Data dari Profil Kesehatan Republik menderita Tuberkulosis Paru dan tercatat di
Indonesia tahun 2016 menyatakan bahwa puskesmas Bambu Apus sedangkan sampel kasus
terdapat 156.723 kasus baru Tuberkulosis Paru dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tidak
BTA positif yang terdiri dari 95.382 (61%) laki menderita Tuberkulosis Paru dan berdomisili di
- laki dan 61.341 (39%) wanita. 1.507 (0,96%) sekitar rumah sampel kelompok kasus.
penderita Tuberkulosis Paru BTA positif Kriteria inklusi dan eksklusi yang
merupakan anak usia 0 - 14 tahun, 117.474 digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan
(74,96%) penderita Tuberkulosis Paru BTA untuk memfokuskan sampel penelitian yang akan
positif merupakan usia produktif (15 - 54 tahun) diteliti. Adapun kriteria insklusi pada kelompok
dan 37.742 (24,08%) penderita Tuberkulosis kasus adalah masyarakat (<UMK Kota Tangerang
Paru BTA positif merupakan lansia. Sedangkan Selatan: Rp. 3.555.834,-), menderita Tuberkulosis
hasil cakupan penemuan semua kasus penyakit Paru yang tercatat di Puskesmas Bambu Apus,
Tuberkulosis Paru sebanyak 298.128 (174.675 berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Bambu
Apus dan bersedia berpatisipasi dalam penelitian
sedangkan kriteria eksklusi pada kelompok kasus adalah responden tidak berada di tempat saat
pengumpulan data. Adapun kriteria insklusi pada
ARKESMAS, Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 ~ 11
kelompok kontrol adalah masyarakat (<UMK dalam penelitian ini berupa kuesioner yang di
Kota Tangerang Selatan: Rp. 3.555.834,-), tidak dalamnya terdapat beberapa pertanyaan mengenai
tercatat di Puskesmas Bambu Apus sebagai faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru.
penderita Tuberkulosis Paru, berdomisili di Pengolahan data yang telah dikumpulkan dilakukan
sekitar rumah penderita Tuberkulosis Paru dan dengan menggunakan program komputer. Penyajian
bersedia berpatisipasi dalam penelitian, data disajikan dalam bentuk tabel distribusi
sedangkan kriteria eksklusi pada kelompok frekuensi yang disertai penjelasan
kontrol adalah responden tidak berada di tempat - penjelasan dan selanjutnya disajikan dalam
saat pengumpulan data bentuk tabel analisis hubungan antara variabel
Penelitian ini merupakan penelitian
yaitu tabel 2x2.
observasional analitik dengan desain studi kasus
kontrol yaitu penelitian analitik yang HASIL
membandingkan antara kelompok orang yang Karakteristik responden yang digambarkan
menderita penyakit (kasus) dengan kelompok dalam penelitian ini meliputi kelompok umur, jenis
lainnya yang tidak menderita penyakit (kontrol). kelamin dan tingkat pendidikan responden.
Pada penelitian ini kasus atau subjek dengan Gambaran karakteristik responden menurut
atribut positif diidentifikasi terlebih dahulu, kelompok umur, jenis kelamin dan tingkat
kemudian sebagai kontrolnya dicarikan subjek pendidikan responden disajikan pada tabel 1.
negatif (Lameshow dkk., 1997). Penelitian ini Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa
dilaksanakan pada bulan agustus 2018 sampai berdasarkan kelompok umur, dari total 60 orang
dengan bulan januari 2019. Penelitian dalam responden yang diteliti, kelompok responden
rangka pengumpulan data dilakukan di wilayah tertinggi terdapat pada kelompok umur 35 - 54
kerja Puskesmas Bambu Apus Kota Tangerang tahun yakni sebanyak 33 orang responden (55%),
Selatan. dimana 18 orang responden pada kelompok kasus
Variabel bebas yang diteliti pada penelitian dan 15 orang responden pada kelompok kontrol).
ini adalah tingkat pendidikan, riwayat kontak Sedangkan kelompok responden terendah terdapat
serumah, kebiasaan merokok keluarga, dan pada kelompok umur >74 tahun yakni 1 orang
kepadatan hunian. Sedangkan variabel terikat pada responden (1,7%), dimana responden tersebut
penelitian adalah kejadian Tuberkulosis Paru. terdapat pada kelompok kasus.
Adapun instrumen penelitian yang digunakan
DISKUSI
Menurut teori Lawrance Green, Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi
(faktor pemudah) dalam mewujudkan perilaku kesehatan (Notoatmodjo S, 2012). Hasil Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Fitriani E, 2013) di Kabupaten Brebes yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penderita Tuberkulosis Paru di wilayah
kerja Puskesmas Ketanggungan. Tidak ditemukannya hubungan antara tingkat pendidikan dengan
kejadian Tuberkulosis Paru diduga karena banyaknya responden dalam penelitian ini baik pada kelompok
kasus maupun kelompok kontrol yang tingkat pendidikannya menengah ke atas.
Selanjutnya, pada variabel riwayat kontak serumah, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang signifikan dengan kejadian Tubekulosis Paru. Penderita penyakit Tuberkulosis Paru
kemungkinan besar akan menularkan kuman Tuberkulosis pada orang yang menghabiskan waktu sepanjang
hari dengan mereka, dalam hal ini termasuk anggota keluarga, teman dan rekan kerja atau teman sekolah
(Centers for Disease Control and Prevention, 2016). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Fitriani E, 2013) di Kabupaten Brebes yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
riwayat kontak dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Ketanggungan dengan nilai
OR sebesar 5 kali. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Rohayu N, 2016) di
Kabupaten Buton Selatan yang menyatakan ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian
ARKESMAS, Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 ~ 116 Tuberkulosis Paru. Hasil uji statistik menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan
Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas merokok anggota keluarga dengan kejadian
Kadatua. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
(Rohayu N, 2016) didapatkan bahwa orang yang
Bambu Apus. Kebiasaan merokok dan atau
memiliki riwayat kontak 5 kali berisiko menderita
menghisap asap rokok (perokok pasif) memperburuk
Tuberkulosis Paru.
Terdapatnya hubungan antara riwayat gejala Tuberkulosis Paru pada individu. Dimana
kontak serumah dengan kejadian Tuberkulosis perokok pasif akan lebih mudah terinfeksi bakteri
Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus Microbacterium tuberculosis. Hal ini disebabkan
diduga disebabkan oleh sebahagian besar dari asap rokok memiliki dampak buruk pada daya tahan
responden yang diteliti pada kelompok kasus paru terhadap bakteri. Hasil penelitian ini sejalan
maupun kontrol memiliki riwayat kontak dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Lalombo
penderita Tuberkulosis Paru sebelumnya. Hal ini dkk., 2015) di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang
didukung dengan hasil observasi di lapangan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
menunjukkan banyaknya responden yang anggota kebiasaan merokok dengan kejadian Tuberkulosis
keluarganya sedang atau pernah menderita Paru di wilayah kerja Puskesmas Ketanggungan
Tuberkulosis Paru. Sebagaimana diketahui bahwa dengan nilai OR sebesar 5,4 kali. Tingginya
Mode of transmission penyakit Tuberkulosis Paru persentase kebiasaan merokok anggota keluarga
dapat melalui droplet, sehingga keterpaparan yang mencapai 71,7% diduga menjadi faktor
dengan droplet penderita Tuberkulosis Paru pada penyebab adanya hubungan antara kebiasaan
mereka yang tinggal serumah akan lebih tinggi merokok anggota keluarga serumah dengan kejadian
dibandingkan tidak tinggal serumah. Tuberkulosis Paru.
Pada variabel kebiasaan merokok, peneliti
melihat sejauh mana kebiasaan merokok anggota Kepadatan hunian juga merupakan variabel
keluarga serumah mempengaruhi keterpaparan yang diteliti dalam penelitian ini. Hasil
117 ~ Rony D Alnur dan Rismawati Pangestika Faktor Risiko
Tuberkulosis Paru Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja...
uji statistik pada variabel kepadatan hunian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan secara
statistik antara kepadatan hunian dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu
Apus. Hasil Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rohayu N, 2016) di
Kabupaten Buton Selatan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Kadatua Kabupaten Buton Selatan. Pada penelitian
tersebut diketahui bahwa orang yang tinggal di hunian padat berisiko 8 kali untuk menderita Tuberkulosis
Paru.
Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara variabel kepadatan hunian
dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bambu Apus namun variabel ini berpotensi
memiliki dampak di masa yang akan datang mengingat banyaknya responden yang berdomisili dengan
status hunian padat. Hal ini didukung hasil observasi yang menunjukkan banyaknya responden yang tinggal
di kost - kostan di wilayah Kecamatan Pamulang Kota Tangerang selatan. Selain itu tidak terdapatnya
hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian Tuberkulosis Paru diduga dipengaruhi oleh proporsi
kepadatan hunian pada kelompok kasus dan kontrol yang hampir sama.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa riwayat kontak
serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dan kebiasaan merokok keluarga memiliki hubungan
secara statistik dan merupakan faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru sedangkan tingkat pendidikan
responden dan kepadatan hunian tidak memiliki hubungan secara statistik dan bukan merupakan
faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas bambu Apus, Kota Tangerang
Selatan. Sehingga, berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti merekomendasikan untuk terus
meningkatkan upaya kegiatan preventif dan promotion khususnya pada faktor risiko Tuberkulosis Paru
yang dipengaruhi oleh faktor perilaku anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. (2016).
How TB Spreads.
Retrieved from
https://www. cdc . gov/tb/topic/basics/h owtbspreads.htm
Fitriani, Eka. (2013). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru (Studi Kasus di
Puskesmas Ketanggungan Kabupaten Brebes Tahun 2012). Unnes Journal of Public Health, 2(1), 2–5.
Retrieved from https://doi.org/https://doi.org/10.1529 4/ujph.v2i1.3034
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Profil Data
Kesehatan Indonesia. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; Tuberkulosis. Jakarta.
Retrieved from
h t t p : / / w w w. d e p k e s . g o . i d / d o w n l o a d . php?file=download/pusdatin/infodatin/ infodatin
%20tuberkulosis%202018.pdf
Lalombo, A. Yulied., Palandeng, Henry., Kallo, D. Vanri., (2015). Hubungan Kebiasaan Merokok dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Siloam Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan sangihe.
Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/
article/view/7529/7081
Lameshow, S., Hosmer, D. W., Klar, J. Lwanga, S.(1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Cetakan Ke-1 Jakarta: PT. Rineka Cipta
Rohayu, Nurliza. (2016). Analisis Faktor Risiko
Kejadian TB Paru BTA Positif Pada Masyarakat
Pesisir Di Wilayah Kerja Puskesmas Kadatua
Kabupaten Buton Selatan Tahun 2016, 58, 1–15.
Retrieved from
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKE%20
SMAS/article/view/1257/903
UMK Provinsi Banten. (2018). Keputusan Gubernur
Banten Nomor 561/Kep. 442-Huk/2017. Banten
Retrieved from
https://spn.or.id/dppspn/UMK-TAHUN-2018-
BANTEN.pdf
WHO 2017. Global Tuberculosis Report 2017. Jenewa
Kritikan Jurnal II ( Case Control )
Berdasarkan pada jurnal diatas terlihat jelas bahwa jurnal tersebut berdesain atau
menggunakan desain case control, hal ini karena mereka mengangkat kasus penyakit yang
mereka teliti yaitu penyakit tuberculosis paru yang ada di wilayah kerja puskesmas bamboo
apus kota Tanggerang Selatan. Penyakit Tb paru merupakan penyakit yang masa latennya
panjang dan cocok diteliti dengan menggunakan desain case control. Pada penelitian ini juga
peneliti hanya berfokus pada satu variable penyakit yang masa latennya panjang yang diderita
pasien pada puskesmas di wilayah kerja puskesmas bamboo apus kota tanggerang selatan.
Pada jurnal ini peneliti membandingkan antara kelompok orang yang menderita penyakit
(kasus) dengan kelompok lainnya yang tidak menderita penyakit (control). Pada penelitian ini
kasus atau subjek dengan atribut positif diidentifikasikan terlebih dahulu, kemudian sebagai
kontrolnya dicarikan subjek negative. Variable bebas yang diteliti pada penelitian ini adalah
tingkat pendidikan, riwayat kontak serumah, kebiasaan merokok keluarga, dan kepadatan
hunian. Sedangkan variable terikat pada penelitian ini adalah kejadian tuberculosis paru.
Populasi target untuk kasus ini adalah semua penderita TB paru sedangkan populasi kontro
dalam penelitian ini adalah semua orang yang tidak menderita TB parudan berdomisili di Kota
Tanggerang Selatan. Kelemahan pada penelitian ini adalah kelompok control tidak
dicantumkan dan tidak dikaitkan dengan judul jurnal sehingga harus lebih teliti lagi dalam
menganalisis pada jurnal ini.
JURNAL III ( Kohort Prospektif)
1
Suryadi Dharmawan
2
Starry H. Rampengan
2
Ventje Kawengian
1 2
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email:
gdragon236@yahoo.com
Abstract: Acute myocardial infarction (AMI) is one of the most frequent causes of death in United
States and other developed countries and estimated the possible relationship between infectious agents
with the atherosclerosis process. Several studies have reported H.pylori infection associated with acute
coronary syndrome and H.pylori relationship with inflammatory responses in acute myocardial
infarction, but only one study seek a relationship H.pylori with the severity of AMI, although the
results are not significant. Objective: To determine the correlation between Helicobacter pylori with
the severity of acute myocardial infarction. Methods: This study used a prospective cohort study with
observational-analytic approach. The samples in this study were patients AMI in hospitals around
Manado period November 2013 - January 2014 with purposive sampling, the severity of AMI is
assessed from measurements of Left Ventricle Ejection Fraction (LVEF) using 2D echocardiography
and analyzed using Chi-Square test. Results: From the patients who experienced AMI (n = 22), six
samples (27%) were infected by H.pyori and all the patients had LVEF> 30%, and 16 samples (73%)
were not infected by H. pylori with two samples had LVEF <30% and 14 samples had LVEF> 30%.
The results of the Chi-square test showed there was no significant correlation (p = 1.000).
Conclusions: There was no significant correlation between the H.pylori with the severity of the Acute
myocardial infarction case.
Keywords: Helicobacter pylori, acute myocardial infarction
Abstrak: Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu penyebab kematian paling sering di
Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya dan diduga adanya hubungan antara agen infeksius
dengan proses aterosklerosis tersebut. Beberapa penelitian melaporkan infeksi H.pylori berkaitan
dengan terjadinya sindroma koroner akut dan adanya hubungan H.pylori dengan respon inflamasi pada
infark miokard akut, tetapi baru satu penelitian yang mencari hubungan H.pylori dengan beratnya IMA
walaupun hasilnya tidak bermakna. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara H.pylori dengan
beratnya kejadian Infark Miokard Akut. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort prospektif
dengan pendekatan observasional-analitik. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien IMA di RS
sekitar Manado periode November 2013 – Januari 2014 dengan teknik purposive sampling untuk
pengambilan sampel, beratnya IMA dinilai dari pengukuran FEVK menggunakan ekokardiografi 2D
dan dianalisa dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. Hasil: Dari pasien yang mengalami IMA
(n=22) ditemukan enam sampel (27%) terinfeksi H.pyori dan semuanya memiliki FEVK >30%, serta
16 sampel (73%) tidak terinfeksi H.pylori dengan dua sampel memiliki FEVK <30% dan 14 sampel
memiliki FEVK >30%. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna (p=1.000). Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara H.pylori dengan
beratnya kejadian Infark Miokard Akut. Kata kunci: H.pylori, infark miokard akut
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 1, Maret 2014
Infark Miokard Akut (IMA) adalah penyakit tercatat sebagai pasien di ICCU RS sekitar
yang ditandai dengan nekrosis sebagian otot Manado yang melakukan pemeriksaan
jantung yang merupakan salah satu ekokardiografi dengan teknik purposive
penyebab kematian paling sering di Amerika sampling. Sampel diambil sesuai dengan
Serikat dan negara-negara maju lainnya. criteria yaitu penderita penyakit infark
Aterosklerosis koroner sering merupakan miokard akut yang mendapatkan
faktor yang mendasari dalam proses pemeriksaan ekokardiografi. Pada penelitian
terjadinya Infark Miokard. Baru-baru ini ini dilakukan penelitian pada tiga variable
mulai diperkirakan adanya kemungkinan
yaitu : variable bebas yaitu H.pylori pada
hubungan antara agen infeksius dengan
1,2,3 penderita infark miokard akut, variabel
aterosklerosis. tergantung yaitu infark miokard akut yang
Data penyakit jantung koroner pada terjadi pada subjek yang diteliti. variable
tahun 2001, diperkirakan seluruh dunia perancu yaitu usia, jenis kelamin genetik,
mencapai 11.8 persen dari semua kematian riwayat hipertensi, riwayat DM,
(5.7 juta) di negara-negara berpenghasilan dislipidemia, merokok, menopause dan
rendah dan 17.3 persen dari semua kematian lokasi infark, dengan batasan:
(1.36 juta) di negara-negara berpenghasilan
1. H.pylori adalah bakteri yang
tinggi. Sekitar 865,000 orang Amerika
menginfeksi lapisan lendir dari lambung
menderita infark miokard akut (IMA) per
dan duodenum, berbentuk spiral, batang
tahun. Berdasarkan data Riskesdas 2007
Gram-negatif dengan flagela yang
menunjukkan prevalensi penyakit
kardiovaskular di Indonesia berkisar antara lophotrichous, ditemukan pada pasien
2.6% di lampung, hingga 12.6% di Aceh infark miokard akut dari hasil
dan proporsi kematian akibat penyakit ini pemeriksaan plasma darah di bagian
mencapai 4.6%.
4,5 ICCU RS sekitar Manado, dengan hasil
Infeksi Helicobacter pylori telah < 0.90 (negatif), 0.91-0.99 (equivocal),
dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular ≥ 1.00 (positif)
- Infark Miokard Akut adalah nekrosis
dan beberapa penelitian melaporkan adanya
hubungan H.pylori dengan respon inflamasi miokardium akibat dari interupsi aliran
pada infark miokard akut, tetapi baru satu darah ke area itu yang hampir selalu
disebabkan oleh aterosklerosis arteri
penelitian yang mencari hubungan H.pylori
koroner dan sering tumpah tindih dengan
dengan beratnya IMA walaupun hasilnya
trombus koroner yang terjadi secara
tidak bermakna. H.pylori adalah bakteri
mendadak selama 7 hari. Dibuktikan
yang berbentuk spiral, batang gram-negatif
6,7 dengan nyeri dada yang belangsung
dengan flagella yang lophotrichous. lebih dari 30 menit, Gelombang T yang
tinggi, elevasi ST, peningkatan CKMB
METODE PENELITIAN dan cTn T atau cTn I, disertai dengan
diagnosis dari rekam medik pasien.
Data penelitian dilaksanakan mulai
dari bulan November 2013 hingga bulan
- Beratnya Kejadian IMA adalah berat
Januari 2014. Penelitian ini merupakan studi
atau tidaknya kejadian IMA yang
kohort prospektif dengan metode
berlangsung dengan pengukuran melalui
observasional -analitik. Penelitian ini
ekokardiografi, dalam hal ini FEVK
dilakukan di bagian ICCU Rumah Sakit
yang dibagi menjadi <30% (berat) dan
Umum Prof. dr. R. D. Kandou dan Rumah
≥30% (tidak).
Sakit Siloam. Populasi pada penderita ini
- Usia : Umur dari sampel yang dilihat
yaitu penderita infark miokard akut dengan
pada rekam medik, dibagi menjadi <40
populasi terjangkau pada penelitian ini yaitu
tahun, dan ≥ 40 tahun.
penderita infark miokard akut di ICCU RS
- Jenis Kelamin : Jenis kelamin dari
sekitar Manado. Sampel pada penelitian ini
yaitu penderita infark miokard akut yang sampel yang dilihat pada rekam medik,
di bagi menjadi laki-laki dan perempuan.
Dharmawan, Rampengan, Kawengian; Hubungan Helicobacter Pylori...
30% (70%), enam orang H.pylori positif p=0.055 berarti dalam penelitian ini tidak
memiliki nilai FEVK≥ 30% (30%). Nilai terdapat hubungan yang bermakna antara
p=1.000 berarti dalam penelitian ini tidak banyaknya faktor risiko PJK dengan
terdapat hubungan yang bermakna antara H.pylori terhadap IMA (Tabel 2).
H.pylori dengan beratnya kejadian terhadap
IMA (Tabel 1).
Tabel 3. Distribusi berdasarkan jenis IMA dan
H.pylori terhadap IMA
Tabel 1. Distribusi berdasarkan H.pylori dan Jenis IMA H.pylori (-) H.pylori (+) p
beratnya kejadian IMA 8 5
FEVK FEVK STEMI
50% 83.3%
H.pylori p 8 1
<30% >30%
NSTEMI 0.333
2 14 50%% 16.7%
Negatif 16 6
100% 70% Total
0 6 100% 100%
Positif 1.000 Dianalisa dengan tabulasi silang, FR : faktor risiko
0% 30%
2 20
Total
100% 100% Tabel 4. Karakteristik FR dengan H.pylori
Dianalisa dengan tabulasi silang, FEVK: fraksi dalam berperan terjadinya IMA
ejeksi ventrikel kiri
H.pylori H.pylori
Jenis IMA p
(+) (n=6) (-) (n=16)
Tabel 2. Distribusi berdasarkan faktor risiko dan Umur 2.00±0.00 1.94±0.25 1.000
H.pylori terhadap IMA Jenis
Kelamin 2.00±0.00 1.88±0.34 1.000
H.pylori H.pylori
Jumlah FR p Riwayat
(-) (+) Keluarga 1.33±0.52 1.50±0.52 0.646
1 2 Tekanan
<5
6.2% 33.3% Darah
7 4
Sistole 1.50±1.23 2.06±1.12 0.215
5
43.8% 66.7% Diastole 1.50±0.84 1.94±0.99 0.777
8 0 0.055 Riwayat
≥6 DM 1.17±0.41 1.50±0.52 0.333
50% 0%
16 6 Lipid
Total
100% 100% Total
Dianalisa dengan tabulasi silang, FR: faktor risiko 1.50±0.84 1.56±0.73 0.788
Kolestrol
HDL 1.50±0.55 1.38±0.50 0.655
Penelitian ini juga menunjukkan LDL 2.50±1.38 2.19±1.33 0.041*
bahwa terdapat satu orang penderita IMA
TGL 1.17±0.41 1.75±0.86 0.293
dengan faktor risiko sebanyak kurang dari 5 Riwayat
tidak terinfeksi H.pylori (6.2%), dua orang 1.83±0.41 1.88±0.34 1.000
penderita IMA dengan faktor risiko Merokok
Dianalisa dengan tabulasi silang. Variabel
sebanyak kurang dari 5 terinfeksi H.pylori diperlihatkan dalam rata-rata±simpang baku, FR:
(33.3%), tujuh orang penderita IMA dengan Faktor Risiko, DM: Diabetes Melitus, HDL: High
faktor risiko sebanyak 5 tidak terinfeksi Density Lipoprotein, LDL: Low Density Lipoprotein,
H.pylori (43.8%), empat orang penderita TGL: Trigliserida, FEVK: Fraksi Ejeksi Ventrikel
IMA dengan faktor risiko sebanyak 5 Kiri
terinfeksi H.pylori (66.7%), dan delapan
orang penderita IMA dengan faktor risiko Dari hasil penelitian menunjukkan
sebanyak lebih dari atau sama dengan 6 bahwa terdapat delapan orang penderita
tidak terinfeksi H.pylori (50%), Nilai IMA dengan jenis STEMI tidak terinfeksi
Dharmawan, Rampengan, Kawengian; Hubungan Helicobacter Pylori...
H.pylori (50%), lima orang penderita IMA teori dimana seropositif H.pylori meningkat
dengan jenis STEMI terinfeksi H.pylori sesuai dengan pertambahan usia. Masih
(83.3%), delapan orang penderita IMA belum diketahui bagaimana H.pylori bisa
dengan jenis NSTEMI tidak terinfeksi menginfeksi dan rute transmisinya. Karena
H.pylori (50%), satu orang penderita IMA manusia sebagai satu-satunya hospes, ada
dengan jenis NSTEMI terinfeksi H.pylori kemungkinan di Negara maju H.pylori
(16.7%). Nilai p=0.333 berarti dalam menginfeksi dari saudara atau orang tua
penelitian ini tidak terdapat hubungan yang melalui rute gastro-oral. Sedangkan d
Negara berkembang, fecal-oral dapat
bermakna antara jenis IMA dengan H.pylori 12
terhadap IMA (Tabel 3). terjadi.
Penelitian ini juga menunjukkan Menurut jenis kelamin, dari enam
bahwa sebagian besar faktor risiko tidak sampel yang mengalami IMA, semuanya
terdapat hubungan signifikan dengan berjenis kelamin laki-laki (100%). Hal ini
H.pylori dalam berperan terjadinya IMA sesuai dengan penelitian yang dilakukan
(p=>0.05). Hanya LDL yang menunjukkan oleh sreenivasan, dimana infeksi H.pylori
hubungan yang bermakna dengan H.pylori lebih dominan pada laki-laki dibandingkan
dalam berperan terjadinya IMA (p=0.041) dengan perempuan. Adanya perbedaan pada
jenis kelamin ini mungkin karena bedanya
(Tabel 4).
gaya hidup dan kebiasaan masyarakat laki-
laki dan perempuan terutama merokok dan
BAHASAN konsumsi alcohol, yang dapat mengaktifkan
IMA adalah suatu keadaan yang terjadi infeksi H.pylori. Sebuah studi terbaru
bila sirkulasi ke daerah jantung tersumbat menunjukkan H.pylori menggunakan
dan timbul nekrosis. Prevalensi IMA reseptor 70KDa Lf untuk memperoleh zat
meningkat seiring dengan pertambahan usia besi secara langsung pada lambung. Karena
dan faktor resiko lain yaitu hiperlipidemia, asap rokok dari daun tembakau memiliki
diabetes melitus, merokok, hipertensi, jenis 84ug besi/g, maka merokok merupakan
kelamin pria, dan riwayat keluarga yang factor resiko terkuat. Sementara pada
semuanya berperan dalam pembentukan perempuan, kehilangan darah saat
aterosklerosis.
8-10 menstruasi dapat dianggap sebagai faktor
untuk menurunkan zat besi sehingga
Berdasarkan data yang diperoleh dari 13
penelitian menunjukkan pasien dengan prevalensi H.pylori lebih rendah.
diagnosa IMA yang pernah dirawat di BLU Berdasarkan data yang diperoleh,
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan sampel yang terinfeksi H.pylori dan
RS Siloam yang dijadikan sampel pada memiliki riwayat keluarga menderita IMA
periode November 2013 – Januari 2014 berjumlah dua orang (33%) dan yang tidak
adalah sebanyak 22 kasus. memiliki riwayat keluarga berjumlah empat
Dari 22 kasus tersebut, terdapat enam orang (67%). Hasil ini menunjukkan bahwa,
sampel yang terinfeksi H.pylori dengan infeksi H.pylori lebih sedikit pada sampel
presentase 27.3%. Hasil penelitian ini yang memiliki riwayat keluarga mendeita
menunjukkan, bahwa jumlah pasien IMA IMA dibandingkan dengan yang tidak
yang terinfeksi H.pylori lebih sedikit memiliki riwayat keluarga menderita IMA.
dibandingkan dengan pasien IMA yang Hal ini dapat terjadi karena terdapat
tidak terinfeksi. Hal ini didukung oleh hasil berbagai penelitian yang mengatakan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Dario dkk, tidak ada hubungan yang bermakna antara
terdapat 29% sampel yang terinfeksi H.pylori dengan riwayat keluarga menderita
14
H.pylori pada 100 sampel sebagai kasus dan IMA.
11 Berdasarkan hasil penelitian, dari
26% pada 93 sampel sebagai kontrol.
Dari enam sampel yang terdeteksi enam sampel yang terinfeksi H.pylori,
memiliki H.pylori, semuanya berumur lebih sebanyak lima orang tidak memiliki riwayat
dari 40 tahun (100%). Hal ini sesuai dengan DM (83%) dan satu orang memiliki riwayat
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 1, Maret 2014
DM (17%). Hal ini menunjukkan pasien yang diagnosis melalui endoskopi biopsi karena
terinfeksi H.pylori dan tidak memiliki riwayat merupakan gold standard dalam
DM lebih banyak dibandingkan dengan yang pemeriksaan H.pylori.
tidak. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Penelitian ini juga mendapatkan bahwa
yang dilakukan oleh Abdulbari dkk yang terdapat hubungan yang signifikan antara
mendapatkan prevalensi sampel dengan DM LDL dan H.pylori dalam berperan terjadinya
dan terinfeksi H.pylori 63.3%. Ini dapat IMA. sedangkan total kolestrol, HDL dan
terjadi mungkin karena adanya perbedaan TGL tidak ada hubungan yang signifikan.
tempat, dimana Abdulbari melakukan Ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Hack-
penelitian ini di Qatar sedangkan penelitian Lyoung dkk, yang mengatakan H.pylori
dilakukan d Indonesia tepatnya d Manado,
berhubungan dengan kolestrol LDL pada
bisa juga dikarekanan kurangnya sampel pada
orang tua di Korea sehingga menunjukkan
penelitian ini sehingga memunculkan hasil
15 infeksi H.pylori dapat menyebabkan
yang berbeda. perubahan lipid, dan sebagai
Hasil analisa statistik menunjukkan kontribusi terhadap pembentukan
tidak terdapat hubungan yang bermakna 16
ateroskelrosis.
antara H.pylori dengan beratnya kejadian Beberapa mekanisme telah diusulkan
IMA (p=1.000). Dapat dilihat pada untuk menjelaskan hubungan antara infeksi
penelitian ini bahwa pasien yang mengalami dan lipid darah, dengan beberapa hasil
IMA dan terinfeksi H.pylori semuanya menunjukkan bahwa infeksi virus dan
memiliki nilai FEVK lebih dari atau sama bakteri dapat mengubah metabolisme lipid
dengan 30%. Hal ini sejalan dengan
dari sel yang terinfeksi, dan hasil lain
penelitian yang dilakukan oleh Dario dkk,
menunjukkan bahwa lipid meningkat
bahwa tidak terdapat hubungan yang
sebagai hasil dari usaha tubuh untuk
signifikan antara infeksi H.pylori dengan
beratnya penyakit IMA, dimana Dario dkk melawan infeksi. Hasil lain juga
menggunakan jumlah pembuluh darah arteri menunjukkan bahwa LDL memiliki sifat
koroner yang terkena infark dalam antimikroba dan terlibat langsung dalam
mengukur beratnya kejadian IMA, menonaktifkan mikroba patogen. Hal ini
sedangkan penelitian ini menggunakan hasil telah dikonfirmasi oleh penelitian yang
ekokardiografi dalam bentuk FEVK. Jung menunjukkan bahwa tikus dengan reseptor
tsai dkk juga tidak menemukan hubungan LDL yang rusak akan meningkatkan kadar
yang bermakna antara H.pylori dengan LDL, sehingga dapat melindungi tikus
beratnya kejadian IMA, walaupun terdapat terhadap infeksi oleh bakteri gram negatif
insiden yang lebih tinggi pada tiga areteri 17
seperti H.pylori.
koroner yang terkena. Penelitian lebih lanjut
perlu dilakukan untuk mengetahui peran SIMPULAN DAN SARAN
H.pylori dalam perkembangan penyakit
11 Dari hasil dan pembahasan penelitian,
IMA dan PJK.
maka dapat disimpulkan tidak terdapat
Hasil analisa statistik juga hubungan yang bermakna antara H.pylori
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang dengan beratnya kejadian IMA (p=1.000).
bermakna antara banyaknya jumlah faktor Untuk pembaca tetap perlu mewaspadai
risiko PJK (p=0.055) dan jenis infark H.Pylori sebagai faktor risiko IMA karena
(p=0.333) terhadap H.pylori. Tidak terdapat penelitian yang mengatakan ada
didapatkan penelitian terdahulu yang hubungan H.Pylori sebagai faktor resiko
dilakukan untuk mendukung hasil penelitian IMA dan ada juga beberapa yang
ini, tetapi hasil ini terjadi diduga karena mengatakan tidak ada hubungan, serta perlu
tidak didapatkan hubungan yang bermakna dilakukan penelitian kembali dengan
antara H.pylori dengan infark miokard akut, diagnosis H.Pylori melalui endoskopi biopsi
sehingga perlu dilakukan penelitian kembali agar spesifitas lebih tinggi sesuai dengan
dengan jumlah sampel yang lebih besar dan gold standart dan sebaiknya dilakukan
Dharmawan, Rampengan, Kawengian; Hubungan Helicobacter Pylori...
dengan sampel yang lebih besar serta melakukan pengukuran FEVK lebih awal sebelum
dilakukan pengobatan lebih lanjut atau mengubah prediktor untuk mengukur beratnya
kejadian infark miokard menjadi kematian yang dialami atau banyaknya komplikasi yang
terkena.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azarkar Z, Jafarnejad M, Sharifzadeh G. The relationship between helicobacter pylori infection and
myocardial infarction [internet]. 2011. [dikutip 27 agustus 2013]. Akses:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/art icles/PMC3766939/
2. Abdul-Gafour WK, Baqir HI, Al-Raubyee RS. Helicobacter Pylori Seropositivity and Acute
Myocardial Infarction. Al – Kindy Col Med J 2011;7(2): 9-15.
3. Gaby AR. Nutritional Treatments for Acute Myocardial Infarction. Alternative Medicine Review
2010:15(2):113-23
4. Fuster V, Walsh RA, O'Rourke RA, Poole-Wilson P. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
In: Richard A, Walsh I, Daniel I, Simon, editor. Hurst's The Heart Vol. 1 (12 th edition). China:
McGraw-Hill Companies; 2008.
5. Tarukbua YK. 2013. “Hubungan Antara Golongan Darah dan Penyakit Jantung Koroner”[skripsi].
Fakultas Kedokteran. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
6. Kayser FH. Bacteria as Human Pathogens. In: Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM,
editors : Medical Microbiology; volume 1; 1st edition. Germany : Thieme. 2005. p. 307-8.
7. Khodaii Z, Vakili H, Ghaderian SM, Najar RA, Panah AS. Association of Helicobacter pylori
infection with acute myocardial infarction. Coron Artery Dis 2011:22(1):6-11
8. Dorland WAN. Kosa Kata. Dalam: Koesmawati H, Hartanto H, Salim IN, Setiawan L, Valleria,
Suparman W, editor. Kamus Kedokteran. Edisi ke-29. Jakarta: EGC; 2002. h. 1094
9. Rich MW. Epidemiology, clinical features, and prognosis of acute myocardial infarction in the
elderly. Am J Geriatr Cardiol 2006:15(1):7-11
10. Bolooki HM, Askari A. Acute Myocardial Infarction [internet]. [dikutip : 16 Januari 2014].
Akses : http://www.clevelandclinicmeded.co m/medicalpubs/diseasemanagement/cardiolo gy/acute-
myocardial-infarction/
11. Nakie D, Veev A, Jovie A, Patrk J, Zekanovie D, Klarin I, et al. Helicobacter pyloriInfection and
Acute Myocardial Infarction. Original scientific paper 2011;3:781–5.
12. Logan RPH, Walker MM. ABC of the upper gastrointestinal tract Epidemiology and diagnosis of
Helicobacter pylori infection. BMJ 2001:323:920
13. Sasidharan S, Ghayethry B, Ravichandran M, Latha LY, Lachumy SJ, Leng KM, et al. Prevalence
of Helicobacter pylori infection among patients referred for endoscopy: Gender and ethnic
differences in Kedah, Malaysia. Asian Pacific Journal of Tropical Disease 2012:55-59.
14. Eskandarian R, Ghorbani R, Shiyasi M, Momeni B, Hajifathalian K, Madani M. Prognostic role
of Helicobacter pylori infection in acute coronary syndrome: a prospective cohort study.
Cardiovasc J Afr 2012; 23:131–135
15. Bener A, Micallef R, Afifi M, Derbala M, AL-MULLA HM, Usmani MA. Association between
type 2 diabetes mellitus and Helicobacter pylori infection. The Journal of The Royal Society for
the Promotion of Health 2007:127(6):272-4.
16. Kim HL, Jeon HH, Park IY, Choi JM, Kang JS, Min KW. Helicobacter pylori Infection is
Associated with Elevated Low Density
Lipoprotein Cholesterol Levels in Elderly
Koreans. J Korean Med
Sci 2011:26(5):654–658
17. Kresser C. What Causes Elevated LDL
Particle Number [internet]. [dikutip: 03
februari 2014]. Akses : http://chriskresser.com/what-causes-elevated-ldl-particle-number
Kritikan Jurnal III ( Kohort Prospektif )
Dari jurnal penelitian diatas terlihat jelas bahwasannya jurnal tersebut menggunakan
desain kohort prospektif dibuktikan dengan kasus pada jurnal ini yaitu hubungan helicobacter
dengan beratnya kejadian infark miokard akut pada pasien rawat inap di iccu rs di sekitar
Manado periode November 2013 sampai januari 2014. peneliti melakukan penelitian yang
dilaksanakan mulai dari bulan November 2013 hingga bulan januari 2014. Hal ini sesuai
dengan desain studi kohort prospektif yaitu apabila faktor risiko, atau faktor penelitian diukur
dari awal penelitian, kemudian dilakukan follow up untuk melihat kejadian penyakit di masa
yang akan datang. Penelitian ini dilakukan di bagian ICCU Rumah Sakit Umum Prof. dr. R.
D. Kandou dan Rumah Sakit Siloam. Populasi pada penderita ini yaitu penderita infark
miokard akut dengan populasi terjangkau pada penelitian ini yaitu penderita infark miokard
akut di ICCU RS sekitar Manado. Sampel pada penelitian ini yaitu penderita infark miokard
akut yang tercatat sebagai pasien di ICCU RS sekitar Manado yang melakukan pemeriksaan
ekokardiografi dengan teknik purposive sampling. Sampel diambil sesuai dengan criteria
yaitu penderita penyakit infark miokard akut yang mendapatkan pemeriksaan ekokardiografi.
Pada penelitian ini dilakukan penelitian pada tiga variable yaitu : variable bebas yaitu
H.pylori pada penderita infark miokard akut, variabel tergantung yaitu infark miokard akut
yang terjadi pada subjek yang diteliti. variable perancu yaitu usia, jenis kelamin genetik,
riwayat hipertensi, riwayat DM, dislipidemia, merokok, menopause dan lokasi infark.
JURNAL IV (Kohort Retrospektif)
ABSTRACT
Pregnancy and labor in adolescent contribute to increase perinatal death in Indonesia. In
adolescent pregnancy, complications such as preterm labor, low birth weight, and perinatal
death often occur. The aim of this study to determine the association between adolescent
pregnancy and preterm birth, low birth weight and asphyxia. Methods : All adolescent
women who gave birth at Margono Soekarjo Purwokerto hospital in 2009 (n=60) were
included in this population -based a survey of cohort retrospective study. Chi Square was
used to analyse the relation between adolescent pregnancy and preterm birth, low birth
weight and asphyxia. Result of this study shows the average age of adolescent mother were
17,8 years old, with deviation standard 1,038, youngest age was 14 and oldest was 19.
Bivariate analysis shows there are significant relationship between adolescent pregnancy
and preterm bith with p=0,012 and OR= 3,857, and between adolescent pregnancy and low
birth weight with p=0,001 and OR=7. Meanwhile there is no relationship between
adolescent pregnancy and asphyxia.
Key words : adolescent pregnancy, preterm birth, low birth weight, asphyxia
Kesmasindo Volume 6, ( 1) Januari 2013, Hal. 26-34
PENDAHULUAN
sebesar 16,39/1000 dan 2,3/1000
Angka Kematian Bayi (AKB) atau kelahiran hidup Tiga
Infant Mortality Rate (IMR) di Indonesia
masih cukup tinggi. Hingga tahun 2008, penyebab utama kematian bayi adalah
AKB sebesar 31,04/1000 kelahiran infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),
hidup. Angka tersebut masih lebih komplikasi perinatal dan diare.
tinggi dibanding Malaysia dan Gabungan ketiga penyebab ini
Singapura yang masing-masing memberi andil bagi 75% kematian
27 Jurnal Kesmasindo Volume 6, Nomor 1 Januari 2013, Hal. 26-34
Sarwono (2005) pada ibu hamil usia pertumbuhan remaja dengan potensial yang
sama terhadap fetus. Berat bayi lahir yang
remaja sering mengalami komplikasi
rendah dan penyulit selama kehamilan dan
kehamilan yang buruk seperti
persalinan dapat terjadi akibat tidak
persalinan prematur, berat bayi lahir
adekuatnya nutrisi, karena kebutuhan nutrisi
rendah (BBLR) dan kematian masih dibutuhkan untuk pertumbuhan fisik
perinatal. Grady dan Bloom (2004), dari remaja sehingga terjadi kompetisi dengan
mengatakan bahwa kehamilan di kebutuhan untuk janin. WHO (1999),
bawah umur 16 tahun berhubungan memperkirakan sekitar 25 juta bayi BBLR lahir
dengan peningkatan angka kematian tiap tahun di dunia ini merupakan 17% dari
total kelahiran
perinatal dan lebih dari 18% kelahiran
prematur terjadi pada kelompok umur
ini. Beberapa komplikasi yang ditemui
pada remaja hamil didasarkan pada
Lutfatul Latifah, Hubungan Kehamilan Pada Usia Remaja 28
hidup. Hampir 95 % dari bayi BBLR lahir rendah (<2500gr) dan bayi
ini lahir di negara berkembang dan prematur (<38 usia gestasi), melalui
sebagian besar diantaranya lahir dari analisis multivariat dengan mengotrol
ibu usia remaja. ante natal care (ANC), etnik, paritas
Hasil penelitian terhadap 900 dan kejadian toxemia ternyata usia ibu
remaja di Camden, New Jersey, tahun tetap menjadi predisposisi yang
1992 didapatkan pada primi muda signifikan untuk kejadian tersebut.
terjadi peningkatan BBLR. Hal ini Sedangkan penelitian Thato, Rachukul
terjadi karena umur remaja yang relatif dan Sopajaree (2004) di rumah sakit
muda berkontribusi terhadap kejadian daerah di Bangkok dari tahun 2001-
BBLR sebagai akibat dari penurunan 2003 menunjukkan bahwa
usia menarkhe yang terjadi pada setiap dibandingkan dengan ibu hamil
tahun (Departement of Obstetrics and dewasa, ibu hamil remaja lebih rendah
Gynecology, 1992). Jadi usia persentasenya dalam hal operasi seksio
kronologis pada hakekatnya tidak (OR 2.05, CI 1.44, 2.92). Ibu hamil
dapat menjadi preditor yang baik remaja juga memiliki angka kejadian
untuk suatu hasil kehamilan. Namun kelahiran prematur lebih tinggi (OR
remaja tetap digolongkan sebagai 1.21, CI 1.01, 1.75) dan melahirkan
risiko tinggi terjadinya kematian pada bayi dengan berat lahir rendah (2931
ibu hamil dan berat badan yang rendah gr dan 3077 gr, p<0.001).
sebelum hamil.
Hasil penelitian sebelumnya Hasil penelitian Demir,
yang dilakukan oleh Leppert, Kadyyfcy, Ozgunen, Evruke dan
Namerow dan Barker (2003) pada 911 Karaca dari tahun 2001-2002 dengan
ibu hamil di rumah sakit pendidikan di melibatkan 442 ibu hamil remaja (<19
daerah urban menunjukkan hasil tahun). Rata-rata usia sewaktu
bahwa ibu hamil remaja (13-19) menikah adalah 18.24 tahun dan usia
meskipun dibandingkan dengan ibu gestasi 38.2 minggu. Rata-rata skor
hamil dewasa (20-36 tahun) lebih apgar pada menit pertama adalah 6.79
rendah dalam hal melahirkan dengan dan menit kelima 8.37, sedangkan
operasi seksio namun lebih tinggi angka persalinan dengan operasi
dalam melahirkan bayi dengan berat seksio adalah 25.8% dimana penyebab
- Jurnal Kesmasindo, Volume 6, Nomor 1 Januari 2013, Hal. 26-34
(ada hubungan yang signifikan antara remaja di Camden, New Jersey, tahun 1992
didapatkan pada primi muda terjadi
kehamilan remaja dengan
peningkatan BBLR. Hal ini terjadi karena umur
prematuritas). Dari hasil analisis
remaja yang relatif muda ber-kontribusi
diperoleh pula nilai OR=3,875, artinya
terhadap kejadian BBLR sebagai akibat dari
ibu remaja mempunyai peluang 3,88 penurunan usia menarkhe yang terjadi pada
kali untuk melahirkan bayi premature setiap
dibanding ibu bukan remaja.
Lutfatul Latifah, Hubungan Kehamilan Pada Usia Remaja 32