Anda di halaman 1dari 2

ANALISIS DAN KESIMPULAN

KERJA KERAS MENGATASI KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

Kekerasan dan pemecahannya


Dalam masa-masa kepastian dan kontinuitas budaya, kita melihat Agama Kristen dengan
sebelah mata sebagai agama rekonsiliasi, perdamaian, cinta pada tetangga dan musuh. Dalam decade
akhir-akhir ini, banyak pihak yang mengakui potensi kekerasan Agama Kristen. Seperti perang salib
dan kolonialisme. Kita sudah mengalami perang di Balkan antara Katolik, Ortodoks dan Muslim,
kekerasan di India utara dengan kelompok Sikh, kerusuhan yang disulut agama di Timor. Kekerasan
Nampak menjadi motif bagi aksi politik.
Agama hanya mendorong kekerasan ketika ia terkait dengan factor-faktor lain. Factor-factor
tersebut bisa kepentingan nasional atau tekanan politik, terdapat masa-masa ketidakpastian social atau
pergolakan budaya. Jadi, demi dorongan dan orientasi kita sendiri, adalah penting juga bagi kita untuk
menyadari adanya gerakan oposisi yang terus-menerus dan banyaknya orang-orang yang seringkali
bekerja atas nama agama mereka untuk mengatasi kekerasan social, politik, dan agama.

I. Kritik kekerasan dalam semua agama


1. Agama Timur
Taoisme dan terutama semua Konfusianisme yang (seperti semua agama dunia) mengenal
kaidah kencana (Golden Rule) : “Apa yang tidak ingin dilakukan padamu, jangan lakukan pada orang
lain”. Ini bukan seruan pada non-kekerasan tanpa syarat, tetapi seruan untuk mengatasi kekerasan.
Brahmanisme menggambarkan, dalam Reg Veda, inti dari semua perilaku buruk manusia adalah
himsa (kekerasan). Konsep ahimsa (non-kekerasan) menjadi konsep sentral etika Brahmanisme.
Ahimsa tidak berusaha membahayakan atau menganiaya segala sesuatu. Perintah Budha bahwa tidak
boleh ada penderitaan yang merugikan orang lain. Penghapusan kejahatan adalah tujuan dari Jalan
Kedelapan. Kebaikan budi, simpati, merasakan kesenangan dan kedamaian bersama bagi Budha
adalah empat budi utama yang harus ditanamkan pada semua perilaku.

2. Islam
Terlepas dari pernyataan-pernyataan damai yang ditemukan dalam Al-Qur’an, segala sesuatu
dalam Islam nampaknya diarahkan pada penaklukan dan pertempuran. Sebagaimana agama monoteis
lainnya, Islam peduli dengan upaya aktif membangun dunia yang adil. Berbeda dengan Budhisme,
tujuan misionaris dan penyebaran agama adalah syah dan bahkan dituntut dalam kondisi tertentu.
Sebagaimana dalam etika social barat dengan pondasi Kristennya, tekanan dilakukan (oleh negara)
untuk mencegah kekerasan. Kita tidak boleh melupakan bahwa Allah, Tuhan yang Esa dan Pencipta
alam semesta, terus disebut al-Rahman, ‘Yang Maha Pengasih’ atau ‘Tuhan yang Maha Pengasih’,
dalam Al-Qur’an. Dalam inti iman Islam kita menemukan ajaran amanah (trust), dan syukur
(gratitude), ini sudah dinyatakan oleh istilah islam, yang diterjemahkan sebagai pengabdian atau
ketundukan. Islam tidak mengembangkan mistisisme yang melepaskan diri dari dunia atau tenggelam
dalam the all atau Nirvana, sebagaimana mistisisme di Timur. Sufisme selalu difokuskan pada
komunitas agama, yang membentuk kesadaran dan perilaku umat Muslim dan terus membuka pikiran
mereka pada ide persaudaraan, kasih dan non-kekerasan. Berulang kali masyarakat ini ditentang oleh
kecenderungan ‘ortodoks’ yang diorientasikan pada doktrin, nasionalistik dan cenderung
menggunakan kekerasan. Jadi, prinsip mencintai musuh seseorang tidak dirumuskan sebagai
pernyataan pembatasan yang ketat, meskipun spiritualitas cinta sesama manusia dan kesediaan akan
rekonsiliasi telah mengakar kuat.
3. Komentar sementara
Faktor pertama adalah konsentrasi agama-agama monoteis pada penyelamatan manusia,
antropolosentrisitas pemikirannya. Penyelamatan merupakan tujuan utamanya : kehidupan dunia dan
non-manusia dibuat untuk memenuhi tujuan ini. Oleh karena itu, kekerasan terhadap dunia dan
kehidupan lebih bisa diterima daripada dalam agama-agama Timur. Dunia dan kehidupan
ditundukkan, bahkan terkadang diperalat, demi tujuan manusia. Faktor kedua adalah dorongan untuk
memenuhi kehendak Tuhan yang telah dikembangkan oleh agama-agama ‘propetik’ ini. Dunia harus
diubah dan keadilan harus ditegakkan. Setiap orang yang ingin menghapuskan kekerasan, mengatasi
kondisi-kondisi kekerasan, dan mengubah dunia, dengan kata lain, setiap orang yang ingin
menciptakan masyarakat yang adil, akan terus terdorong melakukan paksaan dab kekerasan, paling
tidak dalam situasi mempertahankan diri. Sering kali kita harus menggunakan kekerasan untuk
mencegah kekerasan yang lebih buruk, menghadapi kekerasan dengan kekerasan tandingan yang
diperhitungkan, atau menggunakan kekerasan melawan binatang dan benda-benda demi umat
manusia.

4. Tradisi Injil
Tradisi injil ini menjadikan masalah kekerasan sebagai masalah spesifik. Sebelas bab pertama
Genesis memahami sejarah umat manusia sebagai sejarah penyebaran kekerasan; hanya Tuhan yang
bisa menghentikannya, dan hanya melalui langkah-langkah radikal. Pada saat yang sama, sejarah ini
merupakan basis dari realisme injil, yaitu terutama Yahudi, yang telah dialaminya dan yakin bahwa
sejarah manusia selalu dibentuk oleh kekerasan dan akan tetap demikian. Tuhan menampilkan diri-
Nya sebagai cinta (Hosea 11:8) dan menawarkan untuk sampai pada perdamaian terakhir. Tetapi
dalam tradisi Kristen tujuan non-kekerasan dihambat oleh penggunaan kekerasan yang Nampak dalam
kehidupan agama seharo-hari. Cerita tentang kasih Yesus seringkali disalahgunakan sebagai
legitimasi penderitaan. Pada saat yang sama, kekuatan politik, teknik dan ekonomi yang besar yang
telah merambah gereja-gereja telah menggoda penggunaan kekerasan sehari-hari, rasa superioritas
yang mendunia dan imperialisme spiritual dan material yang tidak bisa dibendung.

Anda mungkin juga menyukai