Anda di halaman 1dari 12

1.

Analisis Bivariat
Untuk menguji ada tidaknya hubungan antara variabel independent dan
dependent digunakan uji Chi-Square. Penelitian ini menggunakan CI 95%
sehingga variabel dinyatakan berhubungan signifikan apabila p-value
2 2
kurang dari 0,05 (p<0,05) atau nilai X hitung lebih besar dari X tabel
(3.841). Berdasarkan pengujian diperoleh hasil sebagai berikut disajikan
dalam tabel dibawah ini.
Hasil uji bivariat, faktor risiko yang dapat menyebabkan CHF
didapatkan 5 variabel yang signifikan yaitu usia, obesitas, hipertensi ,
riwayat keluarga, pola makan, dan stres. Usia memiliki nilai signifikan
0,018 (p<0,05), obesitas memiliki nilai signifikan 0,018 (p<0,05), riwayat
keluarga memiliki nilai signifikan 0,007 (p<0,05), hipertensi memiliki
nilai signifikan 0,002 (p<0,05), pola makan memiliki nilai signifikan 0,011
(p<0,05), stres memiliki nilai signifikan 0,010 (p<0,05). Hal tersebut
memiliki arti bahwa terdapat hubungan antara faktor risiko usia, obesitas,
hipertensi , riwayat keluarga, pola makan, dan stres dengan kejadian CHF
secara statistik.
Variabel yang tidak signifikan terdiri dari aktifitas fisik, jenis
kelamin, riwayat DM, kebiasaan merokok, dan pelayanan kesehatan.
Aktifitas fisik memiliki nilai signifikan 0,152 (p>0,05), jenis kelamin
memiliki nilai signifikan 1,000 (p>0,05), riwayat DM memiliki nilai
signifikan 0,297 (p>0,05), kebiasaan merokok memiliki nilai signifikan
0,157 (p>0,05), dan pelayanan kesehatan memiliki nilai signifikan 0,637
(p>0,05). Nilai signifikan pada masing masing variabel menunjukan
bahwa variabel tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian CHF
secara statistik..

Tabel 6.2 Hasil Analisis Bivariat


Variabel Kategori CHF Tidak CHF P value Interpretasi
Jumlah Persentase Juml Persentase
(n) (%) ah (%)
(n)
Jenis
Kelamin
Perempuan
16
64
22
88
0,047
signifikan

Laki-laki
9
36
3
12

Usia
<50 tahun
1
4
7
28
0,021
signifikan

>50 tahun
24
96
18
72

Genetik CHF
Ya

Tidak
2

23
8

92
4

21
16
84
0,384
Tidak Signifikan

Obesitas
Ya
11
44
6
24
0,041
signifikan

Tidak
14
56
19
76

Hipertensi
Ya
19
76
11
44
0,021
Signifikan

Tidak
6
24
14
56

Aktivitas
Tidak
11
44
12
48
0,777
Tidak
Fisik
Teratur
Teratur
14

56

13

52

Signifikan
Pola Makan
Tidak
16
64
17
68
0,765
Tidak

seimbang

Signifikan

Seimbang
9
36
8
32

Kebiasaan
Merokok
Ya
8
32
3
12
0,088
Tidak
signifikan

Tidak
17
68
22
88
Riwayat
Ada
4
16
0
0
0,037
signifikan
DM

Tidak
21
84
25
100

9 36 8 32 0,765 Tidak
Stres Ya
signifikan

Tidak 16 64 17 68
Pelayanan 3 12 3 12 1,000 Tidak
Kesehatan Kurang signifikan
Baik 22 88 22 88

a) Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Gagal Jantung Kongestif


Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh tidak
memenuhi syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p =
1,000 dengan demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil
penelitian ini secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan gagal jantung kongestif.
Pada usia muda wanita memiliki kadar estrogen yang tinggi dan
menurun seiring bertambahnya usia. Esterogen bersifat kardioprotektif
yaitu dapat memperlebar pembuluh darah arteri, menurunkan
fibrinogen yang merupakan salah satu faktor pembekuan darah,
meningkatkan kadar kolestrol baik yaitu HDL dan menurunkan
kolesterol buruk yaitu LDL dalam darah. Secara hemodinamik efek
esterogen dapat meningkatkan stroke volume, aliran darah aorta dan
perifer sehingga mampu mengurangi beban jantung. Pada saat
menopause estrogen berkurang drastic sehingga tubuh tidak bisa lagi
berkompensasi secara maksimal (Ronsun et al, 2013)
b) Hubungan antara Usia dengan Gagal Jantung Kongestif.

Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi


syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,018 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini secara
statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia
dengan gagal jantung kongestif. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Komanduri et al, (2007). Pada pasien yang lebih tua, gagal
jantung dikaitkan dengan penurunan fungsi tubuh secara progresif.
Lebih dari setengah pasien HF ≥ 60 tahun melaporkan beberapa derajat
keterbatasan mobilitas, dan banyak yang mengalami kesulitan dengan
kegiatan sehari-hari. Timbulnya sindrom sindrom penyakit sistemik,
kelemahan tubuh dan penurunan toleransi terhadap stressor fisiologis
menjadi faktor mudahnya terkena penyakit jantung (Butrous &
Hummel, et al, 2016).

c) Hubungan antara riwayat DM dengan Gagal Jantung Kongestif


Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh tidak
memenuhi syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p =
0,297 dengan demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil
penelitian ini secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara riwayat DM dengan gagal jantung kongestif.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Komanduri et al (2017).
Diabetes mellitus dapat berkembang menjadi gagal jantung karena
terjadinya kegagalan dalam metabolism glukosa. Glukoa berubah
menjadi FFA mempengaruhi kontraktilitas dan fungsi dari kerja
jantung dan juga mengganggu aktivitas transportasi kalsium dan
regulasi kontraktilitas myofibril yang nanti akan menyebabkan
disfunsi kerja jantung dan meningkatnya kebutuhan metabolisme dan
terjadinya iskemik (Rosano et al, 2017)
d) Hubungan antara Genetik dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,007 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara
statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
genetik dengan gagal jantung kongestif. Hal ini sejalan dengan
penelitian harwick (2016) Orang dengan riwayat keluarga dengan
penyakit jantung akan meningkat sekitar 1,5 hingga 2,0 kali lebih
tinggi terkena penyakit jantung, terlepas dari faktor risiko
konvensional .

e) Hubungan Obesitas dengan Gagal Jantung Kongestif


Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,018 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
IMT dengan gagal jantung kongestif. Hal ini sejalan dengan penelitian
Komanduri et al (2017) yang menyebutkan pasien obesitas
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Obesitas yang
diukur dari penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) >25.
Meningkatnya kebutuhan metabolik akibat timbunan lemak dalam
tubuh menyebabkan peningkatan aliran darah dan curah jantung.
Peningkatan volume darah meningkatkan aliran balik vena ke
ventrikel kanan dan kiri, mengakibatkan peningkatan tekanan dinding
dan terjadinya dilatasi pada dinding jantung. Stroke volume semakin
meningkat untuk menyesuaikan kebutuhan darah dalam tubuh.
Perubahan ini mengakibatkan ketidakseimbangan mehodinamik dan
peningkatan kerja jantung yang akhirnya menyebabkan gagal jantung
( Ebong et al, 2014).
f) Hubungan antara Hipertensi dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,002 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Hal ini sejalan dengan
penelitian Komanduri et al (2017), Peningkatan tekanan darah
mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah dan
ventrikel kiri.. Perubahan pada ventrikel kiri, misalnya hipertrofi dan
iskemia, merupakan predisposisi gagal jantung pada pasien hipertensi.
Hipertrofi jantung adalah respons adaptif, mekanisme kompensasi
terhadap tekanan atau volume berlebih yang mengarahkan ke
pelemahan tekanan dinding dan pengaturan curah jantung (Magyar et
al, 2015).
g) Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 1,152 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara aktivitas fisik dengan gagal jantung kongestif. Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian Komanduri et al (2017) dan Nayor (2015)
yang mengatakan bahwa aktivitas fisik yang rutin dan teratur dapat
menurunkan gagal jantung. Aktivitas olahraga meningkatkan kinerja
otot rangka dengan meningkatkan kepadatan mitokondria,
meningkatkan kontraktilitas dan meningkatkan ekstraksi oksigen
perifer, sehingga meningkatkan kinerja otot rangka selama latihan.
Latihan fisik dapat mempengaruhi kinerja jantung, keseimbangan
neurohormon, fungsi endotel, komposisi otot perifer dan fungsi paru-
paru sehingga latihan atau aktivitas fisik cukup berpengaruh untuk
menurunkan morbiditas gagal jantung.
h) Hubungan antara Asupan Gizi dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi syarat
uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,011 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan antara asupan gizi
dengan gagal jantung kongestif. Faktor gizi (asupan makanan) dapat
meningkatkan kejadian hipertensi pada penyakit jantung koroner,
tetapi modifikasi gaya hidup juga jelas menjadi cara yang paling
efektif untuk mengurangi risiko hipertensi pada populasi atau
penduduk yang berisiko tinggi mengalami penyakit jantung.
Asupan natrium
mempunyai pengaruh terhadap tekanan darah. Salah satu faktor
penyebab terjadinya penyakit jantung adalah asupan konsumsi
seseorang yang mengandung banyak lemak. Lemak yang dikonsumsi
mengandung banyak kolesterol dan trigliserida yang menjadi salah
satu komponen kadar lemak dalam darah yang dapat menyebabkan
penyakit jantung. Peningkatan tekanan darah pada penderita penyakit
jantung disebabkan karena asupan makanan tinggi natrium dan
kolesterol ( Rahma & Wirjatmadi, 2017).
i) Hubungan antara Merokok dengan gagal jantung kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh tidak memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,157 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara merokok dengan gagal jantung kongestif. Hal ini bertentangan
dengan penelitian yang menyebutkan merokok dapat meningkatkan
risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Kandungan nikotin, CO dan
zat kimia oksidan yang menghasilkan radikal oksigen bebas terlibat
dalam patofisiologi penyakit kardiovaskular akibat merokok. Zat zat
ini meningkatkan atherothrombosis. Merokok juga menyebabkan
peradangan kronis, yang merupakan salah satu penyebab dari
aterosklerosis. Merokok meningkatkan sitokin proinflamatori seperti
interleukin-6, protein C-reaktif (CRP), tumor necrosis factor alpha
(TNF-a) yang menyebabkan kerusakan pada system endotel (Akcay &
yusel, 2017).
j) Hubungan antara Stress dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,010 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
stres dengan gagal jantung kongestif.. Reaksi respon stres yaitu sekresi
sistem saraf simpatis untuk mengeluarkan norepinefrin yang
menyebabkan peningkatan frekuensi jantung. Penurunan aktivitas
parasimpatis, peningkatan aktivasi simpatis, atau keduanya akan
menjadi penting karena ketidakseimbangan antara sistem simpatis dan
parasimpatis dapat meningkatkan risiko penyakit jantung (York et al,
2009).
k) Hubungan antara Pelayanan Kesehatan dengan Gagal Jantung
Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,637 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara pelayanan kesehatan dengan gagal jantung kongestif. Hal ini
bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2016)
yang menyatakan bahwa Pelayanan kesehatan dalam hal ini
komunikasi efektif dan ketersediaan sarana kesehatan dari penyedia
layanana kesehatan dapat mendorong perilaku perawatan diri yang
lebih mandiri dan memberikan dampak pada peningkatan derajat
kesehatan yang optipmal. Pelayanan kesehatan yang kurang baik dan
sulit dijangkau oleh masyarakat mengakibatkan rendahnya tingkat
pengobatan rutin (kontrol) pada pasien CHF (Oktaviani et al, 2018)

Anda mungkin juga menyukai