Anda di halaman 1dari 24

Studi Kasus 1

Ny. SM (53 th, 85 Kg, 150cm) mengalami keluhan nyeri kedua lutut terutama saat
beraktivitas dan berkurang saat duduk, mengalami kaku di pagi hari (15menit),
pernah bengkak, krepitus (+), pemeriksaan radiologi tampak osteofit, terdapat
penyempitan joint. Diagnosa Dokter : OA genu bilateral

Mendapatkan terapi: meloxicam 15 mg 1x1, meloxicam supp 15mg (0-0-1),


ranitidin 150mg 2x1, mediflex cream , triamsinolom hexasetonida (IA) .

PERTANYAAN

1. Jelaskan kaitan antara keluhan pasien dan data radiologi dengan


patofisiologi penyakit?
Jawab :

Ra merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi.


Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai
terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel
kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang
terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi.
Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada
jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi
dan merusak rawan sendi dan tulang respon imunologi melibatkan peran
sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (surjana, 2009).

Gambar 4. Patofisiologi artritis reumatoid (suarjana, 2009)


Sel t dan sel b merupakan respon imunologi spesifik. Sel t merupakan
bagian dari sistem immunologi spesifik selular berupa th1, th2, th17, treg,
tdth, ctl/tc, nkt. Sitokin dan sel b merupakan respon imunologi spesifik
humoral, sel b berupa igg, iga, igm, ige, igd (baratwidjaja, 2012).

Peran sel t pada ra diawali oleh interaksi antara reseptor sel t


dengan share epitop dari major histocompability complex class ii (mhcii-
se) dan peptida pada antigen-presenting cell (apc) pada sinovium atau
sistemik. Dan peran sel b dalam imunopatologis ra belum diketahi secara
pasti (suarjana, 2009).

2. Apa perbedaan OA dan RA berdasarkan gejala yang tampak?


3. Jelaskan faktor resiko OA pasien NY. SM dan faktor resiko lainya
4. Jelaskan tujuan penggunaan terapi masing-masing obat diatas?
5. Jelaskan mengapa diberikan :
a. Meloxicam dengan rute yang berbeda ? kapan saat yang teapt
pemberian meloxicam?
b. Kostikosteroid yang digunakan (IA)? Apa kontrraindikasi dari sediaan
ini?
6. Pasioen OA kadang mendapatkan terapi DMOADs (contoh diacerhein),
jelaskan apa yang dimaksud dengan DMOADs dan Bagaimana mekanisme
kerjanya?

Studi Kasus II
Ny. AL ( 65 th, 68kg, 155 cm) MRS dengan keluhan nyeri hebat pada
tulang panggul karena terjatuh . Diagnosa dokter Close fracture dan
Osteoporosis berat
Hasil pemeriksaaan Densitometri tulanh (DXA) : T-Score tulang
belakang -2,6; T.score panggul -3,5
Data Lab : positif C dan N telopeptida kolagen tipe I cross
link
Riwayat Penyakit : OP (2 Tahun)
Riwayat Obat : estero sehari 1 tablet, provera 1 x 2.5mg,
suplemen kalsium dan
vitamin D
Terapi selama MRS : sefazolin 2x 1g (IV)
Raloxifen tablet 60 mg sehari
Kalsitonin 200 IU sehari nasal spray
Kalsium Karbonat 3 x 500 mg
Rocaltrol kaps 2x 0,25mg
Pembedahan

1. Sebutkan dan jelaskan faktor resiko OP meliputi umur, genetik,


lingkungan, hormonal, penyakit dan sifat fisik tulang?
Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam
tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-
75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua
wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal,
wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada
wanita kulit hitam.
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti
bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi
pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita
seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal.
Osteoporosis sekunder dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang
disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.
Penyakit osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya
kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan).
Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan
osteoporosis.
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal
dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
Faktor Risiko Osteoporosis
1. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak
usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi
pada usia 45 tahun.
2. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun.
Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria
dalam mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan,
penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.
3. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia
memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium
wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa
dan menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik
memiliki risiko yang signifikan meskipun rendah.
4. Keturunan Penderita osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-
hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu.
Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis
keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang sama.
5. Gaya Hidup Kurang Baik
• Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya
mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman parathyroid,
penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.
• Minuman berkafein dan beralkohol. Minuman berkafein seperti kopi dan
alkohol juga dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini
dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton
University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang menemukan
hubungan antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang.
• Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein lebih banyak mengandung
kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain
itu kafein dan alkohol bersifat toksin yang menghambat proses
pembentukan massa tulang (osteoblas).
• Malas Olahraga. Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan
terhambat proses osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain
itu kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan
olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.
• Merokok Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis.
Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di
dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang,
nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh
berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam
menghadapi proses pelapukan.
• Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami
hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh
tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang
sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara
langsung tidak langsung.
Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan
terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat
melewati umur 35, efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena
proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti.
• Kurang Kalsium Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan
mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh
lain, termasuk yang ada di tulang.
6. Mengkonsumsi Obat Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti
peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko
penyakit osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan
mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses osteoblas.
Selain itu, obat heparin dan antikejang juga menyebabkan penyakit
osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini
agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.
7. Kurus dan Mungil Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh
cenderung ringan misal kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat
membentuk sel asal ditekan oleh bobot yang berat. Karena posisi tulang
menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada
area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh
ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna.

2. Jelaskan patofisiologi terjadinya OP?


Osteoporosis adalah penyakit yang dicirikan oleh rendahnya massa tulang dan
kemunduran struktural jaringan tulang, yang menyebabkan kerapuhan tulang. Dalam
keadaan normal, tulang dalam keadaan seimbang antara proses pembentukan dan
penghancuran. Fungsi penghancuran (resorpsi) yang dilaksanakan oleh osteoklas, dan
fungsi pembentukan yang dijalankan oleh osteoblas senantiasa berpasangan dengan
baik. Fase yang satu akan merangsang terjadinya fase yang lain. Dengan demikian
tulang akan beregenerasi.Keseimbangan kalsium, antara yang masuk dan keluar, juga
memiliki peranan yang penting, bahkanmerupakan faktor penentu utama untuk
terjadinya osteoporosis adalah kadar kalsium yang masih terdapat pada
tulang. Seseorang memiliki densitas tulang yang tinggi (tulang yang padat), mungkin
tidak akan sampai menderita osteoporosis. Kehilangan kalsium tidak akan mencapai
tingkat dimana terjadi osteoporosis. Lebih kurang 99% dari keseluruhan kalsium
tubuh  berada di dalam tulang dan gigi. Apabila kadar kalsium darah turun di bawah
normal, tubuh akan mengambilnya dari tulang untuk mengisinya lagi. Dengan
bertambahnya usia, keseimbangan sistem mulai terganggu. Tulang kehilangan
kalsium lebih cepat dibanding kemampuannya untuk mengisi kembali. Secara umum,
osteoporosis terjadi saat fungsi penghancuran sel-sel tulang lebih dominan dibanding
fungsi pembentukan sel-sel tulang, karena pola pembentukan dan resopsi tulang
berbeda antar individu. Para ahli memperkirakan ada banyak faktor yang berperan
mempengaruhi keseimbangan tersebut. Kadar hormon tiroid dan paratiroid yang
berlebihan dapat mengakibatkan hilangnya kalsium dalam jumlah yang lebih banyak.
Osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai gangguan primer atau sekunder.
Osteoporosis primer mengacu pada kehilangan tulang terkait dengan menopause dan
osteoporosis penuaan. osteoporosis postmenopausal terutama disebabkan oleh
kehilangan tulang trabekular sebagai akibat dari menurunnya produksi estrogen,
sedangkan osteoporosis yang berkaitan dengan usia ditandai dengan hilangnya tulang
trabekular dan kortikal , yang mempengaruhi perempuan dan laki-laki dalam rasio 2:
1 , setelah 75 tahun. Osteoporosis sekunder berhubungan dengan gangguan medis
seperti hipertiroidisme atau sindrom Cushing atau karena penggunaan obat kronis
seperti glukokortikoid sistemik atau terapi antikonvulsan. Melalui perawatan
pencegahan dan pengobatan, penyedia perawatan primer dapat memainkan peran
yang signifikan dalam mengurangi prevalensi osteoporosis.

Pemberian Steroid

Penurunan Pembentukan
Esterogen menurun Absorpsi kalsium
Tulang :
Testosteron menurun menurun
a. Apoptosis meningkat
Androgen adrenal Ekskresi kalsium urine
b. Life span menurun
menurun meningkat
c. Fungsi menurun

Reabsorpsi tulang oleh Kalsium


osteoclast meningkat menurun

Osteoporosis PTH meningkat

3. Apa Makna T-Score pada kasus diatas? Perbedaan ya dengan Z-csore?


Bonedensitometer atau juga disebut Dual Energy X-ray Absorptiometry
(DEXA). Mesin ini memungkinkan pengukuran kepadatan tulang belakang,
tulang paha dan pergelangan tangan, serta komposisi tubuh total (lemak).
Pemeriksaan energi ganda X-Ray Absorpitometry (DEXA)  memperkirakan
jumlah konten mineral tulang di daerah tertentu dari tubuh. Pemeriksaan DEXA
mengukur jumlah x-sinar yang diserap oleh tulang dalam tubuh. Pemeriksaan
memungkinkan ahli radiologi untuk membedakan antara tulang dan jaringan
lunak, memberikan estimasi yang sangat akurat dari kepadatan tulang.
T skor - merupakan unit angka (standar deviasi) di mana kepadatan massa tulang
di atas atau di bawah kepadatan mineral tulang orang dewasa muda yang sehat,
tanpa memadang ras atau jenis kelamin.
a. T-score yang berada di atas-1 (Kepadatan massa tulang normal)
b. T-score adalah antara -1 dan -2,5 (Nilai menunjukkan tanda osteopenia,
kondisi di mana kepadatan massa tulang di bawah normal dan dapat
berakibat pada osteoporosis)
c. T-skor di bawah -2,5 (Kepadatan massa tulang mengidentifikasikan
osteoporosis)
Z skor - angka perbandingan kepadatan tulang dengan kepadatan tulang pada
kelompok referensi yang memiliki usia dan jenis kelamin sama. Nilai Z dihitung
menurut persentil, yaitu persen orang dalam populasi yang memiliki kepadatan
tulang lebih rendah. Berikut adalah daftar lengkap nilai Z dan persentilnya. Bila
Anda memiliki nilai Z nol maka Anda berada pada persentil 50%. Bila nilai Z
Anda adalah -0.84 maka 20% orang lain memiliki kepadatan tulang yang lebih
rendah dari Anda. Semakin besar nilai negatif Z, semakin keropos tulang Anda.

4. Apa makna biomarker yang tertera pada data lab! Sebutkan dan
jelaskan fungsi biomarker yang lain?
C-terminal telopeptide (CTX) dan N-terminal telopeptide (NTX) adalah
telopeptide yang dapat digunakan sebagai biomarker dalam serum untuk
mengukur tingkat pergantiaan tulang.

5. Jelaskan tujuan terapi dan mekanisme kerja obat diatas?


a. SEFAZOLIN: Mencegah infeksi akibat dari close fracture
Mekanisme: Menghambat sintesis dinding sel bakteri melalui ikatan dengan
satu atau lebih ikatan penisilin-protein yang menghambat tahap transpeptidasi
akhir dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri, sehingga biosintesis
dinding sel terhambat. Bakteri mengalami lisis; akibat aktivitas dari enzim
autolisis dinding sel (autolisin dan hidrolases murein) dimana dinding sel
berada.
b. KALSITONIN: Mengurangi efek osteolisis HPT dan memberikan efek
analgesik akibat osteoporosis
Mekanisme: Efek hipokalsemik dan hipofosfatemik kalsitonin terjadi akibat
efek penghambatan langsung kalsitonin thd resorpsi tulang oleh sel-sel
osteoklas dan osteosit. Hormon ini kecuali menghambat resorpsi tulang juga
dpt merangsang pembentukan tulang oleh osteoblast. Meskipun kalsitonin
dapat mengurangi efek osteolisis HPT, tetapi bukan merupakan antihormon
paratiroid; oleh karenanya tidak menghambat aktivasi adenil siklase sel tulang
maupun ambilan Ca++ ke tulang yg diinduksi oleh HPT. Kerja kalsitonin tdk
dihambat oleh inhibitor sintesis RNA maupun protein. Nampaknya sebagian
efek kalsitonin diperantarai oleh adanya peningkatan kadar AMP-sikIik di
osteoblas.
c. RALOXIFEN: Terapi hormonal estrogen untuk osteoporosis (mengatur
produksi estrogen)
Mekanisme kerja zat ini diperkirakan berdasarkan pergeseran hormone
alamiah dari reseptornya di hipotalamus, hingga aktivitas dan kadar estradiol
darah menurun. Akibatnya adalah terhambatnya mekanisme feedback yang
mengatur produksi estrogen.
d. KALSIUM KARBONAT: Meningkatkan kadar kalsium plasma
Walaupun hubungan antara asupan kalsium diet dan kecepatan kehilangan
massa tulang begitu jelas, akan tetapi asupan kalsium yang dalam jumlah yang
dianjurkan akan dapat meningkatkan kadar kalsium plasma yang selanjutnya
akan meningkatkan sekresi kalsitonin, menurunkan kadar PTH, kalsitriol serta
menurunkan turn over dan kecepatan resorpsi terutama pada tulang kortikal
baik pada masa pra atau pasca menopause. Pengaruh kalsium akan tampak
lebih jelas bila pemberian suplementasi kalsium juga disertai dengan
peningkatan aktivitas fisik. Dengan demikian, walaupun manfaat kalsium
tidak sebaik estrogen, kalsium penting untuk diberikan kepada pasien yang
tidak dapat atau menolak untuk menggunakan estrogen karena faktor umur,
kontra indikasi atau efek sampingnya. Pada osteoporosis yang telah
berlangsung lama tanpa suplementasi kalsium, risiko fraktur terutama pada
panggul akan meningkat dengan bermakna setelah terjadinya fraktur yang
pertama. Pada pasien seperti itu suplementasi kalsium sangat penting untuk
mencegah terjadinya fraktur berikutnya.
e. ROCALTROL: mengontrol reabsorpsi kalsium
Rocaltrol berisi calcitriol yang merupakan bentuk aktif dari vitamin D.
Bekerja dengan mengatur rearbsorpsi kalsium di ginjal, mengatur penyerapan
garam kalsium di usus, mengurangi pengeluaran serum fosfat dan hormone
paratiroid.
6. Kelompok bifosfonat kadang kadang merupakan pilihan untuk
terapi, jelaskan:
a. Apa perbedaan generasi I dan generasi II bifosfonat
BP merupakan analog sintesis dari pirofosfat inorganik (PPi) yang
merupakan suatu regulator endogen dalam proses mineralisasi tulang.4 BP dan
PPi memiliki kesamaan struktur kimia gugus fosfat, namun PPi memiliki 2
group fosfat yang terikat dengan gugus phosphoanhydrate, struktur P-O-P,
sedangkan BP terdiri atas 2 grup fosfat yang terikat pada gugus phosphoether
dengan pusatnya adalah atom karbon, struktur P-C-P.5 Saat ini, terdapat dua
macam pengembangan senyawa BP yaitu BP sederhana yang tidak mengandung
nitrogen (BP non-nitrogen) dan BP yang mengandung atom nitrogen (N-BP).
Generasi I : BP non nitrogen merupakan BP non nitrogen generasi awal
(seperti etidronat, clodronat, dan tiludronat) yang memiliki struktur paling mirip
dengan PPi.
Generasi II : BP generasi ke-2 (sepert alendronat, risedronat, ibandronat,
pamidronat, dan asam zoledronat) memiliki kandungan Nitrogen pada sisi rantai
R2.7. Keberadaan atom Nitrogen atau group amino akan meningkatkan potensi
anti-resorptif BP secara relatif signifikan bila dibandingkan dengan BP yang
tidak mengandung nitrogen. Aplikasi klinis saat ini banyak disukai penggunaan
BP mengandung nitrogen karena mempunyai potensi yang lebih besar dari BP
nonnitrogen.
b. Bagaimanakah konseling untuki kelompok obat ini?
Bisfosfonat oral untuk osteoporosis pada wanita postmenopause
khususnya, harus diminum satu kali seminggu atau satu kali sebulan
pertama kali di pagi hari dengan kondisi perut kosong untuk mencegah
interaksi dengan makanan.Bisfosfonat dapat mencegah kerusakan tulang,
menjaga massa tulang, dan meningkatkan kepadatan tulang di punggung
dan panggul, mengurangi risiko patah tulang. Supaya diserap dengan baik,
alendronat harus diminum dengan segelas penuh air pada pagi hari dan
dalam waktu 30 menit sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain.
Bifosfonat bisa mengiritasi lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga
setelah meminumnya tidak boleh berbaring, minimal selama 30 menit
sesudahnya.
c. Penggunaan bifosfonat selain untuk OP?
Selain untuk osteoporosis golongan bifosfonat juga digunakan untuk
terapi lainnya misalnya untuk hiperkalsemia, sebagai contoh Zoledronic acid.
Zoledronic acid digunakan untuk mengobati kadar kalsium yang tinggi pada
darah yang mungkin disebabkan oleh jenis kanker tertentu. Zoledronic acid juga
digunakan bersama kemoterapi kanker untuk mengobati tulang yang rusak yang
disebabkan multiple myeloma atau kanker lainnya yang menyebar ke tulang.

Studi Kasus III

Ny. AG (35th) dengan riwayat RA 2th, MRS dengan keluhan kekakuan pagi hari
(90menit) pada tangan, lutut dan kaki. Sinovitis, bengkak pada joint MCP, PIP
dan MTP. Nilai RF dan HLA DR4 positif, pemeriksaan radiologis (X ray) tampak
erosi pada sendi penrgelagan tangan kanan dan kedua sendi MCP. Aktivitas
penyakit tergolong moderat.

Terapi : Diklofenak Na 3x 50 mg; MTX 5mg/Minggu; sulfasalazin 500mg/hari;


asam folat 5mg/minggu; prednison 3x5 mg

Pertanyaan

1. Apa makna RF dan HLA DR4 (+) pada RA??


Jawab :
a. RF pada penyakit RA adalah immunoglobulin yang bereaksi
dengan molekul Ig G, sebagaimana ditunjukkan namanya, Rf
terutama digunakan untuk mendiagnosa dan memantau rheumatoid
arthritis. Semua penderita dengan RA menunjukkan antibody
terhadap Ig G yang disebut factor rheumatoid atau antiglobulin.
Sekitar 80-85% penderita RA mempunyai autoantibodi yang
dikenal dengan nama Rheumatoid Factor dalam serumnya dan
menunjukkan RF positif. Faktor ini merupakan suatu factor anti-
gammaglobulin. Kadar RF yang sangat tinggi menandakan
prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat dan
kemungkinan komplikasi sistemik.
b. HLA DR4 ( Human Leukocyte Antigen ) merupakan MHC ( Major
Histocompatibility Complex ) Kelas II, suatu reseptor permukaan
sel yang disandikan oleh kompleks antigen leukosit manusia.
Merupakan factor genetic yang banyak diderita oleh orang kulit
putih dengan presentase 80% mengekspresikan HLA DRI/HLA
DR4 pada MHC yang terdapat di permukaan sel T. Pasien yang
mengekspresikan antigen HLA DR4 3,5 kali lebih rentan terhadap
Rheumatoid Arthritis.
2. Jelaskan tujuan terapi dan mekanisme kerja masing masing obat selama
MRS?
a. Na- Diklofenak :
Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang
merupakan
penghambat COX yang kuat dengan efek anti-inflamasi, analgesik
dan antipiretik.Obat ini cepat diabsorpsi setelah pemberian oral dan
mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk
kondisi peradangan kronis seperti arthritis rematoid dan
osteoarthritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut.
Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh
suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim
fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam
arachidonat. Asam lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk
sebagian diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi
endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin.
siklooksigenase terdiri dari dua isoenzim yaitu COX-1 (tromboxan
dan prostacyclin) dan COX-2 (prostaglandin). Kebanyakan COX-1
terdapat di jaringan, antara lain dikeping darah, ginjal dan saluran
cerna. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dijaringan
tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang.
Penghambatan COX-2 lah yang memberikan efek anti radang dari
obat NSAIDs. NSAID yang ideal hanya menghambat COX-2
(peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung).
b. MTX
Golongan DMARD yang digunakan untuk terapi rheumatoid
arthritis adalah metotreksat yaitu sebanyak 25,49%. Penggunaan
metotreksat merupakan pilihan obat pertama yang diberikan pada
pasien RA. Namun dari hasil penelitian ini, tidak diketahui apakah
pasien diberikan DMARD sebagai pilihan terapi pertama atau tidak
karena tidak diketahuinya awal mula terapi yang diberikan pada
pasien RA. Metotreksat merupakan golongan obat imunosupresan.
Obat ini mampu menghambat produksi sitokin, biosintesis purin,
dan menstimulasi pelepasan adenosin yang mengarah ke sifat
antiinflamasi. Pada penyakit reumathoid arthritis, penggunaan
metotreksat mampu menghambat aminomidazolecarboxamide
ribonucleutide (AICAR) transformylase dan thymidylate synthase.
Penggunaan DMARD pada RA digunakan untuk mengurangi
progresivitas penyakit atau mencegah erosi tulang atau deformitas
sendi. Obat ini diserap 70% pada pemakaian secara oral, ter-
polyglutaminate secara kuat dan diekskresikan melalui urin dan
empedu (Schuna, 2008). Penggunaan metotreksat pada dosis tinggi
mingguan (20-30 mg) lebih efektif daripada dosis rendah
mingguan (7,5-15 mg).
c. Sulfasalazin
Sulfasalazin merupakan suatu prodrug yang diubah menjadi obat
oleh bakteri didalam kolon, dimana sulfasalazin dan metabolitnya
diekskresikan lewat urin. Efek antireumatik muncul dalam 2 bulan.
Penggunaan obat ini dibatasi oleh efek sampingnya, seperti mual,
muntah, diare, dan anorexia.
d. Asam Folat
Penggunaan obat lain yang diberikan pada pasien RA diantaranya
adalah pemberian asam folat dan agen gastroprotektor. Pemberian
asam folat pada pasien RA digunakan untuk mengurangi efek
samping yang ditimbulkan dari penggunaan metotreksat yaitu
defisiensi asam folat yang dapat menyebabkan gangguan
regenerasi sel. Pemberian asam folat terbukti mampu memperbaiki
kondisi hepar karena dapat menurunkan kadar enzim hati yang
meningkat akibat penggunaan metotreksat. Pemberian agen
gastroprotektor yang diberikanpada pasien digunkan untuk
mengurangi resiko gangguan gastrointestinal pada pasien yang
menggunakan OAINS dan mempunyai riwayat penyakit
gastrointestinal.

e. Prednison
Prednison merupakan obat kortikosteroid oral yang sering
dipergunakan karena selain mudah didapat juga mempunyai efek
glukokortikoid dan juga mineralokortikoid. Pemilihan
kortikosteroid sebagai terapi inisial serangan gout artritis akut
direkomendasikan untuk mempertimbangkan jumlah sendi yang
terserang. Satu atau dua sendi kecil yang terserang sebaiknya
menggunakan kortikosteroid oral, namun jika sendi yang terserang
adalah sendi besar, disarankan pemberian kortikosteroid
intraartikular. Kortikosteroid oral dapat diberikan seperti prednison
0,5 mg/kg/hari dengan lama pemberian 5 sampai 10 hari atau2
sampai 5 hari dengan dosis penuh kemudian ditappering off selama
7 sampai 10 hari . Didapatkannya peran NLRP3 inflamasom yang
mana menghasilkan IL-1â diasumsikan sitokin ini dapat menjadi
target terapi untuk keadaan inflamasi artritis gout. IL-1 inhibitor,
rilonacept juga menunjukkan keefektifan dalam menekan artritis
gout akut dan kadar C reactive protein.
3. Jelaskan hal berikut dengan pemakaian MTX?
Metotreksat (MTX) merupakan lini pertama pada pengobatan RA.
Keberhasilan terapi MTX ditentukan oleh ketepatan dosis dan monitoring.
Penggunaan MTX dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan
gangguan berbagai organ bahkan kematian.5 MTX tidak boleh diberikan
pada wanita hamil dan menyusui, serta dilakukan penyesuaian dosis pada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hepar.
Pemberian asam folat pada pasien merupakan hal yang penting
untuk mengatasi defisiensi asam folat akibat penggunaan MTX yang dapat
menyebabkan gangguan regenerasi sel hingga menyebabkan gangguan
organ. Pemberian asam folat terbukti dapat memperbaiki kondisi hepar
karena dapat menurunkan kadar enzim yang mengalami peningkatan
akibat penggunaan MTX. Monitoring SGPT (ALT) penting dilakukan
karena penggunaan MTX dihentikan apabila terjadi peningkatan nilai
SGPT (ALT) yang mengindikasikan terjadinya hepatotoksisitas. Pada
pasien dengan kondisi hipoalbumin sebaiknya menghindari penggunaan
MTX. Hal ini disebabkan toksisitas MTX dapat meningkat dikarenakan
ikatan MTX dengan protein albumin yang semakin berkurang.
Penggunaan MTX dengan dosis tinggi dapat meningkatkan toksisitas
sehingga pasien sebaiknya menggunakan MTX pada dosis lazim, yaitu 7,5
miligram.
Pasien dengan faktor risiko yang dapat menyebabkan toksisitas
bone marrow perlu dilakukan monitoring terhadap komponen hematologi.
Hal ini dikarenakan toksisitas bone marrow dapat menyebabkan gangguan
hematologi seperti anemia, leukopenia, trombositopenia, dan pansitopenia.
Selain itu, pasien juga harus mendapatkan asam folat selama penggunaan
MTX dengan dosisminimal 5 miligram per minggu.
Dosis tinggi MTX pada pasien RA dapat menyebabkan berbagai
macam gangguan organ seperti hepar, paru, dan ginjal. Oleh karena itu,
monitoring terhadap keluhan klinis dan data laboratorium pasien sangat
diperlukan. Sebagai hasil toksisitas hepar, MTX dapat meningkatkan nilai
SGPT (ALT) yang merupakan parameter spesifik kerusakan hepar berupa
sirosis dengan peningkatan 2–4 kali lebih besar dari nilai normal.
Pemeriksaan darah lengkap sangat penting dilakukan karena gangguan
hematologi seperti anemia, leukopenia, trombositopenia, dan pansitopenia
dapat terjadi pada pasien sebagai manifestasi klinis dari toksisitas bone
marrow. MTX juga bersifat nefrotoksisitas sehingga memerlukan
penyesuaian dosis ketika digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal yang diindikasikan oleh nilai ClCr. Penggunaan MTX yang tidak
disertai asam folat dapat menyebabkan pasien mengalami defisiensi asam
folat yang parah. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan gangguan
regenerasi sel sehingga terjadi gangguan di berbagai organ serta dapat
menyebabkan anemia yang semakin menurunkan kualitas hidup pasien.20
Berdasarkan data penelitian, terdapat 7 pasien (17,5%) yang mengalami
gangguan gastrointestinal dan diketahui tidak mendapatkan asam folat
selama penggunaan MTX.

4. Jelaskan mengapa pasien diberi prednison?


a. Indiviidualisasi dosis dan penyesuaian dosis
Jawab :
Prednisone bekerja dengan cara menembus membran sel
sehingga akan terbentuk suatu kompleks steroid-protein reseptor.
Di dalam inti sel, kompleks steroid-protein reseptor ini akan
berikatan dengan kromatin DNA dan menstimulasi transkripsi
mRNA yang merupakan bagian dari proses sintesa protein. Sebagai
anti inflamasi, obat ini menekan migrasi neutrofil, mengurangi
produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator
inflamasi), dan menyebabkan dilatasi kapiler. Hal ini akan
mengurangi repon tubuh terhadap kondisi peradangan
(inflamasi).

a. Indiviidualisasi dosis dan penyesuaian dosis


· Rilis-segera : <10 mg/hari PO ditambahkan bersama dengan
obat antirematik (DMARDs)
· Rilis-tertunda: 5 mg/hari PO awalnya; dosis pemeliharaan:
dosis terendah yang dapat mempertahankan respon klinis; dapat
diambil pada waktu tidur untuk mengurangi kekakuan pagi
dengan rheumatoid arthritis
b. Faktor resiko
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis
kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA,
umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Resiko juga
mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir
sehari, khusunya kopi decaffeinated (suarjana, 2009). Obesitas
juga merupakan faktor resiko
b. Perhatian dan ADR
1) Adverse Drug Reactions (ADR)
Merupakan suatu respon terhadap obat, yang berbahaya, tidak
diinginkan, dan terjadi pada dosis normal manusia yaitu dosis untuk
profilaksis, diagnosis, atau terapi suatu penyakit di mana faktor
individu berpengaruh di dalamnya (Direktorat Pengawasan Distribusi
Produk Terapetik dan PKRT, 2012).
a. Pelaporan ADR
Pelaporan dilakukan dengan formulir kuning dan bersifat suka rela.
Pelaporan dilakukan oleh tenaga kesehatan setelah penggalian
informasi dari pasien, jika data kurang dapat digunakan rekam medis
pasien. Data yang dibutuhkan adalah data pasien, data tenaga
kesehatan yang mengisi formulir, dan data obat yang dicurigai
menyebabkan efek samping (Direktorat Pengawasan Distribusi
Produk Terapetik dan PKRT, 2012).
b. Kejadian Masuk Rumah Sakit Akibat ADR
ADR dapat mengakibatkan hospital admission (masuk rumah sakit)
sehingga berdampak langsung pada pelayanan kesehatan. Kejadian
masuk rumah sakit akibat ADR sebesar 19,4% dilaporkan oleh
Menendez-Conde dkk.(2011) dan kejadian tersebut sebenarnya dapat
dicegah (preventable). ADR yang dialami menyebabkan subyek
penelitian masuk Intensive Care Unit (ICU) bahkan mengalami cacat
permanen (Menendez-Conde dkk., 2011).
c. Laporan Kejadian ADR NSAIDs di Indonesia
Penggunaan NSAIDs di Indonesia tergolong tinggi, terutama di
kalangan usia lanjut akibat penyakit yang muncul di usia tua seperti
artritis atau rematik (Waranugraha dkk., 2010). Penelitian yang
dilakukan terhadap 40 orang pasien rematik pengguna NSAID
menunjukkanbahwa 55% subyek penelitian mengalami sindrom
dispepsia dengan keluhan nyeri ulu hati, perut terasa penuh, mual,
sendawa, rasa terbakar, dan muntah (Waranugraha dkk., 2010). Lama
pemberian NSAIDs berhubungan dengan gejala klinis gastropati,
sedangkan jenis dan cara pemberian (periodik atau berkelanjutan)
tidak berpengaruh, selain itu pemberian obat sitoproteksi bersama
NSAIDs terbukti mampu mengurangi gejala klinis gastropati
(Waranugraha dkk., 2010).
c. Co-prescribing dengan asam folat?
Jawab :
Kortikosteroid oral dosis rendah atau sedang dapat
digunakan dalam pengobatan rheumatoid arthritis. Kortikosteroid
yang biasa digunakan dalam pengobatan RA yaitu prednison dan
metilprednisolon. Penatalaksanaan kronis dapat digunakan
prednison dosis rendah 5-10 mg/hari untuk pengendalian aktivitas
penyakit pada pasien rheumatoid arthritis. Namun, penggunaan
terapi prednison dosis rendah beresiko osteoporosis. Osteoporosis
adalah tulang yang keropos, dengan apa pun penyebabnya dan
terjadi pada kebanyakan orang usia lanjut. Pada osteoporosis
tulang menjadi tipis dan rapuh sehingga lebih mudah patah.
Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang menyeluruh pada
tulang, karena berkurangnya kepadatan tulang dan kelainan
susunan jaringan tulang sehingga tulang akan menjadi rapuh dan
akibatnya tulang akan lebih mudah patah.

Osteoporosis merupakan suatu masalah kesehatan secara


global, di mana diperkirakan terjadi pada kurang lebih 200 juta
penduduk di dunia. Sekitar 80% kasus osteoporosis terjadi pada
kaum wanita. Pada usia di atas 50 tahun, kemungkinan mengalami
patah tulang bagi seorang wanita adalah 1 dari 2 wanita (50%),
sedangkan 1 dari 8 orang pria (sekitar 13%) diprediksi
mendapatkan osteoporosis yang menyebabkan terjadinya patah
tulang selama hidupnya.

Osteoporosis seringkali tidak memberikan gejala apapun.


Namun, bila tubuh bertambah pendek dan membungkuk, atau
terjadi patah tulang akibat trauma ringan, maka kita harus hati–hati
terhadap kemungkinan adanya osteoporosis. Osteoporosis dapat
dicegah, karenanya perlu diketahui sedini mungkin. Untuk
mengetahui tingkat kepadatan tulang sebelum muncul patah tulang,
beberapa cara dapat dilakukan untuk mengukur kepadatan tulang.
Alat yang paling sering digunakan adalah Dual energy X-Ray
Absorptiometry atau yang dikenal dengan DXA. Angka kepadatan
tulang yang didapat dari pengukuran ini disebut dengan kepadatan
mineral tulang

d. Pemantauan peggunaan
Sebelum memulai terapi kortikosteroid ( Prednison ) sistemik
jangka panjang, harus diperhatikan faktor resiko dan dilakukan
pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menilai kondisi yang sudah
ada yang berpotensi diperburuk oleh terapi glukokortikoid, seperti
diabetes, dislipidemia, CVD, gangguan gastrointestinal, gangguan
afektif, dan osteoporosis. Pemeriksaan dasar seperti berat badan,
tinggi badan, BMD dan tekanan darah harus diperoleh, bersama
dengan penilaian laboratorium yang termasuk hitung darah
lengkap, glukosa darah, dan profil lipid. Gejala dan / atau paparan
infeksi serius juga harus dinilai sebagai kontraindikasi pemberian
kortikosteroid pada pasien dengan infeksi sistemik yang tidak
diobati . Pasien tanpa riwayat cacar air disarankan untuk
menghindari kontak dekat dengan orang yang memiliki cacar air
atau herpes zoster. Penggunaan obat lainnya juga harus dinilai
sebelum memulai terapi untuk mengetahui ada tidaknya interaksi
glukokortikoid dengan beberapa jenis obat. Hubungannya dengan
kombinasi antara Prednison dan asam folat juga dapat memnatau
resiko osteoporosis Di rekomendasikan dilakukan pengukuran
tinggi badan tahunan dan mempertanyakan kejadian fraktur pada
orang dewasa yang menerima terapi glukokortikoid . Penilaian
BMD pada sebelum dan setelah 1 tahun terapi glukokortikoid pada
orang dewasa yang mendapat terapi prednison ≥5 mg / hari ( atau
setara ) selama lebih dari 3 bulan sangat dianjurkan. Jika BMD
stabil pada 1 tahun follow -up dan fraktur risiko rendah, maka
penilaian BMD selanjutnya dapat dilakukan setiap 2-3 tahun.32
Namun, jika kepadatan tulang menurun pada awal 1 tahun follow-
up, baik BMD dan resiko fraktur harus dinilai setiap tahun.
Pedoman WHO saat ini merekomendasikan menggunakan Fracture
Risk Tool ( FRAX ) untuk memperkirakan resiko fraktur dan untuk
menentukan pasien harus memulai terapi farmakologis untuk
pencegahan fraktur. Penting untuk dicatat bahwa FRAX tidak
membedakan antara penggunaan dosis glukokortikoid di masa lalu
atau saat ini. Para ahli merekomendasikan menyesuaikan risiko
FRAX menurut dosis glukokortikoid. Untuk dosis tinggi ( ≥7.5
mg / hari prednisolon atau setara ) , risiko patah tulang pinggul 10
tahun meningkat ~ 20 % dan resiko fraktur osteoporosis ~ 15 % ,
tergantung pada usia . Untuk dosis sedang ( 2,5-7,5 mg per hari ) ,
nilai FRAX tidak disesuaikan, dan untuk dosis rendah ( < 2.5 mg
sehari prednisolon atau setara ) , kemungkinan fraktur menurun
sekitar 20 % , tergantung pada usia .

5. Manakah yang termasuk obat DMARDs dan berikan rekomendasi apabila


pemakaian DMARDs tidak efektif ?
Jawab :

DMARD adalah suatu pilihan pengobatan yang terdiri dari obat anti
reumatik seperti metotreksat (MTX), sulfasalazine, leflunomide,
klorokuin basa, dan siklosporin. Tata laksana pengobatan ini
dipercaya dapat mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan
integritas sehingga nantinya dapat meningkatkan produktivitas sendi
dari pasien AR. Dengan penjelasan di mana diperlukan 7,5-25
mg/minggu dosis metotreksat untuk menurunkan kemotaksis PMN
serta memengaruhi sintesis DNA; 2×500 mg – 3×1000 mg sulfasalasin
per hari untuk menghambat angiogenesis dan migrasi PMN;
20mg/hari leflumonide untuk menghambat pembelahan auto reaktif
limfosit T; 6.5 mg/kg bb/ hari klorokuin basa untuk menghambat
lisosom; dan pelepasan IL-1, dan 2.5-5mg/kg bb siklosporin untuk
menghambat sintesis IL-1 dan IL-2.

DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs), pemilihan


jenisnya pada pasien harus mempertimbangkan kepatuhan, berat
penyakit, pengalaman dokter, dan penyakit penyerta. DMARD yang
paling sering digunakan adalah MTX (Metrothexate),
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide,
infliximab dan etarnecept. (Suarjana, 2009).

DMARD menjadi pilihan pertama pada terapi rheumatoid


arthritis dan digunakan selama tiga bulan pertama terapi
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014a ). Penggunaan DMARD
sejak awal mampu memberikan hasil yang lebih baik dan dapat
menurunkan angka mortalitas. Penggunaan DMARD membutuhkan
waktu lebih lama dalam perbaikan gejala dibandingkan OAINS.
Beberapa obat DMARD bersifat toksik terhadap hati dan ginjal
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014 ).

Obat-obatan ini dapat menenangkan sendi yang membengkak,


memperbaiki dan memperlambat perkembangan rheumatoid
arthritis, dan menyelamatkan jaringan sendi agar tidak mengalami
kerusakan lebih lanjut. Pasien bisa memakai obat tunggal atau
beberapa obat secara bersamaan. DMARD biasanya dikonsumsi
bersama dengan pembunuh rasa sakit, dan efeknya muncul sekitar 6
sampai 8 minggu. DMARDs umum termasuk Sulfasalazine,
Methotrexate, Hydroxychloroquine, Leflunomide, Azathioprine dan
Cyclosporine A. Setiap obat memiliki efek sampingnya sendiri, seperti
kerusakan hati, penekanan sumsum tulang belakang dan infeksi paru-
paru. Pasien harus mengikuti instruksi dokter untuk minum obat, dan
harus melakukan pemeriksaan rutin untuk memeriksa tingkat sel
darah dan albumin serum, dan memantau fungsi hati.

· Inhibitor TNF-alfa
Jika pasien merespons obat tradisional dengan tidak baik, dokter
mungkin menyarankan mereka menggunakan inhibitor TNF-alpha
yang relatif baru. Mereka dapat membantu menekan agen nekrosis
tumor, sehingga mencegahnya dari serangkaian reaksi inflamasi, dan
mencegah jaringan tulang sendi menjadi rusak. Mereka dapat segera
dan efektif menenangkan gejala dan mengurangi rasa sakit. Sekitar
70% kondisi pasien membaik setelah mengkonsumsi inhibitor TNF-
alpha. Kerusakan yang disebabkan oleh rheumatoid arthritis akan
melambat dalam satu atau dua tahun dan kerusakan lebih lanjut dan
deformasi sendi dapat dicegah. Penghambat TNF-alpha juga dapat
memperlambat penurunan massa tulang, sehingga mencegah
osteoporosis pada pasien. Saat ini, inhibitor TNF-alpha yang
diresepkan untuk rheumatoid arthritis meliputi Adalimumab,
Etanercept dan Infliximab. Obat ini biasanya dikonsumsi bersamaan
dengan Methotrexate. Namun hal itu dapat menyebabkan efek
samping yang serius seperti gagal jantung kongestif dan infeksi.
Mereka tidak dianjurkan untuk orang-orang dengan penyakit
tuberkulosis atau demyelinasi aktif di sistem saraf pusat. Sebelum
pengobatan penghambat TNF-alpha, pasien harus menjalani tes TB
laten untuk memastikan bahwa dia tidak menderita tuberkulosis.
Selama pengobatan, dia harus mengikuti instruksi dokter untuk
melakukan tes darah rutin atau pemeriksaan fungsi hati.

Anda mungkin juga menyukai