Ny. SM (53 th, 85 Kg, 150cm) mengalami keluhan nyeri kedua lutut terutama saat
beraktivitas dan berkurang saat duduk, mengalami kaku di pagi hari (15menit),
pernah bengkak, krepitus (+), pemeriksaan radiologi tampak osteofit, terdapat
penyempitan joint. Diagnosa Dokter : OA genu bilateral
PERTANYAAN
Studi Kasus II
Ny. AL ( 65 th, 68kg, 155 cm) MRS dengan keluhan nyeri hebat pada
tulang panggul karena terjatuh . Diagnosa dokter Close fracture dan
Osteoporosis berat
Hasil pemeriksaaan Densitometri tulanh (DXA) : T-Score tulang
belakang -2,6; T.score panggul -3,5
Data Lab : positif C dan N telopeptida kolagen tipe I cross
link
Riwayat Penyakit : OP (2 Tahun)
Riwayat Obat : estero sehari 1 tablet, provera 1 x 2.5mg,
suplemen kalsium dan
vitamin D
Terapi selama MRS : sefazolin 2x 1g (IV)
Raloxifen tablet 60 mg sehari
Kalsitonin 200 IU sehari nasal spray
Kalsium Karbonat 3 x 500 mg
Rocaltrol kaps 2x 0,25mg
Pembedahan
Pemberian Steroid
Penurunan Pembentukan
Esterogen menurun Absorpsi kalsium
Tulang :
Testosteron menurun menurun
a. Apoptosis meningkat
Androgen adrenal Ekskresi kalsium urine
b. Life span menurun
menurun meningkat
c. Fungsi menurun
4. Apa makna biomarker yang tertera pada data lab! Sebutkan dan
jelaskan fungsi biomarker yang lain?
C-terminal telopeptide (CTX) dan N-terminal telopeptide (NTX) adalah
telopeptide yang dapat digunakan sebagai biomarker dalam serum untuk
mengukur tingkat pergantiaan tulang.
Ny. AG (35th) dengan riwayat RA 2th, MRS dengan keluhan kekakuan pagi hari
(90menit) pada tangan, lutut dan kaki. Sinovitis, bengkak pada joint MCP, PIP
dan MTP. Nilai RF dan HLA DR4 positif, pemeriksaan radiologis (X ray) tampak
erosi pada sendi penrgelagan tangan kanan dan kedua sendi MCP. Aktivitas
penyakit tergolong moderat.
Pertanyaan
e. Prednison
Prednison merupakan obat kortikosteroid oral yang sering
dipergunakan karena selain mudah didapat juga mempunyai efek
glukokortikoid dan juga mineralokortikoid. Pemilihan
kortikosteroid sebagai terapi inisial serangan gout artritis akut
direkomendasikan untuk mempertimbangkan jumlah sendi yang
terserang. Satu atau dua sendi kecil yang terserang sebaiknya
menggunakan kortikosteroid oral, namun jika sendi yang terserang
adalah sendi besar, disarankan pemberian kortikosteroid
intraartikular. Kortikosteroid oral dapat diberikan seperti prednison
0,5 mg/kg/hari dengan lama pemberian 5 sampai 10 hari atau2
sampai 5 hari dengan dosis penuh kemudian ditappering off selama
7 sampai 10 hari . Didapatkannya peran NLRP3 inflamasom yang
mana menghasilkan IL-1â diasumsikan sitokin ini dapat menjadi
target terapi untuk keadaan inflamasi artritis gout. IL-1 inhibitor,
rilonacept juga menunjukkan keefektifan dalam menekan artritis
gout akut dan kadar C reactive protein.
3. Jelaskan hal berikut dengan pemakaian MTX?
Metotreksat (MTX) merupakan lini pertama pada pengobatan RA.
Keberhasilan terapi MTX ditentukan oleh ketepatan dosis dan monitoring.
Penggunaan MTX dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan
gangguan berbagai organ bahkan kematian.5 MTX tidak boleh diberikan
pada wanita hamil dan menyusui, serta dilakukan penyesuaian dosis pada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hepar.
Pemberian asam folat pada pasien merupakan hal yang penting
untuk mengatasi defisiensi asam folat akibat penggunaan MTX yang dapat
menyebabkan gangguan regenerasi sel hingga menyebabkan gangguan
organ. Pemberian asam folat terbukti dapat memperbaiki kondisi hepar
karena dapat menurunkan kadar enzim yang mengalami peningkatan
akibat penggunaan MTX. Monitoring SGPT (ALT) penting dilakukan
karena penggunaan MTX dihentikan apabila terjadi peningkatan nilai
SGPT (ALT) yang mengindikasikan terjadinya hepatotoksisitas. Pada
pasien dengan kondisi hipoalbumin sebaiknya menghindari penggunaan
MTX. Hal ini disebabkan toksisitas MTX dapat meningkat dikarenakan
ikatan MTX dengan protein albumin yang semakin berkurang.
Penggunaan MTX dengan dosis tinggi dapat meningkatkan toksisitas
sehingga pasien sebaiknya menggunakan MTX pada dosis lazim, yaitu 7,5
miligram.
Pasien dengan faktor risiko yang dapat menyebabkan toksisitas
bone marrow perlu dilakukan monitoring terhadap komponen hematologi.
Hal ini dikarenakan toksisitas bone marrow dapat menyebabkan gangguan
hematologi seperti anemia, leukopenia, trombositopenia, dan pansitopenia.
Selain itu, pasien juga harus mendapatkan asam folat selama penggunaan
MTX dengan dosisminimal 5 miligram per minggu.
Dosis tinggi MTX pada pasien RA dapat menyebabkan berbagai
macam gangguan organ seperti hepar, paru, dan ginjal. Oleh karena itu,
monitoring terhadap keluhan klinis dan data laboratorium pasien sangat
diperlukan. Sebagai hasil toksisitas hepar, MTX dapat meningkatkan nilai
SGPT (ALT) yang merupakan parameter spesifik kerusakan hepar berupa
sirosis dengan peningkatan 2–4 kali lebih besar dari nilai normal.
Pemeriksaan darah lengkap sangat penting dilakukan karena gangguan
hematologi seperti anemia, leukopenia, trombositopenia, dan pansitopenia
dapat terjadi pada pasien sebagai manifestasi klinis dari toksisitas bone
marrow. MTX juga bersifat nefrotoksisitas sehingga memerlukan
penyesuaian dosis ketika digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal yang diindikasikan oleh nilai ClCr. Penggunaan MTX yang tidak
disertai asam folat dapat menyebabkan pasien mengalami defisiensi asam
folat yang parah. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan gangguan
regenerasi sel sehingga terjadi gangguan di berbagai organ serta dapat
menyebabkan anemia yang semakin menurunkan kualitas hidup pasien.20
Berdasarkan data penelitian, terdapat 7 pasien (17,5%) yang mengalami
gangguan gastrointestinal dan diketahui tidak mendapatkan asam folat
selama penggunaan MTX.
d. Pemantauan peggunaan
Sebelum memulai terapi kortikosteroid ( Prednison ) sistemik
jangka panjang, harus diperhatikan faktor resiko dan dilakukan
pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menilai kondisi yang sudah
ada yang berpotensi diperburuk oleh terapi glukokortikoid, seperti
diabetes, dislipidemia, CVD, gangguan gastrointestinal, gangguan
afektif, dan osteoporosis. Pemeriksaan dasar seperti berat badan,
tinggi badan, BMD dan tekanan darah harus diperoleh, bersama
dengan penilaian laboratorium yang termasuk hitung darah
lengkap, glukosa darah, dan profil lipid. Gejala dan / atau paparan
infeksi serius juga harus dinilai sebagai kontraindikasi pemberian
kortikosteroid pada pasien dengan infeksi sistemik yang tidak
diobati . Pasien tanpa riwayat cacar air disarankan untuk
menghindari kontak dekat dengan orang yang memiliki cacar air
atau herpes zoster. Penggunaan obat lainnya juga harus dinilai
sebelum memulai terapi untuk mengetahui ada tidaknya interaksi
glukokortikoid dengan beberapa jenis obat. Hubungannya dengan
kombinasi antara Prednison dan asam folat juga dapat memnatau
resiko osteoporosis Di rekomendasikan dilakukan pengukuran
tinggi badan tahunan dan mempertanyakan kejadian fraktur pada
orang dewasa yang menerima terapi glukokortikoid . Penilaian
BMD pada sebelum dan setelah 1 tahun terapi glukokortikoid pada
orang dewasa yang mendapat terapi prednison ≥5 mg / hari ( atau
setara ) selama lebih dari 3 bulan sangat dianjurkan. Jika BMD
stabil pada 1 tahun follow -up dan fraktur risiko rendah, maka
penilaian BMD selanjutnya dapat dilakukan setiap 2-3 tahun.32
Namun, jika kepadatan tulang menurun pada awal 1 tahun follow-
up, baik BMD dan resiko fraktur harus dinilai setiap tahun.
Pedoman WHO saat ini merekomendasikan menggunakan Fracture
Risk Tool ( FRAX ) untuk memperkirakan resiko fraktur dan untuk
menentukan pasien harus memulai terapi farmakologis untuk
pencegahan fraktur. Penting untuk dicatat bahwa FRAX tidak
membedakan antara penggunaan dosis glukokortikoid di masa lalu
atau saat ini. Para ahli merekomendasikan menyesuaikan risiko
FRAX menurut dosis glukokortikoid. Untuk dosis tinggi ( ≥7.5
mg / hari prednisolon atau setara ) , risiko patah tulang pinggul 10
tahun meningkat ~ 20 % dan resiko fraktur osteoporosis ~ 15 % ,
tergantung pada usia . Untuk dosis sedang ( 2,5-7,5 mg per hari ) ,
nilai FRAX tidak disesuaikan, dan untuk dosis rendah ( < 2.5 mg
sehari prednisolon atau setara ) , kemungkinan fraktur menurun
sekitar 20 % , tergantung pada usia .
DMARD adalah suatu pilihan pengobatan yang terdiri dari obat anti
reumatik seperti metotreksat (MTX), sulfasalazine, leflunomide,
klorokuin basa, dan siklosporin. Tata laksana pengobatan ini
dipercaya dapat mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan
integritas sehingga nantinya dapat meningkatkan produktivitas sendi
dari pasien AR. Dengan penjelasan di mana diperlukan 7,5-25
mg/minggu dosis metotreksat untuk menurunkan kemotaksis PMN
serta memengaruhi sintesis DNA; 2×500 mg – 3×1000 mg sulfasalasin
per hari untuk menghambat angiogenesis dan migrasi PMN;
20mg/hari leflumonide untuk menghambat pembelahan auto reaktif
limfosit T; 6.5 mg/kg bb/ hari klorokuin basa untuk menghambat
lisosom; dan pelepasan IL-1, dan 2.5-5mg/kg bb siklosporin untuk
menghambat sintesis IL-1 dan IL-2.
· Inhibitor TNF-alfa
Jika pasien merespons obat tradisional dengan tidak baik, dokter
mungkin menyarankan mereka menggunakan inhibitor TNF-alpha
yang relatif baru. Mereka dapat membantu menekan agen nekrosis
tumor, sehingga mencegahnya dari serangkaian reaksi inflamasi, dan
mencegah jaringan tulang sendi menjadi rusak. Mereka dapat segera
dan efektif menenangkan gejala dan mengurangi rasa sakit. Sekitar
70% kondisi pasien membaik setelah mengkonsumsi inhibitor TNF-
alpha. Kerusakan yang disebabkan oleh rheumatoid arthritis akan
melambat dalam satu atau dua tahun dan kerusakan lebih lanjut dan
deformasi sendi dapat dicegah. Penghambat TNF-alpha juga dapat
memperlambat penurunan massa tulang, sehingga mencegah
osteoporosis pada pasien. Saat ini, inhibitor TNF-alpha yang
diresepkan untuk rheumatoid arthritis meliputi Adalimumab,
Etanercept dan Infliximab. Obat ini biasanya dikonsumsi bersamaan
dengan Methotrexate. Namun hal itu dapat menyebabkan efek
samping yang serius seperti gagal jantung kongestif dan infeksi.
Mereka tidak dianjurkan untuk orang-orang dengan penyakit
tuberkulosis atau demyelinasi aktif di sistem saraf pusat. Sebelum
pengobatan penghambat TNF-alpha, pasien harus menjalani tes TB
laten untuk memastikan bahwa dia tidak menderita tuberkulosis.
Selama pengobatan, dia harus mengikuti instruksi dokter untuk
melakukan tes darah rutin atau pemeriksaan fungsi hati.