Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

merupakan salah satu perundang-undangan yang banyak disorot oleh masyrakat.

Undang-undang tersebut memuat beberapa ketentuan baru menyangkut

kepentingan buruh dan pengusaha salah satu topik diantaranya adalah ketentuan

tentang outsourcing yang dalam peraturan ketenagakerjaan sebelumnya tidak

diatur.1

Sekalipun pelaksanaan outsourcing telah diatur dalam Undang-Undang

No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun dalam pelaksanaanya

kegiatan tersebut masih banyak terkait dengan Kitab Undang-Undang Hukun

Perdata (KUH Perdata). Dapat dikatakan, persoalan outsourcing dikontruksi dari

dua lapangan hukum yakni Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Perdata.2

Hukum ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur relasi pengusaha dan

pekerja pada saat mereka sepakat menjalankan suatu aktivitas dalam

menghasilkan produk barang atau jasa tertentu. Obyek yang di tata dalam hal ini

adalah hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang meliputi hak dan

kewajiban kedua belah pihak , syarat kerja dan sebagainya. Sedangkan fungsi

hukum perdata terutama menata hubungan antara perusahaan dengan perusahaan

1
Sehat Damanik, 2006, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menuru Uu No.13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: Dss Publishing, Hlm 1
2
Ibid., Hlm 108

1
dalam perjanjian kerja sama. Karena Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak

mengatur tata cara dan syarat-syarat pembuatan suatu perjanjian, maka pembuatan

perjanjian tersebut harus mengacu pada hukum lain yang sudah ada, sehingga

tidak terjadi kekosongan hukum. Ketentuan hukum yang mengatur tentang

pembuatan dan syarat-syarat perjanjian ditemukan dalam KUH Perdata, yakni

dalam buku ketiga tentang hukum perikatan.3

Outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk

memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan melalui

perusahaan penyedia tenaga kerja. 4Jadi dalam sistem outsourcing ini ada suatu

perusahaan yang menyediakan/mempersiapkan tenaga kerja untuk

mempersiapkan tenaga kerja untuk kebutuhan perusahaan lain.

Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya

bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 64 undang-undang No. 13

tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui

perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang di buat secara

tertulis.5 Di lihat dari pasal 64 ini maka sistem outsourcing memng diakui dan

dilegalkan oleh hukum, namun tidak semua pekerjaan dapat diserahkan untuk

dikerjakan oleh perusahaan lain.

Sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang melegalkan sistem

outsourcing, maka demi terciptanya keadilan hukum guna melindungi para tenaga

kerjanya Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


3
Ibid.,
4
Ibid., Hlm 3
5
Pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
3

menetapkan beberapa syarat untuk meminimalisir dampak negatif dari sistem

outsourching ini. Syarat tersebut dapat dilihat pada pasal 65 ayat 2 Undang-

undang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:

1) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

2) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan;

3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

dan

4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Pasal 65 ayat (7) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menerangkan bahwa hubungan kerja dalam pelaksanaan

outsourcing dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau

perjanjian kerja waktu tertentu yang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-

Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut memuat ketentuan

bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dilaksanakan untuk pekerja yang

sifatnya tetap yang artinya pekerja tersebut sifatnya sementara dan akan selesai

dalam waktu tertentu. Kemudian terkait dengan jangka waktu pelaksanaan

perjanjian kerja waktu tertentu dilaksanakan maksimal 2 tahun, dapat perpanjang

maksimal satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun dan hanya dapat

diperbharui satu kali dalam waktu 2 tahun.

Pasal 66 ayat (4) Undang-undang No. 13 Tahun 2013 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja

untuk melakukan pekerjaan pokok. Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja
4

dengan perusahaan penyedia jasa adalah perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau

perjanjian kerja waktu tertentu yang harus sesuai dengan pasal-pasal yang ada

dalan undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Apabila pasa-pasal tersebut tidak

terpenuhi maka sesuai dengan pasal 66 ayat (4) status hubungan kerja antara

pekerja dengan perusahaan penyedia jasa berubah menjadi perjanjian kerja denga

perusahaan pemberi pekerjaan.

Dalam KUH Peradata Istilah kontrak sering juga diartikan sebagai

perjanjian. Kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yang intinya adalah

ada para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjiakan dan

berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga menimbulkan

hubungan hukum. Kontrak atau perjanjian tersebut dapat menimbulkan hak dan

kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan.

Persyaratan yang ditetapkan oleh KUH Perdata undang-undang tersebut

merupakan keharusan yang wajib diikuti oleh setiap perusahaan baik pemberi

pekerja maupun penerima pekerjaan(perusahaan outsourcing).6 Hal ini bertujuan

agar hak dan kewajiban para pengusaha dan pekerjanya tetap terlindungi

sehingga akan tercipta keadilan hukum namun dalam pelaksanaanya masih ada

beberapa perusahaan yang menjalankan sistem outsourcing tidak sesuai dalam

ketentuan yang berlaku, salah satunya adalah perusahaan listrik negara (PLN).

Dalam Pasal 59 ayat (4) telah disebutkan bahwa:

“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas


jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua)

6
Ibid., Hlm 25
5

tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka


waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
Dalam ketentuan pasal di atas, penekanan “paling lama 2 (dua) tahun dan

hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)

tahun” mengandung makna bahwa pengusaha tau pemberi kerja bisa mengambil

waktu seminimal mungkin dalam masa perjanjian kerja waktu tertentu. Akan

tetapi fakta di lapangan yaitu masih banyak tenaga kerja outsourcing yang waktu

kerjanya yang melebihi waku minimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Berikut ini data jumlah tenaga kerja dari tahun 2014-2019.

Data Jumlah Tenaga Kerja Outsourcing Pelayanan Tehnik Fajar

Putra Abadi Selama Tahun 2014-2019

Tenaga kerja Jumlah Keterangangan


Team Har Preventif 12 2 Sopir Dan PJL, 8 Mobile 4 Rayon,

Dan 2 Adm Pelayanan Tehnik


Rayon Telaga 10 1 Sopir Dum Truk, 1 Sopir Suzuki

Cary Pik Up, 6 Pemangkas, Dan 2

Inspeksi Telaga
Rayon Limboto 7 1 Sopir, 4 Pemangkas, Dan 2 Inspeksi

Limboto
Rayon Kwandang 7 1 Sopir, 4 Pemangkas, Dan 2 Inspeksi

Kwandang
Rayon Marisa 7 1 Sopir, 4 Pemangkas, Dan 2 Inspeksi

Marisa
Tabel 1.1: Jumlah tenaga kerja outsourcing selama lima tahun terakhir
ialah 43 (orang) dan merupakan tenaga kerja tidak tetap.
Sumber: Data primer PT.PLN (persero) GORONTALO
6

Dari data di atas menjelaskan bahwa ada 43 tenaga kerja yang berstatus

tenaga kerja tidak tetap dan belum diganti sampai sekarang. Hal ini menunjukan

penerapan Pasal 59 Ayat (4) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan belum berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku karena

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun

dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama satu

tahun.

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak

memenuhi dan melaksanakan perjanjian.7 Pembuatan perjanjian kerja waktu

tertentu (PKWT) yang di buat oleh pengusaha pada haikatnya bertujuan untuk

melindungi pengusaha dan juga pekerja. Dalam hal ini PKWT memiliki peranan

yang cukup besar baik terhadap pengusaha maupun pekerja. Hal ini dapat

diketahui karena PKWT tersebut merupakan suatu ketentuan hukum yang bersifat

mengikat bagi pengusaha dan pekerja. Dalam PKWT tersebut telah diatur

ketentuan ketentuan tentang hal-hal yang berhuhubungan denga buruh/pekerja dan

pengusaha/majikan. Jika PKWT yang telah disetujui tersebut dilanggar oleh sala

satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat menuntut sesuai dengan ketentuan

yang ada dalam PKWT.

Adanya interprestasi bahwa PKWT dapat diperjanjikan dengan tidak

didasarkan pada jenis, sifat atau kegiaatan sementara, melahirkan praktek

perjanjian antara pekerja//buruh dengan pengusaha yang tidak sesuai dengan

tujuan pengaturan PKWT.

7
Mariam Darus Badrulzaman, Dalam Buku Salim H.S, 2011, Hukum Kontrak ( Teori Dan Tehnik
Penyusunan Kontrak ) Hlm 13
7

Hal di atas bisa disebabkan salah satunya karena ketidaktahuan.

Ketidaktahuan dari salah satu atau masing-masing pihak pekerja/buruh dan

pengusaha. Berdasarkan penelusuran melalui wawancara di lapangan peneliti

menemukan bahwa pekerja buruh ada bahkan relatif banyak yang tidak

mengetahui sepenuhnya tentang isi atau kalusul dalam perjanjian serta

konsekuensi yang akan mereka terima ketika ada itikad buruk dari pengusaha

dan ketidaktahuan pekerja/buruh juga inkonsistensi dalam pasal 59 Undang-

Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang memungkinkan

bahwa PKWT merupakan perjanjian yang hanya bisa dilakukan maksimal 3 (tiga)

tahun.

Dalam perjanjian kerja di PT.PLN Gorontalo dengan perusahaan

outsourcing memuat ketentuan bahwa dalam jangka waktu kerja sama itu 5 (lima)

tahun dan tidak ada perpanjangan, kemudian dilelang kembali oleh pihak

penyedia jasa.8 Hal ini bertentangan dengan undang –undang yang berlaku yaitu

pasal 59 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan juga

dalam Pasal 3 Ayat (2) Kepmenakertrans Nomor Kep-100/Men/VI/2004 Tahun

2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu bahwa

perjanjian kerja waktu hanya di buat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. Hal ini juga

dalam perjanjian kerja di PT.PLN Gorontalo juga di cantumkan bahwa perjanjian

kedua belah pihak harus menaati peraturan perundang-undangan yang belaku

sehubungan dengan kontrak kerja akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dan bahkan

tidak seimbang.

8
Hasil wawancara dengan bapak saiful hari selasa 12 maret, pukul 14.45
8

Dalam perkembanganya kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuan

bila para pihak mempunyai posisi yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah,

maka pihak yang memiliki posisi lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya

dapat menekan pihak lain demi keuntunganya dirinya sendiri.

Syarat-syarat atau kententuan dalam kontrak/perjanjian untuk waktu

tertentu yang semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan

layak. Keadaaan tersebut di atas berlaku dalam hubungan perjanjian antara

perusahaan dan tenaga kerja yang kemudian menimbulkan hal-hal negatif dalam

arti pihak yang mempunyai posisiyang kuat dapat memaksakan kehendaknya

kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari

tindakanya tersebut. Asas kebebasa berkontrakini terkandung dalam pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-


undang bagi mereka yang membuatnya”
Dengan menekankan pada perkataan semua maka pasal tersebut seolah-

olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat diperbolehkan membuat

perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja dan diperbolehkan pula

membuat undang-undang sendiri asalkan tidak bertentangan dengan undang-

undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Lebih tegasnya para pihak yang

membuat perjanjian dapat menciptakan ketentuan sendiri untuk kepentingan

mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Hukum seharusnya memberikan keadilan karena keadilan itu merupakan

tujuan dari hukum. Jadi sudah semestinya bila hukum yang mengatur perjanjian

untuk waktu tertentu memberikan rasa keadilan kepada para pihak. Dalam
9

hubungan ini, maka isi atau klausul-klausul dalam perjanjian untuk kerja waktu

tertentu antara perusahaan dan tenaga kerja tidak dapat didasarkan hanya pada

asas kebebasan berkontrak saja. Menyerahkan perbuatan perjanjian untuk waktu

tertentu kepada mekanisme asas kebebasan berkontrak semata-mata hanya akan

menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakselarasan hubungan antara

perusahaan dan buruh/kariyawan. Kiranya perlu adanya pembatas-pembatas yang

dilakukan negara terhadap asas kebebasan berkontrak.9

Disisi lain perjanjian kerja waktu tertentu dalam pemborongan pekerjaan

tersebut tidak dibuat dalam akta otentik tetapi hanya di buat dengan akta dibawah

tangan. Perlindungan hukum terhadap perjanjian kerja yang dibuat di bawah

tangan tidak menjamin kepastian hukum karena kebenaran isi akta hanya

merupakan tanggung jawab kedua belah pihak tanpa disaksikan pejabat yang

berwenang sehingga kekuatan pembuktianya lemah.

Dari tinjauan hukum perdata, perjanjian yang dibuat dengan akta di bawah

tangan diakui oleh para pihak tersebut. Kontrak pengadaan mempunyai kekuatan

yang sah dan meengikat jika kontrak itu ditanda tangani oleh pejabat yang

mempunyai kasitas untuk itu.10

Sementara itu dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan tenaga kerja

maupun perusahaan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Undang-

undang nomor 13 tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur asas keseimbangan

9
Budiman sinaga, perjanjian ketenagakerjaan, mengenal perjanjian ketenagakerjaan, dalam
www.wordpress.com diakses tanggal 11 maret 2019
10
Yohanes Sogar Simamora,2009, Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan
Barang Dan Jasa Oleh Pemerintah Jilid 1, Yogyakarta: Pres Sindo, Hlm 107
10

dalam perlindungan baik para tenaga kerja maupun para pengusaha didalam

melaksanakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Tidak kalah pentingnya adalah

perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar

pekerja/buruh dan menjamin keseimbangan para pihak serta perlakuan tanpa

diskriminasi.

Hal ini menjadi perhatian penyusun untuk meneliti bagaimana ASAS

KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2013 TENTANG

KETENAGAKERJAAN TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING di

Perusahaan Listrik Negara(PLN). Untuk lebih spesifiknya penulis akan meneliti di

PT.PLN (persero) Gorontalo.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana penerapan Asas Keseimbangan dalam Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu berdasarkan Undang-undang No.13 tahun 2003

tentang Ketenangakerjaan terhadap tenaga Outsourcing di PT PLN

GORONTALO?

1.2.2 Bagaimana bentuk perlindungan hukum dalam Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu terhadap tenaga kerja Outsourcing di PT.PLN

GORONTALO ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana penerapan Asas Keseimbangan

dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berdasarkan Undang-

undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah sesuai


11

atau belum dengan sistem outsourcing di Perusahaan Listrik

Negara (PLN), khusunya di PT.PLN Gorontalo

1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum dalam

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu terhadap tenaga kerja

Outsourcing di PT.PLN GORONTALO.

1.4 Manfaat

1.4.1 Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan

konsep pemikiran secara lebih logis, sistematis dan rasional terkait

penerapan Asas Perlindungan Keseimbangan dalam Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003

tentang ketenagakerjaan terhadap pekerja outsourcing.

1.4.2 Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya. Serta

memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait dalam

melaksanakan sistem kerja outsourcing yang sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang ada.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Perjanjian

2.1.1 Pengertian Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian

perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling

mengikatkan diri.11

Menurut Ahmadi Miru, perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di

mana seorang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selain itu,

kontrak dan perjanjian mempunyai makna yang sama karena dalam B.W. hanya

dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang

atau yang secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut12:

“Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang


bersumber dari undang-undang dibagi dua,yaitu dari undang-undang saja
dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan

11
Ahmadi Miru, Saka Pati, 2011, Hukum Perjanjian (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456
Kuhperdata), Rajawali Pers Jakarta, Hlm 63
12
Ahmadi Miru, 2013, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta Hlm 1
13

yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi


dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar
hukum.”
14

Menurut R. Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.13

2.1.3 Syarat Sahnya Perjanjian

Walaupun dikatakan bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan

mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus

diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUH Perdata, yaitu:1412

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3) Suatu hal tertentu

4) Suatu sebab yang halal

2.1.4. Asas-Asas Perjanjian

Di dalam hukum kontrak dikenal banyak asas, diantaranya adalah sebagai

berikut:15

1. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan

untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas

konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya

kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak,

lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini
13
R. Subekti,1987, Hukum Perjanian, Pt.Intermassa Hal 1
14
Ibid Hlm 13
15
Ahmadi Miru, Op,Cit Hlm 3
15

berarti bahwa dengan teapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan

kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah

bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

kontrak tersebut. Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak

karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap

kontrak formal dan kontrak riel tidak berlaku.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum

biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH

Perdata yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian.16

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

diantaranya:17

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

c. bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian;

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

16
Ibid Hlm 4
17
Ibid
16

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin

kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari

sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur

sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya),

kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.18

3. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak

tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan

janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal

ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.19

4. Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum

perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sementara itu, Arrest

H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik

dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad

baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut

sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua

belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai

oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa

18
Ibid
19
Ibid Hlm 5
17

kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan

yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian

terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang

wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing

pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang

berkaitan dengan iktikad baik.20

Di samping keempat asas di atas, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan

yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah

berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu

dijelaskan sebagai berikut:21

a. Asas kepercayaan

Asas Kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang

yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiapprestasi yang

diadakan di antara mereka di belakang hari.

b. Asas Persamaan Hukum

Asas Persamaan Hukum adalah bahwa subjek hukum yang

mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang

sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain,

walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

c. Asas Keseimbangan

20
Ibid
21
Mariam Darus Badrulzaman, Dalam Buku Salim H.S, Loc.cit 13-14
18

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah

pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditor mempunyai

kekuatan untuk menuntut prestasi dan jikadiperlukan dapat menuntut

pelunasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula

kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.

Asas keseimbangan dilandaskan pada ideologi yang

melatarbelakangi tertib hukum Indonesia. Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 adalah sumber tata nilai dan mencerminkan cara pandang

masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia adalah wakil dan cerminan

masyarakat dan juga menjaga arah perkembangan tertib hukum sehingga

tolak ukur tata nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tetatp

terjaga sebagai ideal yang setiap kali hendak diejawantahkan.22

Asas keseimbangan dalam kontrak dengan berbagai aspeknya telah

begitu banyak dikaji dan diulas oleh para ahli, sehingga muncul berbagai

pengertian terkait dengan asas keseimbangan ini. Pengertian

“keseimbangan-seimbang” atau “ evenwitch-evenwichtig” (Belanda) atau

“equality-equal-equilibrium” (Inggris) bermakna leksikal “sama,

sebanding” menunjuk pada suatu keadaan, posisi, derajat, berat, dan lain-

lain.23

Sutan Remy Sjahdeini,24 dalam disertasinya yang berjudul

“Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak


22
H. Budiono ,2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung, Citra
Aditya Bakti , Bandunng, Hlm 357
23
Ibid Hlm 25-26
24
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian(Asas Proposionalitas, Dalam Kontrak
Komersial), Pradana Media Grup , Jakarta, Hlm 27
19

dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia”, menganilisis keseimbangan

berkontrak pada hubungan antara bank-nasabah, menyimpulkan bahwa

keseimbangan para pihak hanya akan terwujud apabila berada pada posisi

yang sama kuat. Oleh karena itu, dengan membiarkan hubungan

kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan

berkontrak, sering kali menghasilkan ketidak adilan apabila salah satu

pihak berada dalam posisi yang lemah. Dengan demikian, negara

seharusnya campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah dengan

menentukan klausulatertentu yang harus dimuat atau dilarang dalam suatu

kontrak. Mencermati pandangan tersebut, tampaknya Sutan Remi

Sjahdeini memahami keseimbangan para pihak yang berkontrak (bank-

nasabah) dari posisi atau kedudukan para pihak yang (seharusnya) sama.

Sri Gambir Melati Hatta,25 dalam disertasinya yang berjudul “Beli

Sewa sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap

Mahkamah Agung Indonesia”, menyimpulkan bahwa asas keseimbangan

juga dipahami sebagai keseimbangan posisi tawar para pihak dalam

menentukan hak dan kewajiban dalam perjanjian. Ketidakseimbangan

posisi menimbulkan ketidakadilan, sehingga perlu intervensi pemerintah

untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat

perjanjian.

Ahmadi Miru, 26dalam disertasinya yang berjudul “Prinsip-prinsip

Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia”, menyatakan bahwa

25
Ibid Hlm 28
26
Ibid
20

keseimbangan antara konsumen-produsen dapat dicapai dengan

meningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen

lebih kuat dibandingkandengan konsumen. Dengan demikian, pikiran

tersebut sejalan dengan sarjana lain yang menegaskan bahwa asas

keseimbangan diartikan sebagai keseimbangan posisi para pihak.

Disertasi Herlien Budiono berjudul “Asas Keseimbangan bagi


27

Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas

Wigati Indonesia” yang judul aslinya adalah “Het Evenwichtsbeginsel

voor Indonesisch Contractrecht, Contractenrecht op Indonesische

Beginselen Gescheid”, dalam analisisnya menemukan dan

mengetengahkan bahwa, baik asas-asas hukum kontrak yang hidup dalam

kesadaran hukum Indonesia (semangat gotong royong, kekeluargaan,

rukun, patut, pantas, dan laras) sebagaimana yang tercermin dalam hukum

adat maupun asas-asas hukum modern (asas konsensus, asas kebebasan

berkontrak) sebagaimana yang ditemukan dalam perkembangan hukum

kontrak Belanda dalam perundang-undangan, praktik hukum dan

yurisprudensi, bertemu dalam satu asas, yaitu asas keseimbangan.

d. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian

hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian,

yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

e. Asas Moral

27
Ibid
21

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan

sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk

menggugat prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat dalam

zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela

(moral).

f. Asas Kepatutan

Asas Kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini

berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

g. Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian

tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga

hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

h. Asas Perlindungan

Asas Perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitor

dan kreditor harus dilindungi oleh hukum.

2.1.5. Wanprestasi

Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena

disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat

terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga

karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.28

Wanprestasi dapat berupa:29

1. sama sekali tidak memenuhi prestasi

28
Ahmadi Miru., Op.Cit, Hlm74
29
Ibid
22

2. prestasi yang dilakukan tidak sempurna

3. . terlambat memenuhi prestasi

4. . melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk

dilakukan.

Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang

wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebuadalah pedagang maka

bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan30

Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak

wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat

berupa tuntutan:31

 pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi)

 pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi)

Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh

pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun, jika

dua kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut

dapat dibagi menjadi empat, yaitu:32

1. pembatalan kontrak saja

2. . pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

3. pemenuhan kontrak saja

4. . pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

30
Ibid
31
Ibid Hlm 75
32
Ibid
23

Pembagian atas empat kemungkinan tuntutan tersebut di atas sekaligus

merupakan pernyataan ketidaksetujuan penulis atas pendapat yang membagi atas

lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu kemungkinan

lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi saja” karena tidak mungkin seseorang menuntut

ganti rugi saja yang lepas dari kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya

kontrak karena dibatalkan atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan

yang harus dihadapi para pihak dan tidak ada pilihan lain sehingga tidak mungkin

ada tuntutan ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi.33

Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut

tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan

apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang

wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara.34

2.2 Tinjauan Umum Tentang Tenaga Kerja

2.2.1 Pengertian Tenaga Kerja

Berdasarkan ketentuang Undang – undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan Pasal 1 angka (3) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerim upah atau

imbalan dalam bentuk lain.35 Sedangkan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Republik Indonesia No 19 tahun 2012 tentang Syarat – Syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 1

angka (6) pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan

33
Ibid
34
Ibid
35
Undang – Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka (3)
24

penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.36

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) UU No. 13 Tahun 2003, tenaga

kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang dan/ jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

Pengertian setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/ jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

untuk masyarakat dapat meliputi setiap orang yang bekerja dengan menerima

upah atau imbalan dalam bentuk lain atau setiap orang yang bekerja sendiri

dengan tidak menerima upah atau imbalan. Tenaga kerja meliputi pegawai negeri,

pekerja formal, dan orang yang belum bekerja atau pengangguran. Dengan kata

lain, pengertian tenaga kerja lebih luas dari pada pekerja/buruh.37

Tenaga kerja itu sendiri mencakup buruh, pegawai negeri baik sipil

maupun swasta, karyawan. Semua istilah tersebut mempunyai maksud dan tujuan

yang sama yaitu orang bekerja pada orang lain dan memperoleh upah sebagai

imbalannya.

2.2.2 Klasifikasi Tenaga Kerja

1. Tenaga Kerja berdasarkan Penduduknya

a. Tenaga Kerja

Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat

bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja.menurut

36
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No 19 Tahun 2012
Tentang Syarat – Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Pasal 1 Angka (6)
37
Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformas, Jakarta, Sinar Grafika, Hal 1
25

undang – undang tenaga kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai

tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan 64

tahun.

b. Bukan Tenaga Kerja

Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan

tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut undang –

undang Tenagakerja No 13 Tahun 2003, mereka adalah penduduk diluar

usia, yaitu mereka yang berusia dibawah 15 tahun dan berusia diatas 64

tahun. Contoh kelompok ini adalah para pensiunan, para lansia (lanjut

usia) dan anak – anak.

2. Tenaga Kerja berdasarkan Batas Kerja

a. Angkatan kerja

Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang berusia 15

samapai dengan 64 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi

sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan.

b. Bukan Angkatan Kerja

Bukan Angkatan Kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun

keatas yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan

sebagainya. Contoh dari kelompok ini adalah anak sekolah dan

mahasiswa, para ibu rumah tangga dan orang cacat, dan para

pengangguran sukarela.

3. Tenaga Kerja Berdasarkan Kualitasnya

a. Tenaga Kerja Terdidik


26

Tenaga Kerja Terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu

keahlian atau kemahiran dalm bidang tertentu dengan cara sekolah atau

berpendidikan formal dan nonformal. Contohnya adalah seorang dokter,

pengacara, guru, dan lain – lain.

b. Tenaga Kerja Terlatih

Tenaga Kerja Terlatih adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian

dan bidang tertentu dengan melalui pengalaman kerja. Tenaga Kerja

terampil ini dibutuhkan latihan secara berulang – ulang sehingga mampu

menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya adalah apoteker, ahli bedah,

mekanik, dan lain – lain.

c. Tenaga Kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terlatih

Tenaga kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terlatih adalah tenaga

Kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contohnya adalah kuli,

buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya.38

2.2.3. Hubungan Kerja

Hubungan kerja ini pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan

majikansetelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak

kesatu, siburuh mengikatkan dirinya pada pihak lain, si majikan untuk bekerja

dengan mendapatkan upah; dan majikan menyatakan kesanggupanya untuk

mempekerjakanya si buruh dengan membayar upah.39

38
Noname. Undang-Undang Ketenagakerjaan Terbaru Uu No 13 Tahun 2003 Dan Klasifikasi
Tenagakerja Dalam Http://Www.Gurupendidikan.Net. Diakses 23 Januari 2019
39
Lalu Husni Dalam Zainal Asikin, 2016, Dasar-Dasar Hukum Pemburuhan,Jakarta, Rajawali
Pers , Hlm 65
27

Hubungan kerja merupakan satu ikatan pekerjaan antara seorang

(pekerja/buruh) yang melakukan pekerjaan tertentu, dengan seseorang

(pengusaha) yang menyediakan pekerjaan atau memberi perintah untuk suatu

pekerjaan yang harus dikerjakan dengan baik dan benar. 40 Sedangkan menurut

Undang – undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka (15)

menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh . Berdasarkan pengertian tersebut terdapat 3 unsur dari Hubungan

Kerja, yaitu 41:

1) Pekerjaan

2) Perintah

3) Upah

Dari ketiga unsur tersebut ketiga – tiganya harus terpenuhi dan tidak boleh

berkurang satupun agar dapat dikategorikan sebagai hubungan kerja. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa timbulnya hubungan kerja disebabkan adanya

suatu perjanjian kerja secara tertulis maupun lisan antara pekerja dengan pemberi

kerja yang telah mengikatkan diri, saling bekerja sama untuk pelaksanan

pekerjaan yang menghasilkan produk barang dan atau jasa.

Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai:42

1) Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu

hubungan kerja)

40
Soedarjadi , 2009, Hak Dan Kewajiban Pekerja Pengusaha , Yogyakarta .Pustaka Yustisia,
Hlm 12
41
Undang – Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka (15)
42
Noname . Pengertian Hubungan Kerja. Dalam Http://Www.Sarjanaku.Com. Diakses 23 Januari
2019
28

2) Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak

dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)

3) Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus

merupakan hak dari si pekerja atas upah)

4) Berakhirnya Hubungan Kerja

5) Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan

2.2.4. Perjanjian Kerja

1. Pengertian

Perjanjian adalah kesepakatan yang terjadi ketika para pihak saling

berjanji untuk saling melaksanakan perbuatan tertentu.43 Suatu kontrak atau

perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat,

kecakapan hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam

pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dengan

dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian

menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.44

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda adalah arbeidsoverenkoms,

mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUHPerdata memberikan

pengertian sebagai berikut : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana

pihak ke-1 (satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah

pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan

dengan menerima upah”. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni : “Perjanjian

43
R Joni Bambang. 2013. Hukum Ketenagakerjaan. Bandung : Pustaka Setia, Hlm 81
44
Suharnoko. 2004. Hukum Perjanjian . Jakarta : Kencana Prenada Media Group,. Hlm 1
29

kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi

kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”.

Perjanjian kerja timbul karena adanya suatu persetujuan antara pekerja

disatu pihak dengan pengusaha dipihak lain. Perjanjian itu menetapkan antaralain

bahwa pekerja akan sanggup melakukan pekerjaan atau tugas yang diperintahkan

padanya yang dapa menghasilkan barang atau jasa dengan satu kompensasi dari

pengusaha atau pemberi kerja berupa upayang besarnya tidak kurang dari upah

minimum yang berlaku pada saat itu.45

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus

memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata dan juga pada Pasal 1 angka 14 Jo Pasal 52 ayat 1 Undang Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, definisi perjanjian kerja adalah

perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang

memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam Pasal 52 ayat 1

menyebutkan bahwa Perjanjian kerja dibuat atas dasar :

1) kesepakatan kedua belah pihak

2) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

3) adanya pekerjaan yang diperjanjikan

4) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Berdasarkan pengertian di atas, maka setidaknya ada dua unsur utama

dalam perjanjian, yakni: para pihak (subyek) dan hal-hal yang disepakati (obyek) `
45
Soedarjadi, Op.Cit, Hlm 13-15
30

subjek dalam hal ini adalah pekerja/ buruh pada satu pihak dan

majikan/pengusaha pada pihak lainya.46

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang

mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus

setuju/sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan.Kemampuan atau kecakapan

kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus haruslah cakap membuat

perjanjian ataupun cukup umur minimal 18 Tahun (Pasal 1 angka 26 Undang

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Adanya pekerjaan

yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata adalah hal tertentu.

Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian. Objek perjanjian

haruslah yang halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum dan kesusilaan.

2. Jenis Perjanjian Kerja

a. Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT)

Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu

tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan

tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat

secara tertulis. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau

menjaga hal-hal yang tidak dinginkan sehubungan dengan berakhirnya

kontrak kerja.

Didalam PKWT ini tidak diperbolehkan adanya masa percobaan

kerja. Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja,
46
Sehat Damanik. Op.Cit.Hlm 128
31

kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah

3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri

hubungan kerja secara sepihak. Apabila dalam PKWT terdapat ketentuan

tentang adanya masa percobaan maka persyaratan tersebut akan batal

demi hukum.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004

Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan

pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau

untuk pekerjaan tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat

sementara. Lebih lanjut dikatakan, bahwa PKWT dibuat untuk jangka

waktu 1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali dengan

jankga waktu (perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT

dibuat untuk 1 1/2 tahun, maka dapat diperpanjang 1/2 tahun.

Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun, hanya dapat

diperpanjang 1 tahun sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun . PKWT

adalah perjanjian bersayarat, yakni (antara lain) dipersyaratkan bahwa

harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan ancaman

bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa

Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT (pasal 57 ayat


32

(2) UUK). Isi dari suatu perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis

sekurang – kurangnya harus mencantumkan :

a) Nama, alamat perusahaan, jenis usaha

b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja

c) Jabatan atau jenis pekerjaan

d) Tempat pekerjaan

e) Besarnya upah dan cara pembayarannya

f) Syarat – syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha

dan pekerja

g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat

i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja

Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat dibuat

untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :

a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya

b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang

tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun

c) Pekerjaan yang bersifat musiman

d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,

atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau

penjajakan.
33

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian

kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang

bersifat tetap.

b. Perjanjian Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, PKWTT adalah

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan

hubungan kerja yang bersifat tetap.PKWTT dapat dibuat secara tertulis

maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi

ketenagakerjaan terkait.

Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku

di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah klausul-klausul

sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.PKWTT dapat

mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa

percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak

boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.

Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah

menjadi PKWTT, apabila:

a) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf

latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

b) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang


34

dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak

adanya hubungan kerja;

c) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang

berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan

jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi

PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;

d) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang

waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya

perpanjanganPKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT

berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat

PKWT tersebut;

e) Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap

pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud

dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka

hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai

ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

c. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/buruh atau

beberapa serikat pekerja/bururh yang telah tercatat pada isntansi yang

bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau

beberapa pengusaha. Berdasarkan Undang – undang No 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka (21) menjelaskan bahwa PKB adalah

perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja /buruh


35

atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau

beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat –

syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 47

Penyusunan PKB dilakukan secara musyawarah. PKB harus dibuat

secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia. PKB yang dibuat tidak

menggunakan bahasa Indonesia harus diterjemahkan terlebih dahulu oleh

penerjemah yang sudah disumpah terlebih dahulu. Dalam pembuatan PKB

secara musyawarah tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya

dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dalam satu perusahaan ahanya terdapat satu PKB yang berlaku bagi seluruh

pekerja/buruh di perusahaan. 48

Pengaturan PKB ini terletak pada Undang – undang No 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 116 sampai dengan 135 dan Keputusan

Menteri No. Kep 48/Men/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan

Pengesahan Peraturan Perusahaan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Adapaun isinya secara singkat mengatur anatara lain :22

a) Hak dan kewajiban pekerja/organisasi serikat pekerja

b) Hak dan kewajiban pengusaha

c) Syarat – syarat kerja

d) Disiplin dan wewenang masing – masing pihak

e) Masa berlakunya PKB

47
R Joni Bambang. Op.Cit. Hlm 118
48
Ibid ., Hlm 119
36

f) Tanda tangan para pihak yaitu pengurus organisasi serikat

pekerja dan pengusaha

2.3.5 Berakhirnya Perjanjian Kerja

Berakhirnya perjanjian kerja apabila :49

1. Pekerja/buruh meninggal dunia

2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja

3. Adanya putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

kesepakatan bersamaPerjanjian kerja tidak berakhir karena

meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang

disebabkan penjualan, pewarisan atau hibah.

2.3.6 Perlindungan Tenaga Kerja

Menurut Abdul Hakim dalam Yusuf Subkhi, perlindungan tenaga kerja

dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara

harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang

lemah. 50
Artinya perlindungan tenaga kerja merupakan jaminan wajib bagi tiap

pekerja yang bekerja untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan hidupnya

selama bekerja.

Soepomo yang dikutip Agusmidah, membagi perlindungan pekerja

menjadi 3 macam;51
49
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 61
50
Yusuf Subkhi,2012, Perlindungan Tenaga Kerja Alih Daya (Outsourcing) Perspektif Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dan Hukum Islam , Malang:Uin Maliki
Malang Hlm 36
51
Agusmidah,2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, Hlm 61
37

1. Perlindungan Ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang


berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja
suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari
baginya beserta keluarganya, ntermasuk dalam hal pekerja tersebut
tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya.
Perlindungan ini disebut jaminan sosial.
2. Perlindungan Sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan
dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan
pekerja itu mengenyam dan mengembangkan prikehidupannya
sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat
dan anggota keluarganya; atau yang biasa disebut kesehatan kerja.
3. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakan
yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja
lannya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan,
perlindungan jenis ini disebut dengan keselamatan kerja.
Dari hal ini, perlindungan terhadap pekerja merupakan hal yang mendasar

untuk dipenuhi pengusaha/perusahaan pemberi kerja. Hal-hal yang harus

dilindungi pengusaha/perusahaan pemberi kerja utamanya adalah mengenai

pemberian upah yang layak, Keselamatan dan kesehatankerja, perlindungan

khusus terhadap pekerja perempuan, anak dan penyandang cacat, kesejahteraan

serta jaminan sosial tenaga kerja. Hal ini sebagaimana tujuan pembangunan

ketenagakerjaan yang timbul dari pembangunan nasional memiliki keterkaitan

sehingga harus diatur dengan regulator yang maksimal untuk terpenuhinya hak-

hak dan perlindungan mendasar bagi pekerja dan terwujudnya iklim yang

kondusif bagi pengembangan dunia usaha.

Ketentuan wajibnya perusahaan dalam mengatur K3 berada dalam pasal

86 dan 87 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut;52

Pasal 86

52
Pasal 86 Dan 87 Uu No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
38

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan


atas:
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan; dan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktifitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan
dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen
perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah

2.3 Tinjauan Umum Tentang Outsourcing

2.3.1 Pengertian

Outsourcing merupakan bahasa asing yang berasal dari dua suku kata

Outyang berarti “luar” dan Source yang artinya “sumber”. Namun jika

diintrodusir ke dalam bahasa Indonesia, Outsourcing adalah ”alih daya”.

Outsourcing memilki istilah lain yakni ”contracting out”. 53

Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah Outsourcing sebenarnya

bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang – undang No 13

Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui

53
Siti Kunarti. 2009. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing) Dalam Hukum
Ketenagakerjaan . Jurnal Dinamika Hukum Vol No. 9 . Fakultas Hukum Universitas Jendral
Soedirman Purwokerto, Hlm 69
39

perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat

secara tertulis. Didalam praktiknya, ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja

yang diatur dalam peraturan tersebut akhirnya memunculkan istilah outsourcing

(dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar

perusahaan). 54

Istilah yang digunakan dalam Undang – undang No 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia

jasa pekerja atau buruh. Pemborongan Pekerjaan itu sendiri menuru KUHPerdata

Pasal 1601b adalah bahwa pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian

dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan

suatu pekerjaan tertentu bagi pihak yang lain, yaitu pihak yang memborongkan,

dengan menerima harga yang telah ditentukan.

Dari beberapa definis mengenai Outsourcing diatas, penulis

menyimpulkan bahwa definisi dari Outsourcing adalah pelimpahan sebagian

pekerjaan yang bukan merupan pekerjaan pokok atau bukan pekerjaan yang

berkaitan langsung dengan kegiatan produksi kepada perushaan penyedia jasa

pekerja outsourcing dengan membuat suatu perjanjian kerja dalam bentuk tertulis

yang disebut dengan perjanjian pembrong pekrjaan atau perjanjian penyediaan

jasa tenagakerja.

2.3.2 Pihak – pihak dalam Outsourcing

1) Perusahaan Pengguna Penyedia Jasa Outsourcing / Perusahaan Pemberi


Kerja

54
Sutedi Adrian. 2009. Hukum Pemburuan. Jakarta. Sinar Grafika . Hlm 217
40

Perusahaan Pengguna Penyedia Jasa Outsourcing / Perusahaan

Pemberikerja menurut Peraturan Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi No 19

Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan

Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 1 angka (1) menjelaskan bahwa

perusahaan pemberi kerja adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Dalam keputusan Menteri Tengakerja No KEP.220/MEN/X/2004

Pasal 1 angka (1) disebutkan bahwa perusahaan yang selanjutnya disebut

dengan perusahaan pemberi pekerjaan adalah setiap usaha yang berbadan

hukum atau bukan yang berbentuk badan hukum, milik orang perseorangan,

milik persekutuan atau milik badan hukum baik swasta maupun milik negara

yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan upah atau imbalan dalam bentuk

lain. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

lain.

2) Perusahaan Penyedia Jasa Outsourcing

Perusahaan Penyedia Jasa Outsourcing adalah pengusaha yang

memasok penyediaan jasa tenagakerja kepada perusahaan pemberi kerja untuk

melakukan pekerjaan dibawah perintah langsung dari perusahaan pemberi

kerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja wajib berbadan hukum dan memiliki

izin dari instansi ketenagakerjaan. 55

55
Ibid., Hlm 225
41

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi No 19

Tahun 2012 tentang Syarat –syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan

Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 1 angka (3) Perusahaan penyedia

jasa pekerja outsourcing adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum

perseroan terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan

jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.56

Adapun sebagai perusahaan penyediaan jasa tenagakerja yang dapat

menyerahkan pekerja untuk bekerja pada perusahaan pengguna harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a) Berbadan hukum dan memiliki izin operasional dari

instansi bidang ketenagakerjaan selama 5 tahun.

b) Ada hubungan kerja antara pengusaha jasa penyediaan jasa

tenagakerja dan pekerja dengan menggunakan perjanjian

kontrak kerja waktu tertentu atau waktu tidak tertentu yang

isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

c) Perlindungan upah, kesejahteraan, dan syarat kerja

termasuk apabila timbul perselisihan merupakan tanggung

jawab perusahaan penyedia jasa tenagakerja.

d) Perjanjian antara perusahaan pengguna dengan perusahaan

penyedia jasa tenagakerja dibuat tertulis dan wajib memuat

56
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenagakerja Dan Transmigrasi No 19 Tahun 2012 Tentang
Syarat –Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 1
Angka (3)
42

pasal-pasal yang dimaksud dalam undang-undang

ketenagakerjaan.

3) Pekerja Outsourcing

Pengertian atau definisi dari pekerja outsourcing tidak jauh berbeda

dengan pengertian pekerja berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan. Pekerja

menurut Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1

angka (3) adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain. Sedangkan Pekerja menurut peraturan Menteri No 19 tahun

2012 Pasal 1 angka (6) menjelaskan bahwa pekerja adalah setiap orang yang

bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

2.3.3 Syarat – syarat Pekerjaan yang dilimpahkan kepada pihak lain

Syarat – syarat Pekerjaan yang dilimpahkan kepada pihak lain Dalam

penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemeberi kerja dilarang

memperkerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan

yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk

melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan

langsung dengan proses produksi57.

Berdasarkan Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 65 ayat (2) pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Dilakukan secara terpisah dengan kegiatan utama

57
Sutedi Adrian Op.Cit ., Hlm 222
43

2) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

kerja

3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan

4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung

Kegaiatan jasa penunjang yang dimaksud antara lain adalah pelayanan

kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh

(catering), usaha tenaga penagaman atau satuan pengamanan (security), usaha jasa

di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.

2.3.4 Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

Dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, ada dua lembaga hukum dalam hubungan kerja yang

baru dikenal, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa

pekerja/buruh. Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan ini ada tiga

subjek hukum yang terkait yaitu pemborong, yang memborongkan

pekerjaan, dan pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan. Perjanjian

pemborongan pekerjaan khususnya diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65

Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 58

Untuk dapat melaksanakan penyerahan pelaksanaan pekerjaan

harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (PPP) dibuat secara tertulis

Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima

peborongan harus memnuhi syarat sebagai berikut :

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama


58
Ibid ., Hlm 54
44

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

2) Perusahaan penerima pemborongan harus berbentuk badan hukum

Hubungan kerja dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan

akibat hukum yang ditimbulkan adalah dalam pelaksanaan pekerjaan

diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima

pemborongan pekerjaan dan pekerja/buruh yang dikerjakannya. Perjanjian

pemborongan pekerjaan didasarkan oleh PKWTT maupun PKWT apabila

memenuhi syarat ketentuan PKWT. Perlindungan pekerja/buruh yang

diberikan sama dengan perlindungan yang telah diatur oleh peraturan

perundang-undangan. Dalam hal ketentuan mengenai syarat-syarat

pekerjaan yang dapat diserahkan tidak terpenuhi, maka demi hukum

hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan

beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh denagn pengusaha pemberi

kerja. Dengan demikian hubungan kerja dapat didasarkan atas PKWT

apabila telah memenuhi persyaratan59.

Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh ini, perusahaan pemberi

kerja tidak boleh menggunakan pekerja/buruh untuk mengerjakan kegiatan

pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi .

pekerja/buruh hanya diperbolehkan untuk mengerjakan pekerjaan

penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan


59
Ibid., Hlm 55
45

produksi. Untuk dapat menjadi penyedia jasa pekerja/buruh harus

memenuhi syarat sebagai berikut :60

1) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh

2) Perjanjian kerja yang dibuat adalah PKWT yang dibuat secara tertulis

dan ditandatangani oleh kedua belah pihak

3) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh

4) Perusahaan penyedia jasa atau buruh berbentuk badan Hukum.

60
Ibid
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyususn skripsi ini adalah

penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian dengan pengamatan dan

wawancara langsung terhadap objek penelitian yaitu para pegawai dan pekerja

outsourcing di PT. PLN GORONTALO serta perusahaan penyedia jasa

pekerjanya (perusahaan outsourcingnya).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian

yuridis empiris atau sosiologi hukum. Metode penelitian yuridis empiris atau

sosiologi hukum adalah pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di

dalam masyarakat. Pendekatan sosiologi hukum merupakan pendekatan yang

digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di

masyarakat.61

Alasan peneliti menggunakan penelitian hukum empiris karena untuk

mengidentifikasi implementasi peraturan tentang ketenagakerjaan khususnya Asas

Keseimbangan Hukum Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berdasarkan

Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap tenaga

kerja Outsourcing.

61
Zainudin Ali. 2013. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. Sinar Grafika . Hlm 105
47

3.2. Sumber Data

3.2.1.Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objeknya. Dalam

penelitian ini objeknya adalah para pegawai dan pekerja outsourcing serta

perusahaan penerima pekerjaan yang bersangkutan.

3.2.2 Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan.

Data sekunder terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

otoritas (autoritatif), biasanya berupa peraturan perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau putusan hakim. 62Dalam penelitian ini penulis

menggunakan bahan hukum primer diantaranya:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

b) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

c) Permenaker Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan

lain.

d) Keputusan Mentri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor Kep 100/Men/VI/2004 Tahun 2004 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

62
Ibid., Hlm 47
48

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti pendapat-pendapat para

sarjana, hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier ialah bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks

komulatif dan lain sebagainya.

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu di kota Gorontalo

khususnya di PT.PLN Kota Gorontalo. Lokasi ini dipilih karena keberadaan data

primer itu sangat mendukung penelitian peneliti selain itu di PT.PLN Kota

Gorontalo menghemat biaya bentor dari peneliti sendiri.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan cara

yang sama. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau

mati), kejadian, kasus-kasus waktu atau tempat, dengan sifat atau ciri yang

sama.63
63
Bambang Sunggono. 1998. Metodelogi Penelitian Hukum.Jakarta. Raja Grfindo Persada Hlm
121
49

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan outsourcing dan

tenaga kerja outsorcing yang bekerja di PT.PLN (persero) Gorontalo.

Tenaga kerja di perusahaan PT.PLN (persero) Gorontalo terdiri dari 296

(orang). Tenaga kerja tetap 136 (orang) sedangkan tenaga kerja

outsourcing (tidak tetap) 160 (orang).

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili

populasi atau yang menjadi obyek penelitian.64 Adapun yang menjadi

sampel dalam penelitian ini adalah:

1. Manager UP3 :1 (orang)

2. Staf kantor PT.PLN :2 (orang)

3. Tenaga Kerja outsourcing :4 (orang)

4. Informan Dari Perusahaan Outsourcing :2 (orang)

5. Masyarakat :1 (orang)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Wawancara

Wawancara dimaksudkan dilakukan tanya jawab secara langsung

antara peneliti dengan narasumber untuk mendapatkan informasi.

Wawancara adalah bagian penting dalam suatu peneliti hukum terutama

dalam peneliti hukum empiris. Karena tanpa wawancara, peneliti akan

64
Zainudin Ali. Op.Cit. Hlm 98
50

kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan bertanya secara

langsung kepada responden, narasumber, atau informan. 65

3.5.2 Kuisioner

Kuisioner merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara menyebarkan

atau membegi daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya oleh peneliti

kepada responden, kuisioner bertujuan untuk mendapatkan informasi yang relavan

dengan tujuan penelitian, memperoleh informasi sedetai dan seakurat mungkin.66

3. 6 Metode Analisis Data

Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa kajian

atau telaah terhadap hasil pengolaan data yang dibantu dengan teori-teori yang

telah didapatkan sebelumnya.

Adapun analisi data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini

peneliti menggunakan sifat deskriptif adalah bahwa peneliti dalam menganalisis

berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan subjek dan objek


67
penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan. Serta menggunakan

menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kualittif adalah suatu cara analisi

hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisi, yaitu data yang
65
Mukti Fajar, Yuliyanto Achmad,2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris,
Yogyakanrta , Pustaka Pelajar , Hlm 161
66
Ibid Hlm 164
67
Ibid Hlm 183
51

dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang

nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Penerapan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

di PT.PLN (persero) Gorontalo Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Tenaga Kerja

Outsourcing

4.1.1 Maksud dan Tujuan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu

Dalam perjanjian (hukum perjanjian) dalam hubungannya dengan para

pihak sering kali dikaitkan dengan “keseimbangan dalam berkontrak” (asas

keseimbangan). Namun demikian, seakan tidak pernah hentinya muncul anggapan

bahwa perjanjian yang terjalin antara pihak-pihak tidak memberikan

keseimbangan posisi bagi salah satunya. Perjanjian yang demikian dianggap tidak

adil dan berat sebelah, sehingga memunculkan upaya untuk mencari dan menggali

temuan-temuan baru di bidang hukum perjanjian agar dapat menyelesaikan

problematika ketidakseimbangan dalam hubungan kontraktual.68

Problematika mengenai perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian

kerja waktu tertentu yang pengguna jasanya adalah PT. PLN (Persero) selaku

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kaitannya dengan tindakan hukum dalam

perjanjian tersebut berada di ranah hukum publik atau privat.

Badrulzaman mengatakan asas keseimbangan sebagai asas persamaan

hukum. Menurutnya para pihak berada dalam persamaan derajat, tidak ada
Winarno Surachmad, 1973, Dasar Dan Tehnik Research Penelitian Metodelogi Ilmiah,
68

Bandung Tarsito Hlm 127


53

perbedaan dan mengharuskan kedua belah pihak untuk saling menghormati satu

sama lain sebagai sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. 69Penulis berkesimpulan

Asas keseimbangan bermakna leksikal yang artinya sama, sebanding menunjuk

pada suatu kesemaan posis, sedarajat, dan lain-lain.

Maksud asas keseimbangan adalah untuk menyelaraskan asas-asas pokok

hukum kontrak yang di kenal dalam KUHPer dengan jiwa dan semangat bangsa

indonesia.70 Kesetaraan para pihak dalam membuat sebuah perjanjian merupakan

landasan dari asas keseimbangan.

Asas keseimbangan merupakan suatu keadaan di mana para pihak yang

terlibat dalam kontrak harus memiliki kedudukan atau possi yang simbang tidak

ada yang mendominasi dan juga para pihak memiliki posisi tawar yang seimbang

baik dari kedudukan para pihak, kepentingan maupu hak dan kewajiban para

pihak. Dalam setiap kontrak, kepentingan individu dan masyarakat akan

bersamaan dijamin oleh hukum objektif. Asas keseimbangan dilandaskan pada

upaya mencapai suatu keadaan yang seimbang. Tidak terpenuhinya

keseimbangan, dalam konteks asas keseimbangan, bukan semata untuk

menegaskan fakta dan keadaan, melainkan lebih daripada itu berpengaruh

terhadap kekuatan yuridikal kontrak dimaksud. Dalam terciptanya atau

terbentuknya suatu kontrak, ketidakseimbangan bisa muncul sebagai akibat dari

perilaku para pihak itu sendiri ataupun sebagai konsekuensi dari substansi

(muatan isi) kontrak atau pelaksanaan kontrak.

69
Erni herawati, “perkembangan asas kesei mbangan dalam perjanjian”,http://busines-
law.binus.ac.id/2018/07/05 perkembangan-asas-keseimbangan-dalam-perjanjian/,diakses 1 juli
2019 pukul 10.00
70
Herlin Budiono . 2006. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Berlandaskan
Asas-Asas Wigati Indonesia . Bandung: Citra Aditya Bakti . Hlm 33
54

Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan

posisi para pihak sembang dalam menentukan hak dan kewajiban. Penekanan

dalam asas keseimbangan ialah kesembangan para pihak. Hal-hal yang dapat

mengganggu keseimbangan kontrak adalah cara terbentuknya kontrak yang

melibatkan pihak-pihak yang tidak memiliki kedudukan yang sama.

Ketidaksamaan kedudukan tersebut menghalangi terwujudnya kehendak untuk

mewujudkan keadilan dalam kedua belah pihak yang dijanjikan dalam kontrak.

Kontrak harus segera ditolak saat itu juga, apabila tampak bahwa

kedudukan salah satu pihak terhadap pihak lainnya adalah lebih kuat atau

dominan, dan kedudukan tidak seimbang ini dapat mempengaruhi cakupan

muatan isi maupun maksud dan tujuan dibuatnya kontrak. Akibat ketidaksetaraan

prestasi dalam kontrak adalah ketidakseimbangan. Jika kedudukan lebih kuat

tersebut berpengaruh terhadap perhubungan prestasi satu dengan lainnya, dan hal

mana mengacaukan keseimbangan dalam kontrak, dalam hal ini terhadap

perhubungan prestasi satu dengan lainnya, dan hal mana mengacaukan bagi pihak

yang dirugikan akan merupakan alasan untuk mengajukan tuntutan

ketidakabsahan kontrak. Sepanjang prestasi kontrak mengandaikan kesetaraan,

maka bila terjadi ketidakseimbangan, perhatian akan diberikan terhadap

kesetaraan yang terkait pada cara bagaimana kontrak terbentuk, dan tidak pada

hasil akhir dari prestasi yang diatur dalam kontrak.

4.1.2 Pelaksanaan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu di PT.PLN Gorontalo


55

Pertama-tama perlu peneliti sampaikan bahwa hubungan asas

keseimbangan dengan perjanjian kerja waktu tertentu dalam kontrak kerja

merupakan bentuk perlindungan para pihak artinya para pihak yang terlibat dalam

kontrak harus memiliki kedudukan atau possi yang simbang tidak ada yang

mendominasi dan juga para pihak memiliki posisi tawar yang seimbang baik dari

kedudukan para pihak, kepentingan maupu hak dan kewajiban para pihak.

Kontrak kerja tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing) tetap berlaku

ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan

bahwa sebuah perjanjian sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:71

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;

2. Adanya kecakapan hukum untuk melakukan/membuat

perikatan/perjanjian;

3. Adanya suatu hal atau obyek yang diperjanjikan; dan

4. Adanya suatu sebab yang diperbolehkan dan/atau tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Syarat pertama dan syarat kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena

menyangkut orang atau para pihak, sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat

disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Tidak

terpenuhinya syarat subjektif berakibat dapat dibatalkannya sebuah perjanjian

oleh salah satu pihak. Artinya sekalipun perjanjian telah ditandatangani maka

salah satu pihak yang merasa keberatan atas proses perjanjian itu dapat

mengajukan pembatalan isi perjanjian ke Pengadilan, sedangkan apabila syarat

objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya isi
71
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320
56

perjanjian itu tidak membawa akibat apapun terhadap kedua belah pihak karena

secara hukum perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, karena dalam perjanjian

kerja waktu tertentu juga berlaku syarat-syarat subjektif dan syarat objektif, maka

perusahaan pengguna tenaga kerja penyedia jasa (outsourcing) dan perusahaan

pemberi jasa tenaga kerja penyedia jasa (outsourcing) harus memperhatikan dan

memenuhi syarat-syarat outsourcing sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Peraturan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-

Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Berbicara tentang keadilan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,

menunjukkan bahwa keadilan berkaitan secara timbal balik bagi para pihak yang

terlibat di dalamnya. Tidak hanya dalam pengertian bahwa terwujud keadilan akan

menciptakan stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan pemborongan

pekerjaan melainkan juga dalam pengertian bahwa sejauh prinsip keadilan

dijalankan akan lahir etos kerja yang lebih baik di PT.PLN gorontalo. Sebaliknya,

ketidakadilan akan menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan para pelaku

bisnis.72

Implementasi perlindungan penyedia jasa (outsourcing) yang diberikan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan hanya

mencakup 2 (dua) hal yaitu masa sebelum bekerja (preemployment) dan masa

selama bekerja (during employment). Pasal 28 Peraturan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-

72
A .Sony Keraf, 2005, Etika Bisnis Tuntutan Dan Relevansinya , Yogyakarta , Kansius, Hlm 138
57

Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang

berbunyi :

“Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib


memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak
pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.”

Pasal 29 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan

Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang berbunyi :

“Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu


tertentu hak-hak yang objek kerjanya tetap ada sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus memuat :
a. jaminan kelangsungan bekerja
b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan
c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan
upah.”

Hak penyedia jasa (outsourcing) harus sama dengan tenaga kerja yang

lain, akan tetapi dalam kenyataannya tenaga kerja penyedia jasa (outsourcing)

tidak mendapatkan perlindungan mengenai masa setelah bekerja (post

employment) .

Implementasi asas keseimbangan dalam perjanjian kerja waktu tertentu di

PT.PLN Gorontalo sangat diperlukan untuk mewujudkan perjanjian yang saling

menguntungkan satu sama lain. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak

diterapkan, seperti halnya hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perjanjian

kerja waktu tertentu di PLN, ternyata ada beberapa klausul yang tidak seimbang

dan dapat merugikan pihak tenaga kerja. Klausul tersebut terdapat pada salah satu
58

isi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dibuat oleh salah satu PT .PLN

Gorontalo yang di dalam perjanjiannya hanya memuat jaminan sosial tenaga kerja

yang berhubungan dengan jaminan kecelakaan kerja,jaminan kesehatan dan

jaminan kematian sedangkan jaminan masa tua tidak terdapat dalam isi perjanjian

tersebut.

Selain itu, perjanjian jangka waktu kerja sama yang dimana dalam

perjanjian tersebut tercantum bahwa jangka waktu kerja itu 5 (lima) tahun hal ini

tidak sesuai dengan pasal 59 ayat (4) undang-undang nomor 13 tahun 2003

tentang ketenagakerjaan, Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas

jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya

boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 3 Ayat (2) Kepmenakertrans Nomor Kep-

100/Men/VI/2004 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu bahwa perjanjian kerja waktu hanya di buat untuk paling lama 3

(tiga) tahun.

Dalam peraturan perusahaan di PLN tidak mencantumkan tentang jangka

perjanjian kerja waktu tertentu lima tahun, hasil wawancara menujukan bahwa hal

tersebut merupkan ketentuan kontrak. Hal ini bertentangan dengan dengan pasal

59 ayat (4) undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Hasil warwancara dari perusahaan outsourcing berpendapat mengenai

penerapan asas keseimbangan bahwa sudah merupakan rahasia umum sebenarnya

mengenai ketidakseimbangan yang kadang terjadi dalam perjanjian kerja waktu

tertentu . Apalagi bukan masalah besar bagi PLN ketika rekanannya tidak setuju
59

dengan isi perjanjian pemborongan karena masih banyak rekanan yang lain.

Ketika penyedia jasa outsourcing tidak setuju dengan isi Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu, maka PLN akan mencari penyedia jasa yang lain yang setuju karena

tidak memungkinkan bagi PLN untuk mengubah isi perjanjian. Selain itu, sistem

birokrasi juga merupakan pengaruh penting dalam hal tersebut. Peraturan-

peraturan yang ada harus diberlakukan secara tegas dan disiplin sehingga tidak

ada lagi celah bagi PLN maupun penyedia jasa outsourcing untuk melakukan

penyimpangan-penyimpangan yang melanggar peraturan terkait pengadaan

barang/jasa, serta tidak terjadi kesalahan yang dapat merugikan pihak PLN

maupun penyedia jasa outsourcing terkhusus untuk masalah pembayaran.

Seharusnya penyedia jasa dan pejabat-pejabat yang berkaitan dengan Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu harus berintegritas tinggi dan bekerja secara profesional.

Menurut penulis, pengaturan yang tidak efektif di atas perlu dikaji ulang

dengan mengedepankan kepentingan dari ke dua belah pihak. Sebuah aturan

tidak akan mungkin bisa berjalan apabila tidak mencerminkan kebutuhan hukum

dari masyarakat. Jika pembuat undang-undang bermaksud memberikan

perlindungan hukum terhadap pekerja waktu tertentu dengan batasan waktu

bekerja, maka rentang waktu yang diberikan menurut penulis layak dengan waktu

maksimal 2 (dua) tahun tanpa ada permakluman lagi. Sehingga mau tidak mau

setelah 2 tahun jika pengusaha tetap akan memakai pekerja dalam hubungan kerja

wajib menaikkan statusnya sebagai pekerja waktu tidak tertentu atau pekerja tetap.

Dari uraian di atsas dapat disimpulkan bahwa penerapan asas

keseimbamgan belum berjalan dengan baik. Adapun faktor-faktor yang


60

melatarbelakangi ketidakseimbangan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di

PLN gorontalo yaitu:73

a. Standarisasi dalam kontrak perjanjian kerja waktu tertentu;

b. Adanya klausul eksonerasi dalam kontrak perjanjian kerja waktu tertentu;

c. Banyaknya saingan penyedia jasa outsourcing; dan

d. Peran notaris tidak dilibatkan dalam kontrak perjanjian kerja watktu

tertentu.

4.2 Bentuk Perlindungan Hukum dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

terhadap tenaga kerja Outsourcing di PT.PLN GORONTALO

Tujuan dari perlindungan hukum adalah untuk melindungi hak-hak yang

diberikan oleh hukum kepada seseorang yang dirugikan orang lain karena adanya

tindakan penyelewengan terhadap hak-hak tersebut, akan tetapi perlindungan

hukum tersebut tidak semata diberikan kepada seseorang yang telah dirugikan saja

tapi juga kepada seluruh masyarakat.

Untuk itu, dalam menganalisis dan memberikan alternatif solusi mengenai

bentuk perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kerja waktu tertentu

di PT. PLN (Persero) Gorontalo, penulis tidak hanya melihat dari satu sisi saja

yaitu tenaga kerja atau pihak perusahaan, mengingat meskipun pihak tebaga kerja

sebagai pihak dalam perjanjian mempunyai kedudukan yang lemah karena tidak

memiliki posisi tawar sehingga hak-haknya dirugikan oleh pihak penyedia jasa,

akan tetapi sebagai bagian dari masyarakat, PT. PLN (Persero) Gorontalo juga

mempunyai hak yang diberikan oleh hukum. Hukum harus bersifat objektif (tidak
73
Wawawancara bapak hasan tgl 26 maret 2019 pukul 14.30 wita
61

memihak) dengan menempatkan diri di tengah-tengah secara netral, karena PT.

PLN (Persero) dan juga tenaga kerja outsourcing, merupakan subjek hukum yang

harus dilindungi.

Sebagaimana telah di uraikan sebelumnya, kurangnya perlindungan hukum

menjadi satu permasalahan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan di PT. PLN

(Persero) Gorontalo. Perkembangan dalam hal pekerjaan pemborongan sebagai

suatu bentuk perjanjian bernama (nominaat) yang dikenal dalam KUHPerdata

tetapi tidak di barengi dengan ketersediaan peraturan yang memadai tentang

pemborongan pekerjaan. Hingga saat ini, belum ada undang-undang khusus yang

mengatur mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan, sedangkan ketentuan

Berdasarkan analisis dari rumusan masalah sebelumnya yang menganalisis

mengenai penerapan asas keseimbangan dalam perjanjian kerja waktu tertentu di

PT. PLN (Persero) Gorontalo, dapat disimpulkan bahwa klausul-klausul yang

tertuang dalam bentuk perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pihak pemberi

kerja atas dasar asas kebebasan berkontrak tersebut tidak mencerminkan asas

keseimbangan bagi para pihak.

Terkait dengan ketidakseimbangan dalam perjanjian kerja waktu tertentu

yang dilakukan oleh PLN terhadap pihak perusahaan outsourcing dan juga tenaga

kerja, terutama masalah jangka waktu kerja sama yang tidak sesuai dengan

undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Adapun faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab pihak perusahaan

outsourcing enggan menggugat PLN:


62

a. Adanya rasa saling percaya yang dimiliki perusahaan outsourcing dan

PLN, bahwa pihak PLN mempunyai itikad baik dalam perikatan perjanjian

yang telah sama-sama disepakati.

b. Adanya rasa ketidakenakan kepada pihak PLN karena telah lama menjalin

hubungan sebagai relasi dalam dunia jasa konstruksi.

c. Nilai kontrak yang terkadang dianggap tidak seberapa jumlahnya juga

menjadi salah satu faktor karena melakukan penggugatan bisa jadi

membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

d. Lamanya proses peradilan juga menjadi pertimbangan perusahaan

outsourcing untuk menggugat pihak PLN.

e. Penyedia jasa khawatir apabila melayangkan gugatan, hal itu akan

berpengaruh terhadap penilaian kinerja mereka saat itu dan kedepannya.

Dengan adanya faktor-faktor yang dikemukakan oleh pihak penyedia jasa

outsourcing inilah yang menjadi acuan sehingga perlunya perlindungan hukum

bagi pihak tenaga kerja outsorcing di PT. PLN (Persero) Gorontalo.

4.2.1 Bentuk Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya sengketa. Artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan

sebagai upaya pencegahan atas tindakan pelanggaran hukum. Upaya pencegahan

ini diimplementasikan dengan membentuk aturan-aturan hukum yang bersifat

normatif.

Berikut ini bentuk perlindungan hukum dalam Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu adalah sebagai berikut:


63

1. Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Perjanjian kerja waktu tertentu dimasyarakat lebih dikenal dengan

perjanjian kerja kontrak, atau perjanjian kerja tidak tetap. Status tenaga

kerjanya yaitu tenaga kerja kontrak / tenaga kerja tidak tetap. Dalam Pasal

59 ayat (1) c disebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat

dibuat untuk jenis pekerjaan tertentu yang pekerjaan tersebut diperkirakan

penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3

(tiga) tahun. Namun dapat dilihat dilapangan bahwa banyak perusahaan

yang menerapkan sistem kerja kontrak namun jangka waktu kontraknya

melebihi dari batas maksimal yaitu 3 tahun. Dari responden yang kami

temui Bapak Heri menyebutkan bahwa saat dia bekerja di perusahaan

dengan perjanjian kontak, dia mengaku menjalani kontrak kerja selama 5

(lima) tahun berturut-turut, setelah tahun ke 6 (enam) barulah dia

dimasukan kedalam perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu / tenaga

kerja tetap.Kemudian jenis pekerjaanya bukan pekerjaan yang sekali

selesai atau musiman, namun jenis pekerjaan yang terus menerus, ini tidak

sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan. Jenis pekerjaan yang terus menerus ini

semestinya bukan termasuk dalam perjanjian kerja waktu tertentu, namun

masuk dalam perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dengan tenaga kerja

merupakan kewenangan pemerintah untuk melakukan pengawasan, karena

tenaga kerja adalah orang yang lemah yang perlu dilindungi. Untuk itu
64

diwajibkan kepada pengusaha untuk mencatatkan di instansi pemerintah

yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan setiap perjanjian yang

dibuat oleh pengusaha dengan pekerja (Pasal 13 Keputusan Menaker R.I

Nomor : 100/MEN/IV/2004 tenten Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu).

2. Perlindungan Upah

Perlindungan Upah diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upah merupakan kewajiban

yang harus diberikan oleh pengusaha kepada buruh / tenaga kerja sebagai

imbalan atas pekerjaan yang telah diselesaikan oleh buruh / pekerja.

Kebijakan mengenai pengupahan ditetapkan oleh Pemerintah sebagai

lembaga eksekutif yang melindungi pekerja / buruh (Pasal 88 ayat 2).

Dalam Pasal 88 ayat (3) disebutkan bahwa kewajiban pengusaha untuk

membayar upah kepada tenaga kerjanya meliputi :74

a. Upah minimum,

b. Upah kerja lembur,

c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan,

d. Upah tidak masuk kerja karena kegiatan lain di luar pekerjaannya,

e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya,

f. Bentuk dan cara pembayaran upah,

g. Denda dan potongan upah,

h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah,

i. Struktur dan skala upah,


74
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
65

j. Upah untuk membayarkan pesangon, dan

k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.19

Penghasilan yang diterima karyawan digolongkan dalam 4 bentuk,

yaitu gaji, tunjangan dalam bentuk natura ( seperti beras, gula, dan

pakaian), fringe benefits (dalam bentuk dana yang disisihkan pengusaha

untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan dinas, makan siang), kondisi

lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya

mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa

kerja. Pangkat ini didasarkan pada tindakan pendidikan dan pengalaman

kerja, dengan kata lain. Dengan kata lain, penentuan gaji pokok pada

umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip teori human capital, yaitu

bahwa upah atau gaji seseorang sebanding dengan tingkat pendidikan dan

latihan yang dicapainya. Disamping gaji pokok, pekerja menerima juga

berbagai tunjangan, masing-masing sebagai presentase dari gaji pokok

atau jumlah tertentu, seperti tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, dan

lain-lain. Jumlah gaji dan tunjangan tersebut dinamakan gaji kotor. Gaji

bersih yang diterima adalah gaji kotor yang dikurangi potongan-potongan,

seperti potongan untuk dana pensiun, asuransi kesehatan, dan sebagainya.

Jumlah gaji bersih ini disebut take home pay.75

3. Perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Demi menunjang kinerja para pekerja / buruh maka dibuat upaya untuk

melindungi keselamatan kerja dan keamanan bagi tenaga kerja / buruh atau biasa

dikenal dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Jamsostek diatur


75
R.joni bambang ,op.cit.,2013,hlm 159-160
66

didalam Pasal 99 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa :

a. Setiap pekerja / buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan

sosial tenaga kerja,

b. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.25 Dalam hal ini penyelenggara Jamsostek adalah BPJS (Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja).

Program jaminan sosial tenaga kerja terdiri dari berikut ini.

a. Jaminan berupa uang yang meliputi :

1) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

2) Jaminan Kematian (JK)

3) Jamninan Hari Tua (JHT)

b. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan dalam perusahaan kecil sampai

perusahaan menengah, bahkan perusahaan skala besar terkadang terjadi

pelanggaran BPJS Ketenagakerjaan disebabkan karena beberapa faktor

antara lain, para pekerja / buruh tidak diikutsertakan kedalam program

BPJS Ketenagakerjaan atau apabila diikutsertakan tidak sepenuhnya

mematuhi ketentuan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jamninan Sosial yang menegaskan bahwa “Pemberi kerja secara bertahap

wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS


67

sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”. Kemudian

ditegaskan kembali dalam ayat (2) “Pemberi kerja, dalam melakukan

pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data

dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan

benar kepada BPJS”.76

Ketentuan tersebut jelas, bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak membedakan

status hubungan kerjanya, baik itu pekerja / buruh tetap, harian lepas, borongan

maupun perjanjian kerja waktu tertentu atau besar kecilnya perusahaan, kemudian

pembayaran upah BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan upah minimum atau upah

pokok saja

Salah satu permasalahan yang dimiliki oleh pranata hukum mengenai

perjanjian kerja waktu tertentu khususnya pengadaan barang dan jasa adalah

kurangnya perlindungan hukum bagi para pihak, karena sebagai sebuah pranata

hukum yang, perlindungan hukum bagi para pihak hanya sebatas pada itikad baik

dan masing-masing pihak yang semuanya dituangkan dalam bentuk klausul-

klausul perjanjian kerja waktu tertentu .

Dalam proses pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu dalam

pemborongan pekerjaan di PT. PLN (Persero) Gorontalo, Notaris dapat berperan

sebagai pihak penengah antara pihak pemberi kerja yaitu PT. PLN (Persero)

Gorontalo dengan pihak kontraktor, sekaligus bertindak sebagai konsultan hukum

bagi kedua belah pihak terutama bagi pihak tenaga kerja yang pada umumnya

merupakan pihak yang kurang paham akan hukum dengan memberikan nasihat-

nasihat hukum tentang klausul-klausul dalam suatu perjanjian pemborongan


76
Nuridin dan tiyas vika widyastuti hlm 235 vol 12 no 4 hlm 840
68

pekerjaan terutama terkait klausul eksonerasi serta menerangkan

ketidakseimbangan antara para pihak serta resiko yang akan mereka hadapi

sehingga dapat dihindarkan tindak penyalahgunaan klausul eksonerasi oleh pihak

pemberi kerja dan dapat mewujudkan keseimbangan antara para pihak, serta hak

penyedia jasa outsourcing sebagai konsumen untuk mendapatkan informasi yang

benar dan jujur sebagaimana di atur oleh ketentuan pasal 18 huruf c UU No, 8

Tahun 1999 terpenuhi. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 16 ayat (1) UU No.

2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, dimana salah satu kewajiban Notaris dalam

menjalankan jabatannya adalah bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak

dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

Pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu dalam bentuk akta notariil juga

dapat mengatasi kekaburan norma dalam klausul-klausul perjanjian kerja waktu

tertentu yang selama ini banyak menimbulkan permasalahan dan kerugian di

pihak penyedia jasa outsourcing karena salah satu kewajiban yang terkandung

dalam kewenangan Notaris membuat perjanjian adalah membacakan akta di

hadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi,

sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 16 ayat (1) dan pasal 40 ayat (1) UU

No. 2 Tahun 2014.

Ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia pasal

1870 KUHPerdata menyatakan bahwa bukti yang paling kuat adalah bukti dalam

bentuk Akta Otentik77.

77
Sogar Simamora , 2013, Hukum Kontrak (Kontrak Perjanjian Barang Dan Jasa Pemerintah Di
Indonesia) , Surabaya:Laksbang Justitia ,Hlm 14
69

Dengan kekuatan pembuktian formal oleh akta otentik dibuktikan bahwa

pejabat yang bersangkutan menjamin kebenaran atau kepastian tangga dari akta

itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-

orang yang hadir, demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan sepanjang

mengenai akta partij, bahwa para pihak menerangkan seperti yang diuraikan

dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya

pasti antara pihak-pihak sendiri.78

Dalam sebuah akta otentik terkandung kekuatan pembuktian lahiriah,

kekuatan pembuktian formil dan kekuatan pembuktian materiil. Kekuatan

pembuktian lahiriah memberikan kemampuan kepada akta itu sendiri untuk

membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut pasal 1875

KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan 79

yang baru berlaku sah jika pihak yang menandatangani akta tersebut mengakui

tanda tangannya.

Jadi, dalam rangka memenuhi tuntutan untuk memberikan pelayanan yang

efektif dan efisien dalam pengadaan barang dan jasa di PT. PLN (Persero)

Gorontalo tanpa mengabaikan perlindungan hukum bagi para pihak, maka

perjanjian kerja waktu tertentu tetap disajikan dalam bentuk perjanjian standar

yang disiapkan terlebih dahulu oleh pihak PT. PLN (Persero) Gorontalo, namun

dengan dibuatnya perjanjian kerja waktu tertentu dalam bentuk model kontrak,

bukan pejabat pengadaan barang dan jasa PT. PLN (Persero) Gorontalo yang

melakukan penyusunan klausul-klausul perjanjian baku pemborongan pekerjaan

78
Ibid hlm 57
79
Tobing G.H.S . Lumban,1983 Peraturan Jabatan Notris , Jakarta, Erlangga Hl, 55
70

tersebut, akan tetapi Notarislah yang menentukan dan melakukan penyusunan

klausul-klausul perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan pemahamannya

mengenai hukum.

Mengingat kewajiban Notaris untuk tidak berpihak, diharapkan dengan

disusunnya klausul-klausul perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut dalam

bentuk model kontrak oleh Notaris akan lebih menjamin asas kebebasan

berkontrak yang bertanggung jawab dan asas keseimbangan sebagai upaya

perlindungan bagi para pihak terutama bagi tenaga kerja dalam perjanjian

pemborongan pekerjaan di PT. PLN (Persero) Gorontalo.

4.2.2 Bentuk Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan bentuk perlindungan hukum

yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Pola penyelesaian sengketa dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu melalui pengadilan (upaya irigasi) dan alternatif

penyelesaian sengketa (upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau upaya

non litigasi).

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa. Badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat,

di kelompokan menjadi dua badan yaitu :

a) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum; dan

b) Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding

administrasi.

Perlindungan untuk tenaga kerja dan penyedia jasa outsourcing terwujud

lewat kebijakan dan hukum ketenagakerjaan yang terdapat dalam berbagai


71

peraturan perundang-undangan, kemudian lewat perundang-undangan ini

diletakkan serangkaian hak, kewajiban dan tanggung jawab kepada masing-

masing pihak, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana dan denda.

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing) dilakukan

agar hak-hak tenaga kerja penyedia jasa (outsourcing) tidak dilanggar oleh

pengusaha. Mengingat dalam hubungan kerja kedudukan/posisi para pihak tidak

sejajar, di mana tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing) berada pada posisi yang

lemah baik dari segi ekonomi maupun sosial, sehingga dengan posisinya yang

lemah tersebut tidak jarang terjadi pelanggaran atas hak-hak tenaga kerja penyelia

jasa (outsourcing).

Memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja merupakan tujuan dari

hukum ketenagakerjaan, tujuan hukum ketenagakerjaan itu adalah untuk mencapai

atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan melindungi

tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tak terbatas dari pengusaha.80

Upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyelia jasa

(outsourcing) harus dilaksanakan secara maksimal, mengingat dalam praktik

outsourcing terjadi hubungan kerja segi tiga yang melibatkan perusahaan pemberi

pekerjaan, perusahaan penerima pekerjaan dan tenaga kerja. Perusahaan pemberi

pekerjaan adalah perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja untuk

kepentingan perusahaan penerima pekerjaan, sementara perusahaan penerima

pekerjaan sendiri memperoleh keuntungan dari selisih antara upah/jasa yang

diberikan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima

80
Madulang,dikutip dalam abdul hakim hlm 4
72

pekerjaan dengan upah yang dibayarkan oleh perusahaan penerima pekerjaan

kepada tenaga kerja.

Terkait dengan melindungi tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing),

Pemerintah pada dasarnya berwenang untuk mengambil langkah-langkah seperti:

a. Melakukan intervensi dalam hubungan kerja guna meminimalisir


perselisihan hubungan industrial.

b. Mengawasi dan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala bentuk


eksploitasi tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing).

c. Mengawasi penerapan norma kerja dan norma K3 dalam praktik


outsourcing, sehingga ada jaminan dari pengusaha untuk selalu
memberikan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi tenaga kerja

d. Menciptakan keteraturan dalam bisnis outsourcing, dengan memaksa


pengusaha agar mematuhi ketentuan dan syarat-syarat outsourcing
sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6) dan
ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
kepada Perusahaan Lain.Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi :

“Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaanlain sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut:

a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung


dari pemberi pekerjaan;

c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara


keseluruhan; dan

d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.”

Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan berbunyi :
“Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.”
73

Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan berbunyi :
“Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”

Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan berbunyi :
“Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulisa antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakan.”

Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan berbunyi :
“Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59.
BAB V

PENUTUP

5.1 SIMPULAN

1. Penerapan asas keseimbangan dalam isi perjanjian kerja waktu tertentu di

PT.PLN (Persero) Gorontalo masih belum memberikan keseimbangan

dalam hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak terutama

dalam hal pemenuhan prestasi oleh pihak PT.PLN (Persero) Gorontalo

terhadap tenaga kerja dan perusahaan outsourcing. Ada beberapa isi di

dalam perjanjian yang dapat merugikan pihak penyedia jasa yang berimbas

pada tenaga kerja outsourcing dan hal tersebut tidak dapat diubah karena

perjanjian kerja waktu tertentu di PT.PLN (Persero) Gorontalo merupakan

perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pihak PLN (Persero)

Gorontalo tanpa melibatkan perusahaan maupun tenaga kerja outsourcing.

Hal tersebut dilatar belakang oleh beberapa faktor, antara lain (a)

Standarisasi dalam kontrak perjanjian kerja waktu tertentu; (b) Adanya

klausul eksonerasi dalam kontrak perjanjian kerja waktu tertentu; (c)

ketidaksetaraan prestasi-prestasi dalam kontrak; (d) Banyaknya saingan

penyedia jasa outsourcing; dan (e) Peran notaris tidak dilibatkan dalam

kontrak perjanjian kerja watktu tertentu.

2. Kurangnya perlindungan hukum para pihak dalam isi Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu yang menjadi satu permasalahan dalam perjanjian

pemborongan pekerjaan di PT.PLN (Persero) Gorontalo karena dalam

klausula perjanjian kerja waktu tertentu yang di buat sepihak oleh PT.PLN
75

(Persero) Gorontalo tidak mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan

asas keseimbangan yang menjadi sendi utama pembentukan suatu

perjanjian. Dalam menganalisa dan memberikan solusi mengenai bentuk

perlindungan hukum bagi para pihak, berdasarkan data di lapangan penulis

berkesimpulan untuk menggunakan bentuk perlindungan hukum preventif

dan perlindungan hukum represif dalam penyelesaian wanprestasi di

PT.PLN (Persero) Gorontalo.

5.2 SARAN

1. Kepada tenaga kerja penyedia jasa (outsourcing) sebaiknya mempelajari

terlebih dahulu mengenal peraturan-peraturan yang terkait dengan

perjanjian kerja waktu tertentu. Sehingga dapat lebih memahami klausula-

klausula yang ada dalam kontrak kerja yang mereka sepakati. Selain itu

dalam proses pelelangan sebaiknya pengguna jasa berani menanyakan hal-

hal yang tidak dimengerti ataupun mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan pelaksanaan agar tidak terjadi lagi ketidakseimbangan dalam isi

kontrak dan pelaksanaanya. Maka dibutuhkan sebuah iktikad baik dari

kedua belah pihak baik penyedia jasa (outsourcing) maupun pengguna jasa

agar tercipta keseimbangan dalam kontrak kerja.

2. Untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak khususnya

pihak penyedia (jasa outsourcing) dalam perjanjian kerja waktu tertentu

dalam pemborongan pekerjaan para pihak sebaiknya melibatkan notaris

dalam proses pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu dalam

pemborongan pekerjaan. Notaris dapat memberikan nasehat hukum


76

kepada para pihak tentang klausula-klausula yang terdapat dalam suatu

perjanjian yang diinginkan oleh para pihak dan menerangkan resiko yang

dihadapi mereka.
77

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Agus Midah, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor: Ghalia


Indonesia

Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian(Asas Proposionalitas, Dalam


Kontrak Komersial), Jakarta: Pradana Media Grup

Ahmadi Miru, 2013, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak, Jakarta:


Rajawali Pers

__________ Saka Pati, 2011, Hukum Perjanjian (Penjelasan Makna Pasal 1233
Sampai 1456 Kuhperdata), Jakarta : Rajawali Pers

Asri wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformas, Jakarta: Sinar


Grafika

A .Sony Keraf, 2005, Etika Bisnis Tuntutan Dan Relevansinya , Yogyakarta :


Kansius

Bambang Sunggono. 1998. Metodelogi Penelitian Hukum.Jakarta: Raja Grfindo


Persada

Budiono ,2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia,


Bandung: Citra Aditya Bakti

Herlin Budiono. 2006. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia


Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia . Bandung: Citra Aditya Bakti .

J . Satrio, 2001, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , Bandung : Citra
Aditya Bakti

R Joni Bambang. 2013. Hukum Ketenagakerjaan,Bandung : Pustaka setia


78

Salim H.S, 2011, Hukum Kontrak (Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak)
Jakarta: Sinar grafika

Sutedi Adrian. 2009. Hukum Pemburuan. Jakarta. Sinar Grafika

Tobing G.H.S . Lumban,1983 Peraturan Jabatan Notris , Jakarta, Erlangga

Winarno Surachmad, 1973, Dasar Dan Tehnik Research Penelitian Metodelogi


Ilmiah, Bandung :Tarsito

Yohanes Sogar Simamora,2009, Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak


Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Pemerintah Jilid 1, Yogyakarta: Pres
Sindo

Zainal Asikin, 2016, Dasar-Dasar Hukum Pemburuhan,Jakarta: Rajawali Pers

Zainudin ali. 2013, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. .

Undang-undang:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


2. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Permenaker Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan lain.
4. Keputusan Mentri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Kep-100/Men/VI/2004 Tahun 2004 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Jurnal :

1. Siti kunarti. 2009. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing)


Dalam Hukum Ketenagakerjaan . Jurnal Dinamika Hukum vol No. 9 .
Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto diakses
tanggal 1 februari 2019
79

2. Muhamad Wildan 2017. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Kontrak


Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jurnal Hukum Khairah
Ummah Vol 12 No 4.

Skripsi

Yusuf Subkhi,2012, Perlindungan Tenaga Kerja Alih Daya (Outsourcing)

Perspektif Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Dan Hukum Islam, Malang : UIN Maliki Malang

Internet:

1. Budiman sinaga, perjanjian ketenagakerjaan, mengenal perjanjian


ketenagakerjaan, dalam www.wordpress.com diakses tanggal 11 maret
2019
2. Noname. Undang-undang Ketenagakerjaan Terbaru UU No 13 Tahun
2003 dan Klasifikasi Tenagakerja dalam http://www.gurupendidikan.net
3. Erni herawati, “perkembangan asas kesei mbangan dalam
perjanjian”,http://busines-law.binus.ac.id/2018/07/05, perkembangan-asas-
keseimbangan-dalam-perjanjian/,diakses 1 juli 2019 pukul 10.00

Anda mungkin juga menyukai