Anda di halaman 1dari 11

Makalah Pendidikan Kewarganegaraan

BUDAYA POLITIK

Nama kelompok :

1. Adi Nugroho (18508134004)


2. Fajar Nur Hidayat (18508134021)
3. Issam Shyahdhurin (18508134023)
4. Fachrur Arifansyah (18508134039)
5. Galih Agug Setiawan (18508134044)
6. Rizki Taufik Hidayat (18508134045)
7. Muhammad Fikri J. (18508134051)
8. Azka Fuada (18508134052)
9. Tiyar Jaya A. (18508134065)
10. Saviero Julian N. (18508134077)
Kelas B

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budaya Politik sebagai salah satu kebudayaan merupakan satu di antara
sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem
politik. Dalam budaya (kultur) politik itu berinteraksi sejumlah sistem (sistem
ekonomi, sistem social, dan sistem ekologi) yang tergolong dalam kategori
lingkungan dalam-masyarakat ataupun lingkungan luar-masyarakat sebagai hasil
kontak sistem politik dengan dunia luar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya politik?
2. Bagaimana penerapan budaya politik partisipan dalam masyarakat?
3. Bagaimana penerapan budaya politik partisipan di sekolah?
4. Bagaimana penerapan budaya politik partisipan di pemerintahan?
BAB II
PEMBAHASAN

Budaya Politik sebagai salah satu kebudayaan merupakan satu di antara sekian jenis
lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik. Dalam budaya
(kultur) politik itu berinteraksi sejumlah sistem (sistem ekonomi, sistem social, dan sistem
ekologi) yang tergolong dalam kategori lingkungan dalam-masyarakat ataupun lingkungan
luar-masyarakat sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar.

A. Pengertian Budaya Politik


Budaya atau kebudayaan sangat luas lingkupnya di mana mencakup pola pikir, sikap,
perilaku (tindakan), dan peralatan. Sementara itu, politik bertalian dengan kebijakan dan
pemerintah. Oleh karena itu, budaya politik dapat dimaknai pola pikir, sikap, perilaku,
dan peraatan berkenaaan dengan kebijakan dan pemerintahan. Contoh peralatan dalam
budaya politik yaitu alat komunikasi massa yang masuk ke dalam infrastruktur politik di
samping empat infrastruktur politik lain yaikni partai politik, golongan kepentingan,
golongan penekan, dan tokoh politik (Kantaprawira,1988: 8)

B. Tipe Budaya Politik


Budaya politik pada umumnya dikelompokkan ke dalam tiga tipe budaya politik,
yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula, budaya politik partisipan. Sedangkan
di Indonesia sendiri dapat dikelompokan menjadi empat tipe budaya politik, yaitu budaya
politik kaula, budaya politik parokial, budaya politik primordial, dan budaya politik
partisipan. Pada pembahasan kali ini, Penulis akan membahas mengenai Budaya Politik
Partisipan.

C. Budaya Politik Partisipan


Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang
ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan
opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan, juga merupakan suatu bentuk budaya
politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai
empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat
kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang
berlangsung. Masyarakat cenderung diarahkan pada peran pribadi yang aktif dalam
semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut
bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Orientasi warga terhadap objek politik tak hanya berupa input seperti ikut pemilu dan
sebagainya, tetapi juga output, seperti menolak atau menerima kebijakan pemerintah,
mengkritisi pemerintah dan sebagainya.
Pada level partisipasi yang tinggi, posisi warga masyarakat dalam budaya politik ini
bukan lagi seperti diluar pemerintahan yang menyelenggarakan negara melainkan bagian
dari pemerintahan itu sendiri. Masyarakat bukan di luar dari penguasa, melainkan bagian
dari penguasa. Dalam arti masyarakat memiliki kekuasaan untuk mengontrol penguasa,
pemerintah atau penyelenggara negara. Budaya politik ini agak menyamarkan garis
pemisah antara pemerintah dengan warga masyarakat dalam kehidupan berpolitik.
Budaya politik partisipan merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik
dalam berdemokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara
dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, masyarakat merasa
perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan memercayai perlunya keterlibatan dalam
politik. Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat
secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara dan memiliki
kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal
tersebut. Masyarakat memiliki keyakinan dapat memengaruhi pengambilan kebijakan
publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk menyampaikan kritik,
mengorganisasikan diri dalam protes sebagai kontrol bila terdapat praktik-praktik
pemerintahan yang tidak memihak rakyat.

1. Budaya Politik di Masyarakat


Partisipasi politik masyarakat sangat membantu berkembangnya budaya
politik dalam suatu negara. Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan,
dalam konteks politik, hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai
proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga
mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya.
Sebab, kalau ini yang terjadi, maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai
dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga
peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Dapat juga diartikan
merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pempinan negara dan secara langsung
atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum,
menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan
atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan
sebagainya. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk
partisipasi politik menjadi:
a. Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum,
mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif
atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha memengaruhi hasil pemilu
b. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik
dengan maksud memengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.
c. Kegiatan organisasi, yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku
anggota maupun pemimpinnya, guna memengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah.
d. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan
dengan pejabat-pejabat pemerintah guna memengaruhi keputusan mereka.
e. Tindakan kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok guna
memengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik
manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta,
pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi
bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan
individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Klasifikasi bentuk
partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum
memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati
berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subjektif individu.
2. Budaya Politik di Sekolah
Budaya politik juga dapat diterapkan di lingkungan sekolah. Contoh partisipasi
politik di lingkungan sekolah sebagai ajang untuk melatih siswa agar bisa melibatkan diri
dalam demokrasi yang ada di Indonesia. Hal itu bisa dilakukan dari lingkup yang kecil
seperti sekolah. Setelah itu, diharapkan siswa dapat mengembangkan partisipasinya dalam
lingkup yang lebih besar di masa yang akan datang. Seperti halnya para pejabat dan tokoh –
tokoh politik di Indonesia, mereka semua mengawali semuanya dari sekolah. Oleh karena itu,
berikut contoh partisipasi politik di lingkungan sekolah:

2.1 Mengikuti kegiatan keorganisasian di sekolah


Organisasi kesiswaan biasanya digunakan sebagai media berlatih siswa dalam
berpartisipasi di bidang politik. Salah satu organisasi siswa yang ada di masyarakat adalah
OSIS atau Organisasi Siswa Intra Sekolah. Dengan adanya organisasi ini, siswa seakan
dipersatukan dalam sebuah wadah yang menjembatani kegiatan kesiswaan. Dalam wadah
tersebutlah siswa dapat berpartisipasi, dan meningkatkan interaksi antar siswa. Tidak hanya
pengurus OSIS saja yang bisa berlatih untuk mengembangkan diri di bidang politik. Akan
tetapi seluruh anggota OSIS atau semua siswa juga bisa ikut melatih diri. Selain OSIS, dalam
sebuah sekolah biasanya juga ada organisasi perwakilan kelas. Organisasi ini adalah
organisasi yang bersifat sebagai penyambung lidah siswa atau sebagai perwakilan setiap
kelas untuk menyampaikan aspirasi – aspirasi dari anggota OSIS.

2.1 Mengikuti pemilihan ketua OSIS


Umumnya, pemilihan OSIS dilaksanakan dengan pemilihan langsung, tidak dipilih
oleh guru. tidak hanya sesi pemilihan saja, akan tetapi calon ketua OSIS juga biasanya
mengikuti serangkaian kegiatan seperti pada umumnya terdapat di pemilu. Serangkaian
kegiatan tersebut antara lain pencalonan, kampanye, penyampaian visi dan misi, dan
pemilihan langsung. Sistem ini sangat menjunjung tinggi nilai demokratisme. Oleh karena
itu, semua siswa harus bisa ikut berpartisipasi. Partisipasi tersebut bisa berwujud pencalonan
diri, panitia pemilihan suara, tim sukses, maupun pemilih.

2.3 Mengawasi kinerja OSIS


OSIS bukanlah merupakan lembaga tertinggi di sekolah. Oleh karena itu, guru dan
seluruh siswa sebagai anggota OSIS berhak dan wajib ikut serta dalam mengawasi kinerja
OSIS. Beberpa program OSIS antara lain adalah menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Apakah program kerja yang dilaksanakan sudah sesuai dengan rencana atau belum, apakah
ada penyimpangan dalam pelaksanaan program, dan lain sebaginya. contoh partipasi politik
di lingkungan sekolah ini juga menjadi perwujudan dari nilai – nilai Pancasila khususnya sila
ke empat yang menjunjung tinggi nilai – nilai kerakyatan.

2.4 Aktif berpartisipasi dalam musyawarah atau forum diskusi di lingkungan sekolah
Forum diskusi atau musyawarah sering dilakukan di sekolah untuk menetapkan
kebijakan, ataupun menyelesaikan suatu masalah. Baik itu antara guru dengan siswa,
ataupun siswa dengan siswa. Dalam forum tersebut, partisipasi siswa sangatlah penting.
Semakin banyak pendapat, akan semakin banyak pula penawar terhadap suatu masalah.
Selain itu, keaktifan siswa dalam mengungkapkan aspirasinya akan menanmkan budaya
politik demokratis yanga kan terbawa di lingkup kehidupan yang lain. Dalam forum diskusi
atau musyawarah, siswa juga dilatih untuk bisa menyuarakan gagasan sendiri, dan
menghormati bentuk-bentuk keputusan bersama. Dengan begitu, contoh partipasi politik di
lingkungan sekolah bisa diterapkan.

2.5 Aktif menyuarakan aspirasi siswa


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, aspirasi siswa sangat penting dalam sebuah
proses musyawarah untuk mufakat. Selain itu, aspirasi siswa juga dibutuhkan untuk
membuat perbaruan – perbaruan yang lebih baik dalam lingkungan sekolah. Akan tetapi
tidak banyak siswa yang dapat menyuarakan aspirasi tersebut. Oleh karena itu, adanya
majalah dinding ataupun buletin sekolah sangatlah penting, sebagai media penyampaian
aspirasi siswa. Lebih jauh lagi, media tersebut juga bisa digunakan untuk mensosialisasikan
kinerja dari organisasi sekolah.

2.6 Interaksi yang demokratis antara siswa, guru, dan wali murid
Salah satu ciri kegiatan politik disekolah adalah demokratisme. oleh karena itu, interaksi
yang terjadi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, maupun guru dengan wali murid,
semuanya harus menyematkan paham demokratis. Dengan paham tersebut, semua pihak
akan merasa bahwa semuanya memiliki kesempatan yang sama dalam berpendapat, dan
dapat menghargai pendapat orang lain. Dari situlah interaksi akan terjalin dengan baik,
terutama dalam proses belajar dan mengajar.

2.7 Ikut serta dalam mengawasi pelaksanaan tata tertib sekolah


Contoh lain dari contoh partipasi politik di lingkungan sekolah adalah ikut serta dalam
mengwasi pelaksanaan tata tertib sekolah. Tata tertib di sekolah bukanlah monopoli guru
atau pihak yang berkuasa di sekolah. Tata tertib dibuat untuk ditaati oleh semua penghuni
sekolah. Oleh karena itu, selain melaksanakan tata tertib, siswa juga bisa memantau apakah
pelaksanaan dari tata tertib tersebut berjalan sesuai dengan tujuannya. Siswa juga diharapkan
bisa menyuarakan apabila ada pelanggaran terhadap tata tertib, bukannya ikut menutupinya.
Sementara itu tata tertib diharapkan bisa memberikan Manfaat Tata Tertib Sekolah bagi
Siswa.

3. Budaya Politik di Pemerintahan


Pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya yang dilakukan untuk
mengembangkan budaya politik partisipan. Budaya politik partisipan mengharuskan
masyarakat terlibat aktif di dalam proses politik dan kegiatan politik, tidak hanya di dalam
pemilu tetapi lebih khusus lagi di dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, pemerintah harus
membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembuatan kebijakan, baik di tigkat pusat maupun di tingkat lokal. Elemen masyarakat harus
dilibatkan di dalam proses pembuatan kebijakan dengan cara dipersilahkan memberi
masukan (input) ataupun umpan balik (feedback) kepada para pembuat kebijakan. Berikut
bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan budaya politik partisipan
di Indonesia yaitu :
a. Mengadakan Pemilihan Umum,
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak
memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi
dan lain-lain kegiatan. Dalam hal ini masyarakat diberikan kesempatan oleh pemerintah
untuk menentukan sendiri siapakah yang layak untuk dijadikan pemimpin negeri ini beserta
dengan wakil rakyat yang dipilih. Bisa dikatakan bahwa masyarakat diberikan andil yang
kuat untuk memberikan tonggak estafet kepimpinan Negara dengan keterbukaan dan fasilitas
selama proses pemilihan umum.
b. Memberikan hak untuk berkegiatan organisasi
Partisipasi masyarakat untuk mengikuti kegiatan organisasi ataupun partai. Hal ini sesuai
dengan Pasal 28E UUD 1945 yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal ini ditujukan menjadi kontrol sosial atas kinerja
pemerintah, seperti yang kita ketahui adanya gerakan 20 september 2019 kemarin merupakan
salah satu bentuk kontrol sosial dari masyarakat. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
masyarakat berhak di kawal dan diwadahi oleh aparat Negara, guna menjaga keselamatan
masyarakat saat mengajukan aspirasi.

c. Partisipasi publik dalam rekrutmen CPNS


Saat ini masyarakat memiliki akses untuk mengetahui suatu kebijakan kepegawaian
negara. Pada tataran operasional masyarakat dapat secara langsung berpartisipasi dalam
proses manajemen kepegawaian melalui pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
perundangan di bidang kepegawaian. ‘Keterbukaan’ pada kegiatan pengadaan CPNS diatur
dengan PP maupun Peraturan Kepala BKN, yang merujuk pada pasal 5 PP Nomor 98/2000
jo. PP Nomor 11/2002 tentang Pengadaan PNS. Pentingnya mendorong partisipasi publik
dalam konteks rekrutmen CPNS berfokus pada aspek pengawasan seleksi. Demikian pula
kategori “publik” dalam pengawasan dapat dilaksanakan oleh publik secara
individu/perseorangan maupun kelembagaan (LSM) yang tentuya harus mendapat jaminan
hukum agar informasi dan investigasi yang dilakukannya komprehensif, mendalam dan
menjangkau akar permasalahan.
Model pengawasan ini bisa disebut pengawasan eksternal. Sebaliknya, pengawasan
internal terdiri dari orang-orang independen dan kredibel dalam kepanitiaan rekrutmen
CPNS, baik di pusat maupun di daerah. Tokoh-tokoh independen tersebut adalah
representasi publik karena kepakaran maupun keteladanan yang ditunjukkannya selama ini,
sehingga diharapkan secara internal kelembagaan dapat memantau proses rekrutmen CPNS
dari dalam panitia seleksi.
BAB III
KESIMPULAN

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh
masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara
masyarakat dengan para elitenya. Perlu dibangun karakter budaya politik, sehingga kegiatan
“politik” bukanlah panggung bermain bagi para elite-penguasa, tetapi sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam menciptakan kemaslahatan bersama
(publik good). Masyarakat dalam struktur negara modern adalah raja yang harus dilayani
oleh para pejabat atau penguasa, bukan sebaliknya, pelayan yang harus melayani segala
kebutuhan penguasa seperti dalam hierarki sistem politik kuno. Amanah yang diberikan
masyarakat kepada pemerintah dan anggota DPR harus diimbangi dalam bentuk pelayanan
prima atas segala kebutuhan masyarakat, bukan malah dijadikan ladang menumpuk
kekayaan, kekuasaan, dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elite yang
bertengger di puncak piramida kekuasaan.
Budaya politik partisipan merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik
dalam berdemokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara
dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, masyarakat merasa
perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan memercayai perlunya keterlibatan dalam politik.
Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara
sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara dan memiliki kebanggaan
terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Masyarakat
memiliki keyakinan dapat memengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa
tingkatan dan memiliki kemauan untuk menyampaikan kritik, mengorganisasikan diri dalam
protes sebagai kontrol bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak memihak rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, M.J. 2006. Partisipasi publik dalam proses manajemen kepegawaian:


Peluang dan masalahnya. Paper pada Expert Meeting PIRAC, 12 Januari 2006, di Hotel
Bumi Karsa, Bidakara: Jakarta.

Culla, A.S. 2001. Reformasi birokrasi dalam perkembangan politik di Indonesia.


Jurnal Demokrasi dan HAM, 1 (4): The Habibie Center.

Riyanto, Astim., SH., MH. 2006. Budaya Politik Indonesia. Universitas Pendidikan
Indonesia: Bandung.

Rusadi Kantaprawira, H., Prof.Dr., SH. Sistem Politik Indonesia Suatu Model
Pengantar, Cetakan Kelima (Cetakan pertama 1977). CV Sinar Baru : Bandung.

Anda mungkin juga menyukai