Anda di halaman 1dari 5

Nabi Nuh, Lebih dari 950 Tahun Berdakwah

Nabi Nuh AS, adalah Rasul yang diutus Allah SWT ke muka bumi. Ia berdakwah selama 950
tahun lebih. Ia juga manusia pertama yang berhasil membuat perahu. Ketika Allah SWT
menurunkan azab banjir bandang, semua penghuni jagad raya ini lenyap, kecuali yang ikut
berlayar bersama Nabi Nuh AS.

Nabi Nuh AS adalah keturunan yang ke 10 dari Nabi Adam AS. Nabi Nuh diutus Allah SWT
untuk menyeru umat manusia agar menyembah Allah, dan melarang menyembah kepada
selain Allah.

Semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka diutus. Di antara mereka ada yang
mencari Allah SWT seperti Nabi Ibrahim AS, ada juga di antara mereka yang beriman
kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa AS, dan di antara mereka
ada juga yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di Gua Hira, seperti Nabi Muhammad
SAW.

Lalu bagaimana dengan Nabi Nuh AS. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan
baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Allah SWT
menciptakan mereka. Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah sebelum pengutusannya
kepada manusia.

Namun ada sebab lain yang berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh As. Ketika ia bangun,
tidur, makan, minum atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur
kepada Allah, dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-
Nya.

Allah mengisahkan Nuh AS, sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur (Al-
Isra’ ayat 3). Allah memilih hambanya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai Nabi
kepada kaumnya. Nabu Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya.

Ibnu Katsir menulis dalam kitabnya Qishashul Ambiya, Nabi Nuh AS diutus pada kaumnya
bernama Bani Rasib. Hal yang sama disebutkan oleh Ibnu Jubair dan yang lainnya.

Pada saat itu, kaum Nabi Nuh berada dalam puncak kesesatan yang nyata. Tenggelam
dalam kekafiran dan kemunafikan. Mereka menyembah patung atau berhala.

Dakwah Nabi Nuh AS

Setelah Allah menetapkan sebagai utusan pembawa Risalah atau Hidan, maka keluarlah
Nabi Nuh AS menemui kaumnya. Ia menyerukan kepada kaumnya. “Wahai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya (kalau kamu
tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Al-A’raf:
59).

Dengan kalimat yang singkat tersebut Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya hakikat
ketuhanan dan hakekat kebangkitan kepada kaumnya. Di sana hanya ada satu pencipta
yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan, kemudian
kiamat, hari besar yang didalamnya terdapat siksaan yang besar pula.
Nabi Nuh AS menjelaskan kepada kaumnya, mustahil ada tuhan selain Allah yang maha
Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, setan telah lama menipu mereka dan
telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nabi Nuh AS juga menyampaikan, Allah
SWT telah memuliakan manusia. Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki
dan menganugrahi akal.

Dakwah Nabi Nuh AS ternyata tidak berkenan di hati kaumnya. bahkan sebagian besar
kaumnya mengolok-oloknya, dengan mengatakan, Nabi Nuh adalah seorang pembohong
dan ajakannya tak perlu diikuti. Sebab, dimata kaumnya, Nabi Nuh bukanlah siapa-siapa, ia
hanyalah manusia biasa, dan bukan dari golongan kaum bangsawan.

Maka terbelahlah kaum Nabi Nuh menjadi beberapa golongan, kelompok orang yang lemah,
orang fakir dan orang yang menderita di mana kelompok ini adalah mereka yang merasa
dilindungi dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Dan satu lagi kelompok orang
kaya, orang-orang kuat dan bangsawan penguasa.

Kelompok inilah yang kemudian menjadi penentang bagi dakwah yang disampaikan oleh
Nabi Nuh. Bahkan kelompok ini kemudian menyusun rencana untuk melakukan serangan
kepada Nabi Nuh, dengan melancarkan tuduhan, Bahwa Nabi Nuh adalah seorang
pembohong.

Selanjutnya para pembesar dari kaum Nabi Nuh menggunakan dalih, Nabi Nuh adalah
manusia biasa seperti mereka. Karenanya dakwahnya tak perlu di ikuti. “Kami tidak melihat
kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami” (QS. Hud: 27).

Tidak hanya itu, para penguasa bahkan mengejeknya, dengan mengatakan, “Kami tidak
melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara
kami yang lekas saja percaya, dan kami kira kamu tidak memiliki sesuatu kelebihan apapun
atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang yang berdusta.” (QS. Hud: 17)

Lebih dari 950 Tahun

Namun bukanlah seorang Nabi, bukan pula seorang utusan Allah, bila mudah putus asa.
Nabi Nuh dengan penuh ketabahan menerima semua cercaan dan ejekan itu sebagai
sebuah ujian dan konsekwensi dari tugas kerasulannya. Beliau tetap melanjutkan
dakwahnya di tengah-tengah kaumnya.

Waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun, berlalulah masa yang panjang
itu. Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya, siang dan malam, dengan sembunyi maupun
dengan terang-terangan. Bahkan ia memberikan contoh kepada mereka, memberikan
penjelasan mengenai tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT di dunia ini.

Namun setiap kali Nabi Nuh mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Mereka lari
darinya, setiap kali Nabi Nuh menyeru agar Allah mengampuni mereka. Kaum Nabi Nuh
justru meletakkan jar-jari mereka di telinga-telinga mereka, dengan kesombongan dan
kecongkakan yang tinggi mereka mengolok-olok Nabi Nuh AS.

Mendapat hinaan yang bertubi-tubi, Nabi Nuh tetap berupaya meyakinkan kaumnya,
dengan mengatakan “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti-bukti
yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku ramat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu
disamarkan bagimu? Apa akan kami paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tidak
menyukainya? (QS. Hud: 28).

Mendengar seruan Nabi Nuh demikian, para pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya
kami memandang kamu berada dalam kesesatan nyata.” (QS. Al-A’raf: 60). Nabi Nuh pun
menjawab dengan menggunakan bahasa yang sopan dan santun, bahasa para Nabi yang
agung.

“Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun, aku adalah utusan dari Tuhan semesta
alam. Aku sampaikan kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku memberi nasehat
kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu ketahui.” (QS, Al-A’raf: 61-62)

Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya selama ratusan tahun.
Sayangnya jumlah kaum mukminin tidak bertambah, sedangkan jumlah kaum kafir justru
bertambah. Nabi Nuh sangat sedih, namun ia tidak sampai putus harapan. Ia tetap menjaga
harapan selama 950 tahun.

Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang yang
beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah mewahyukan kepadanya agar ia
tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka saat itu Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir
dihancurkan. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang
kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh: 27).

Nabi Nuh memanjatkan doanya dengan alasan, “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka
tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan
melahirkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir (QS. Nuh: 27)

Istri dan Putra Nabi Nuh pun Tenggelam

Setelah pengaduan Nabi Nuh diterima Allah SWT, Allah pun memberikan berita kepada Nabi
Nuh, kelak kaumnya yang kafir itu akan ditenggelamkan. Allah memerintahkan kepada Nabi
Nuh agar tidak lagi membicarakan mereka. Jangan lagi berdialog dengan mereka, jangan
pula menengahi urusan mereka, sebagai balasannya, kelak mereka akan ditenggelamkan,
apapun kedudukan mereka dan apapun kedekatan mereka dengan Nabi Nuh (QS. Hud: 37).

Nabi Nuh pun akhirnya menerima perintah Allah SWT untuk membuat perahu dengan
petunjuk dan pengawasan-Nya. Maka mulailah Nabi Nuh menanam pohon untuk membuat
perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun. Ibnu Katsir menerangkan, Nabi Muhammad
SAW menjelaskan, Nabi Nuh menanam sebatang pohon selama 1000 tahun, hingga pohon
itu tumbuh besar dan bercabang dimana-mana.

Setelah itu ia memotongnya, dan kemudian mulailah Nabi Nuh membuat perahu, lalu
kaumnya yang berjalan melewatinya saat Nabi Nuh sedang serius membuat perahu
mengejeknya. “Kau membuat perahu di daratan, bagaimana ia akan bisa berlayar?
Sungguh Nuh telah gila!, maka Nuh pun menjawab, Kelak kalian akan mengetahui.”
Dengan kesabaran dan ketabahan luar biasa, ditengah-tengah ejekan dan cacian itu,
akhirnya jadilah perahu yang besar, tinggi dan kuat. Lalu Nabi Nuh duduk menunggu
perintah Allah SWT. Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh, jika ada yang mempunyai
dapur (At-Tannur), ini sebagai tanda dimulainya angin topan.

Dijelaskan yang dimaksud dengan At-Tannur sebenarnya adalah alat untuk memanggang
roti yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari, itu merupakan
perintah atau tanda bagi Nabi Nuh untuk bergerak.

Pada suatu hari, Tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya, maka Nabi Nuh segera
membuka perahunya dan mengajak orang-orang Mukimin untuk menaikinya, Jibril turun ke
Bumi. Menggiring setiap binatang yang berpasangan agar setiap species binatang tidak
punah dari muka bumi, sebab badai dan angin topan akan menenggelamkan semuanya.
Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi,
gajah, semut dan lain-lain. Dalam perahu itu Nabi Nuh telah membuat kandang binatang
buas.

Istri Nabi Nuh pun Tenggelam

Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya, sehingga ia tidak ikut menaiki perahu. Salah
seorang anaknya yang menyembunyikan kekafirannya, dengan menampakkan keimanan di
depan Nabi Nuh pun tidak ikut dalam perahu itu. Mayoritas kaum Nabi Nuh waktu itu tidak
beriman, sehingga mereka tidak ikut serta. Ibnu Abbas berkata, “Hanya 80 orang dari kaum
Nabi Nuh yang beriman kepadanya.”

Air mulai meninggi, keluar dari celah-celah bumi. Sementara dari langit turunlah hujan yang
sangat deras. Hujan semacam ini belum pernah turun sebelumnya, bahkan tidak akan
pernah turun lagi sesudahnya. Maka laut pun bergolak, ombaknya menerpa apa saja dan
menyapu isi bumi.

Banjir bandang terjadi dimana-mana, airpun meninggi di atas kepala manusia, melampaui
ketinggian pohon yang paling tinggi, bahkan puncak gunung pun akhirnya tenggelam.
Akhirnya seluruh permukaan bumi diselimuti oleh air, tak ada satupun yang selamat,
kecuali yang ikut berlayar bersama perahu Nabi Nuh.

Demikianlah Allah azza wajalla menurunkan azabnya ke muka bumi. Azab itu diturunkan
lantaran semua umat manusia telah berpaling dari Tuhannya.

Topan yang dialami Nabi Nuh terus berlanjut dalam beberapa zaman, kita tidak dapat
mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Allah, agar langit menghentikan
hujannya dan bumi tetap tenang hingga dapat menelan air bah itu.

Dan difirmankan, “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan), berhentilah.” Dan airpun
disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi. Dan
dikatakan, binasalah orang-orang yang zalim (QS. Hud: 44), yakni kehancuran bagi kaum
Nabi Nuh yang ingkar terhadap firman Allah. Dengan begitu bumi telah dibersihkan dari
mereka.
Disebutkan oleh pengarang kitab Ambiya Allah, hari berlabuhnya perahu Nabi Nuh di atas
bukit Judi terjadi pada Asyura (hari ke 10 bulan Muharram).

Putra Nabi Nuh Ikut Tenggelam

Ketika air bah dan banjir bandang kian kencang, Nabi Nuh menyuruh kaumnya yang
beriman, “Naiklah kamu sekalian ke dalam bahtera dengan menyebut nama Allah di waktu
berlayar dan berlabuhnya.” (QS. Hud: 41). Sementara itu sebagian besar kaum Nabi Nuh
yang tidak beriman mencari selamat dengan mendaki gunung yang paling tinggi.

Di antara kaumnya itu, di tempat terpencil dan jauh, Nabi Nuh melihat anak
kesayangannya. Nabi Nuh tidak mengetahui, saat itu putranya menjadi kafir. Ia benar-
benar tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya.

Lalu tergeraklah naluri kasih sayang seorang ayah. Maka Nabi Nuh pun berseru kepada
Tuhannya. “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya
janji Engkau itulah yang benar, dan Engkaulah hakim yang seadil-adilnya.” (QS. Hud: 45)

Dan Nabi Nuh pun menyeru kepada anaknya. “Hai anakku, naiklah (ke Perahu) bersama
kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.” Mendengar ajakan ayahnya,
anaknya pun menjawab. “Aku akan mencari perlindungan ke atas Gunung yang dapat
memeliharaku dari air bah.” Namun, Nabi Nuh berkata, “Tidak ada yang bisa melindungi
hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang maha Penyayang.” (QS. Hud: 43). Tiba-tiba
gelombang menggulung dan menjadi penghalang percakapan diantara keduanya. Maka
jadilah anak Nabi Nuh termasuk orang yang ditenggelamkan.

Nabi Nuh AS ingin berkata kepada Allah SWT, anaknya termasuk dalam keluarganya yang
beriman, sedangkan Allah telah berjanji akan menyelamatkan keluarganya yang beriman.
Tetapi Allah berkata dan menjelaskan kepada Nabi Nuh keadaan yang sebenarnya. Anak
Nabi Nuh hanya berpura-pura beriman di hadapan ayahnya.

“Hai Nuh, sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah engkau
memohon kepadaku, sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku peringatkan
kepadamu, janganlah kamu termasuk orang-orang yanag tidak berpengetahuan.” (QS. Hud:
46).

Di sini terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu. Allah
ingin berkata Nabi nya yang mulia itu, anaknya tidak termasuk dalam keluarganya karena
ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara
manusia, sebab anak seorang Nabi pada hakikatnya adalah yang meyakini akidah, yaitu
yang mengikuti Allah SWT dan Nabi-Nya, bukan yang menghindar, bukan pula yang
menentangnya.

Anda mungkin juga menyukai