Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

SEJARAH INDONESIA

DISUSUN OLEH:
TRI DAMA.S.
X MM A
GURU:DEWI SARTIKA S.Pd

TAHUN PELAJARAN 2019/2020


PENDAHULUAN
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami bisa selesaikan makalah ilmiah mengenai limbah
dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah sejarah ini sudah selesai saya susun
dengan maksimal sehingga saya bisa mengerjakan dan
membuat makalah ini dengan benar.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari seutuhnya bahwa
masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
saya terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca sehingga saya
bisa melakukan perbaikan makalah sejarah ini sehingga
menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir kata kami meminta semoga makalah ini
tentang sejarah Perang Padri,Perang
Diponegoro,Pemberontakan di Aceh dan Biografi Imam
Bonjol.
DAFTAR ISI
1.PERANG PADRI 1
2.LATAR BELAKANG 2
3.KETERLIBATAN BELANDA 3
4.TUANKU IMAM BONJOL 4
5.PEPERANGAN JILID KEDUA 4&5
6.PENGEPUNGAN IMAM BONJOL 6&7
7.AKHIR PEPERANGAN 7
8.PEPERANGAN DIPONEGORO 8
9.LATAR BELAKANG 9
10.PENGANGKATAN HAMENGKUBUWONO V 10
11.MULAINYA PERANG 11
1.PERANG PADRI
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra
Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari
tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada
awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan
sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan
Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud
seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman
keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai
warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal
agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal
telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu
kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun
1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang
saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam
peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan
Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan
Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang
mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821.
Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga
sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung
bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat
dimenangkan Belanda.

1
A.Latar Belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga
orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna
dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui
hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut
mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama
dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam
Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku
Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan
tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum
Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan
Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815,
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah
peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan. 

2
B.Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan
Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum
Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam
Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal
21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal
Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat
perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan
Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda
menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan
Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda,
kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar
sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang
oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam
perang itu ditandai dengan
penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan
Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April
1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.
Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan
pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk
memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai
tersebut.

3
TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol yang bernama


asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah
sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan
Renceh sebagai Imam di Bonjol. Kemudian
menjadi pemimpin sekaligus panglima perang
setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.

C.Peperangan Jilid Kedua


Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya
kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali
mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari
oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang
sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek).
Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan
salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin
menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan
dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-
liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau
pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil
alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda
melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan
menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu
kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api.

4
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan,
menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda.
Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari
kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel
Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara
tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari
pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima
pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan
berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di
Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat,
kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan
masalah baru.
Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan
kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan
Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya
dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil
menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan
Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan
mengirimnya kembali ke Sumatra. Namun di tengah perjalanan,
Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai
mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan
kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

5
D.Pengepungan Bonjol

Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.


Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba
melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan
suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang
dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan
pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh
pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan
Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah
ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di
Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk
mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan,
hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru
dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari
pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835
penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum
Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada
bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu
pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil
menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum
Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar
Bukit Tajadi.
6
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba
menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi
hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan
Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan
Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian
posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri,
membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk
memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal
11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata
dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda
kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan
dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,
perlawanan ini dapat diatasi.

E.Akhir Peperangan
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai
Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan
ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai
akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan
Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Bersama sisa-sisa
pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung
Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian
Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax
Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada
di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.

7
2.PERANG DIPONEGORO
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan
sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java
War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan
berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di
Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang
ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang
pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya
di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah
pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang
berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah
pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini,
penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa,
sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah
8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir
perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden
Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga
menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa
sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran
Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk
bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian
pasukan Jawa yang berada di pesisir utara
(sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari
penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama
Islam.
8
A.Latar belakang
Pemerintahan Daendels dan Raffles
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak
kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal
5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan
Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat itu Belanda
dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata
upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton
Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses
terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan
kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer dan Panarukan,
hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di
daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang
menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah
kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels
memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta
melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya
perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang
sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan
Belanda.
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford
Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan
Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton
Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan
Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan
putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini
dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun
1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian
Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen.
9
B.Pengangkatan Hamengkubuwana V dan
Pemerintahan Smissaert
Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal
pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (Permaisuri Hamengkubuwana II) dan
Gusti Kangjeng Ratu Kencono (Permaisuri Hamengkubuwana IV)
memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk
mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun
untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku
Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi
wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi.
Residen baru Yogyakarta pengganti Nahuys, Jonkheer Anthonie
Hendrik Smissaert bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam
penunjukkan Sultan pada bulan Juni 1823. Penunjukan itu untuk
menggantikan Sultan Hamengku Buwono III yang meninggal
mendadak. Smissaert duduk di atas tahta seraya menerima sembah dan
bakti para bupati mancanagara dalam lima upacara Garebeg selama 31
bulan masa jabatannya sebagai Residen. Di mata orang Jawa hal ini
adalah penghinaan terhadap martabat mereka.
Pangeran Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai Wali
Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan Ratu Kencono (Ibunda
Sultan balita). Namun posisi Pangeran semakin tidak dianggap.
Smissaert mengabaikan pendapat Pangeran Diponegoro dalam persoalan
ganti rugi sewa tanah yang dapat membawa Kesultanan pada
kebangkrutan.
Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang
melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan
tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der
Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua
tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan
kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan
diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa
adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam
uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu.
Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan
kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo
sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan
keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu
Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda.
Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di
rumahnya yang berada di Tegalrejo untuk membahas mengenai
kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran
Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan
membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli
senjata dan makanan.

C.Mulainya Perang
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk
memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun,
pembangunan jalan yang awalnya
dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati
pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan
yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran
Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert
sehingga Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang.
Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah
Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang
telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro
menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan
perang.
Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati
keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap
Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang
pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan
12sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal
medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan
pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten
Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya
tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota
Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong,
sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan
Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang
disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya,
sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani
Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa
Putri di sebelah Timur.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang
berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat
Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang
menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana
perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan
pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15
dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro
juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya
ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi
tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga
menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini
Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono
VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

D.JALAN PEPERANGAN
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang
Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua
belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di
puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai
13pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu
sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk
menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun
di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik
sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi
yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai
kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan
menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat
dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada
bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja
sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim
penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk
gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras
membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri,
dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan
moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan
pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak
di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang
berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap
Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan
Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap. Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir
perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban
dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Setelah perang berakhir,
jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Keraton Yogyakarta Diponegoro
dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak
diperbolehkan lagi masuk ke keraton hingga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro
dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk
keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut
akan diusir.

E.Akhir Perang
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang
Padri di Sumatra Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan
antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang
mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-
mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda
masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya
Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang
belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak
I antara 1821-1825, dan babak II.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik
pasukan yang dipakai perang di Sumatra Barat untuk menghadapi
Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan
senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari
Sumatra Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro
berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan
terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang
Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang
Padri.
Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan
bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati
Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh
kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di
jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh
Warok.
3.PEMBERONTAKAN DI ACEH
Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) untuk memperoleh kemerdekaan
dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005. Operasi
militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta
kehancuran yang disebabkan oleh gempa bumi Samudra Hindia
2004 menyebabkan diadakannya persetujuan perdamaian dan
berakhirnya pemberontakan. Amnesty International merilis
laporan Time To Face The Past pada April 2013 setelah
pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan
kewajibannya sesuai perjanjian damai 2005. Laporan tersebut
memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi jika
masalah ini tidak diselesaikan.

A.Latar Belakang
Secara luas di Aceh, agama Islam yang sangat konservatif
lebih dipraktikkan. Hal ini berbeda dengan penerapan Islam
yang moderat di sebagian besar wilayah Indonesia lain.
Perbedaan budaya dan penerapan agama Islam antara Aceh dan
banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi gambaran sebab
konflik yang paling jelas. Selain itu, kebijakan-
kebijakan sekuler dalam administrasi Orde
Baru Presiden Soeharto (1965-1998) sangat tidak populer di
Aceh.
Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia
menimbulkan sentimen yang meluas di provinsi Aceh bahwa
para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti masalah
16yang dimiliki Aceh dan tidak bersimpati pada kebutuhan
masyarakat Aceh dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.
B.GARIS WAKTU
1.Tahap Pertama
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto,
bersama dengan keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan
di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada
tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh.
Ancaman utama yang dianggap melatarbelakangi adalah terhadap
praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah
Indonesia yang dianggap "Neo-Kolonial", dan meningkatnya jumlah
migran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang
tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan
perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan
terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham
PT Arun NGL, perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang
sangat terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh
dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang
partisipasi aktif massa. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya
70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal
dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung
karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain
karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat.
Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional
berpendidikan tinggi yang merupakan anggota kelas ekonomi atas dan
menengah masyarakat Aceh. Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh
di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari
tokoh pemberontakan Darul Islam berikut ini:

 Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan


Panglima Agung
 17Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri
 Teungku Usman Lampoh Awe: Menteri Keuangan
 Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman
 Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
 Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
 Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
 Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri
 Amir Ishak: Menteri Komunikasi
 Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
 Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri
Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam
GAM sendiri telah berjuang pada tahun 1953-1959
dalam pemberontakan Darul Islam. Banyak dari mereka adalah laki-laki
tua yang tetap setia kepada mantan gubernur militer Aceh dan pemimpin
pemberontakan Darul Islam di Aceh, Daud Beureueh. Orang yang paling
menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama
terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul
Islam. Beberapa orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait
dengan di Tiro melalui keluarga atau ikatan regional, namun kesetiaan
mereka terutama adalah untuk Beureueh. Orang-orang inilah yang
menyediakan pengetahuan militer, pertempuran, pengetahuan lokal dan
keterampilan logistik yang tidak memiliki pemimpin muda GAM yang
berpendidikan.
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer
Indonesia telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM
berakhir di pengasingan, dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai
berai, melarikan diri dan bersembunyi. Para pemimpinnya seperti Di
Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud
(menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri
pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM
yang asli berhenti berfungsi.
182.Tahap Kedua
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM,
dengan mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang
mendukung pemberontakan nasionalis melalui
"Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme".
Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode 1986-
1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda. Perekrut
GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000
sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia
menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. Di antara para pemimpin
GAM yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood (yang
kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak
Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah
kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya. Operasi yang dilakukan
GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi
dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada
polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang
pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan
kelompok GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia
untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan
1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah Operasi
Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi
kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah ini, meskipun secara taktik
berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan
korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa
terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut,
penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM
membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir
seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir
era 1998 setelah kejatuhan Soeharto. Komandan penting GAM telah
entah dibunuh (komandan GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior
19GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah) atau lari (Robert,
Arjuna dan Ahmad Kandang).
3.Tahap ketiga
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah
pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan
keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan
pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang
besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan pasukan
diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh
kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara.
Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000
selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001
-2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70
persen pedesaan di seluruh Aceh.
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik
singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of
Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian
Permusuhan") yang hanya berlangsung antara Desember 2002
ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan
mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan
untuk selamanya.
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk
mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung
penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-
referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM
memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada
para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibu kota
provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga
mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan
20"Worldwide Achehnese Representatives Meeting"
di Stavanger, Norwegia. Dalam deklarasi tersebut, GAM
menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem
demokrasi." Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia
dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok
berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai
tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka
setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh
menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada
tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada
tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri
konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan
darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November
2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan
karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human
Rights Watch,[31] militer Indonesia kembali melakukan
pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi
sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di
tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar
hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-
tiba bencana Tsunami bulan Desember
2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan
konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam
sejarah Indonesia tersebut.
C.Kesepakatan Damai dan Pilkada Pertama
Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian
besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah
21pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan
senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk
menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. Namun, bentrokan
bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena
gerakan separatis di daerah, pemerintah Indonesia melakukan
pembatasan akses terhadap pers dan pekerja bantuan. Namun
setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk
upaya bantuan internasional.
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan
kerugian manusia dan material yang besar bagi kedua belah
pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap
konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah
gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut,
perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun
konflik berkepanjangan. Era pasca-Soeharto dan masa
reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan dalam sistem
militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang
lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden
Indonesia yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sangat signifikan dalam
menangnya perdamaian di Aceh.
Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami
perubahan, dan militer Indonesia telah menimbulkan begitu
banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin
menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk
bernegosiasi. Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi
oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan
dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.
Perundingan ini menghasilkan kesepakatan
damai ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
D.Kepentingan Militer Indonesia di Aceh
Damien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat
informal pimpinan GAM di Swedia selama Perundingan Damai
Helsinki 2005, menyatakan bahwa militer Indonesia memiliki
kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja
menjaga konflik supaya tetap terjadi di tingkat yang akan
membenarkan kehadiran mereka di provinsi bergolak tersebut.
ICG juga menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa,
"Aceh (adalah) tempat yang terlalu menguntungkan untuk para
perwira militer yang sangat bergantung pada pendapatan yang
bersumber non-anggaran ."
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang
diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:

 Obat terlarang: Pasukan keamanan mendorong petani lokal


Aceh untuk menanam ganja dan membayar mereka harga
yang jauh di bawah nilai pasar gelap. Salah satu contoh kasus
yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter
mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut
40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala
polisi Aceh Besar (perlu dicatat bahwa pada saat
itu Kepolisian Republik Indonesia atau Polri berada di bawah
komando militer atau ABRI). Kasus lain adalah pada bulan
September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh
polisi di Binjai, Sumatra Utara dengan muatan 1.350 kg
ganja.
 Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada tahun 2001 dan
2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan
bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum
militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut
adalah: personel militer Indonesia melaporkan senjata-senjata
tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran.
Kedua, oknum personel militer utama Indonesia yang
mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM
dengan pasokan senjata serta amunisi.
 Pembalakan liar: Oknum militer dan
polisi disuap oleh perusahaan penebangan untuk
mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar
wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang didanai
oleh Uni Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi
pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum
polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu
mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah
memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai
kegiatan ilegal tersebut.
 Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola
"usaha perlindungan" liar untuk mengekstrak pembayaran
besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil Oil dan
PT Arun NGL di industri minyak dan gas, serta perusahaan
perkebunan yang beroperasi di Aceh.
 Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual
tangkapan mereka kepada oknum militer dengan harga jauh
di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan
untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga
mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran
dari nelayan.
 Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa
menjual biji kopi kepada oknum militer dengan harga murah
yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi

244.TUANKU IMAM BONJOL
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin
dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam sebuah
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-
1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli Muhammad Shahab
di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Khatib
Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang,
Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun. Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku Imam
Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin
Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam
sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dia
sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam
Bonjol.Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama
Islam dengan pribadi yang santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga
kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Paderi. Kaum Paderi merupakan
sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung
utama penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat yang zaman
dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri.

Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang


menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan
Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang
Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Paderi
dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan
Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk
menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan
Renceh meninggal dunia.Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu
anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan untuk pimpinan
beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum
Padri.Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum
Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku
Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh
pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui
peperangan.

Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama)


dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di
kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat
dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi
kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan
madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran
pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.Tidak adanya kesepakatan
dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.Hingga tahun 1833, perang ini dapat
dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan
Mandailing.

Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada


Belanda pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga
sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung
bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya peperangan
ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu
yang sangat lama.Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol
diundang Belanda ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu
Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak,
Minahasa, dekat Manado.
Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia
pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat pengasingannya tersebut.Pada masa kepemimpinannya, Tuanku
Imam Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana
yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme tersebut
juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.

Anda mungkin juga menyukai