2. Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
3. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih beratsifatnya.
4. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
3. Pohon Masalah
4. Klasifikasi Cedera Kepala
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari
benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak
berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar
otak, kontusio memar, dan laserasi.
Cedera kepala dapat diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga
jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera
kepala serta berdasar morfologi (american college of surgeon committe on trauma, 2004,
perdossi, 2007).
1) Berdasarkan mekanisme
a. Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah
(terjatuh, terpukul)
b. Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.
2) Berdasarkan tingkat keparahan
Biasanya cedera kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana
GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
a. Reaksi membuka mata (e)
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR)
Bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah). Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada
fraktur cerebral, hematoma.
2. Cedera kepala sedang (cks) :
Bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang). Kehilangan kesadaran dan atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Cedera kepala berat (ckb) :
Bila gcs 3-8 (kelompok resiko berat). Kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
3) Berdasarkan morfologi
Fraktur tengkorak
Menurut american accreditation health care commission, terdapat 4 jenis fraktur
yaitu:
a. Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
b. Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan ‘splintering’.
c. Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
d. Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural (duldner, 2008).
Lesi intracranial
- Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio
serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan
oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.
- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
Cedera otak
a. Commotio cerebri (gegar otak)
Commotio cerebri (gegar otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya
benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat
terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala,
mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya
kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya
korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia
retrograddan antegrad).
b. Contusio cerebri (memar otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak di
daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan n.
Facialis atau n.hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada
lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling
berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah,
keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan
(decebracio rigiditas).
Perdarahan intrakranial
Menurut price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Hematoma epidural
Hematoma epidural sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arterial
mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi, penderita hematoepidural
yang khas memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam jangka
waktu pendek, diikuti periode lusid.
b. Hematoma subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat
ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dibagi lagi
menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki gejala dan prognosis yang
berbeda-beda.
c. Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius
dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang
meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma
kepala minor dan sering kali berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan
bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan
tekanan. Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
d. Hematoma subdural subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam
jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang subdural. Riwayat
klinis yang khas pada penderita ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.
e. Hematoma subdural kronik
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan dan sering
kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari hematoma subdural kronik biasanya
tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit
lain.
f. Hematoma subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala:
nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku
kuduk.
g. Hematoma intracerebralis
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling
sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan
pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.
4) Berdasarkan Patofisiologi
Cedera primer
Cedera yang terjadi akibat langsung dan trauma.
a. Kulit : vulnus laserasi hemaroma subkutan, hematoma sub galeal.
b. Tulang : fraktur linear, fraktur basis krani, fraktur inpresi (tertutup dan
terbuka).
c. Otak : cedera otak primer : robekan dural, consutio ringan, kontusio
sedang, berat : fokal dan difus laserasi atau robekan.
Cedera sekunder
Cedera otak sekunder, cedera yang disebabkan komplikasi atau cedera sekunder lain
seperti: oedema otak, hipoksia otak, kelainan metabolik, kelainan saluran napas atau
pernapasan, hipotensi atau syok.
a. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
b. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacuum.
5. Gejala Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusicedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
6. Pemeriksaan diagnostic/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Agd : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub
arakhnoid.
Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan tik atau perubahan mental.
b. Radiology
CT-Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
MRI : sama dengan CT-Scan
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
Sinar-X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen
tulang.
Baer : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
Pet : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
Screen toxicology : untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
Myelogram : dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan
dari spinal aracknoid jika dicurigai.
Thorax X-Ray :untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid.
d. Abgs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial, screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh
kanan intrkrani obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
e. Pemeriksaan fungsi pernafasan: mengukur volume maksimal dari inspirasi dan
ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat
pernafasan (medulla oblongata).
7. Penatalaksanaan medis
a. Penatalaksanaa
a. Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring.
b. Dilakukan pembersihan/debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah
terutama pada cedera kepala terbuka)
c. Dilakukan ventilasi mekanis
d. Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika
e. Dilakukan metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranial termasuk
pemberian diuretik dan anti inflamasi
f. Meningkatkan pencegahan terutama jatuh, dorong untuk menggunakan alat
pengaman seperti helm,sabuk pengaman
g. Lakukan pengkajian neurologik
Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
TTV ( TD, nadi)
Pupil (isokor, anisokor)
Fungsi motorik dan sensorik
h. Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan anak
sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan/ditangani. Tinggikan kepala tempat
tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
i. Pantau adanya komplikasi
Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
Periksa adanya peningkatan TIK
Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
b. Pengobatan
1. Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah nacl 0,9 % atau RL. Kadar natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati.
2. Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun PCO2 < 25 mmHg, hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level PCO2
pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
3. Manitol diberikan dengan dosis 1 gram/kgBB bolus IV. Indikasi penderita koma
yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan
atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi
karena akan memperberat hypovolemia.
4. Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat
hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan
darah.
5. Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis.
6. Dapat diberikan phenothiazine.
7. Amitriptilin dan propanol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebihan.
8. Menggunakan ergonovine amitriptilin dan propanol pada 100 pasien, 19 diperoleh
perbaikan yang nyata, 24 perbaikan sedang dan sisanya hanya sedikit perbaikan
atau tidak ada perubahan. Pemberian analgesic dapat mendukung, namun harus
dibatasi penggunaan hariannya.
9. Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna
untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
10. Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat
memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi
lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan
komponen membran lain dari kerusakan.
Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.
Menghambat pelepasan asam arakhidonat.
8. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi
akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam
keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat
untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut
nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin
meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling
sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita
kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah
dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah
akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam
otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan
akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah
yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan
nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi
kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan
dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan
keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan
steril di bawah 2. hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
5. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan
terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita
pada masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau
menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu
tahun jarang sembuh.
6. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali
seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini
berkembang menjadi epilepsy.
7. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga
kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki
potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain.
8. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan
bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
9. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah
kesadaran.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2) Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik),
nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
b. Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf
hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan
(ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi
jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi
h. Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan
penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,
desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,
gelisah
l. Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang
kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang
(Doenges, 1999)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera biologis kontraktur (terputusnya
jaringan tulang)
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/kongnitif,
terapi pembatasan kewaspadaan keamanan mis tirah baring, immobilisasi
c. Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia, gangguan neurologis
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas,
ditandai dengan dispnea
e. Resiko kekurangan vole cairan berhubungan dengan perubahan kadar elektrolit
serum (muntah)
f. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan trauma jaringan
otak
g. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh
h. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
ruang untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral
i. Resiko infeksi
j. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, gelisah,
involunter dan kejang
k. Ansietas
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Agens cedera
(mis.,biologis, zat kimia,
fisik, psikologis)
2 Hambatan Mobilitas Fisik NOC NIC
terkoordinasi
Intoleransi aktivitas
Perubahan metabolisme
selular
Ansietas
Indeks masa tubuh diatas
perentil ke 75 sesuai usia
Gangguan koknitif
Konstraktur
Kepercayaan budaya
tentang aktivitas sesuai
usia
Fisik tidak bugar
Penurunan ketahanan
tubuh
Penurunan kendali otot
Penurunan massa otot
Malnutrisi
Gangguan
muskulosskeletal
Gangguan
neuromuscular, Nyeri
Agens obat
Penurunan kekuatan otot
Kurang pengetahuan
tentang aktivitas fisik
Keadaan mood depresif
Keterlambatan
perkembangan
Ketidaknyamanan
Disuse, kaku sendi
Kurang dukungan
lingkungan (mis: fisik
atau social)
Keterbatasan ketahanan
kardiovaskuler
Kerusakan integritas
struktur tulang
Program pembatasan
gerak
Keengganan memulai
pergerakan
Gaya hidup monoton
Gangguan sensori
perceptual
3 Kerusakan Memori NOC NIC
Indentifikasi penyebab
perdarahan
Monitor trend tekanan
darah dan parameter
hemodinamik (CVP,
pulmonary
capillary/artery wedge
preassure
Monitor status cairan
yang meliputi intake dan
output
Monitor penentu
pengiriman oksigen ke
jaringan (PaO2, SaO2
dan level Hb dan cardiac
output)
Pertahankan patensi IV
line bleeding reduction:
wound/luka
Lakukan manual
preassure (tekanan) pada
area perdarahan
Gunakan ice pack pada
area perdarahan
Lakukan pressure
dressing (perban yang
menekan) pada area
luka
Tinggikan ekstremitas
yang perdarahan
Monitor ukuran dan
karakteristik hematoma
Monitor nadi distal dari
area yang lukaatau
perdarahan
Instrusikan pasien untuk
menekan area luka pada
saat bersin atau batuk
Instruksikan pasien
untuk membatasi
aktivitas
Bleeding reduction:
gastrointestinal
Disfungsi sensori
Hipoksia jaringan
Ketakutan mengurangi
Perasaan tidak adekua kecemasan
Berfokus pada diri
sendiri
Peningkatan
kewaspadan
Iritabilitas
Gugup senang
berlebihan
Rasa nyeri yang
meningkatkan ketidak
berdayaan
Peningkatan rasa
ketidak berdayaan yang
persiste
Bingung, menyesal
Ragu/ tidak percaya diri
Khawatir
Fisiologis
Anoreksia
Eksitasi kardiovaskular
Diare, mulut kering
Wajah merah
Jantung berdebar-debar
Peningkatan tekanan
darah
Peningkatan denyut
nadi
Peningkatan reflek
Peningkataan frekwensi
pernapasan, pupil
meleba
Kesulitan bernapas
Vasokontriksi
superfisial
Lemah, Kedutan pada
otot
Parasimpatik
Nyeri abdomen
Penurunan tekanan
darah
Penurunan denyut nadi
Diare, Mual, Vertigo
Letih, Gangguan tidur
Kesemutan pada
extremitas
Sering berkemih
Anyang-anyangan
Dorongan segera
berkemih
Kognitif :
Menyadari gejala
fisiologis
Bloking fikiran, Konfus
Penurunan lapang
perseps
Kesulitan
berkonsentrasi
Penurunan kemampuan
belajar
Penurunan kemampuan
untuk memecahkan
masala
Ketakutan terhadap
konsekwensi yang tidak
spesifik
Lupa, Gangguan
perhatian
Khawati, Melamun
Cenderung
menyalahkan orang lain
Perubahan dalam
( status ekonomi,
lingkungan, status
kesehatan, pola
interaksi, fungsi peran,
status peran)
Pemajanan toksin
Terkait keluarga
Herediter
Infeksi/kontaminan
interpersonal
Penurunan penyakit
interpersonal
Krisis maturasi, Krisis
situasional
Stres, Ancaman
kematian
Penyalahgunaan zat
Ancaman pada (status
ekonomi, lingkungan,
status kesehatan, pola
interaksi, fungsi peran,
status peran)
Konflik tidak disadari
mengenai tujuan
penting hidup
Konflik tidak disadari
mengenai tujuan
penting hidup
Konflik tidak disadari
mngenai nilai yang
esensial/penting
Kebutuhan yang tidak
dipenuhi
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salema Medika
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga