Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau
lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara
bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya,
sehingga memberikan kesan proses hukum tidak transparan. Hal ini juga berkaitan
dengan “budaya” para penegak hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya
informasi mengenai alur atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut
sering dipakai oleh oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk menguntungkan
dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses masyarakat dalam melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan membuka kesempatan terjadinya
penyimpangan kolektif di dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah
mafia peradilan yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena itu
sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam pembenahan lembaga
peradilan.
Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para
peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai tingkat pelaksana
dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan
berperilaku responsif gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang
hukum juga tidak terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada.
Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun kebijakan
pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum yang diterapkan banyak
menyimpang yang akhirnya tidak menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal ini pula
yang memberikan berpengaruh besar terhadap memudarnya supremasi hukum serta
semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah
meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai
peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali
budaya hukum yang sepertinya “semakin hari semakin memudar” (terdegradasi).
Apatisme dan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini
sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran
para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat
bahkan di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin
menipisnya budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai
instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah
kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum ”yang
tercipta” melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum
sepetinya hanya merupakan instrumen pembenar bagi ”perilaku salah”, seperti
sweeping yang dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking
orang atau kelompok tertentu, dan lain sebagainya.