Tulisan ini dimaksudkan untuk mengurai tindakan bank syariah dalam menentukan harga
dasar barang murabahah ketika mulai terjadi transaksi antara nasabah dan bank. Ilustrasi
awal memahaminya, penulis sajikan dalam bentuk uraian kasus klasik fiqih yang umum
terjadi di masyarakat.
Kita uji kasus di atas menurut kacamata pembeli. Bagaimana respon pembeli terhadap
tindakan pedagang tersebut? Menurut kacamata pembeli bahwa apa yang pedagang
lakukan merupakan tindakan mark-up [Jawa: ngenthol], yaitu tindakan menaikkan harga di
saat menemui adanya pembeli yang prospektif karena didorong sangat butuh. Tindakan
pedagang juga merupakan tindakan yang tidak terpuji karena di saat ada orang dalam
situasi yang sangat membutuhkan, namun justru ia menaikkan harga.
Demikianlah mungkin perasaan yang ada dalam benak para pembeli seandainya mereka
tahu bagaimana niatan pedagang tersebut dalam menaikkan harga.
Lantas bagaimana kasus di atas jika menurut kacamata pedagang? Pasti, pedagang
tersebut akan menanggapi kasus dengan perspektif yang berbeda. Ia menganggap bahwa
mencari keuntungan dalam dagang adalah diperbolehkan asal caranya benar. Pedagang
harus pandai membaca peluang. Dan kedatangan Pak Ahmad ke tokonya adalah
merupakan salah satu peluang yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Sementara syariat
juga tidak melarang mengambil untung dagang.
Satu kasus direspon oleh dua pihak yang berbeda posisi menurut kacamata masing-
masing. Sudah pasti, respon dan tanggapan mereka akan berbeda. Maka, dari itulah
kemudian berlaku kebutuhan hadirnya pihak ketiga (qadli) untuk membantu memecahkan
persoalan mark-up (perspektif pembeli) dan keuntungan (ribhun perspektif pedagang).
Dengan demikian tugas qadli dalam hal ini adalah menimbang persoalan keduanya tanpa
merugikan hajat salah satu pihak. Peran utamanya adalah penentuan harga yang
berimbang (tas’ir).
(Baca juga: Pelaksanaan Negosiasi Akad Bai’ Murabahah antara Nasabah dan Bank Syariah)
Dalil pokok kebolehan mengambil untung adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 180 yang mana
risiko halalnya jual beli juga berarti halalnya mengambil keuntungan. Adapun dalil larangan
menaikkan harga sehingga keluar dari batasan umum mengambil keuntungan -
sebagaimana bunyi teks Fiqihnya, adalah bila keuntungan yang tidak umum pedagang
diambil dalam kondisi masyarakat sedang dalam kondisi pailit, sementara barang yang ia
jual merupakan hajat orang banyak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
{ : فقال، يا رسول هللا لو سعرت ؟: غال السعر على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقالوا: عن أنس قال
وإني ألرجو أن ألقى هللا عز وجل وال يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها، إن هللا هو القابض الباسط الرازق المسعر
إياه في دم وال مال } رواه الخمسة إال النسائي وصححه الترمذي
Artinya: Dari Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Telah terjadi krisis harga pada masa
Rasulullah SAW. Lalu para sahabat mengadu: “Ya Rasulallah, seandainya ada ketetaan
tuan soal harga [barang pokok]?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang
Maha menjamin, Dzat Yang Maha Membeber Anugerah, Maha Pemberi Rezeki, dan Maha
Menghargai. Sementara sesungguhnya aku hanyalah yang berharap agar Allah tidak
menimpakan bala’ kepadaku, berharap seseorang tidak menuntutku karena telah
berperilaku dhalim kepadanya, terhadap darahnya dan juga terhadap hartanya.” HR. Imam
lima, kecuali Al-Nasaiy, dan dishohihkan oleh Al-Tirmidzi. (Lihat Muhammad bin Ali bin
Muhammad as-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut : Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz V, h. 220)
Hadits ini ditafsiri oleh Al-Syaukani, bahwa hendaknya pemerintah atau jajarannya yang
bertugas di bidang pasar, bergerak untuk menetapkan harga pasar (tas’ir) bagi
masyarakatnya.
التسعير هو أن یأمر سلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمین أمر اھل السوق أن الیبیعوا أمتعتھم إال
سعر كذا فیمنع من الزیادة علیه أو النقصان لمصلحة
Artinya : “Tas’ir itu adalah perintah penguasa atau wakilnya atau setiap orang yang
bertugas mengurusi urusannya orang muslim atau pelaku pasar agar tidak menjual asetnya
kecuali dengan harga yang telah ditetapkan, sehingga berlaku larangan melebihkan atau
membanting harga demi kemaslahatan.” (Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad as-
Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, juz V, h. 220)
4. Tindakan melebihkan atau membanting harga melampaui ketetapan harga pokok dari
pemerintah merupakan tindakan yang bisa membawa kemudlaratan.
Wallahu a’lam
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri,
P. Bawean, JATIM
Akuntansi Murabahah
Uang Muka murabahah adalah jumlah yang dibayar oleh pembeli (nasabah)
kepada penjual (bank syariah) sebagai bukti komitmen untuk membeli barang
dari penjual. Pengakuan dan pengukuran uang muka murabahah adalah sebagai
berikut :
1. Uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang
diterima
2. Jika barang jadi dibeli oleh nasabah, maka uang muka diakui sebagai
pembayaran bagian dari pokok piutang murabahah
3. Jika barang batal dibeli oleh nasabah, maka uang muka dikembalikan
kepada nasabah setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya riil yang
dikeluarkan oleh bank
Contoh Kasus:
Tanggal 3 Agustus 2015 Bank Berkah Syariah (BBS) menerima pembayaran uang
muka sebesar Rp 20.000.000 dari tuan Ahmad sebagai tanda keseriusannya untuk
memesan barang kepada BBS berupa mobil Avanza. Atas transaksi tersebut BBS
melakukan pencatatan sebagai berikut:
Sponsored Ad
Setelah nasabah memesan barang kepada Bank Syariah, maka Bank Syariah
membeli barang kepada pemasok atau suplier. Pada saat barang diperoleh diakui
sebagai persediaan murabahah sebesar biaya perolehan. Jika terjadi penurunan
nilai persediaan murabahah karena usang, rusak atau kondisi lainnya sebelum
diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan
mengurangi nilai aset.
Contoh Kasus:
Tanggal 4 Agustus 2015 atas pemesanan tuan Ahmad, Bank Berkah Syariah
membeli mobil Avanza secara tunai ke dealer PT. Maju Terus dengan harga Rp
180.000.000. Jurnal transaksi tersebut adalah:
Diskon Murabahah
Dalam pembelian barang oleh bank syariah biasanya akan mendapat diskon
harga dari pihak pemasok atau suplier. Diskon tersebut oleh bank syariah diakui
sebagai (PSAK 102 par 20) :
1. Pengurang biaya perolehan aset murabahah, jika terjadi sebelum akad
murabahah;
2. Liabilitas kepada nasabah, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai
akad yang disepakati menjadi hak nasabah.
3. Tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad murabahah
dan sesuai akad yang disepakati menajdi hak bank
4. Pendapatan operasi lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak
diperjanjikan dalam akad.
Contoh Kasus
Tanggal 10 Agustus 2015, atas pembelian mobil Avanza oleh BBS, dealer PT maju
terus memberikan diskon harga sebesar Rp 7.500.000 dan diberikan secara tunai.
Jurnal atas transaksi tersebut:
Terjadi sebelum akad murabahah
11 Agust Db Kas Rp 7.500.000
2015
Cr Asset Murabahah Rp7.500.000
Terjadi setelah akad murabahah dan disepakati menjadi hak nasabah
11 Agust 2015 Db Kas Rp 7.500.000
Cr Utang Diskon Rp
Murabahah 7.500.000
Terjadi setelah akad murabahah dan disepakati menjadi hak bank
11 Agust Db Kas Rp 7.500.000
2015
Cr Keuntungan Rp
Murabahah 7.500.000
Terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan
11 Agust Db Kas Rp 7.500.000
2015
Cr Pendapatan Rp
Operasional Lainnya 7.500.000
Setelah barang yang dipesan oleh nasabah telah disiapkan oleh bank syariah,
maka proses berikutnya adalah akad / perjanjian murabahah antara bank syariah
dengan nasabah bersangkutan yang sekaligus juga penyerahan barang oleh bank
syariah kepada nasabah. Dalam akad murabahah disepakati beberapa ketentuan
yang terkait :
Keuntungan murabahah yang disepakati dapat diakui dengan cara berikut ini :
1. Diakui pada saat penyerahan barang. Cara ini diterapkan jika resiko
penagihan piutang murabahah relatif kecil.
2. Diakui secara proporsional sesuai dengan kas yang diterima dari tagihan
piutang murabahah. Cara ini diterapkan jika resiko penagihan piutang
murabahah relatif besar.
3. Diakui pada saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Cara ini
dilakukan jika resiko penagihan piutang murabahah cukup besar.
Dari tiga cara pengakuan keuntungan murabahah diatas, cara pada poin b yang
paling sering digunakan yaitu secara proporsional sesuai dengan kas yang
dibayarkan oleh nasabah.
Contoh Kasus
Tanggal 13 Agustus 2015 disepakati akad murabahah antara Bank Berkah Syariah
dengan tuan Ahmad untuk pembelian mobil Avanza, dengan rincian sebagai
berikut:
Jurnal transaksi :
Setelah akad murabahah dan barang sudah diserahkan kepada nasabah, maka
kewajiban nasabah adalah melakukan pembayaran. Pembayaran dapat dilakukan
secara tunai atau tangguh. Pada bank syariah, transaksi murabahah selalu
dilakukan secara tangguh baik dengan cara angsuran atau sekaligus pada waktu
tertentu (tempo).
Contoh Kasus:
Berdasarkan kesepakatan dalam akad murabahah antara tuan Ahmad dan Bank
Berkah Syariah adalah jangka waktu murabahah 24 bulan dan pembayaran
dilakukan secara angsuran. Maka, Tanggal 13 September 2015 tuan Ahmad
melakukan angsuran pertama sebesar Rp 20.000.000 dengan rincian angsuran
pokok Rp 15.000.000 dan margin Rp 5.000.000 (lihat tabel angsuran).
180,000,000 60,000,000
13 Sept
Db Kas / Rek a.n Ahmad Rp 20.000.000
2015
13 Juni
Db Pendapatan Margin Murabahah Rp 5.000.000
2016
Denda
Bank dapat mengenakan denda kepada nasabah yang tidak dapat melakukan
pembayaran angsuran piutang Murabahah, dengan indikasi antara lain:
Jurnal Transaksi :
Pada prakteknya, kadang bank syariah tidak membeli secara langsung barang
yang dipesan oleh nasabah. Bank syariah mewakilkan pihak lain untuk membeli
barang, sehingga bank syariah hanya menyediakan dana. Wakil yang ditunjuk
untuk pembelian barang adalah pihak ketiga atau nasabah pemesan barang.
Transaksi bank syariah mewakilkan pembelian barang kepada pihak ketiga atau
nasabah pemesan disebut dengan akad wakalah.
Jika transaksi murabahah dengan tambahan akad wakalah, maka ketentuannya
adalah akad murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi
milik bank.
Contoh kasus:
Tanggal 13 Agustus 2015 Bank Berkah Syariah dan tuan Ahmad sepakat
melakukan transaksi murabahah atas mobil Avanza sebesar Rp 180.000.000
dengan tambahan margin sebesar Rp 60.000.000. Atas transaksi tersebut Bank
Berkah Syariah memberikan uang sebesar Rp 180.000.000 kepada tuan Ahmad
sebagai wakil untuk pembelian mobil Avanza.
Jurnal transaksi :
Rp
Cr Kas
180.000.000
Setelah melakukan pembelian mobil Avanza, pada tanggal 16 Agustus 2015 tuan
Ahmad datang ke Bank Berkah Syariah untuk menyerahkan mobil Avanza dengan
menunjukan bukti pembelian barang.
Jurnal transaksi :
16 Agust Rp
Db Persediaan Murabahah
2015 180.000.000
Rp
Cr Piutang Wakalah
180.000.000
Setelah barang diterima oleh bank syariah, barulah dilakukan akad murabahah
antara Bank Berkah Syariah dengan tuan Ahmad.
Jurnal transaksi :
16 Agust Rp
Db Piutang Murabahah
2015 240.000.000
Rp
Cr Persediaan Murabahah
180.000.000