Teknik Transformasi
Pengertian transformasi dalam arsitektur dapat diartikan sebagai perubahan bentuk yaitu
perubahan bentuk dari deep structure yang merupakan struktur mata terdalam sebagai isi struktur
tersebut ke surface structure yang merupakan struktur tampilan berupa struktur material yang
terlihat. Adapun kategori transformasi dalam desain yaitu :
Desain pragmatic
Desain pragmatic menggunakan bahan dasar material, seperti tanah, batu, batang pohon,
ranting-ranting, bambu kulit binatang atau kadang salju. Proses yang dilakukan dengan cara
trial and error hingga memunculkan suatu bentuk yang terlihat melayani tujuan desainer.
Kebanyakan bentuk bangunan sepertinya dimulai dari cara ini. Desain ini digunakan dalam
desain dengan material baru. Usaha besar-besaran adalah contoh yang sangat baik dan
usaha ini masih digunakan ketika akan menggunakan bahan material baru, seperti plastic air
houses dan struktur suspension. Baru pada akhir-akhir ini, setelah dua decade desain
pragmatic, dasar-dasar teori untuk desain struktur semacam mulai muncul. Dengan
demikian suatu desain akan mengalami transformasi pragmatic ketika desain tersebut
memiliki kriteri dengan menggunakan bahan material sebagai dasar pengolahan bentuk
desainnya atau sebagai raw materialnya.
Desain Typologic
Desain topologic dimulai dari mental image yang telah fiks dari bentuk-bnetuk bangunan
yang telah dikenal sebagai solusi terbaik untuk penggunaan material yang telah dikenal
sebagai solusi terbaik untuk penggunaan material yang didapat di sebagian tempat dengan
bagian iklimnya, rumah yang mewujudkan gaya hidup, mekanisme arsitektur primitive dan
vernakuler tetapi masih digunakan oleh arsitek-arsitek yang kurang dikenal dalam mengikuti
desain-desain dari form givers. Desain ini juga menyertakan fakta budaya sebagai bagian
mental image. Sering digunakan penggunaan budaya primitif seperti legenda, tradisi yang
menggambarkan adaptasi mutual dengan menempatkannya diantara way of life dan bentuk
bangunan. Dengan demikian suatu desain akan mengalami transformasi typologic ketika
desain tersebut memiliki kaitan budaya suatu daerah, memberikan image tentang daerah
atau budaya tertentu.
DesainAnalogical
Desain analogical menggambarkan visual analogi ke dalam solusi permasalahan desain
seseorang. Ada alas an simbolik untuk ini, analogi juga memperlihatkan mekanisme
arsitektur yang kreatif. Pada abad ke-20 sangat banyak arsitektur yang digambarkan pada
lukisan dan sculpture sebagai sumber analogi, tetapi analogi dapat juga menjadi gambaran
seseorang (personal analogy) dan konsep abstract filosophical (sebagai sebuah hadirnya
keasyikan yang tidak ditentukan).
Desain Canonic
Desain canonic (geometri) didasari dari grid-grid dan axis dari gambaran desain awal. Hal ini
menjadikan usaha untuk menyamai atau melebihi pekerjaan-pekerjaan besar dari system-
sistemproporsi. Tinjauan bentuk-bentuk mengenai seni dan desain yang dapat disokong oleh
system-sistem proporsional ini diterima dari Geometri Greek (Phytagoras) dan filsuf klasik
(seperti Plato). Pada abad kedua puluh ini banyak desain yang berdasar pada persepsi
serupa, seperti system modular, koordinasi dimensional, bangunan bersistem fabrikasi.
Namun teknik baru matematikal bnayak disukai oleh para desainer untuk mendorong lebih
lanjut ketertarikan ini. Sehingga suatu desain akan mengalami transformasi canonic ketika
desain tersebut menggunakan pendekatan geometrical sebagai raw materialnya baik itu
dalam system konvensional maupun system komputasi.
Teknik Typologi
Tipologi dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam mendefinisikan atau
mengklasifikasikan objek arsitektural. Tipologi dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan
yang terjadi pada suatu objek dan analisa perubahan tersebut menyangkut bentuk dasar objek
atau elemen dasar, sifat dasar, fungsi objek serta proses transformasi bentuknya.
a. Menganalisa tipologi dengan cara menggali dari sejarah untuk mengetahui ide awal
dari suatu komposisi; atau dengan kata lain mengetahui asal-usul atau kejadian suatu objek
arsitektural.
c. Menganalisa tipologi dengan cara mencari bentuk sederhana suatu bangunan melalui
pencarian bangun dasar serta sifat dasarnya.
Ornamen
Ornamen merupakan dekorasi yang digunakan untuk memperindah bagian dari sebuah
bangunan atau obyek. Ornamen arsitektural dapat diukir dari batu, kayu atau logam mulia, dibentuk
dengan plester atau tanah liat, atau terkesan ke permukaan sebagai ornamen terapan, dalam seni
terapan lainnya, bahan baku obyek, atau yang berbeda dapat digunakan. Berbagai macam gaya
dekoratif dan motif telah dikembangkan untuk arsitektur dan seni terapan, termasuk tembikar,
mebel, logam. Dalam tekstil, kertas dinding dan benda-benda lain di mana hiasan mungkin jadi
pembenaran utama keberadaannya, pola istilah atau desain lebih mungkin untuk digunakan.
Gaya ornamentasi dapat dipelajari dalam referensi Budaya spesifik yang mengembangkan bentuk-
bentuk unik dari dekorasi, atau ornament termodifikasi dari budaya lain. Ornamen juga menjadi
bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan sejarah seni rupa di Indonesia. Beberapa
bukti sejarah ornamen Indonesia dapat kita lihat pada dinding bangunan candi Hindu Buddha yang
berada di beberapa wilayah nusantara. Candi Borobudur yang dibangun mulai sekitar 824 M dan
candi Prambanan sekitar 850 M. Di dalamnya, pada arca, relief, dan tubuh candi itu sendiri banyak
kita temukan guratan ornamen yang menceritakan kisah Ramayana dan Mahabharata.
Fungsi religius: Fungsi yang erat dalam hubungannya dengan kegiatan Upacara keagamaan
dan spiritual untuk menolak bala, mendatangkan rejeki dan lain-lain.
Fungsi Terapan: Digunakan untuk menghias benda-benda seni . Seperti pada hasil kerajinan,
gerabah, bangunan atau sebagai dekorasi untuk menambah nilai estetis.
Teknik Reversal
Masalah kualitas (quality issues), seperti penyederhanaan perangkat lunak yang rumit,
meningkatkan kualitas perangkat lunak yang mengandung kesalahan, penghapusan
efek samping dari perangkat lunak, dll.
Masalah pengelolaan (management issues), seperti membuat standar pemrograman,
memfasilitasi teknik manajemen pemeliharaan perangkat lunak dengan lebih baik, dan
sebagainya.
Masalah teknis (technical issues), seperti memungkinkan perubahan dalam perangkat
lunak, menemukan dan merekam desain sistem, menemukan dan merepresentasikan
model bisnis yang ada dalam perangkat lunak, dll.
Tanpa dukungan Sarana yang tepat, biaya reverse engineering sistem perangkat lunak
sangat tinggi. Tools Reverse engineering menyediakan mekanisme untuk ekstraksi data,
Penciptaan model, visualisasi, dan penjelasan untuk membantu pemrogram untuk memahami
sebuah sistem software.
1) Skala Nominal
Buah-buahan seperti apel, mangga, jeruk, durian, duku berbeda dalam jenisnya, bukan
dalam tingkatannya. Karena itu jika kita berikan angka 1 untuk jeruk, 2 untuk duren, 3 untuk
duku. Angka-angka itu berfungsi sebagai pelabelan saja. Angka 1,2, dan3 tadi tidak
mengandung arti kuantitatif. Angka - angka 1, 2, dan 3 tidak dapat diurutkan atau
ditambahkan atau dijumlahkan. Angka-angka itu tak mempunyai makna selain makna label
saja. Karena data yang dihasilkan tidak kuantitatif, maka tes-tes statistic parametric seperti F-
test dan T-test tidak dapat digunakan.
2) Skala Ordinal
Skala urutan peringkat bukanlah skala berinterval sama, dan skala ini juga tidak
memiliki titik nol absolut. Kachigan (1986) menyatakan sebagian pakar menganggap skala
ordinal seperti halnya skala nominal bersifat kualitatif karena skala-skala itu juga parametrik
tidak memiliki informasi tentang jarak antara nilai-nilai.
3. Skala Interval
Skala interval memiliki ciri-ciri skala nominal dan ordinal, khususnya cirri peringkat-
berurutannya. Di samping itu jarak keangkaan yang sama pada skala interval mewakili jarak
yang sama pula dalam hal pemilikan sifat yang diukur. Misalnya, pendapatan A 200,
pendapatan B 400, dan pendapatan C 600. Berdasarkan pendapatan tersebut dapat kita
katakan, perbedaan pendapatan B dengan A sama dengan perbedaan pendapatan C dengan B.
Dapat juga dikatakan, Interval A ke C ialah 600-200= 400. Tapi, kita tidak dapat menyatakan
pendapatan C dua kali lebih besar daripada pendapatan A.
4. Skala Ratio
Skala ratio memiliki nol mutlak, yang mengandung makna empirik. Contoh skala
ratio, skala inchi, meter, berat badan, mempunyai interval yang sama dan mempunyai angka
nol mutlak. Jika suatu pengukuran menghasilkan nol pada suatu skala ratio, maka ada
landasan untuk menyatakan bahwa objek tertentu tidak memiliki sifat yang sedang diukur.
Karena ada nol mutlak maka segala operasi aritmatika dimungkinkan di sini, termasuk
perkalian dan pembagian. Angka-angka pada skala ratio menunjukkan besaran sesungguhnya
dari sifat yang diukur (Kerlinger, 1992).
a. Lingkungan fisik : berupa alam seperti keadaan alam atau keadaan tanah serta musim
b. Lingkungan social : berupa lingkungan tempat individu berinteraksi. Lingkungan social
dibedakan dalam dua bentuk :
a. Individu menolak lingkungan jika tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu
b. Individu menerima lingkungan jika sesuai dengan dengan yang ada dalam diri
individu
c. Individu bersikap netral atau berstaus quo.
Arsitektur berwawasan perilaku adalah Arsitektur yang manusiawi, yang mampu
memahami dan mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap dari berbagai macam
perilaku, baik itu perilaku pencipta, pemakai, pengamat juga perilaku alam sekitarnya.
Disebutkan pila bahwa Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra.
Guna merujuk pada manfaat yang ditimbulkan dari hasil rancangan. Manfaat tersebut
diperoleh dari pengaturan fisik bangunan yang sesuai dengan fungsinya. Namun begitu guna
tidak hanya berarti manfaat saja, tetapi juga mengahsilkan suatu daya yang menyebabkan
kualitas hidup kita semakin meningkat. Cita merujuk pada image yang ditampilkan oleh suatu
karya Arsitektur. Citra lebih berkesan spiritual karena hanya dapat dirasakan oleh jiwa kita.
Citra adalah lambing yang membahasakan segala yang manusiawi, indah da agung dari yang
menciptakan (Mangunwijaya, 1992).
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan baha mencapa guna dan citra yang sesuai
tidak lepas dari berbagai perilaku yang berpengaruh dalam sebuah karya, baik itu perilaku
pencipta, perilaku pemakai, perilaku pengamat juga menyangkut perilaku alam dan
sekitarnya. Pembahasan perilaku dalam buku wastu citra dilakukan satu persatu menurut
beragamnya pengertian Arsitektur, sebagai berikut :
Perilaku manusia didasari oleh pengaruh sosial budaya yang juga mempengaruhi
terjadinya proses Arsitektur.
Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan religi dari pengaruh nilai-nilai
kosmologi.
Perilaku alam dan lingkungan mendasari perilaku manusia dalam berArsitektur.
Dalam berArsitektur terdapat keinginan untuk menciptakan perilaku yang lebih baik.
Garry T. More dalam buku Introduction to Architecture mengatakan bahwa Istilah
perilaku diartikan sebagai suatu fungsi dari tuntutan-tuntutan organism dalam dan lingkungan
sosio-fisik luar. Penkajian perilaku menurut Garry T. More diakitkan denga lingkungan
sekitar yang lebih dikenal sebagai pengakjian lingkungan-perilaku. Adapun pengkajian
lingkungan_perilaku seperti yang dimaksudkan oleh Garry T. More terdiri atas definisi-
defenisi sebagai berikut :
Pengertian Kebudayaan
1. “Penghargaan terhadap martabat manusia”. Hal ini bisa dilihat pada nilai
nilai seperti: demokrasi, institusi sosial, dan kesejahteraan ekonomi.
2. “Kebebasan”. Di Barat anak anak berbicara terbuka di depan orang dewasa, orang
orang berpakaian menurut selera masing-masing, mengemukakan pendapat secara
bebas, tidak membedakan status sosial dsb.
3. “Penciptaan dan pemanfaatan teknologi” seperti pesawat jet, satelit, televisi,
telepon, listrik, komputer dsb. orang Barat menekankan logika dan ilmu. orang Barat
cenderung aktif dan analitis.
Arsitektur sebagai lingkungan binaan manusia Pada dasarnya setiap manusia memiliki
kebutuhan. Suatu karya arsitektur merupakan wujud kebudayaan sebagai hasil kelakuan
manusia dalam rangka memenuhi hasrat kebutuhan mereka. Menurut Van Romondt
Arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia dengan bahagia (definisi konsepsional) kata
ruang meliputi semua ruang yang terjadi karena dibuat oleh manusia.pada prinsipnya jelas
bahwa arsitektur terdiri dari unsur-unsur ruang. Atau dengan kata lain karya arsitektur
merupakan lingkungan baik buatan manusia maupun dari alam, istilah yang lebih popular
untuk menggambarkan pengertian ini lah bahwa arsitektur merupakan suatu lingkungan
binaan. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Hubungan antara kegiatan manusia dengan
lingkungan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dimiliki manusia (Parsudi
Suparlan). Lingkungan, selain berupa lingkungan alam juga berupa lingkungan sosiobudaya.
Karena itu konsep manusia harus dipahami sebagai makhluk yang bersifat biososiobudaya.
Sehubungan dengan itu, maka manusia, kebudayaan dan lingkungan merupakan 3 faktor
yang saling berhubungan secara integral. Lingkungan alam tempat manusia hidup
memberikan daya dukung kehidupan dalam berbagai bentuk kemungkinan yang dapat dipilih
manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Pengembangan pilihan-pilihan itu sangat
bergantung pada potensi kebudayaan menusia yang berkembang karena kemampuan akalnya.
Dengan kata lain, melalui kebudayaan manusia akan selalu melakukan adaptasi terhadap
lingkungannya.
Arsitektur sebagai unsur kebudayaan merupakan salah satu bentuk bahasa nonverbal
manusia, alat komunikasi manusia nonverbal ini mempunyai nuansa sastrawi dan tidak jauh
berbeda dengan sastra verbal. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana
keindahan, sebab dari sanalah akan muncul karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa
dan kitab lontara Bugis dapat ditemukan hubungan relevansi antara lingkungan kehidupan
budaya manusia dengan rumah adat yang diciptakannya.Jadi dapat disimpulkan bahwa Setiap
daerah mempunyai masing-masing bentuk, cara, dan tradisi dalam membina suatu
kebudayaan agar budaya mereka tetap bertahan, arsitek pun juga berperan penting dalam
membangun budaya dalam segi pembangunan daerah sesuai rancangan dalam kajian
arsitektur. Maka dari itu seorang arsitek (manusia) harus menghargai kebudayaan yang telah
terjaga oleh anak bangsa agar tetap dan selalu ada untuk generasi penerus kita. Untuk
menganalisis hubungan antara budaya dan lingkungan binaan, maka dapat digunakan variabel
sosial dengan sekuens tertentu yang semakin spesifik dari budaya melalui world views dan
nilai, sampai kepada gaya hidup dan aktivitas dan mengamati ekspresi sosial.
1. Afektifitas, yaitu hubungan antar anggota masyarakat didasarkan pada kasih sayang.
2. Orientasi kolektif, yaitu lebih mengutamakan kepentingan kelompok/kebersamaan.
3. Partikularisme, yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang khusus
berlaku untuk suatu daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif
dan rasa kebersamaan.
4. Askripsi, yaitu segala sesuatu yang dimiliki diperoleh dari pewarisan generasi
sebelumnya.
5. Diffuseness (kekaburan), yaitu dalam mengungkapkan sesuatu dengan tidak berterus-
terang.
1. Netralitas efektif, yaitu bersikap netral bahkan dapat menuju sikap tidak
memperhatikan orang lain/lingkungan.
2. Orientasi diri, yaitu lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
3. Universalisme, yaitu menerima segala sesuatu dengan obyektif.
4. Prestasi, yaitu masyarakatnya suka mengejar prestasi.
5. Spesifitas, yaitu berterus terang dalam mengungkapkan segala sesuatu.
(Angga Restu Pambudi, 2011)
Perbedaan anatara masyarakat tradisional dengan masyarkat modern jika dilihat dari
berbagai faktor sebagai berikut :
1. Perekonomian
· Tradisional : Masyarakat tradisional rata- rata termasuk ke dalam ekonomi kelas
menengah ke bawah / golongan ekonomi rendah karena mata pencaharian masyarakat
tradisional yaitu mengotah afam seperti bertani, berkebun, berladang, dan beternak.
· Modern : Perekonomian pada masyarakat modern rata- rata termasuk ke dalam
golongan sedang hingga kelas menengah atas karena mata pencaharian mereka yang rata- rata
sesuai dengan perkembangan zaman dan menunjang pembangunan negara seperti dokter,
arsitek, pegawai, bisnis dll.
2. Pembagian kerja
· Tradisional : Pembagian kerja dilakukan secara bersama- sama/ gotong royong karena
bagi masyarakat tradisional sangat menjunjung tinggi rasa kebersamaaan. Pola pembagian
kerjanya cenderung dibedakan dan pembagian kerja dibedakan menurut jenis kelamin dan
lapangan pekerjaannya masih kurang.
· Modern : sistem pembagian kerja bersifat individulistik karena masyarakat modern
cenderung untuk mementingkan diri sendiri daripada kepentingan bersama. Pada masyarakat
modern terdapat spesialisasi dari variasi pekerjaan dan terpisah dari pengaruh struktur sosial
lainnya.
· Modern : Masyarakat modern dilihat dari prestasinya. Semakin tinggi prestasi orang
tersebut maka peranan orang tersebut dalam masyarakat semakin tinggi. Pada masyarakat
modern lapisan sosialnya di tentukan secara jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan
pada seseorang .
4. Mobilitas Sosial
· Tradisional : Mobilitas sosial masyarakat tradisional terbatas dan kelompok lokal yang
stabil. Mobilitas teritorial lebih jarang terjadi. Mobilitas/ perpindahan dari desa kekota lebih
banyak.
· Modern : Mobilitas sosial masyarakat modern tinggi dalam arti luas. Penduduk kota
lebih dinamis dan mobilitasnya cukup tinggi.
5. Tingkat Pendidikan
· Tradisional : Masyarakat tradisional rata- rata memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan masyarakat modern. Tingkat pendididkan di desa masih kurang atau
tertinggal, seperti pada fasilitas yang ada di sekolah dan perlengkapan belajar mengajar juga
masih kurang lengkap.
· Modern : Pada masyarakat modern yang sangat memprioritaskan pendidikan, karena
bagi mereka pendidikan merupakan bekal untuk masa depan yang lebih baik.
6. Sistem Komunikasi
· Modern : Sistem komunikasinya sudah maju dan alat komunikasinya bermacam-
macam dan canggih. Masyarakat modern sendiri sangat mengikuti perkembangan kemajuan
teknologi sehingga dapat melakukan komunikasi dengan mudah.
7. Nilai Budaya
· Tradisional : Masyarakat tradisional memiliki nilai budaya yang lebih kental dalam arti
lebih sering digunakan dibandingkan masyarakat modern. Masyarakat tradisional senantiasa
menggunakan nilai- nilai budaya yang ada untuk pedoman dalam berperilaku. Biasanya nilai-
nilai budaya yang ada pada masyarakat tradisional sifatnya tidak tertulis.
· Modern : Masyarakat modern lebih cenderung menggunakan norma / aturan sebagai
pedoman dalam berperilaku. Masyarakat modern dianggap mempunyai tingkat kebudayaan
yang tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang.
8. Sistem kepemimpinan
· Tradisional : Pada masyarakat tradisional memiliki sistem kepemimpinan yang kurang
maju/ terbatas dibandingkan dengan masyarakat modern yang lebih maju. Masyarakat
tradisional biasanya menentukan suatu pemimpin berdasarkan strata sosial.
9. Penerapan Teknologi
· Modern : Masyarakat modern hidupnya sangat tergantung pada teknologi sehingga
sangat mengikuti perkembangan teknologi untuk menunjang hidupnya.
· Tradisional : Pola hubungan sosial pada masyarakat tradisional sangat terasa sekali
dibandingkan masyarakat modern karena masyarakat tradisional senantiasa bergotong royong
dalam segala hal.
· Modern : Masyarakat modern pola hubungan sosial kurang terlaksana dengan baik
karena masyarakat yang individualistik. (Imran Baruta, 2011)
Perencanaan Berjati Diri Indonesia
Perkembangan arsitektur baik dari kebutuhan akan jenis program ruang, besaran dan
ukuran ruang serta penggunaan material/bahan bangunan dalam beberapa periode, semakin
lama menjadi lebih baik.
Dapat dijelaskan bahwa beberapa jenis kebutuhan akan program ruang, besaran dan
ukuran ruang serta penggunaan material/bahan bangunan yang digunakan adalah sebagai
berikut: