PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang
dapat disertai hilang-nya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya
kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini disebabkan
oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya meng-ganggu koordinasi
otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot.
Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus mampu menegakkan
diagnosis epilepsi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.
Autoanamnesis dan allo- anamnesis terhadap pasien, orang tua atau orang yang merawat
dan saksi mata yang mengetahui dan tanda sebelum, selama dan sesudah bangkitan dan
untuk menentukan apakah bangkitan yang terjadi adalah suatu bangkitan epileptik atau
bukan. Apabila diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, secara klinis maka dokter di tingkat
layanan primer harus segera merujuk pasien ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang
memiliki dokter spesialis neurologi untuk mendapatkan penanganan lanjutan guna
menentukan terapi terbaik bagi pasien.
Terapi Obat Anti Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh dokter di layanan primer
berdasarkan hasil konsultasi (ruju-kan balik) dari spesialis neurologi kecuali pada daerah
yang tidak ada dokter spesialis neurologi dokter FKTP boleh memberi pertolongan
sebelum merujuk. Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas
bangkitan dengan efek samping seminimal mungkin sehingga penyandang epilepsi dapat
hidup secara normal dan mencapai kualitas hidup yang optimal.
Terapi penyandang epilepsi dibagi menjadi terapi farmakologis dan non
farmakologis (edukasi dan konseling). Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat
tergantung pada kepatuhan pasien dalam menjal-ani terapi yang diberikan. Oleh karena
itu, dokter di layanan primer berperan penting dalam memantau perkembangan terapi
serta memberikan edukasi kepada penyandang epilepsi atau keluarganya tentang
penyakit yang dideritanya. Hasil penatalak-sanaan epilepsi hendaknya dipantau secara
teren-cana dan berkesinambungan serta dicatat pada rekam medis di lembar pemantauan.
1
BAB II
KASUS
2.1 Identitas Pasien
a. Nama :I S
b. TTL/Usia : 01 Juli 1940/78 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Status Perkawinan : Menikah
e. Suku/Bangsa : WNI
f. Agama : Hindu
g. Pendidikan terakhir : SD
h. Pekerjaan :-
i. MRS : 4 Agustus 2018
2.2 Anamnesa
Keluhan utama : Kejang
Riwayat penyakit sekarang : Pasien laki-laki berumur 78 tahun sadar, datang ke IGD
RSUD Klungkung diantar anaknya dengan keluhan kejang kurang lebih 15 menit
sebelumnya. Kejang dialami pasien sebanyak 1 kali dengan durasi kurang lebih 15 menit.
Kejang didahului dengan mata mendelik sambil menggertakan gigi, tubuh pasien kaku
sesaat di seluruh tubuh, setelahnya tangan dan kaki pasien dihentak-hentakkan. Pasien
tidak mengingat kejadian dan setelah sadar pasien merasa lemas. Sebelumnya pasien
mengeluh penglihatan berkunang-kunang. Mual (-), muntah (-), mengompol (-), mulut
berbusa (-). Sebelumnya pasien pernah mengalami kejang 6 bulan yang lalu, namun tidak
disertai penurunan kesadaran. Riwayat luka dan digigit hewan pengerat (-). Pasien
memiliki riwayat darah tinggi lama dan rutin kontrol.
Riwayat Penyakit Dahulu : pasien pernah mengalami keluhan seperti ini 6 bulan
sebelumnya. Riwayat trauma kepala atau infeksi sebelumnya disangkal. Penyakit jantung
tidak ada. Riwayat DM tidak ada, penyakit paru serta alergi obat-obatan di sangkal oleh
pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga : Pasien mengaku kakek dan nenek pasien juga memiliki
riwayat kejang berulang, namun pasien tidak dapat menjelaskan tentang pola kejangnya.
Riwayat Pengobatan : Pasien mengaku belum mengkonsumsi apapun untuk keluhan
kejangnya. Pasien rutin konsumsi amlodipin 1x1 tab.
2
Riwayat Kebiasaan : Pasien menyangkal memiliki riwayat kebiasaan merokok maupun
minum minuman beralkohol.
3
Inspeksi : Iktus kordis terlihat.
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 linea Midclavicula sinistra, kuat angkat
(+), pelebaran (-).
Palpasi : - batas kanan pada intercosta V linea parasternalis dekstra
- batas kiri pada intercosta IV linea midclavicula sinistra.
- batas atas pada intercosta II linea sternalis sinistra.
- batas pinggang pada intercosta II linea sternalis sinistra.
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), massa (-), sikatrik (-)
Auskultas : bising usus (+) normal, 11x/menit.
Perkusi : timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-),CRT <2 s, clubbing finger (-).
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan
Dbn Dbn Dalam
4
Lapang pandangDbn Dbn
batas normal
Pengenalan warna
Dbn Dbn
3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran mm Φ3mm Dalam batas
akomodasi baik baik normal
Refleks pupil
Langsung (+)
Tidak langsung (+)
Gerak bola mata Dbn Dbn
Kedudukan bola mata
ortoforia ortoforia
4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mataDbn Dbn Dalam batas
normal
5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Dbn Dbn
Sensibilitas
Opthalmikus Dbn Dbn Dalam batas
Maxilaris Dbn Dbn normal
Mandibularis Dbn Dbn
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mataDbn Dbn Dalam batas
Strabismus (-) normal
7. N. VII (Facialis)
5
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam simetris simetris Dalam batas
Mengernyitkan dahi Dbn Dbn normal
Senyum Dbn Dbn
memperlihatkan gigi Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 Tde Tde
anterior lidah
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif (-)
Tuli sensorieural (-) Dalam batas
Vestibular normal
Vertigo (-)
Nistagmus (-)
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris Simetris Dalam batas
Daya perasa Tde
1/3 Tde normal
posterior lidah
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris Simetris Dalam batas
Disfonia - normal
Refleks muntah Tde Tde
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh dbn dbn Dalam batas
Mengankat bahu
dbn dbn normal
Trofi utrofi Eutrofi
6
12. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik dbn Dbn
Trofi eutrofi Eutrofi Dalam batas
Tremor (-) normal
Disartri (-)
Sistem motorik
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 5555 5555
Tonus N
Trofi utrofi Eutrofi
Ger.involunter (-) Dalam Batas
Ekstremitas bawah Normal
Kekuatan 5555 5555
Tonus N
Trofi utrofi Eutrofi
Ger.involunter (-)
Sistem sensorik
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba baik baik Dalam batas
Nyeri baik baik normal
Suhu Tde Tde
Propioseptif Tde Tde
Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+)
Triseps (+)
Patella (+)
Achilles (+)
Patologis
Hoffman (-)
7
Tromer (-) Dalam batas
Babinski (-) normal
Chaddock (-)
Openheim (-)
Gordon (-)
Schaeffer
Sistem otonom
- Miksi : Baik
- Defekasi : Baik
- Keringat : Baik
Fungsi luhur : Tidak ada gangguan fungsi luhur
2.5 Resume
Pasien laki-laki berumur 78 tahun sadar, datang ke IGD RSUD Klungkung diantar
anaknya dengan keluhan kejang kurang lebih 15 menit sebelumnya. Kejang dialami
pasien sebanyak 1 kali dengan durasi kurang lebih 15 menit. Kejang didahului dengan
mata mendelik sambil menggertakan gigi, tubuh pasien kaku sesaat di seluruh tubuh,
setelahnya tangan dan kaki pasien dihentak-hentakkan. Pasien tidak mengingat kejadian
dan setelah sadar pasien merasa lemas. Sebelumnya pasien mengeluh penglihatan
berkunang-kunang. Mual (-), muntah (-), mengompol (-), mulut berbusa (-). Sebelumnya
pasien pernah mengalami kejang 6 bulan yang lalu, namun tidak disertai penurunan
kesadaran. Riwayat luka dan digigit hewan pengerat (-). Pasien memiliki riwayat darah
tinggi lama dan rutin kontrol. Pasien mengaku belum mengkonsumsi apapun untuk
keluhan kejangnya. Pasien rutin konsumsi amlodipin 1x1 tab.
8
Pada Pemeriksaan Fisik ditemukan :
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Respirasi rate : 22 x/menit
Suhu : 36,5 °C
Status generalis : Dalam batas normal
Meningeal sign : (-)
Saraf kranialis : baik
Sistem motorik
Lengan kanan/kiri : 5555/5555
Tungkai kanan/kiri : 5555/5555
Sistem sensorik : baik
Refleks fisiologis : (+)
Refleks Patologis : (-)
2.6 Diagnosis
- Diagnosis klinis : Kejang umum disertai penurunan kesadaran
- Diagnosis Topis : Korteks serebri
- Diagnosis Etiologi : Epilepsi
2.7 Terapi
Diet TKTP
IVFD RL 12 tpm
Diazepam 10 mg IV
Phenitoin 3x100 mg
Clobazam 2x5 mg
Asam folat 2xI tab
KIE keluarga
o Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan apa
yang harus diambil bila menghadapi serangan.
o Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa membuka
mulut pasien.
9
o Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya akan
berakibat menimbulkan cedera.
o Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
o Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.
o Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi setengah
telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan pemulihan serta berikan
bantalan di kepala dengan sesuatu yang lunak.
o Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
o Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan hingga fase
bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan pasien memperoleh
kembali keseimbangannya.
2.8 Planning
Lab : DL, elektrolit, BUN/SC
CT scan kepala
EEG
2.9 Monitoring
Vital sign
Keluhan
2.10 Prognosis
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad functionam : dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad malam
10
11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
13
yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan
neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman
elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang
ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).11
3.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi. Sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsy lebih
tinggi di negara berkembang.Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar
50/100.000.sementara di Negara berkembang mencapai 100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di
atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai
umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya
penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun.6
Etiologi
14
b. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain;
c. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau
infeksi;
d. Pada anak-anak dan remaja paling banyak adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6
tahun disebabkan karena febris;
e. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi, idiopatik, birth trauma, cedera kepala,
tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (> 50 th).
15
c. Kejang umum sekunder
3. Tidak terklasifikasi
16
dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghenti-kan aktifitas
yang dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke
atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan
segera kembali sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum
kejadian, tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki
kecerdasan yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring
dengan pubertas.4
c. MIOKLONIK
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi
pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuh-kan
dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu, penderita dapat
merasa kebingun-gan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam
periode singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.4
d. TONIK
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik
dapat terjadi pula saat tertidur.4
e. ATONIK
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye-babkan penderita
lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka
pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali
terjadi cedera.4
2. Bangkitan Parsial/Fokal
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan kejadian
lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain. Jika menyebar,
akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60
% penderita epilepsi merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten
terhadap terapi antiepileptik.4
a. PARSIAL SEDERHANA
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warn-ing” dan terjadi sebelum
kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran,
dengan durasi kurang dari satu menit.4
b. PARSIAL KOMPLEKS
17
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan
kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran
terganggu dan orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki
perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan
di sekitar atau bergumam. Kejang parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai
tiga menit. Setelah kejang, penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-
apa tentang kejang.4
3.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di
dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
18
Gambar. patofisiologi epilepsi
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsy :
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
19
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi
secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila
cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama,
membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan
bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung
pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.Dengan demikian dapat dimengerti
apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF) merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis.Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida,
tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi
yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium
ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong
ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan
ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi. Fungsi jaringan neuron penghambat
(neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls
epileptik secara berlebihan. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik
20
(Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan
juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat
reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh
hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter
inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat
terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak
secara serentak.Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi
yang berbeda dari serangan epileptik.
Secara teoritis ada 2 penyebabnya, yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan. Berbagai macam
penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor
dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler,
obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan
atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada
rangsangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron
atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
21
epileptogenik.Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi.
Akan tetapi, anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini
faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne
centrotemporal epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi
idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca,
Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler.
Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-
badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang.Hal ini misalnya terjadi
dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron.Dalam keadaan istirahat,
membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca
dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah
22
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic.Selain itu juga system-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak.
23
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik
akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam
kerja reseptor neurotransmiter tertentu.Dalam hal epilepsi dikenal beberapa
neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai
inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
3.6 Diagnosis
Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi,
yaitu:
1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya
sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10
tahun mendatang, serta,
3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang
ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia,
hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis
mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya radang
pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang
menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan
subaraknoid.10,11
1. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu. Elektroensefalografi
(EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat memastikan
24
diagnosis epilepsy. Gelombang yang ditemukan pada EEG berupa gelombang
runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain
adalah pemeriksaan foto polos kepala.
25
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3
siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku/tajam/lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan.Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan
EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang
ada.Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya
belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter.Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.
3.7 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obat-obat lini
pertama untuk epilepsi antara lain:
26
1. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak efektif untuk
kejang absens. Dapat memperburuk kejang myok-lonik. Dosis total 600-1200 mg
dibagi menjadi 3-4 dosis per hari.8
2. Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis 100-200 mg
sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-400 mg bila digunakan
bersama dengan fenitoin, fenobarbital, atau karbamazepine.8
3. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang absens.
Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.8
4. Obat-obat yang tersedia di puskesmas :
a. Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis 60mg/hari per oral dinaikkan 30 mg
setiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90-120 mg/hari.
b. Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua dosis).
c. Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per oral dibagi menjadi tiga hingga empat
dosis). Obat ini merupakan obat pilihan untuk pasien epilepsi pada kehamilan.8
Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah (lobektomi dan
lesionektomi).8
27
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA
akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian
dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi
yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut.
Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan
protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat
antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan
GABA).Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi
dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai
antiepilepsi.Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada
penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat
CNS lainnya.Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan
adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2.Dari beberapa
penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya
protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan.Keadaan ini terbukti pada hewan
percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel
berpotensi sebagai antikonvulsan.
28
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,
maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan.Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun
bebas dari bangkitan kejang.
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni:
1. Syarat umum yang meliputi :
- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan.
29
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang
dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya
kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini disebabkan
oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selan-jutnya mengganggu koordinasi
otot dan bermanifes-tasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot.
klasifikasi bangkitan epileptik menurut ILAE 1981 antara lain bangkitan umum,
bangkitan parsial/fokal, dan tidak terklasifikasi. Berdasarkan consensus ILAE 2014,
epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu terdapat dua kejadian kejang tanpa
provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam, terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi,
namun resiko kejang selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang
tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta sindrom epilepsi (berdasarkan
pemeriksaan EEG). Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping.
Obat-obat lini pertama untuk epilepsi antara lain karbamazepine, lamotrigine, asam
valproat, fenobarbital, fenitoin. Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi
bedah (lobektomi dan lesionektomi). Diharapkan pada penderita untuk terapi secara rutin
untuk meminimalisir angka kekambuhan serta para tenaga medis mendukung penderita
dari segi fisik maupun mental. Bagi pemerintah untuk mengatur regulasi serta
infrastruktur yang mema-dai untuk penderita dalam menjalani pengobatan.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy : Definitions
Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International
Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.
2. Bancaud J, Henriksen O, Donnadieu FR, et al. Proposal for Revised Clinical and
Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures. Epilepsia. 1981;22:489-
501.
3. Fisher RS, Cross JH, French JA, et al. Operational Classification of Seizure Types by the
International League Against Epilepsy.
4. Anonim. Seizure Smart-Seizure Classification. Diunduh dari:
https://www.epilepsy.org.au/sites/default/files/Seizure%20Smart%20-%20Classification
%2 0of%20Seizures.pdf
5. Panayiotopoulos CP. Chapter 1: Clinical Aspects of the Diagnosis of Epileptic Seizures
and Epileptic Syndromes. Dalam: Panayiotopoulos CP. The Epilepsies: Seizures,
Syndromes and Management. Oxfordshire (UK): Bladon Medical Publishing; 2005.
6. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, et al. ILAE Official
Report: A Practical Clinical Definition of Epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4): 475-82.
7. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.
8. Arifputra A, Sumantri FO. Epilepsi. Dalam: Arifputra A. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi II. Jakarta : Media Aesculapius; 2014.
9. NICE Guideline on AEDs. Diunduh dari: https://
www.epilepsysociety.org.uk/system/files/attachments/NICEguidelineonAEDsAugust201
4_0.pdf
10. Tjahjadi, P., Dikot, Y, Gunawan, D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita
Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005. p119-127.
11. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
Pedoman Tatalaksana Epilepsy.Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
12. Price and Wilson. 2008. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
13. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2009;
439.
14. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; 2005.
32