Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

ISLAM DAN PERSOALAN EKONOMI

Disusun Oleh :

M. Ilyas Nur Fauzi 201310340311173

Hendra Setiawan Ramadhan 201310340311187

Nanda Kresna Raharja 201310340311206

Mata Kuliah : Al-Islam dan Kemuhammadiyahan IV

Dosen Pengampu : Mohammad Kamaludin, S.Pd.I , M.Si

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat,
hidayah serta karunia-Nya kepada kami sehingga berhasil menyelesaikan tugas makalah Al
- Islam dan Kemuhammadiyahan IV yang berjudul “Islam dan Persoalan Ekonomi” tepat
pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “tak ada gading yang tak retak”, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun guna
kesempurnaan makalah kami selanjutnya.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Aamiin.

Malang, 1 Maret 2016

PENYUSUN

Islam dan Persoalan Ekonomi | 2


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4

BAB II ISLAM DAN PERSOALAN EKONOMI ........................................ 6

2.1 Definisi Ekonomi Islam .................................................................... 7

2.2 Prinsip Ekonomi dalam Islam ........................................................... 8

2.3 Persoalan Ekonomi dalam Islam

2.3.1 Perbankan Syariah ................................................................ 12

2.3.2 Asuransi ................................................................................ 14

2.3.3 Penggadaian .......................................................................... 15

2.3.4 Baitul Malwa Tanwil (BMT) ................................................ 17

2.3.5 Pasar Modal Syariah ............................................................. 18

2.4 Bekerja Sebagai Kewajiban dan Ibadah............................................ 19

2.5 Akhlak Bekerja dalam Islam ............................................................. 21

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 26

3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 26

3.2 Saran ................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 27

Islam dan Persoalan Ekonomi | 3


BAB I
PENDAHULUAN

Ekonomi Islam atau Ekonomi berbasis Syariah adalah sebuah sistem


ekonomi yang memiliki tujuan utama untuk kesejahteraan umat. Sistem ekonomi
syariah berpedoman penuh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum-hukum yang
melandasi prosedur transaksinya sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat,
sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan. Kesejahteraan masyarakat
dalam Ekonomi Islam tidak hanya diukur dari aspek materilnya, namun
mempertimbangkan dampak sosial, mental dan spiritual individu serta dampak
yang ditimbulkan bagi lingkungan.

Syariat Islam telah mengajarkan tatacara manusia dalam menjalankan


hidupnya dari segala aspek. Tidak hanya dalam aspek religious, tetapi juga
mengatur perilaku manusia sebagai mahluk sosial, menjaga hubungan antar sesama
manusia, hubungan manusia dengan alam, dan menghindarkan dari perilaku-
perilaku menyimpang agar dapat tercipta kedamaian dan ketentraman.

Syariat Islam mengatur segala hal yang berkaitan dengan kegiatan ekonomis
manusia, sehingga tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan dunia, tetapi juga
kebahagiaan di Akhirat kelak. Dalam memenuhi keperluan hidup, syariat Islam
menganjurkan untuk saling bekerjasama dan tolong menolong selama dalam hal
kebaikan dan terhindar dari kemungkaran. Dalam bisnis-bisnis konvensional,
segala sesuatunya mengacu pada satu titik, yaitu mendapat keuntungan materil.
Dampak yang ditimbulkan dari tujuan awal bisnis konvensional menyebabkan
pelaku bisnis cenderung untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya sehingga
kurang memperhatikan dampak yang di timbulkan bagi individu lain. Hal ini sangat
berbeda dengan bisnis-bisnis yang dilandasi atas hukum Islam. Implementasi dari
bisnis yang berbasis syariah tidak hanya berfokus pada mencari keuntungan/laba
secara materil, namun aspek keuntungan non-materil yaitu, kesabaran, kesukuran,
kepedulian, serta menjauhkan diri dari sifat kikir dan tamak. Bisnis yang dilandasi
oleh syariah dapat menjauhkan pebisnis dari perbuatan tercela, penipuan, merusak

Islam dan Persoalan Ekonomi | 4


lingkungan, dan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri maupun
lingkungannya.

Ekonomi Konvensional telah menjadikan uang sebagai suatu komoditas,


sehingga keberadaan uang saat ini lebih benyak diperdagangkan daripada
difungsikan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Islam memandang uang hanya
sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan
(komoditas) yang diperjual belikan. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama
seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal
dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic
Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan
pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara. Islam tidak
memperbolehkan sistem Money Demand for Speculation. Dalam Islam, uang
adalah milik masyarakat, sehingga uang harus digunakan dalam kegiatankegiatan
produktif. Penimbunan uang dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di
masyarakat, sedangkan Islam memandang uang adalah Flow Concept, yaitu uang
harus berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam
perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan
semakin baik perekonomian. (Sumber, www.syariahlife.com)

Islam dan Persoalan Ekonomi | 5


BAB II
ISLAM DAN PERSOALAN EKONOMI

Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak
makin mudah menyajikan pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia.
Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa
perangai “kemenangan” sistem kapitalisme Barat. Sikap kaum akademisi semacam
ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda
Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan
ideologi kerakyatan yang melandasinya.

Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu


pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan
runtuh. Kemudian dari situ ditarik kesimpulan kelewat sederhana bahwa sistem
kapitalisme telah memenangkan secara total persaingannya dengan sistem
komunisme. Dengan demikian, dari persepsi simplisistik semacam ini, Indonesia
pun dianggap perlu berkiblat kepada kapitalisme Barat dengan sistem pasar
bebasnya.

Jika kita melihat keadaan sekarang ini, krisis moneter melanda di mana-
mana, tak terkecuali di negeri kita tercinta ini. Para ekonom dunia sibuk mencari
sebabsebabnya dan berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan perekonomian di
negaranya masing-masing. Krisis ekonomi telah menimbulkan banyak kerugian,
meningkatnya pengangguran, meningkatnya tindak kejahatan dan sebagainya.
Sistem ekonomi kapitalis dengan sistem bunganya diduga sebagai penyebab
terjadinya krisis. Sistem ekonomi Islam mulai dilirik sebagai suatu pilihan alternatif,
dan diharapkan mampu menjawab tantangan dunia di masa yang akan datang.

Al-Qur'an telah memberikan beberapa contoh tegas mengenai masalah-


masalah ekonomi yang menekankan bahwa ekonomi adalah salah satu bidang
perhatian Islam. "(Ingatlah) ketika Syu'aib berkata kepada mereka (penduduk
Aikah): 'Mengapa kamu tidak bertaqwa?' Sesungguhnya aku adalah seorang rasul
yang telah mendapatkan kepercayaan untukmu. Karena itu bertaqwalah kepada
Allah dan ta'atilah aku. Aku sama sekali tidak menuntut upah darimu untuk ajakan

Islam dan Persoalan Ekonomi | 6


ini, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan Penguasa seluruh alam. Tepatilah
ketika kamu menakar dan jangan sampai kamu menjadi orang-orang yang merugi.
Timbanglah dengan timbangan yang tepat. Jangan kamu rugikan hak-hak orang
(lain) dan janganlah berbuat jahat dan menimbulkan kerusakan di muka bumi."
(Qs.26:177-183)

Agar lebih memahami mengenai persoalan ekonomi dalam Islam, dalam


bab ini akan dibahas mengenai definisi ekonmi Islam ; prinsip ekonomi dalam
Islam ; persoalan ekonomi dalam Islam ; bekerja sebagai kewajiban dan ibadah ;
serta akhlaw bekerja dalam Islam.

2.1 Definisi Ekonomi Islam

Ekonomi, secara umum didefinisikan sebagai hal yang mempelajari


perilaku manusia dalam menggunakan sumber daya yang langka untuk
memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.1
1
Ekonomi Islam, P3EI, 2011, hal. 14

Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu yang


mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan
dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas di dalam kerangka Syariah.
Ilmu yang mempelajari perilaku seorang muslim dalam suatu masyarakat
Islam yang dibingkai dengan syariah. Definisi tersebut mengandung
kelemahan karena menghasilkan konsep yang tidak kompetibel dan tidak
universal. Karena dari definisi tersebut mendorong seseorang terperangkap
dalam keputusan yang apriori (apriory judgement), benar atau salah tetap
harus diterima.2
2
Ekonomi Islam, Imamudin Yuliadi, 2006, hal. 6

Definisi yang lebih lengkap harus mengakomodasikan sejumlah


prasyarat yaitu karakteristik dari pandangan hidup Islam. Syarat utama adalah
memasukkan nilai-nilai syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi Islam
adalah ilmu sosial yang tentu saja tidak bebas dari nilai-nilai moral. Nilainilai moral
merupakan aspek normatif yang harus dimasukkan dalam analisis fenomena

Islam dan Persoalan Ekonomi | 7


ekonomi serta dalam pengambilan keputusan yang dibingkai
syariah.

Definisi ekonomi islam menurut beberapa ekonom islam,

 Muhammad Abdul Mannan


"Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam".
 M.M Metwally
"Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
perilakumuslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang
mengikuti Al Quran,Hadits Nabi,Ijma dan Qiyas".
 Hasanuzzaman
"Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan
aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber
daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan
mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat".

2.2 Prinsip Ekonomi dalam Islam

Aktivitas ekonomi harus dilaksanakan dengan menghindari ketidakadilan


dalam perolehan dan pembagian sumber ekonomi. Prinsip dasar yang digunakan
untuk menghindari ketidakadilan tersebut adalah syariah yang di dalamnya perintah
(injunctions) dan peraturan (rules) tentang boleh tidaknya suatu kegiatan.

Para pemikir ekonomi Islam berbeda pendapat dalam memberikan


kategorisasi terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam. Sebagaimana dikutip Muslim
H. Kara, Khurshid Ahmad mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi
Islam pada: Prinsip tauhid, rub-biyyah, khilafah, dan tazkiyah.3

3
Bank Syariah di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan
Syariah,, Muslimin H. Kara, 2005, hal. 37 – 38

Mahmud Muhammad Bablily menetapkan lima prinsip yang berkaitan


dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al-ukhuwwa (persaudaraan), al-ihsan

Islam dan Persoalan Ekonomi | 8


(berbuat baik), al-nasihah (memberi nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan
altaqwa (bersikap takwa).4

4
Etika Bisnis : Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut Al – Qur’an dan As Sunnah,,
terjemahan Rosihin A. Ghani, 1990, hal. 15

Sedangkan menurut M. Raihan Sharif dalam Islamic Social Framework


sebagaimana dikutip Muslim H. Kara, struktur sistem ekonomi Islam didasarkan
pada empat kaidah struktural, yaitu: (1) trusteeship of man (perwalian manusia); (2)
co-operation (kerja sama); (3) limite private property (pemilikan pribadi yang
terbatas); dan (4) state enterprise (perusahaan negara).5

5
, Muslimin H. Kara, 2005, hal. 38

Menurut Adiwarman Karim, bangunan ekonomi Islam didasarkan atas


lima nilai universal, yakni tauhid, keadilan, kenabian, khilafah, dan Ma'ad (hasil).
Menurut Metwally yang dikutip Zainul Arifin, prinsip-prinsip ekonomi Islam itu
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai


pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus
memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna
memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan
untuk orang lain. Namun yang terpentirig adalah bahwa kegiatan tersebut
akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.
2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu,
termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama,
kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua,
Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi
usaha yang menghancurkan masyarakat.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang
Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat
keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT
dalam Al Qur'an:

Islam dan Persoalan Ekonomi | 9


4. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif
yang, akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkapkan bahwa "Apa yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk
negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anakanak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kalian..," (QS:57:7). Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam
menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa
orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis, di
mana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak
terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.
5. Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari
Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak
yang sama atas air, padang rumput dan api." Sunnah Rasulullah tersebut
menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan
produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus dikelola oleh
negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan
dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.
6. Seorang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti
dicantumkan Q.S Al – Baqarah 281.
7. Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab)
diwajibkan membayar zakat.
8. Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk
pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan,

Islam dan Persoalan Ekonomi | 10


pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara bertahap namun jelas
dan tegas memperingatkan kita tentang bunga.

Dari banyak ayat al-Qur'an dan hadist nabi yang sebagian telah
disebutkan di muka dapat ditarik beberapa prinsip ekonomi Islam sebagai
berikut:

1. Manusia adalah makhluk pengemban amanat Allah untuk memakmurkan


kehidupan di bumi, dan diberi kedudukan sebagai khalifah (wakilnya)
yang wajib melaksanakan petunjuk-petunjuk-Nya.
2. Bumi dan langit seisinya diciptakan untuk melayani kepentingan hidup
manusia, dan ditundukkan kepadanya untuk memenuhi amanat Allah.
Allah jugalah pemilik mutlak alas semua ciptaan-Nya.
3. Manusia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
4. Kerja adalah yang sesungguhnya menghasilkan (produktif).
5. Islam menentukan berbagai macam bentuk kerja yang halal dan yang
haram. Kerja yang halal saja yang dipandang sah.
6. Hasil kerja manusia diakui sebagai miliknya.
7. Hak milik manusia dibebani kewajiban-kewajiban yang diperuntukkan
bagi kepentingan masyarakat. Hak milik berfungsi sosial.
8. Harta jangan hanya beredar di kalangan kaum kaya saja, tetapi diratakan,
dengan jalan memenuhi kewajiban-kewajiban kebendaan yang telah
ditetapkan dan menumbuhkan kepedulian sosial berupa anjuran berbagai
macam shadaqah.
9. Harta difungsikan bagi kemakmuran bersama tidak hanya ditimbun tanpa
menghasilkan sesuatu dengan jalan diperkembangkan secara sah.
10. Harta jangan dihambur-hamburkan untuk memenuhi kenikmatan
melampaui batas. Mensyukuri dan menikmati perolehan usaha hendaklah
dalam batas yang dibenarkan syara'.
11. Memenuhi kebutuhan hidup jangan berlebihan, jangan kurang tetapi
secukupnya.
12. Kerja sama kemanusiaan yang bersifat saling menolong dalam usaha
memenuhi kebutuhan ditegakkan.

Islam dan Persoalan Ekonomi | 11


13. Nilai keadilan dalam kerjasama kemanusiaan ditegakkan.
14. Nilai kehormatan manusia dijaga dan dikembangkan dalam usaha
memperoleh kecukupan kebutuhan hidup.
15. Campur tangan negara dibenarkan dalam rangka penertiban kegiatan
ekonomi menuju tercapainya tujuan, terwujudnya keadilan sosial.

2.3 Persoalan Ekonomi dalam Islam

2.3.1 Perbankan Syari’ah

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak
istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank
Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa
Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Di Indonesia secara
teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank
Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”.

Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank
konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution)
yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana
tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas
pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil
bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional
mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari
apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun
mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara
lain,

 Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip


dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah

Islam dan Persoalan Ekonomi | 12


Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus
kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
 Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun
waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang
dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi
hasil tertentu.
 Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model
partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam
rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio
ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan
mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan
manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
 Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan
pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio
tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak
Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan,
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalahgunaan.
 Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang
bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil
panen.
 Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana
nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan
sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
 Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank
akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian
menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai
margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat
mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan
besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:
harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang

Islam dan Persoalan Ekonomi | 13


dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang
disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
 Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di
kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang
dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan
harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.
Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6
bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak
dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam
kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir).
Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan
rekanan yang direkomendasikan penjual.
 Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga
barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di
kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual
secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara
bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang
mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan
pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.

2.3.2 Asuransi (Takâful)

Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’mîn yang berasal dari kata
amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta
bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang
memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya
mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.

Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama


Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah
(ta’mîn, takâful’ atau tadhâmun) adalah usaha saling melindungi dan tolong
menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk set

Islam dan Persoalan Ekonomi | 14


dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko
tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.

Akad atau perjanjian yang menjadi dasar bagi setiap transaksi, termasuk
dalam asuransi atau yang lazim disebut dengan polis juga harus disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syari’ah, Untuk itu maka dalam pembuatan polis asuransi dapat
menerapkan akad-akad tradisional Islam. Berdasarkan fatwa DSN-MUI, jenis-jenis
akad yang dapat diterapkan dalam asuransi syari’ah adalah : akad mudhârabah,
akad mudhârabah musytarakah, akad wakâlahbil-ujrah, dan akad tabarru.

Konsep asuransi syari’ah adalah risk sharing (pembagian resiko)


berdasarkan prinsip tolong menolong. Ini berbeda dengan asuransi konvensional
yang menekankan pada pengalihan resiko (risk transfering). Prinsip tolong
menolong ini dalam Islam dikenal dengan prinsip ta’âwuniyah. Hal ini didasarkan
pada ketentuan al-Qur `an surat al-Maidah ayat 2 berikut,

ُ ‫َوتَ َع َاونُوا َعلَى الِْ ِِّب َوالتَّ ْق َوى َوالَتَ َع َاونُوا َعلَى اْ ِإل ِْْث َوالْعُ ْد َو ِان َواتَّ ُقوا هللاَ إِ َّن هللاَ َش ِد‬
ِ ‫يد الْعِ َق‬
‫اب‬
”..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”

2.3.3 Penggadaian (Rahn)

Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang


mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang
berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Dalam
istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al-
habsu . Secara etimologis, pengertian rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-
habsu berarti penahanan terhadap suatu barang tersebut.

Praktik seperti ini telah ada sejak jaman Rasulullah SAW., dan Rasulullah
sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan
dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong. Sesuai dengan PP 103
Tahun 2000 Pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya
dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan

Islam dan Persoalan Ekonomi | 15


usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan layanan jasa titipan,
sertifikasi logam mulia, dan lainnya.

Adapun boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-
Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad. Dari sumber tersebut, dasar hukumnya adalah :

1. Al-Qur’an : Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum


perjanjian gadai adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Inti dari dua ayat
tersebut adalah: “Apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskan, yang dipersaksikan
dua orang saksi laki-laki atau satu seorang saksi laki-laki dan dua orang
saksi perempuan”.
2. As-Sunnah : Dalam hadist berasal dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
harga yang diutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi
Muhammad SAW menyerahkan baju besinya (HR. Bukhari).

Secara umum, produk jasa dari lembaga pegadaian adalah sebagai berikut :

1. Gadai
Gadai merupakan kredit jangka pendek guna memenuhi kebutuhan dana yang
harus dipenuhi pada saat itu juga, dengan barang jaminan berupa barang
bergerak berwujud seperti perhiasan, kendaraan roda dua, barang elektronik
dan barang rumah tangga.

2. Jasa Taksir
Jasa taksir diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas barang
miliknya seperti emas, perak dan berlian

3. Jasa Titipan
Jasa titipan merupakan cara pemecahan masalah yang paling tepat bagi
masyarakat yang menghendaki keamanan yang baik atyas barang berharga
miliknya. Barang-barang yang dapat dititipkan di pegadaian adalah perhiasan,
surat-surat berharga, sepeda motor dan sebagainya.
Sistem operasional produk Pegadaian syari’ah dilakukan melalui prinsip-
prinsip sebagai berikut :

Islam dan Persoalan Ekonomi | 16


o Prinsip Wadi’ah (Simpanan)
o Prinsip Tijarah (Jual Beli atau Pengembalian Bagi Hasil)
o Prinsip Ijarah (Sewa)
o Prinsip al-Ajr wa al-Umulah (Pengembalian Fee)
o Prinsip al-Qard (Biaya Administrasi)

2.3.4 Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT)

Istilah BMT sebenarnya dapat dipilah sebagai Baitul Mâl (BM) dan Baitul
Tamwîl (BT). Menurut fungsinya, BM bertugas menghimpun, mengelola dan
menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) sebagai bagian yang
menitikberatkan pada aspek sosial. Sementara, BT merupakan lembaga komersial
dengan pendanaan dari pihak ke tiga, bisa berupa pinjaman atau investasi.

Ada dua bagian dari BMT yang keduanya memiliki fungsi dan pengertian
yang berbeda. Pertama, Baitul Mâl merupakan lembaga penerima zakat, infak,
sedekah dan sekaligus menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Sedangkan Baitul Tamwîl adalah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis
dengan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan
kualitas kehidupan ekonomi masyarakat terutama masyarakat dengan usaha skala
kecil. Dalam perkembangannya BMT juga diartikan sebagai Balai-usaha Mandiri
Terpadu yang singkatannya juga BMT. Adapun ciri dari BMT adalah :

1. Berorientasi bisnis dan mencari laba bersama


2. Bukan lembaga sosial tapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan
penggunaan zakat, infak dan sadaqoh.
3. Ditumbuhkan dari bawah dan berlandaskan pada peran serta masyarakat.
4. Milik masyarakat secara bersama, bukan milik perorangan.
5. Dalam melakukan kegiatannya para pengelola BMT bertindak aktif,
dinamis, berpandangan proaktif.
6. Melakukan upaya peningkatan wawasan dan pengamalan nilai-nilai Islam
kepada semua personil dan nasabah BMT. Biasanya dilakukan dengan
pengajian-pengajian atau diskusi-diskusi dengan topik-topik yang terencana.
7. Manajemen BMT dikelola secara profesional dan Islami.

Islam dan Persoalan Ekonomi | 17


2.3.5 Pasar Modal Syari’ah

Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal


mendefinisikan pasar modal sebagai “Kegiatan yang bersangkutan dengan
Penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan
efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Menurut Kepres No. 60 Tahun1988, pasar modal adalah bursa yang merupakan
sarana untuk mempertemukan penawar dan peminta dana jangka panjang dalam
bentuk efek.

Sedangkan pasar modal syari’ah sendiri dapat diartikan sebagai pasar modal
yang menerapkan prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan
terlepas dari hal-hal yang dilarang seperti: riba, perjudian, spekulasi, dan lain-lain.
Dari pengertian tersebut tampak jelas sekali ada yang berbeda antara pasar modal
konvensional dengan pasar modal syari’ah.

Pasar modal syari’ah adalah pasar modal yang dijalankan dengan konsep
syari’ah, di mana setiap perdagangan surat berharga mentaati ketentuan transaksi
sesuai dengan ketentuan syari’ah. Pasar modal syari’ah tidak hanya ada dan
berkembang di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain, seperti negara Malaysia.

Pasar modal syari’ah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan
prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal
yang dilarang seperti riba, perjudian, spekulasi, dan lain-lain.

Dalam Islam investasi merupakan kegiatan muamalah yang sangat


dianjurkan, karena dengan berinvestasi harta yang dimiliki menjadi produktif dan
juga mendatangkan manfaat bagi orang lain. Al-Quran dengan tegas melarang
aktivitas penimbunan (iktinaz) terhadap harta yang dimiliki (9:33). Dalam sebuah
hadits, Nabi Muhammad Saw bersabda, ”Ketahuilah, Siapa yang memelihara anak
yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki harta, maka hendaklah ia
menginvestasikannya (membisniskannya), janganlah ia membiarkan harta itu idle,
sehingga harta itu terus berkurang lantaran zakat”

Islam dan Persoalan Ekonomi | 18


2.4 Bekerja Sebagai Kewajiban dan Ibadah

Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja
adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa
dilepaskan dari kerja. Seorang muslim dalam mengerjakan sesuatu selalu
melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh
melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh.
Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep
ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik
mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah mewajibkan atas
segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia
ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As-Sajdah ayat 7).

Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan


ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau
bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa
dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad
melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa
tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad,
“Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk
mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau
mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang
tidak akan pernah disentuh api neraka”.

Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui
tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan
tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja
semacam orang itu dapat digolongkan jihad fî sabilillâh, maka alangkah baiknya.”
Mendengar itu Rasul pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-
anaknya yang masih kecil, itu adalah fî sabilillâh; kalau ia bekerja untuk
menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fî sabilillâh; kalau
ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fî
sabilillâh.” (HR Ath-Thabrani).

Islam dan Persoalan Ekonomi | 19


Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang
dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan
seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi
perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan
serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau
tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak; apakah masuk
golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-
mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan
menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus
tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang
mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat
sekelilingnya serta negara.

Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja
bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan
hidup, tetapi mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju
sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu, muslim mesti menjadikan kerja sebagai
kesadaran spiritualnya.

Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam


melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan
yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya
menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan
menjadi orang yang terbaik dalam setiap bidang yang ditekuninya. Ada dua tahapan
yang harus dilakukan seseorang agar prestasi kerja meningkat dan kerjapun bernilai
ibadah.

Pertama, Kerja Ikhlas. Betapa banyak para pekerja dalam melaksanakan


pekerjaannya dengan tekun, cerdas, gigih dan penuh tanggungjawab namun jauh
dari nilai-nilai keikhlasan akhirnya menjadi petaka. Bekerja dengan dilandasi
keikhlasan adalah suatu keharusan agar materi dari hasil kerja didapat sementara
pahala diraih. Sesuai dengan doa yang seringkali dibaca ‘fiddunya hasanah wafil
akhirati hasanah…”Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-
Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan

Islam dan Persoalan Ekonomi | 20


dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (al-Qur’an Surat
At-Taubah ayat 105)

Kedua, Kerja keras dan cerdas. Ukuran kerja keras adalah kesempatan
berbuat, tanpa pamrih, bekerja maksimal dan Kepasifan dalam menghadapi
pekerjaan membatasi seseorang tidak berusaha meningkatkan kemampuan
profesionalismenya. Profesionalisme biasanya dijadikan ukuran dalam peningkatan
prestasi di setiap pekerjaan. Dalam mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu
melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh
melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh.
Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep
ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik
mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka


mengubah apa yang ada pada dirinya. (Q.S. Ar-Ra’du ayat 11).

“dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya”. (Q.S. Al-Najm ayat 39).

2.5 Akhlak Bekerja dalam Islam

Pembahasan Akhlak bekerja, dikenal juga dengan istilah Etos kerja (work
ethic). Etos kerja suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan
pengamalan atas doktrin-doktrin keagamaan atau ideologi yang dianut. Agama atau
ideologi merupakan pembentuk etika yang paling dasar yang dikembangkan
sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan aktual masyarakat.

Islam dan Persoalan Ekonomi | 21


Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya Islam Dogma dan
Peradaban mencatat beberapa konsep ajaran Islam yang terkait erat dengan
peningkatan kualitas etos kerja umat, antara lain :

1. Niat dan Tauhidullah

Dalam Islam kedudukan niat merupakan yang paling fundamental dalam setiap
praktek ibadah baik mahdah maupun ghairu mahdah. Baik buruknya suatu
pekerjaan tergantung pada niat pelakunya. Rasulullah bersabda :

‫إمنا األعمال بالنية وإمنا لكل امرئ ما نوى‬


"Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara tergantung
pada apa yang ia niatkan".

Inilah yang membedakan antara sistem Islam dengan yang lain. Termasuk
dengan konfusianisme, faham ini secara nyata memang memberi pengaruh kuat
kepada pemeluknya untuk melakukan kerja keras. Sebab secara umum ajaran
yang ditekankan lebih mengarah kepada materialisme. Dimana kepemilikan
seseorang akan materi akan sangat menentukan tingkatan kastanya baik waktu
di dunia maupun ketika sesudah mati. Itulah karenanya dalam sistem ekonomi
negara yang menganut paham kongfusianisme lebih mengarah kepada sistem
yang menjunjung tinggi materi sebagai pusat perbaikan suatu bangsa.

Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid pada setiap aspek kehidupan
umatnya. Seoarang muslim yang beriman wajib meyakini dengan lisan dan
qalbunya syahadat Lâ ilâha illallâh, lafadz ini berarti menafikan tuhan-tuhan
lain selain Allah. Tuhan-tuhan itu bisa berarti benda yang dicenderungi maupun
disembah (paganisme), ideologi seperti materialisme, hedonisme, atau sistem
kepercayaan yang diikuti yang lebih diutamakan dari pada Allah. Maka ketika
seseorang bekerja dengan didasarkan pada tauhid, hal itu menjadikanya merdeka
untuk melakukan apa saja yang diyakini selama tidak bertentangan dengan
kehendak Allah SWT.

Islam dan Persoalan Ekonomi | 22


2. Ihsan dan Itqan

Untuk memperkuat dan memperjelas niat, umat Islam diperintahkan untuk


mengucapkan nama Allah (bismillâh) setiap awal pekerjaannya. Secara filosofis
ikrar kepada sesuatu berarti pengakuan atas apa yang dimiliki olehnya. Allah
dalam pandangan umat Islam adalah Tuhan yang maha segala-galanya, tidak ada
yang lebih maha dari pada Dia. Hal ini melahirkan kesadaran bahwa sesuatu
yang didasarkan kepada derajat tertinggi akan memberi motivasi kuat untuk
menyamakannya. Itulah Ihsan. Ihsan merupakan bentuk kerja yang didasarkan
pada kualitas kerja terbaik. Rasulullah bersabda :

‫ "إن هللا كتب‬:‫قال‬ ‫عن أيب يعلى ش داب بن عور ي ع هللا عنن عن يهللا ول هللا‬

‫ وإحس نوا ال ة‬،‫ت‬ ‫ وإحس نوا القتلة وإ ا‬،‫ وا ا قتلت‬:‫اإلحس ان على كل ش ح‬

،‫ شفرتن ولريح بيحتن" يواه مسل‬،‫وليحد أحدك‬

"Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu, maka jika kamu
membunuh hendaklah membunuh degnan cara yang baik, dan jika kamu
menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah
menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu (mempecepat
proses matinya)".

Berihsan dengan menajamkan pisau untuk menyembelih hewan qurban tidak


saja dilihat dari sudut pandang "kehewanan" tetapi juga menunjukkan kerja yang
efektif dan efisien. Dalam sistem kerja masyarakat modern, efektifitas dan
efisiensi merupakan tuntutan utama yang harus dimiliki semua orang jika ingin
berhasil.

Selain ihsan dikenal juga itqan, yaitu proses kerja dengan standar mutu terbaik.
Seorang muslim dituntut untuk tidak kerja asal-asalan, tetapi berorientasi pada
karya terbaik, indah dan memiliki kualitas yang diperhitungkan semua orang.
Rasulullah bersabda :

Islam dan Persoalan Ekonomi | 23


‫ إ ا عمل عم ا أن يتقنن‬،‫إن هللا بحب أحدك‬
"Sesungguhnya Allah menyukai seseorang jika melakukan suatu kerja dengan
ber-itqan"

3. Pentingya bekerja dalam Islam

Kerja merupkan wujud keberadaan manusia di muka bumi (mode of existence).


Jika bapak filsafat modern Rene Descartes memformulasikan sebuah prinsip,
aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum), maka dalam tema ini menjadi "aku
bekerja maka aku ada". Sesorang akan dikenal dan diperhitungkan berdasarkan
kerja yang dilakukan. Selain kerja sebagai usaha memenuhi kebutuhan, juga
sebagai penunjukkan jati diri masyarakat dengan ideologi yang diyakininya.
Masyarakat di beberapa negara maju asia seperti Jepang, Korea Selatan dan
Hongkong dikenal sebagai masyarakat pekerja. Satu dengan yang lain saling
berlomba untuk bisa menjadi yang terbaik di Asia. Itulah yang disebut dengan
fighting Spirit (semangan bersaing) dalam rangka mencapai idealisme ideologi
yang mereka anut.

Fighting Spirit sudah ada dalam sistem ajaran islam. Dianjurkan kepada
pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Allah
berfirman :

ِ ِ ِ ْ ْ‫ولِ ُك ل ِوَْة ُو مولِِّيَا وَاهللا تَِْ ُقوا‬


َ‫اّل‬ ِّ ،ُ ‫ايَْي َرات أَيْ َن َما تَ ُكونُواْ يَإْت بِ ُك‬
ِّ ‫اّلُ ََ ايعا إِ َّن‬ ْ َ َ ُ َ ُ َ ْ ِّ َ
‫َعلَى ُك ِِّل َش ْعء قَ ِدير‬

"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah : 148)

Bekerja dengan semangat beramal soleh dalam rangka kejayaan diri, agama dan
bangsa merupakan jargon yang tak akan pernah padam karena merupakan
semangat utama yang bisa menjadikan pemeluk agama ini berada pada tingkatan

Islam dan Persoalan Ekonomi | 24


tertinggi dalam peradaban manusia. Dan itu pernah terjadi pada masa sahabat
dan daulah Islamiyah.

4. Mukmin yang Kuat lebih dicintai Allah

Kebanggaan sebagai suatu bangsa secara nyata telah menjadikan bangsa tersebut
sebagai bangsa pesaing. Masyarakat Inggris pernah mengklaim dirinya sebagai
manusia terdepan dalam sistem evolusi manusia ketika ditemukannya fosil
manusia Fieltdown, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan kepada bangsa-
bangsa diberbagai tempat di dunia. Islam tidak mengajarkan rasisme seperti itu,
tetapi menanamkan keberanian dan kepercayaan diri untuk melakukan banyak
hal sebagai seorang muslim yang mukmin kepadaNya. Allah berfirman :
ِ‫وف وتَ ْن َو َن ع ِن الْمن َك ِر وتُِْمنُو َن بِاّل‬
ِّ
ِ ِ ‫ت لِلن‬
ْ َ ُ َ ْ َ َ ‫َّاس تَإْ ُم ُرو َن بِالْ َم ْع ُر‬ ْ َْ ‫ُخ ِر‬
ْ ‫ َخْي َر أ َُّمة أ‬،ْ ُ‫ُكنت‬
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah…." (QS. Ali-Imran : 110)
Atau sabda Rasulullah saw. :

‫املْمن القوي خري وأحب إىل هللا من املْمن الضعيف ويف كل خري‬
"Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada
mukmin yang lemah, dan dalam berbagai hal (nyata) lebih baik"
Juga sabdanya saw. :

‫اإلهللا ام يعلو وال يعلى علين‬


"Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya"

Kebanggaan sebagai seoarang muslim ini nyata telah menjadikan para sahabat
dulu memiliki jiwa dan semangat yang membara dalam rangka menyebarkan
Islam ke berbagai pelosok bumi. Semangat seperti ini seharusnya ditumbuhkan
kembali dalam rangka menjadikan umat Islam saat ini bangkit dari perasaan
terkucilkan, lemah, malas dan takut bersaing dengan negara atau bangsa lain.

Islam dan Persoalan Ekonomi | 25


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam ekonomi islam, yang dimaksud ekonomi islam adalah pengetahuan


dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan
memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat. Ekonomi
Islam didasarkan pada prinsip syariah yang di dalamnya ada perintah dan peraturan
tentang boleh tidaknya suatu kegiatan. Dasar hukum yang digunakan adalah Al –
Qur’an , As – Sunnah atau Ijma (Apabila hukum tidak ditemui di Al – Qur’an
maupun As – Sunnah).

Dalam masyarakat globalisasi saat ini, sistem ekonomi islam atau syari’ah
dapat digunakan untuk menggantikan sistem ekonomi kapitalis maupun
komunisme.

3.2 Saran

Apa yang dibahas dalam makalah ini diharapkan dapat memberikan


manfaat berupa pengetahuan mengenai ekonomi islam. Bagi mahasiswa
yang kelak terjun ke masyarakat diharapkan setelah membaca makalah ini
dapat memberikan pengetahuan (pencerahan) tentang prinsip-prinsip
ekonomi Islam dalam tataran keilmuan dan praktis. Kedepan mahasiswa
diharapkan lebih kritis setelah membaca makalah ini terutama dalam
menyikapi arus globalisasi dengan banyaknya sistem ekonomi ini.

Islam dan Persoalan Ekonomi | 26


DAFTAR PUSTAKA

Al-'Assal, A.M & Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan
Ekonomi Islam (Terjemahan). Penerbit CV. Pustaka Setia.
An-Nabhaniy,T. 1953. Nizham Al-lslam. Beirut.

Muqaddimah Dustur aw Al Asbaabul Maujibatu lahu. Az-Zain, S. A. 1981.


Syari'at Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan
Sosial sebagai Studi Perbandingan (Terjemahan). Penerbit Husaini.
Bandung. Budiono. 1998.

Ekonomi Makro. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2.


Edisi 4. BPFE. Yogyakarta. Chapra, M. U. 1999.

Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Terjemahan).


Penerbit Risalah Gusti. Surabaya. Karim, A. 2001.

Ekonomi Islami: Suatu kajian Ekonomi Mikro. Karim Business Consulting. Jakarta
Mankiw, N. G. 2000.

Pengantar Ekonomi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Mannan, M.A. 1993. Teori dan
Praktek Ekonomi Islam. Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta

Islam dan Persoalan Ekonomi | 27

Anda mungkin juga menyukai