Anda di halaman 1dari 14

CRITICAL REVIEW

TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN


“TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF BAGI PENDERITA
HIPERTENSI”

Oleh : Yuni Sapto Edhy Rahayu

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP

TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan penyebab umum kerusakan dari berbagai organ
vital tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung seperti jantung
(penyakit jantung koroner, gagal jantung dan disritmia), ginjal (nefrosklerosis,
insufisiensi, gagal ginjal), otak (stroke), serta arteri perifer dan retinopati.
Hipertensi sering disebut silent killer karena penderita dapat mengidapnya
selama bertahun-tahun tanpa menyadarinya sampai terjadi kerusakan organ vital
tubuh. Gejala hipertensi biasanya samar, seperti sakit kepala dan nyeri leher
bagian kuduk sehingga sering diabaikan (LeMone & Burke, 2008). Prevalensi
hipertensi terus meningkat setiap tahunnya. Diperkirakan hipertensi diidap oleh
hampir 26,4% populasi dewasa di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari 1,5
milyar penduduk menderita hipertansi di tahun 2025, hipertensi merupakan
faktor resiko penyebab kematian mencapai 13,5% dari seluruh kematian (Brook,
et al, 2013).
Hipertensi dibedakan menjadi menjadi dua tipe yaitu hipertensi primer dan
hipertansi sekunder. Hipertensi primer yaitu hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya, berkontribusi 90% dari semua kasus hipertensi (Smeltzer, Bare,
Hinkle, & Cheever, 2007). Fakta menyatakan meningkatnya risiko hipertensi
tidak hanya karena faktor keturunan tapi juga faktor stres, kegemukan (obesitas),
pola makan, merokok dan olahraga (Brook, et al, 2013).
Penanganan hipertensi meliputi dua metode, yaitu farmakologis dan
nonfarmakologis. Terapi farmakologis dapat diklasifikasikan menjadi terapi
diuretik, beta bloker, vasodilator, kalsium antagonis, ACE inhibitor, dan bloker
reseptor angiotensin (Black & Hawk, 2005). Selain terapi farmakologis
membutuhkan biaya yang mahal dan terdapat efek samping sehingga dapat
menimbulkan ketidakpatuhan. Terapi nonframakologis merupakan faktor yang
berperan besar dalam penurunan tekanan darah jangka penjang. Terapi ini
meliputi modifikasi gaya hidup seperti menghentikan kebiasaan merokok,
menurunkan berat badan berlebih, mengurangi konsumsi alkohol, latihan fisik,
menurunkan konsumsi garam dan lemak (Brook, et al, 2013). Black dan Hawk
(2005) menambahkan modifikasi gaya hidup, pembatasan cairan, teknik
relaksasi dan tambahan ion K dapat menormalkan tekanan darah pada klien
hipertensi. Beberapa teknik relaksasi tersebut contohnya stretch release
relaxation (SRR), Jacobson’s progressive muscle relaxation (JPMR), cognitive
imagery relaxation (COG) dan meditasi (Shinde, KJ, SM, Hande & Bushan,
2013)
Relaksasi otot progresif adalah metode relaksasi dengan menegangkan dan
merilekskan otot tubuh secara berturut-turut. Metode ini pertama kali
diperkenalkan oleh Jacobson (1938) dan masih banyak digunakan saat ini. Pada
relaksasi otot progresif ini, perhatian klien diarahkan agar dapat merasakan
perbedaan antara saat otot-otot dikontraksikan dan saat direlaksasikan. Manfaat
dari metode ini adalah menurunkan kecemasan, konsumsi oksigen tubuh,
kecepatan metabolisme, frekuensi napas, ketegangan otot, tekanan darah sistol
dan diastol, kontraksi ventrikel prematur dan peningkatan gelombang alfa otak
(Synder & Lindquist, 2010). Manfaat terapi relaksasi otot progresif telah banyak
dikonfirmasi melalui berbagai penelitian dalam hubungannya dengan
kecemasan, tekanan darah, tegangan psikologis, efek samping kemoterapi pada
pasien kanker, dan lain-lain. Berdasarkan hal tersebut maka saya tertarik untuk
mengkaji jurnal–jurnal atau artikel terkait manfaat relaksasi otot progresif untuk
penurunan tekanan darah pada klien hipertensi.

B. Tujuan Penulisan
a. Meriview konsep/fenomena masalah hipertensi
b. Meriview konsep teknik therapy relaksasi otot progresif
c. Meriview hasil penelitian teknik terapi relaksasi otot progresif terhadap
hipertensi
d. Meriview protocol teknik terapi relaksasi otot progresif dari hasil
penelitian/literature terkait
e. Mengembangkan & mensimulasikan protocol teknik terapi relaksasi otot
progresif

BAB II

REVIEW DAN PEMBAHASAN


Hipertensi merupakan penyakit yang berkontribusi terhadap 13,5% dari
seluruh kematian (Brook, et al, 2013). Hipertensi seringkali tidak menimbulkan
gejala, sehingga seringkali penderitanya tidak menyadari kondisinya sampai terjadi
kerusakan organ, sehingga sering disebut sebagai silent killer. Gejala hipertensi
biasanya samar, seperti sakit kepala dan nyeri leher bagian kuduk sehingga sering
diabaikan (LeMone & Burke, 2008). Hipertensi merupakan penyebab umum
kerusakan dari berbagai organ vital tubuh baik secara langsung maupun tidak
langsung seperti jantung (penyakit jantung koroner, gagal jantung dan disritmia),
ginjal (nefrosklerosis, insufisiensi, gagal ginjal), otak (stroke), serta arteri perifer dan
retinopati.
Relaksasi otot progresif (PMR) adalah suatu metode untuk membantu
menurunkan tegangan otot sehingga tubuh menjadi rileks. Pertama kali
diperkenalkan oleh Edmund Jacobson, seorang dokter dari Amerika Serikat, pada
tahun 1938. Dalam bukunya, Jacobson menjelaskan bahwa saat ketegangan otot
secara signifikan menurun, maka kesempatan untuk munculnya penyakit dapat
dikurangi. Jacobson juga mengatakan relaxation is the direct negative of nervous
excitement. It is the absence of nerve-muscle impulse (Synder & Lindquist, 2010).
Tujuan latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respon yang dapat
memerangi respon stres (Smeltzer & Bare, 2001). Manfaat dari PMR ini adalah
menurunkan kecemasan, konsumsi oksigen tubuh, kecepatan metabolisme, frekuensi
napas, ketegangan otot, tekanan darah sistol dan diastol, kontraksi ventrikel prematur
dan peningkatan gelombang alfa otak (Synder & Lindquist, 2010).
Relaksasi otot progresif dilakukan dengan mengkontraksikan dan
merelaksasikan sekelompok otot secara berurutan, yaitu otot tangan, lengan atas,
lengan bawah, dahi, wajah, rahang, leher, dada, bahu, punggung atas, perut, paha dan
betis. Kontraksi otot dilakukan 5-10 detik dan relaksasi selama lebih kurang 20-30
detik. Perhatian pasien diarahkan untuk dapat merasakan perbedaan antara saat otot-
otot dikontraksikan dan saat direlaksasikan. Latihan dilakukan di rungan yang tenang
diatas kursi atau tempat tidur yang nyaman yang menyokong tubuh dengan baik.
Pasien dianjurkan memakai pakaian yang nyaman, tidak ketat, sepatu, kaca amta dan
kontak lens dilepaskan. Poin penting dari latihan ini adalah melakukannya secara
teratur tiap hari minimal 15 menit (Synder & Lindquist, 2010).
Menurut Katie (2009) Ada dua bagian yang perlu diperhatikan untuk relaksasi
otot progresif, yaitu dalam membuat ketegangan dan melepaskan ketegangan otot.
Proses penerapan ketegangan otot pada dasarnya adalah sama, terlepas dari mana
kelompok otot yang gunakan. Pertama, fokuskan pikiran pada kelompok otot,
misalnya: tangan kanan. Kemudian tarik napas dan hanya memeras otot sekeras yang
bisa dilakukan untuk menahannya sekitar 8 detik, dalam contoh, kegiatan akan
membuat kepalan tangan dengan melibatkan tangan. Setelah 8 detik ditahan, maka
tiba-tiba bisa dilepaskan. Biarkan semua sesak dan sakit mengalir keluar dari otot-
otot saat menghembuskan napas secara bersamaan. Dalam contoh ini, akan
membayangkan sesak dan sakit mengalir keluar dari tangan melalui ujung jari ketika
menghembuskan napas. Rasakan otot-otot rileks dan menjadi longgar dan lemas,
ketegangan mengalir keluar seperti air dari keran. Fokuskan perasaan dengan melihat
perbedaan antara ketegangan dan relaksasi.
Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya
mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks
adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus
yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah
pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung,
meningkatkan tekanan darah, meningkatkan aliran darah ke otot dan mendilatasi
pupil (Smeltzer & Bare, 2001).
Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk
melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal
diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada
kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis
selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke
korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk
kortisol, yang meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar
endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon
stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik
dari sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight (Nasution I. K.,
2007). Respon fight or flight merupakan reaksi stres di dalam tubuh yang mencakup
meningkatnya detak jantung, pernafasan, tekanan darah, dan serum kolesterol.
Filosofi dari respon fight or flight ini adalah : saat berhadapan dengan suatu
ancaman, tubuh mempersiapkan dirinya untuk ; apakah akan tetap berada di tempat
menghadapi ancaman tersebut (fight), ataukah akan lari dari ancaman tersebut
(flight).
Smeltzer & Bare (2002) mengatakan tujuan latihan relaksasi adalah untuk
menghasilkan respon yang dapat memerangi stress. Dengan demikian, saat
melakukan relaksaksi otot progresif dengan tenang, rileks dan penuh kosentrasi
(relaksasi dalam) terhadap tegang dan relaksasi otot yang dilatih selama 30 menit
maka sekresi CRH (cotricotropin releasing hormone) dan ACTH
(adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus menurun. Penurunan kedua sekresi
hormon ini menyebabkan aktivitas syaraf simpatis menurun sehingga pengeluaran
adrenalin dan noradrenalin berkurang, akibatnya terjadi penurunan denyut jantung,
pembuluh darah melebar, tahanan pembuluh darah berkurang dan penurunan pompa
jantung sehingga tekanan darah arterial jantung menurun (Sherwood, 2011).
Latihan relaksaasi otot progresif memberikan dampak yang signifikan dalam
menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi esensial atau primer. Dampak
yang terjadi meliputi dampak langsung dan jangka panjang. Dampak langsung dari
terapi relaksasi progresif adalah penurunan tekanan darah terutama sistolik pada
orang dewasa yang melakukan pengobatan teratur. Jadi terapi relaksasi otot progresif
bukan sebagai terapi tunggal. Terapi relaksasi otot progresif juga berdampak pada
penurunan denyut nadi. Kondisi tersebut dapat disimpulkan berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Shinde, N., KJ, S., SM, K., Handee, D., & Bhushan,
V. (2013) menggambarkan tentang study eksperimental yang dilakukan di berbagai
fakultas di India bulan September 2011 sampai Desember 2011 dengan Subjek
penelitian berjumlah 105 orang yang menderita hipertensi primer dengan tekanan
darah diatas 140/90 mmHg dalam rentang usia 25-55 tahun dan menggunakan terapi
medis dengan teratur. Data dasar diukur tekanan darah dan denyut jantung dalam
posisi duduk. Semua subjek mendapat penjelasan tentang JPMR dan melakukan
JPMR. Peneliti mendemonstrasikan teknik untuk mengkontraksikan dan
merelaksasikan berbagai kelompok otot, mengatur kontraksi dan relaksasi dengan
napas dalam dan melakukan prosedur dengan mata tertutup pada posisi supinasi.
Setelah demonstrasi, subjek melakukan JPMR selama 30 menit dan setelah 30 menit
latihan, tekanan darah dan denyut jantung diuukur lagi segera setelah JPMR dalam
posisi duduk. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat
signifikan pada tekanan darah dan denyut jantung pre dan post intervensi. Terdapat
perbedaan yang signifikan secara statistik pada tekanan darah sistolik (p < 0,01),
tekanan darah diastolik (p = 0,05) dan denyut jantung (p < 0,05), penurunan yang
signifikan setelah sesi JPMR.
Dampak jangka panjang terhadap terapi relaksasi otot progresif orang dewasa
dengan hipertensi primer adalah penurunan yang signifikan terhadap tekanan darah
sistolik. Namun penurunan tekanan darah sistolik hanya sekitar 5 mmHg pada orang
yang hanya menggunakan tehnik terapi relaksasi otot progresif sebagai terapi
tunggal. Sementara pada orang yang mengkonsumsi obat anti hipertensi penurunan
tekanan darah sistolik bisa mencapai 16,65 mmHg. Penurunan tekanan darah
diastolik tidak bermakna pada orang yang tidak mengkonsumsi obat anti hipertensi,
sementara pada orang yang rutin mengkonsumsi obat anti hipertensi penurunan
tekanan darah diastolik mencapai 3,8 mmHg. Kondisi tersebut dapat disimpulkan
dari tiga penelitian berikut.
Penelitian pertama dilakukan oleh Patel1*, D. H. M et all (2012) , merupakan
penelitian eksperimen di Baroda India terhadap 83 orang berusia 20 – 45 tahun yang
dipilih secara acak setelah diseleksi berdasarkan kriteria usia, tekanan darah, tidak
dalam kondisi sakit yang lain, dan tidak sedang menggunakan obat anti hipertensi.
Desain yang digunakan pre-post with control group. Responden dibagi menjadi 3
group. Grup 1 adalah kelompok hipertensif dengan tekanan darah tinggi, dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan terapi PMR dan non PMR. Grup 2
adalah kelompok kontrol. Terapi PMR dilakukan oleh responden di rumah masing
masing selama 3 bulan dengan bantuan kaset panduan terapi PMR. Hasil penelitian
menunjukkan setelah 3 bulan terdapat perbedaan yang bermakna pada tekanan darah
sistolik kelompok dengan terapi PMR sebelum dan sesudah terapi dari 142,93
menjadi 137,87mmHg (p < 0,05), terdapat perbedaan yang bermakna pada kelompok
dengan terapi PMR dan non PMR setelah 3 bulan terapi (p < 0,05), dan terdapat
perbedaan yang bermakna pada tekanan darah sistolik maupun diastolik antara
kelompok kontrol dan kelompok hipertensif setelah terapi PMR 3 bulan. Hasil
penelitian menunjukkan perbedaan pada tekanan darah sistolik yang bermakna pre
dan post PMR pada kelompok intervensi, namun untuk tekanan darah diastolik tidak
terdapat perbedaan yang bermakna. Meskipun rerata tekanan darah sistolik
responden yang melakukan PMR mengalami penurunan namun jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang memiliki tekanan darah normal masih terdapat
perbedaan yang bermakna, artinya PMR bisa menurunkan tekanan darah namun
tidak bisa mengembalikan ke tekanan darah yang normal.
Penelitian kedua dilakukan oleh Sheu et all (2003) di Taiwan dengan desain
quasi eksperiment dilakukan pada 40 orang dengan hipertensi primer yang dibagi
menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan melakukan latihan relaksasi otot progresi
selama 30 menit tiap hari. Hasil yang diperoleh setelah satu minggu terjadi
penurunan tekanan darah sistolik 3,7 – 6,5 mmHg, sementara untuk tekanan darah
diastolik turun 3,0 – 3,8 mmHg. Efek lanjut latihan terlihat pada minggu ke tiga
dengan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 2,2 mmHg, dan pada minggu ke
empat tekanan darah sistolik menurun sebesar 5,1 mmHg sedangkan tekanan
diastolik turun 2,2 mmHg.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Harmono,R (2010) di 2 wilayah
puskesmas di Malang terhadap 40 orang penderita hipertensi primer yang
mengkonsumsi obat anti hipertensi, tidak obesitas dan menjalani diit natrium yang
dibatasi 2,4 gram perhari. Desain yang digunakan quasi eksperimental. Responden
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 20 orang kelompok perlakuan dan 20 orang
kelompok kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan latihan relaksasi otot progresif
selama 15 menit dua kali serhari yang dilaksanakan dalam 6 hari. Pengukuran
tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah terapi relaksaski pada hari ke 2, 4 dan
6. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan tekanan darah sistolik yang
signifikan hingga 16 mmHg (p value = 0,0075), sementara untuk tekanan darah
diastolik terjadi penurunan 3,8 mmHg namun tidak bermakna (p value = 0,058).
Hasil penelitian pada seluruh jurnal berkaitan dengan kenyataan bahwa
hipertensi berhubungan dengan gaya hidup yang tidak sehat sehingga rekomendasi
utama yang disarankan WHO untuk mengelola dan mengatasinya adalah dengan
memodifikasi gaya hidup termasuk pengendalian stres, kecemasan atau ketegangan
(Shinde, KJ, SM, Hande & Bushan, 2013). Penelitian juga menunjukka bahwa terapi
relaksasi otot progresif tidak bisa menjadi terapi alternatif (terapi tunggal) namun
merupakan terapi komplementer yang membantu terapi obat anti hipertensi dalam
menurunkan tekanan darah terutama tekanan darah sistolik.
Dalam jurnal yang dikumpulkan, penulis tidak menemupan adanya efek
samping dari terapi relaksasi otot progresif. Meskipun diakui bermanfaat, relaksasi
otot progresif tidak boleh dilakukan pada pasien dengan gangguan otot, jaringan atau
nyeri punggung bawah, peningkatan tekanan intrakranial, hipertensi tidak terkontrol
dan penyakit arteri koroner berat. ( Lewis et all, 2007; Richmond, 2009; Synder &
Lindquist, 2010).
Menurut Richmond, (2009) beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
latihan relaksasi otot progresif antara lain :
a. Latihan di tempat yang tenang, sendirian, tanpa atau dengan bantuan audio untuk
membantu konsentrasi.
b. Lepaskan sepatu dan pakaian yang tebal.
c. Hindari makan, minum, merokoksebelum latihan, yang terbaik latihan sebelum
makan.
d. Tidak boleh mengkonsumsi minuman keras sebelum latihan
e. Jangan berlebihan dalam menegangkan otot karena dapat menyebabkan cidera
f. Lakukan latihan selama 15 s.d 20 menit.

Prosedur pelatihan Jacobson melibatkan pergantian antara menegangkan otot


dan merelakskan otot, dengan tujuan spesifik kesadaran merasakan perbedaannya.
Strategi JPMR menurut Loehr (1986) yang dikombinasikan dengan strategi menurut
Elmarie Swartz (2013), urutan langkah-langkahnya sebagaimana dijelaskan di bawah
ini :
a. Pilih kursi yang nyaman , sebaiknya berbaring .
b. Pilih ruang yang tenang.
c. Pejamkan kedua mata, ambil dua kali napas dalam, dan rasakan diri larut
didalamnya.
d. Rentangkan kedua lengan lurus ke depan dan kepalkan tangan , secara bertahap
tingkatkan ketegangan sampai semua otot di jari dan tangan sepenuhnya ketat,
kemudian rilekskan, biarkan tangan jatuh secara alami. Sadarilah perbedaan
antara perasaan "tegang" dan "santai".
Jari-jari tangan : diusahakan mengepal seperti tinju yang tegang, lalu rilekskan.
Usahakan Jari-jari diluruskan, lalu rilekskan.
e. Rentangkan kedua lengan, luruskan dan tegangkan otot-otot lengan bawah dan
siku, tahan, rasakan dengan penuh kesadaran ... sekarang rilekskan ... biarkan
lengan jatuh secara alami.
Untuk bisep: tegangkan bisep (buat otot bisep membesar, tapi cek dengan
berjabat tangan untuk memastikan tidak tegang dalam kepalan/telapak
tangannya ), relakskan (jatuhkan lengan ke kursi).
Untuk trisep: tegangkan trisep (mencoba membengkokkan lengan dengan cara
yang salah), relakskan (jatuhkan mereka ) .
f. Tegangkan otot-otot bahu ... tahan , rasakan dengan penuh kesadaran ... sekarang
rileks.
Bahu : Tarik otot bahu ke belakang (hati-hati dengan yang satu ini), lalu
rilekskan. Dorong bahu depan, lalu rilekskan.
g. Tegangkan otot-otot di leher ... tahan, rasakan dengan penuh kesadaran ...
sekarang rilekskan.
Leher ( lateral) : Dengan bahu lurus dan rileks, kepala dimiringkan perlahan ke
kanan, sejauh yang bisa dicapai atau semampunya, lalu rilekskan. Kepala
dimiringkan ke kiri sejauh yang bisa dicapai atau semampunya, lalu rilekskan.
Leher (forward ) : Menempelkan dagu ke dada, lalu rilekskan.
h. Tegangkan otot-otot di wajah ... meringis ... tahan, rasakan dengan penuh
kesadaran ... sekarang rilekskan.
i. Tegangkan otot-otot di dahi dengan mengerutkan kening, tahan, rasakan dengan
penuh kesadaran ... sekarang rileks ... biarkan semua otot di dahi menjadi lebih
rata dan datar lagi
j. Mulut : Mulut dibuka sejauh mungkin, lalu relakskan. Bibir dikerutkan seketat
mungkin, rilekskan .
k. Lidah (dijulurkan dan ditarik kembali) : Dengan mulut terbuka, menjulurkan
lidah sejauh mungkin, lalu rilekskan (membiarkannya diletakkan di dasar
mulut). Bawa kembali lidak di tenggorokan sejauh mungkin, lalu rilekskan.
Lidah (atap dan lantai) : Menempelkan lidah kuat-kuat ke langit-langit mulut,
rilekskan. Menempelkan lidah kuat-kuat ke bagian bawah mulut, lalu rilekskan .
l. Mata : Buka kedua mata selebar mungkin (alur alis), lalu rilekskan. Tutup mata
erat-erat, lalu rilekskan.
m. Tegangkan otot-otot punggung , pertama punggung atas dan kemudian lebih
rendah ... tahan, rasakan dengan penuh kesadaran ... sekarang rileks.
n. Pernapasan : Ambil sedalam napas mungkin dan kemudian mengambil lebih
sedikit, biarkan keluar dan bernapas normal selama 15 detik . Biarkan semua
napas dalam paru-paru dan kemudian sedikit lebih , menghirup dan bernapas
normal selama 15 detik .
o. Tegangkan otot-otot dada ... tahan, rasakan dengan penuh kesadaran ... sekarang
rileks .
p. Tegangkan otot-otot perut ... tahan, rasakan dengan penuh kesadaran ...
sekarang rileks .
q. Tegangkan otot-otot perut ... tahan, rasakan dengan penuh kesadaran ...
sekarang rileks Perut : Tarik perut sejauh mungkin, rilekskan sepenuhnya.
Dorong perut keluar atau tegang seolah-olah sedang mempersiapkan sebuah
pukulan dalam usus, lalu rilekskan.
r. Bokong : Tegangkan otot bookong dengan erat dan naikkan panggul sedikit dari
kursi, lalu rilekskan.
s. Tegangkan otot-otot kaki bagian atas-semua otot paha ... tahan, rasakan dengan
penuh kesadaran ... sekarang rileks .
t. Tegangkan otot-otot kaki bagian bawah-semua otot lutut dan betis ... tahan
keadaan itu , rasakan dengan penuh kesadaran ... sekarang rileks.
u. Betis dan kaki : luruskan jari-jari kaki (tanpa mengangkat kaki), lalu rilekskan.
Luruskan kaki sejauh mungkin (waspada terhadap kram, jika kram atau ada
tkram, lepaskan tegangan betis ), lalu rilekskan.
v. Toes : Dengan kaki rileks, tekankan jari-jari kaki ke lantai, lalu rilekskan. Tekuk
jari-jari kaki sejauh mungkin, lalu rilekskan.
w. Sekarang berkonsentrasi pada rileksnya semua otot-otot tubuh . Sadarilah setiap
daerah yang mungkin masih tegang dengan cara apapun, dan relakskan semua
ototnya. Mempertahankan relaksasi otot secara total untuk setidaknya dua
sampai tiga menit.
x. Buka mata , regangkan, dan rasa kesegarannya ... pergi jauh dari urusan .
y. Sekarang hanya rileks untuk sementara waktu.
z. Harus dilakukan secara teratur untuk penguasaan keterampilan.
BAB III
SIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab II dapat disimpulkan bahwa terapi relaksasi otot
progresif berpengaruh signifikan terhadap perubahan tekanan darah baik secara
langsung maupun dalam jangka panjang terutama terhadap perubahan tekanan darah
sistolik. Terapi relaksasi otot progresif belum bisa digunakan sebagai terapi tunggal
untuk intervensi. Terapi relaksasi otot progresif lebih tepat jika digunakan sebagai
terapi tambahan/ adjuvant therapy. Berdasarkan hasil penelitian yang ada telah
menggunakan desain quasi eksperiment dan randomize kontrol trial, namun
kelompok umur responden masih beragam. Hasil penelitian tersebut terkait dengan
kelompok umur 20 – 55 tahun. Jadi belum bisa disimpulkan apakah berdampak sama
untuk kelompok umur yang lain misalkan lansia. Terapi ini bisa dilakukan sendiri
oleh penderita dengan terlebih dahulu diberikan pelatihan oleh terapis, namun tidak
dianjurkan pada orang yang mengalami gangguan otot, jaringan atau nyeri punggung
bawah, peningkatan tekanan intrakranial, hipertensi tidak terkontrol dan penyakit
arteri koroner berat.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M., & Hawk, J.H. (2005). Medical surgical nursing clinical management for
positive outcomes (7th ed). Philadephia: Mosby.

Brook, R.D., et al. (2013). Beyond medications and diet: Alternative approaches to
lowering blood pressure: A scientific statement from the american heart
association. Hypertension Journal Of The American Heart Association, 1-24.
DOI: 10.1161/HYP.0b013e318293645f.

Center for Clinical Incerventions, www.cci.health.wa.gov.au/Info-PMR.pdf diunduh


tanggal 07 Desember 2013

Goode, Katie, M.A., MFC. 2009. Progressive Muscle Relaxation.


http://www.wellsphere.com/anxiety-article/progressive-muscle-
relaxation/626378Diunduh tanggal 14 Oktober 2013.

Hamarno, R. 2010. Pengaruh Relaksasi otot Progresif Terhadap Penurunan Tekanan


Darah Klien Hipertensi Primer di Kota Malang. Thesis. Perpustakaan UI

LeMone, P., & Burke, K. (2008). Medical Surgical Nursing: Critical thinking in
client care (4th ed). New Jersey: Presone Prentice Hall

Lewis et all (2007), Medical surgical nursing : assessment and management of


clinical problems, Missouri, Mosby

Loehr. 1986. Jacobson Progressive Muscle Relaxation : A Modification Approach


(From Mental Toughness Training for Sports),
http://www.ithaca.edu/cross/supervision/materials/tretament/treatment
%20%28PDF%29/Modified%20Prog.%20Relaxation.pdf. Diunduh tanggal 14
Oktober 2013.

Patel1*, D. H. M., Kathrotia1**, D. R. G., Pathak2*, D. N. R. & Thakkar3*, D. H.


A. (2012) Effect Of Relaxation Technique On Blood Pressure In Essential
Hypertension.. National Journal of Integrated Research in Medicine, 3 (4), 10-
14.

Richmond, L.R., (2009) progressive muscle relaxation,


http://www.guidetopsychology.com/pmr.htm, diperoleh tanggal 7 oktober 2013

Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC.


Sheu, S., Irvin, L.B., & Mar, L.C. (2003). Effects of progressive muscle relaxation on
Blood pressure and pshycososial status for client with essential hypertention in
taiwan.

Shinde, N., KJ, S., SM, K., Handee, D., & Bhushan, V. (2013). Immediate effect of
Jacobson’s progressive muscular relaxation in hypertension. Scholars Journal
of Applied Medical Sciences, 1(2), 80-85.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah
(ed 8, vol 2). Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2007). Brunner &
suddarth’s textbook of medical surgical nursing (9th ed, vol 2). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Synder, M., & Lindquist, R. (Eds). (2010). Complementary & alternative therapies
in nursing (6th ed). New York: Springer Publishing Company.

Swartz, Elmarie. 2013. Healing-Journeys-Energy. Copyright © 2006- 2013


http://www.healing-journeys-
energy.com/about_us.html#sthash.TlYsH4jJ.dpuf. Diunduh tanggal 14
Oktober 2013.

Anda mungkin juga menyukai