Anda di halaman 1dari 43

CASE BASE DISCUSSION

TBC KULIT DENGAN DIABETES MELITUS


Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat dalam Menempuh
Program Pendidikan Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin RISA

Disusun Oleh :
Novi Dian Lestari
30101407271

Pembimbing :
dr. Pasid Harlisa, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Novi Dian Lestari

NIM : 30101407271

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Judul Laporan : Tbc Kulit dengan Diabetes Meilitus

Pembimbing : dr. Pasid Harlisa, Sp.KK

Semarang, 15 Februari 2020

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

dr. Pasid Harlisa, Sp.KK


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang


disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Jalan masuk kedalam tubuh
biasanya melalui inhalasi. Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di
dunia hingga saat ini. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek
pada paru – paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, usus dan organ
lainnya. Salah satu dari jenis tuberkulosis ini adalah tuberkulosis kutis.1
Seperti halnya tuberkulosis paru, tuberkulosis kutis terutama terdapat di negeri yang
sedang berkembang. Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya
adalah kemiskinan, gizi kurang, penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status
imunodefisiensi. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering
terkait dengan faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Tuberkulosis kutis
menyerang tanpa memandang jenis kelamin dan umur.

1.2 Epidemiologi

Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) skrofuloderma


merupakan bentuk yang tersering yang didapat (84%), disusul tuberkulosis kutis verukosa
(13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang dahulu dikatakan
tidak terdapat ternyata ditemukan, meskipun jarang. Bentuk tersebut dahulu merupakan
bentuk yang tersering terdapat di negeri beriklim dingin (Eropa). Di Amerika Serikat
sejak dahulu jarang terdapat tuberkulosis kutis.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis kutis adalah tuberkulosis pada kulit yang di Indonesia disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal.2

B. Epidemiologi
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) skrofuloderma merupakan
bentuk yang tersering yang didapat (84%), disusul tuberkulosis kutis verukosa (13%),
bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang dahulu dikatakan tidak
terdapat ternyata ditemukan, meskipun jarang. Bentuk tersebut dahulu merupakan bentuk
yang tersering terdapat di negeri beriklim dingin (Eropa). Di Amerika Serikat sejak
dahulu jarang terdapat tuberkulosis kutis.2

Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya adalah kemiskinan,


gizi kurang, penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status imunodefisiensi.
Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa dengan status
imunodefisiensi. Frekuensi terjadinya penyakit ini pada wanita dan pria adalah sama.
Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara – Negara
berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang termasuk Indonesia, tuberculosis
kutis sering ditemukan. Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan dan diakibatkan
karena gizi yang kurang dan sanitasi yang buruk. Prevalensinya tinggi pada anak – anak
yang mengonsumsi susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovi .Tuberkulosis
kutis dapat ditularkan melalui inhalasi, ingesti, dan inokulasi langsung pada kulit dari
sumber infeksi. Selain manusia, sumber infeksi kuman tuberkulosis ini juga adalah
anjing, kera dan kucing.3,4

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering terkait dengan


faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya penyakit ini sering ditemukan pada
pekerjaan seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang yang melakukan autopsi,
peternak, juru masak, anatomis, dan pekerja lain yang mungkin berkontak langsung
dengan M. tuberculosis ini, seperti contohnya pekerja laboraturium. Sekarang, dimasa
yang semakin efektifnya pengobatan tuberkulosis sistemik, tuberkulosis kulit semakin
jarang ditemui. Data insiden dari penyakit ini menurut beberapa rumah sakit
memperkirakan angka sekitar 1-4%, walaupun itu bukan menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya. Di negara-negara barat, frekuensi yang terbanyak terjadi adalah bentuk
lupus vulgaris. Sedangkan untuk daerah tropis seperti Indonesia, yang paling sering
terjadi adalah skrofuloderma dan tuberkulosis kutis verukosa. Tuberkulosis kutis
menyerang tanpa memandang jenis kelamin dan umur. Tetapi, insiden terbanyak terjadi
antara dekade 1-2.1,2

C. Etiologi
Tuberkulosis kutis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Mycobacterium
bovis dan terkadang juga dapat disebabkan oleh vaksin Bacillus Calmette-Guerin.
Tuberkulosis kutis terjadi saat bakteri mencapai kulit secara endogen maupun eksogen
dari pusat infeksi. Klasifikasi tuberculosis kutis yaitu tuberculosis kutis yang menyebar
secara eksogen (inokulasi tuberculosis primer, tuberculosis kutis verukosa), secara
endogen (Lupus vulgaris, skrofuloderma, tuberculosis kutis gumosa, tuberculosis
orifisial, tuberculosis miliar akut) dan tuberkulid (Liken skrofulosorum, tuberkulid
papulonekrotika, eritema nodosum). Tuberkulosis kutis, seperti tuberkulosis paru,
terutama terjadi di negara yang sedang berkembang. Insidensi di Indonesia kian menurun
sejalan dengan menurunnya tuberkulosis paru. Hal itu tentu disebabkan oleh kian
membaiknya keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk yang dahulu masih terdapat sekarang
telah jarang terlihat, misalnya tuberkulosis kutis papulonekrotika, tuberkulosis kutis
gumosa, dan eritema nodusum.5

D. Bakteriologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang bersifat aerob dan
merupakan patogen pada manusia, dimana bakteri ini bersifat tahan asam sehingga biasa
disebut bakteri tahan asam (BTA), dan hidupnya intraselular fakultatif. Artinya, bakteri
ini tidak mutlak harus berada didalam sel untuk dapat hidup. Mikobakterium tuberkulosis
mempunyai sifat-sifat yaitu berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan asam,
panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu optimal pertumbuhan pada 37 0
C. Bakteri ini merupakan kuman yang berbentuk batang yang lebih halus daripada bakteri
Mycobekterium leprae, sedikit bengkok dan biasanya tersusun satu-satu atau
berpasangan.6

E. Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis kutis menurut Pillsburry dengan sedikit perubahan:1,2,3
1. Tuberkulosis Kutis Sejati
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat pada kelainan kulit disertai
gambaran histopatologis yang khas.
a. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulous chancre)
TBC kutis primer terjadi karena infeksi eksogen pada penderita yang belum
pernah terpapar dengan M. Teubercukosis dan tidak mempunyai imunitas
terhadap kuman TB.
b. Tuberkulosis kutis sekunder
TBC kutis sekunder merupakan reinfeksi baik lokal maupun sistemik pada
individu yang pernah terinfeksi dengan kuman TB sebelumnya.
 Tuberkulosis kutis miliaris
Jenis ini timbul akibat perluasan secara hematogen pada penderita TB yang
mempunyai imunitas jelek, paling sering pada penderita HIV/AIDS. Biasanya
dijumpai pada bayi dan anak-anak, juga bisa pada dewasa.

 Skrofuloderma
Skrofuloderma timbulnya akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ
dibawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis. Sering berasal dari
KGB, juga dapat berasal dari sendi dan tulang.
 Tuberkulosis kutis verukosa
Infeksi pada jenis ini terjadi secara eksogen, jadi kuman langsung masuk ke
dalam kulit, oleh karena itu tempat predileksinya berada pada tungkai bawah,
kaki dan yang tersering yaitu di lutut. Pada penderita tuberkulosis aktif dapat
mengalami autoinokulasi dari sputumnya.
 Tuberkulosis kutis gumosa
Tuberkulosis kutis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya
dari paru. Kelainan kulit berupa guma, yakni infitrat subkutan, sirkumskrip
dan kronis, kemudian melunak dan bersifat destruktif.
 Tuberkulosis kutis orifisialis
Disebut juga tuberkulosis kutis ulserosa. Lokasinya disekitar orifisium dan
terjadi akibat berkontak langsung dengan sputum, feses atau urin yang
mengandung kuman. Predileksinya pada mulut, sekitar anus dan genitalia.
Timbulnya bentuk ini disebabkan kekebalan yang sangat kurang. Berupa ulkus
dengan dinding yang bergaung dan sekitarnya livid.
 Lupus Vulgaris
Timbul pada penderita dengan imunitas baik dan pernah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Dapat terjadi karena perluasan limfogen atau hematogen dari lesi
skrofuloderma atau vaksinasi BCG. Mempunyai gambaran klinis yang berupa
kelompok nodus eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada tes
diaskop (apple jelly colour).

2. Tuberkulid
Tuberkulid merupakan reaksi id, yaitu kelainan kulit akibat alergi. Pada kelainan
kulit tidak ditemukan kuman penyabab, kuman tersebut terdapat pada tempat lain di
dalam tubuh, biasanya di paru. Tes tuberkulin memberikan hasil positif.
a. Bentuk Papul
 Lupus Miliaris Diseminatus Fasiei
Mengenai muka, timbulnnya secara bergelombang. Pada diaskopi memberikan
gambaran apple jelly colour seperti pada lupus vulgaris.
 Tuberkulid Papulonekrotika
Bentuk tuberkulid ini biasanya simetrik pada bagian ekstensor dan anggota
badan, berupa papula atau nodul kemerahan dengan nekrosis ditengahnya,
kemudian menjadi krusta yang melekat. Dalam beberapa minggu sembuh,
meninggalkan sikatriks atrofi dikelilingi hiperpigmentasi di sekitarnya.
 Liken skrofulosorum
Merupakan bentuk tuberkuloid dengan erupsi likhenoid. Kelainan kulit berupa
beberapa papul miliar, warna dapat serupa dengan kulit atau kemerahan
(eritematosa).
Terutama terdapat pada anak-anak. Tempat predilesi pada dada, perut,
punggung dan daerah sakrum.

b. Bentuk granuloma dan ulseronodus


 Eritema Nodosum (E.N.)
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas bagian
ekstensor yang diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang dapat
memberikan gambaran klinis sebagai E.N., yang sering adalah lepra sebagai
Eritema Nodosum Leprosum, reaksi id karena Streptococcus B hemoliticus,
alergi obat secara sistemik dam demam reumatik.

 Eritema Induratum (E.I.) Bazin


Kelainan kulit juga berupa eritema dan nodus-nodus indolen seperti pada E.N.,
tetapi tempat predileksinya pada ekstremitas bagian fleksor. Perbedaan lain,
pada E.I. terjadi supurasi sehingga membentuk ulkus-ulkus. Kadang-kadang
tidak mengalami supurasi tetapi regresi sehingga terjadi hipotrofi. Perjalanan
penyakit kronik residif.
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat pada
kelainan kulit isertai gambaran histopatologik yang khas. Tuberkulosis kutis
primer berarti kuman masuk pertama kali ke dalam tubuh. Tuberkulid
merupakan reaksi id, yang berarti kelainan kulit akibat alergi. Pada kelainan
tersebut tidak ditemukan kuman penyebab, tetapi kuman tersebut terdapat
pada tempat lain di dalam tubuh, biasanya di paru. Pada tuberkulid tes
tuberkulin memberi hasil positif.

F. Patogenesis
Cara infeksi dari kuman M. Tuberculosis ini ada 6 macam yaitu penjalaran
langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis,
misalnya skrofuloderma, inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang
dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis, penjalaran secara
hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris, penjalaran secara limfogen, misalnya
lupus vulgaris, penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit
tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris, atau bisa juga kuman langsung masuk ke kulit yang
resistensi lokalnya telah menurun atau jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis
kutis verukosa.

Hal-hal yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik adalah sifat kuman, respon
imun tubuh saat kuman ini masuk kedalam tubuh ataupun saat kuman ini sudah berada
didalam tubuh serta jumlah dari kuman tersebut. Respon imun yang berperan pada infeksi
M. tuberculosis adalah respon imunitas selular. Sedangkan peran antibodi tidak jelas atau
tidak memberikan imunitas.

Bila terjadi infeksi oleh kuman M. Tuberculosis ini, maka kuman ini akan masuk
jaringan dan mengadakan multiplikasi intraseluler. Hal ini akan memicu terjadinya reaksi
jaringan yang ditandai dengan datang dan berkumpulnya sel-sel leukosit dan dan sel-sel
mononuklear serta terbentuknya granuloma epiteloid disertai dengan adanya nekrosis
kaseasi ditengahnya. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut
ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah
tuberculous chancre. Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma.4

G. Imunologi
Ternyata terdapat kolerasi antara bentuk-bentuk tuberkulosis kutis dan imunitas.
Stokes dkk mengadakan pembagian tuberkulosis kutis berdasarkan imunitas sebagai
berikut:2
1. Hiperergik, positif dengan tuberkulin pengenceran tinggi (1:1.000.000 atau kurang)
termasuk:
 Liken skrofulosorum
 Tuberkulosis kutis verukosa
 Lupus vulgaris
2. Normogenik, positif dengan tuberkulin pengenceran sedang (1:100.000) termasuk;
 Lupus vulgaris
 Skrofuloderma
 Sebagian kecil Tuberkulid papulonekrotika
 Sebagian eritema induratum
 Inokulasi tuberkulosis primer (setelah minggu ke 3-4)
3. Hipoergik, tidak bereaksi atau bereaksi lemah dengan tuberkulin pengenceran rendah
(1:1.000 atau lebih):
 Sebagian besar tuberkulid papulonekrotika
 Sebagian kecil eritema induratum
 Lupus miliaris diseminatus fasiei
4. Anergik ( tidak bereaksi):
 Kompleks primer stadium dini
 Tuberkulosis kutis miliaris lanjut

H. Gambaran Klinis dan Diagnosis Banding1,7,8,9


1. Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Kompleks lesi primer meliputi kulit dan nodus limfatikus terutama pada bayi
dan anak-anak. Jalan masuk basil tuberkel adalah paru-paru, luka kecil, kuku yang
terbuka, atau luka tusuk. Afek primer dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus
indolen, berdinding tergaung dan disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu,
limfangitis dan limfadenitis timbul beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah
afek primer, pada waktu tersebut reaksi tuberkulin menjadi positif. Keseluruhannya
merupakan kompleks primer. Pada ulkus tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu
disebut tuberculous chancre. Makin muda usia penderita makin berat gejalanya.
Bagian yang sering terkena adalah wajah dan ekstremitas yang berhubungan dengan
limphadenopaty regional. Biasanya ditemukan pada daerah kulit yang mudah
terkena trauma.
2. Tuberkulosis kutis miliaris

Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan status
imunokompromise. Fokus infeksi terdapat secara khusus pada paru-paru atau
selaput otak. Terjadi karena penjalaran ke kulit dari fokus di badan. Reaksi terhadap
tuberkulin biasanya negatif (anergi). Ruam berupa eritema berbatas tegas, papul,
vesikel, pustul, skuama atau purpura yang menyeluruh. Pada umumnya
prognosisnya buruk.

3. Skrofuloderma
Tuberkulosis kutis murni sekunder yang terjadi secara pekontinuitatum dari
jaringan di bawahnya, misalnya kelenjar getah bening, otot dan tulang.
Skrofuloderma terjadi terutama pada anak-anak dan dewasa muda pada bagian kulit
yang berada diatas nodus limfatikus dan daerah yang kelihatan tulangnya.
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan. Dimulai
dengan infeksi sebuah kelenjar yang selanjutnya menjadi berkembang menjadi
periadenitis. Beberapa kelenjar kemudian dapat meradang, sehingga membentuk
suatu kantong kelenjar “klier packet”. Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan
dan perlunakan, mencari jalan keluar dengan menembus kulit diatasnya, dengan
demikian terbentuk fistel. Fistel tersebut kian melebar, membentuk ulkus yang
mempunyai sifat-sifat khas.

4. Tuberkulosis kutis verukosa


Tipe ini terjadi terutama pada orang dewasa, anak-anak dan individu yang
resisten terhadap terjadinya inokulasi eksternal basil tuberkel. Infeksi terjadi secara
eksogen, jadi kuman masuk ke dalam kulit, oleh sebab itu tempat predileksinya
pada tungkai bawah dan kaki, tempat yang lebih sering mendapat trauma. Gambaran
klinis biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara serpiginosa, yang
berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di jurusan yang lain.
Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada bagian
yang cekung terdapat sikatriks.
5. Tuberkulosis
kutis gumosa

Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya dari


paru. Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun,
kemudian melunak dan bersifat destruktif. Pada awalnya kulit berwarna normal dan
lama-kelamaan menjadi merah kebiruan. Lesi tersebar berbentu makula dan papul
berukuran kecil atau lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler
danterdapat krusta.

6. Tuberkulosis kutis orifisialis


Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit tuberkulosa pada organ-
organ dalam. Sesuai dengan namanya maka lokasinya di sekitar orifisium. Pada
tuberkulosis paru dapat terjadi ulkus di mulut, bibir atau di sekitarnya. Pada
tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan di sekitar anus. Pada tuberkulosis
saluran kemih, ulkus dapat ditemukan di sekitar orifisium uretra eksternum. Ulkus
berdinding tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan sekitarnya livid.

7. Lupus
vulgaris

Lupus
vulgaris
merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama pada bagian yang sering
terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas. Cara infeksi dapat secara endogen
atau eksogen. Gambaran klinis yang umum adalah kelompok nodus eritematosa
yang berubah warna menjadi kuning pada penekanan (apple jelly colour). Nodus-
nodus tersebut berkonfluensi berbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus.
Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila mengenai muka tulang rawan
hidung dapat mengalami kerusakan. Penyembuhan spontan terjadi perlahan-lahan di
suatu tempat, tetapi terjadi perjalanan di tempat lain, yang dapat ke perifer atau
serpiginosa.

8. Lupus
milliaris diseminatus fasiel

Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-papul


bulat, biasanya diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian
meninggalkan sikatriks. Pada diaskopi memberi gambaran apple jelly colour seperti
pada lupus vulgaris.

9. Tuberkulosis papulonekrotika
Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita TB
pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi terhadap
basil tuberkel. Basil menyebar secara hematogen pada orang dengan satus imunitas
sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis secara klinis tidak aktif pada saat
terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam keadaan sehat. Selain berbentuk
papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul. Tempat predileksi pada muka,
anggota badan bagian ekstensor, dan badan. Mula-mula terdapat papul eritematosa
yang timbul secara bergelombang, membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi
pustul, lalu memecah menjadi krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu
8 minggu, lalu menyembuh dan meninggalkan sikatriks., kemudian timbul lesi-lesi
baru. Lama penyakit dapat bertahun-tahun.

10. Liken skrofulosorum

Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita tuberkulosis
tulang atau nodus limfatikus. Kelainan kulit terdiri atas beberapa papul miliar,
warna dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri,
kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di sekitarnya terdapat
skuama halus. Tempat predileksi pada dada, perut, punggung dan daerah sacrum.
Perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika sembuh tidak
meninggalkan sikatriks.

11. Eritema nodusum


Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas
bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang juga dapat
memberi gambaran klinis sebagai Eritema Nodusum., yang sering: lepra sebagai
eritema nodusum leprosum, reaksi yang terjadi karena Streptococcus B
Hemolyticus, alergi obat secara sistemik, dan demam reumatik.

12. Eritema induratum


Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah
arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak. Kelainan kulit berupa
nodus-nodus indolen. Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi
sehingga terbentuk ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi, tetapi
regresi sehingga terjadi hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit
kronik residif.

Tabel 1. Diagnosis banding tuberkulosis


kutis
Tuberkulosis chancre Sindrom Chancriform yaitu syphilis primer
dengan disertai chancre, penyakit cat-
scratch, sporotrichosis, tularemia, infeksi
M. marinum.

Tuberkulosis kutis verukosa Kromomikosis, nevus verukosa, dan


frambusis stadium II, veruka vulgaris,
infeksi M. marinum, pyoderma,
chromomycosis, bromoderma, lichen
planus hipertrofik, dermatosis aktinik
hipertropik.

Lupus Vulgaris Sarkoidosis, lymphocytoma,lymphoma,


lupus eritematosus kutaneus kronik,
syphilis tersier, leprosy, blastomycosis,
leismaniasis lupoid dan pioderma.

Scrofuloderma Aktinomikosis, hidradenitis supurativa,


limfopatia venereum, infeksi jamur.

Tuberkulosis kutis gumosa Pannikulitis, infeksi jamur infasive,


hidradenitis, syphilis tersier.

Tuberkulosis kutis orifisialis Ulkus aphthous, histoplasmosis, syphilis.


I. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis kutis didasarkan atas anamnesis riwayat TB, pemeriksaan
bakteriologik (untuk menentukan etiologinya), pemeriksaan histopatologik (untuk
menegakkan diagnosis), dan tes tuberkulin. Ada juga yang menyebutkan bahwa Reaksi
berantai polimerase (polymerase chain reaction) dapat dipakai untuk menentukan
etiologi. Tetapi kerugiannya tidak dapat mendeteksi kuman hidup, jadi kultur masih tetap
merupakan baku emas.10

J. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru. Untuk
mencapai hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus
dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan
harus dalam kombinasi. Dalam kombinasi tersebut INH disertakan, diantaranya karena
obat tersebut bersifat bakterisidal, harganya murah dan efek sampingnya langka. Sedapat-
dapatnya dipilih paling sedikit 2 obat yang bersifat bakterisidal, dan keadaan umum
diperbaiki.

Pemilihan obat tergantung pada keadaan ekonomi penderita, berat-ringannya


penyakit, dan adakah kontraindikasi. Dosis INH (H) pada anak 10 mg/Kg BB, pada orang
dewasa 5mg/Kg BB, dosis maksimum 400 mg sehari. Rifampisin (R) 10 mg/kg BB
paling lama diberikan 9 bulan. Bila digunakan Z hanya selama 2 bulan, kontraindikasinya
penyakit hepar. Pirazinamid (Z) 25 mg/kg BB, streptomisin (S) 15 mg/kg BB, dosis
maksimun streptomisin 90 gram. Ethambutol (E) 15 mg/kg BB.

Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, yaitu tahapan awal (intensif)


dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif
membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat
bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi membunuh kuman yang
tumbuh lambat.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah
kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam
waktu 2 bulan. Selama fase lanjutan diuperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan
mencegah kekambuhan. Pada paien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya
resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan
akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA
negatif atau TB ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena jumlah
bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase awal dengan 3 obat dan fase lanjutan
dengan 2 obat biasanya sudah memadai. Pada pasien yang pernah diobati ada resiko
terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3
obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang
diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH, Rifampisin dan
Pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian
piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan.

Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase
awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB,
Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB. diikuti fase lanjutan selama 4
bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol
dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.

Tabel 2. Obat antituberkulosis yang ada di Indonesia: dosis, cara pemberian dan efek
sampingnya
Nama obat           Dosis                      Cara pemberian                Efek samping utama
INH                     5-10 mg/kg BB       per os, dosis tunggal           neuritis perifer
Rifampisin          10 mg/kg BB           per os, dosis tunggal
                                                            waktu lambung kosong       gangguan hepar
Pirazinamid         20-35 mg/kg BB     per os dosis terbagi             gangguan hepar
Etambutol            bulan I/II 25 mg/    per os, dosis tunggal            gangguan N II
                            Kg BB,berikutnya
                            15 mg/kg BB
Streptomisin        25 mg/kg BB           per inj                                 gangguan N VIII
Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan pada lupus vulgaris,
tuberkulosis kutis verukosa yang kecil, serta skrofuloderma pada ekstremitas bawah.

Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik.


Pada skrofuloderma, jika ulkus masih mengandung pus dikompres, misalnya dengan
larutan kalium permanganas 1/5000.2,5,9

K. Prognosis

Prognosis dari penyakit ini baik apabila pasien bersedia mengikuti terapi dengan
bersungguh-sungguh dan selalu menjaga kebersihan badan serta lingkungan sekitarnya.
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Sy

Umur : 53 tahun 11 bulan

Alamat : Jetak, Kunduran Blora

Agama : Islam

No.RM : 0137xxx

Tanggal Pemeriksaan : 03 Februari 2020

B. ANAMNESIS

Alloanamnesa dilakukan di Poli Kulit RSISA pada tanggal 03 Februari 2020 pukul 10.00

hingga 12.00 WIB.

Keluhan Utama

 Keluhan Subjektif : Luka yang tidak sembuh sembuh

 Keluhan Objektif : Ruam kemerahan dan menebal

Riwayat Penyakit Sekarang

 Onset : Sejak kurang lebih 10 tahun.

 Lokasi : Paha bawah bagian depan yang menyebar sampai tungkai atas bagian depan

kaki kiri

 Kronologi : awalnya muncul luka pada paha bawah bagian depan kaki kiri akibat

trauma benda tajam ( gregaji ) 10 tahun yang lalu. Kemudian luka sempat sembuh.

Selang 1 minggu muncul ruam kemerahan dan bintik kecil pada bekas luka yang
sangat gatal, karena kebiasaan pasien sering menggaruk luka, maka timbul luka lecet

dan koreng akibat garukan, 2 tahun terakhir pasien mengeluh luka ruam kemerahan

dan menebal semakin melebar kekulit sekitar, disertai rasa gatal, nyeri cekit cekit

dan kaku, 2 bulan yang lalu pasien didiagnosis oleh dokter menderita penyakit gula.

Pasien seorang tukang kayu dan pekerja bangunan.

 Kualitas : gatal, perih dan kaku tidak terus menerus, mucul apabila pasien aktivitas

berat dan berkeringat

 Kuantitas : luka ruam kemerahan dan menebal semakin melebar ke kulit sekitar

 Faktor memperberat : saat berkeringat

 Faktor memperingan : sudah diberi salep dari dokter umum, keluhan sempat

berkurang namun kambuh kembali.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Sebelumnya tidak pernah menderita penyaakit serupa

 Riwayat batuk lama disangkal

 Kontak dengan penderita penyakit Tbc disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat penyakit serupa disangkal

 Riwayat penyakit Tbc pada keluarga disangkal

Riwayat Kebiasaan

 Pasien mempunyai kebiasaan menggaruk luka dan memberi pengobatan tradisional

( daunan ) pada luka

Riwayat Alergi

 Riwayat alergi (astma, rhinitis alergi, conjungtivitis alergi,eksim/dermatitis

atopik,makanan,obat-obatan,) disangkal, riwayat kulit kering disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien berobat dengan biaya Umum

 Kesan ekonomi pasien cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Komposmentis

Tekanan darah : 141/94 mmHg

Nadi : 80x/menit , reguker, isi dan tegangan cukup

Suhu : 36,5ᵒC

RR : 24x / menit

BB : 75kg

TB : 157 cm

Status Generalis

Kepala : Tidak dilakukan pemeriksaan

Mata : Tidak dilakukan pemeriksaan

Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan

Hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan

Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan

Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Dermatologi

Lokasi I : Paha bawah bagian depan yang menyebar sampai tungkai atas bagian depan

kaki kiri
UKK : plak eritematosa diameter 20cm berbatas tegas bagian tengah tampak lebih

tenang dan menebal terdapat erosi dan krusta akibat garukan. Teraba keras dan

lunak pada daerah tertentu, tepi lesi meninggi disertai pustule dan krusta .

Gambaran luka tanggal 03-02-2020 (periksa pertama)


Gambaran luka 10-02-2020 (kontrol 1)
D. RESUME

Nama : Tn. SY

Umur : 53 tahun 11 bulan

Jenis kelamin : laki- laki

 Keluhan Subjektif : luka yang tidak sembuh sembuh

 Keluhan Objektif : Ruam kemerahan dan menebal

Pasien laki-laki berusia 53 tahun 11 bulan datang ke poli kulit dan kelamin Rumah Sakit

Islam Sultan Agung pada tanggal 03 Februari 2020 pukul 10.00 WIB dengan keluhan luka

pada kaki kiri yang tidak kunjung sembuh. Awalnya muncul luka pada paha bawah bagian

depan kaki kiri akibat trauma benda tajam ( gregaji ) 10 tahun yang lalu. Kemudian luka

sempat sembuh. Selang 1 minggu muncul ruam kemerahan dan bintik kecil pada bekas luka

yang sangat gatal, karena kebiasaan pasien sering menggaruk luka, maka timbul luka lecet

dan koreng akibat garukan, 2 tahun terakhir pasien mengeluh luka ruam kemerahan dan

menebal semakin melebar kekulit sekitar, disertai rasa gatal, nyeri cekit cekit dan kaku,

Pasien sudah pernah diobati dan diberi salep oleh dokter umum, keluhan sempat berkurang,

namun kemudian kambuh kembali. Keluhan semakin memburuk saat aktivitas berat dan

berkeringat, untuk riwayat alergi terhadap makan,obat obatan, batuk lama, kontak dengan

penderita penyakit tuberculosis disangkal, 2 bulan yang lalu pasien didiagnosis oleh dokter

menderita penyakit gula. Riwayat keluhan serupa dan penyakit Tuberkulosis pada keluarga

juga disangkal. Pasien mempunyai kebiasaan menggaruk luka dan memakai obat obatan

tradisional (daunan) pada luka. Pasien seorang tukang kayu dan pekerja bangunan. Biaya

pengobatan ditanggung sendiri.

E. DIAGNOSIS BANDING
 TBC Kutis denga

 Mikosis profunda

F. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaa histopatologi kulit

Hasil

- Makroskopis : sedian dari tungkai bawah kiri, ukuran 1cc, warna putih,

konsistensi kenyal

- Mikroskopis : menunjukan jaringan dilapisi epitel gepeng berlapis yang

hiperplastik, hyperkeratosis, akantosis dengan stroma yang sembab hiperemi

bersebukan limfosit, histiosit dan sel datia langhans

- Tak tampak tanda ganas

- Sesuai dengan proses radang kronis spesifik ( Tuberkulosis)

G. DIAGNOSIS KERJA
 TBC Kutis dengan Diabetes

H. TATALAKSANA

( Sistemik )

R/ FDC kategori 1 fase intensif no. CL

s.1.d.d. tab 5

R/ Metformin 750mg no.XX

s.2.d.d tab 1 p.c

I. PROGNOSIS

Ad vitam : Ad bonam

Ad sanam : Ad bonam

Ad kosmetika : Ad bonam

J. EDUKASI

Aspek klinis

 Hentikan kebiasaan menggaruk luka

 Hentikan pemakaian obat tradisional pada luka

 Efek samping dari obat bisa membuatair kencing menjadi berwarna merah

 Meminum obat sesuai dengan anjuran dokter & kontrol rutin 1 bulan sekali sesuai

dengan jadwal.

Aspek agama

 Menjaga kebersihan & lingkungan, karena kebersihan adalah sebagian dari iman
BAB IV
PEMBAHASAN
Tuberkulosis kutis adalah tuberkulosis pada kulit yang di Indonesia
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal.2
Ada 4 bentuk miliaria, antara lain :
a. Miliaria Kristalina
b. Miliaria Rubra
c. Miliaria Profunda
d. Miliaria Pustulosa

DAFTAR PUSTAKA

1. Levin, Nikki, A., MD., PhD. Miliaria. e-medicine. 2002. April 26 : Available from :
http://www.google.com. Accessed Februari 25, 2019.
2. Braun, O., Falco., Plewig. G., Wolff, H.H., Winkelmann, R.K. Disease of Eccrine Sweat
Glands. In : Dermatology, New York ; p. 752-3.

3. Moschella, Samuel L., Hurley, Harry J., The Eccrine Sweat Glands. In : Dermatology.
Volume 2. Third Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company ; 1992. p. 1526-29.

4. Ali, Amir. Miliaria. TelMedPak. 2004. October 12 : http://www.google.com. Accessed


Februari 25, 2019.

5. Natahusada, E.G., Miliaria. In : Djuanda, Adhi., Hamzah, Mochtar., Aisah, Siti., Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2002. p. 254.

6. Amiruddin, Muh Dali, Miliaria pada Anak. In : Ilmu Penyakit Kulit. Makassar : Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unhas. 2018. p.404-8.

7. Andrew, Dean. Miliaria. Merck. 2018. October 5 : http://www.google.com. Accessed


Februari 25, 2019.

8. Lebwohl, Mark G., dkk.. Miliaria. In : Treatment of Skin Disease. New York.
Philadelphia. 2015. p. 293-5

9. Atherton, D.J., The Neonate. In : Champion, R.H., Burton, J.L., Burns, D.A., Breathnach,
S.M. Textbook of Dermatology. Volume 1. Edition 6. London : Blackwell Science. p.455.
10. Wagner, Annette, M., Hansen, Ronald, C. Neonatal Skin and Skin Disorders. Schachner,
Lawrence, A., Hansen, Ronald, C. In : Pediatric Dermatology. Volume 1. Edition 2. New
York : Churchill Livingstone. p.307.

11. Greene, Alan, M.D. Miliaria. 2018. August 31 : http://www.google.com. Accessed


Februari 25, 2019
12. Odom, Richard B., James, William., Berger, Timothy G. Dermatoses Resulting from
Physical Factors. In : Disease of The Skin. Edition 9. Philadelphia : W.B Saunders
Campany. 1993. p.23.

13. Silverman, Robert, Nail and Appendageal Abnormalities, Schachner, Lawrence, A.,
Hansen, Ronald, C. In : Pediatric Dermatology. Volume 1. Edition 2. New York :
Churchill Livingstone. p.644.

14. Haas, Norbert, Henz, Beate Maria, Weigel Heidrun, Congenital Miliaria Crystallina.
2016. November : Volume 47. Available from : http//www.eblue.org. Accesed Februari
25, 2019

15. Goldmith, Lowell, Disorders of The Eccrine Sweat glands, Freedberg, Irwin M., Eisen,
Arthur Z., Wolff, Klans, Austen, K. Frank, Goldsmith, Lowell A., Katz, Spephen I. In :
Dermatology In General Medicine. Edition 6. Volume 1. New York : Mc Graw-Hill.
Medical Publishing Divition. p.705

Anda mungkin juga menyukai

  • Journal Dokter Saugi
    Journal Dokter Saugi
    Dokumen8 halaman
    Journal Dokter Saugi
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • Kasus Ikterus Neonatorum
    Kasus Ikterus Neonatorum
    Dokumen27 halaman
    Kasus Ikterus Neonatorum
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • JURDING HERPES ZOOSTER Fix Dian
    JURDING HERPES ZOOSTER Fix Dian
    Dokumen10 halaman
    JURDING HERPES ZOOSTER Fix Dian
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Diare
    Tutorial Diare
    Dokumen12 halaman
    Tutorial Diare
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Dian
    Jurnal Dian
    Dokumen44 halaman
    Jurnal Dian
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • PSB 2
    PSB 2
    Dokumen13 halaman
    PSB 2
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • Nisa
    Nisa
    Dokumen23 halaman
    Nisa
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • Refkas Primaswari
    Refkas Primaswari
    Dokumen25 halaman
    Refkas Primaswari
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • CBD BRPN Novi
    CBD BRPN Novi
    Dokumen32 halaman
    CBD BRPN Novi
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat
  • DHF CBD
    DHF CBD
    Dokumen18 halaman
    DHF CBD
    Novi Dian Lestari
    Belum ada peringkat