Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Secara kumulatif, jumlah pasien HIV/ AIDS di Indonesia hingga maret
2016 mencapai 78.292 kasus. Sedangkan, mengutip data sebaran kasus dan
biaya klaim di Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sampai dengan triwulan III tahun 2015,
kasus sistem saluran kemih berjumlah sebanyak 3.094.915 kasus. Mengutip
data 7th Report of Indonesian Renal Registry, urutan penyebab gagal ginjal
pasien yang mendapatkan haemodialisis berdasarkan data tahun 2014, karena
hipertensi (37%), penyakit dibetes mellitus atau Nefropati Diabetika (27%),
kelainan bawaan atau Glomerulopati Primer (10%), gangguan penyumbatan
saluran kemih atau Nefropati Obstruksi (7%), karena Asam Urat (1%),
Penyakit Lupus (1%) dan penyebab lain lain-lain (18%).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun
2013 menunjukkan data bahwa penduduk Indonesia kurang aktifitas fisik
(26,1%); penduduk usia > 15 tahun merupakan perokok aktif (36,3%);
penduduk > 10 tahun kurang mengonsumsi buah dan sayur (93%); serta
penduduk >10 tahun memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol (4,6%).
Berdasarkan study, sepertiga ODHA (Orang dengan HIV-AIDS) mempunyai
jumlah protein berlebih dalam air kencingnya, yang merupakan tanda-tanda
adanya gangguan pada ginjal. Untuk itu berdasarkan uraian diatas maka kami
menyusun makalah dengan judul “HIV- AIDS dengan Komplikasi Penyakit
Ginjal).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi HIV-AIDS?
2. Apa etiologi HIV-AIDS?
3. Bagaimana manifestasi HIV-AIDS?
4. Bagaimana patofisiologi HIV-AIDS?
5. Apa saja komplikasi HIV-AIDS?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik HIV-AIDS?

1
7. Bagaimana penatalaksanaan HIV-AIDS?
8. Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada HIV-AIDS?
9. Bagaimana intervensi HIV-AIDS?
10. Bagaimana Askep HIV-AIDS dengan komplikasi penyakit ginjal?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dalam penulisan
makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1. Definisi HIV-AIDS.
2. Etiologi HIV-AIDS.
3. Manifestasi klinis/ tanda dan gejala HIV-AIDS.
4. Patofisiologi HIV-AIDS.
5. Komplikasi HIV-AIDS.
6. Pemeriksaan diagnostik HIV-AIDS.
7. Penatalaksanaan HIV-AIDS.
8. Diagnosa keperawatan yang muncul pada HIV-AIDS.
9. Intervensi HIV-AIDS.
10. Askep HIV-AIDS dengan komplikasi penyakit ginjal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
1. HIV
- Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang
termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan
menggunakan RNAnya dan DNA penjamu untuk membentuk virus
DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti
retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik
laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS.
HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan
menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari
CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus
tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).
- Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup,
yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS,
tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan
ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah
RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries
dan Anderson, 2007 ).
2. AIDS
- AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia
mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti
kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis
penyakit lain (Yatim, 2006).

3
- AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada
seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-
obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya
(Laurentz, 2005).

2.2 ETIOLOGI
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termasuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan
untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen
tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit.
Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas
dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag,
yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2
gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum
terjadi):
1. Gejala mayor:
a.       Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
b.      Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan .
c.       Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
d.      Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
e.       Demensia/ HIV ensefalopati.
2. Gejala minor:

4
a.       Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b.      Dermatitis generalisata.
c.       Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang.
d.      Kandidias orofaringeal.
e.       Herpes simpleks kronis progresif.
f.       Limfadenopati generalisata.
g.      Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
h.      Retinitis virus Sitomegalo.
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase Awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam,
sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah
bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS
dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase Lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel
imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang
kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala
yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan
pendek.
3. Fase Akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut
akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS Gejala Minor.
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat
dibagikan mengikut fasenya, yaitu:
1. Fase Akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6
minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah

5
demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise,
anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis,
ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration,
dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama
dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan
mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik
narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala
ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak
70% dari penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini
yang akan sembuh sendiri.
2. Fase Asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV
akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan
penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV.
Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk
ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang
rendah.
3. Fase Simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

6
2.4 PATOFISIOLOGI
Menyerang T limfosit, sel saraf,
Virus HIV Merusak seluler
makrofag, monosit, limfosit B

Invasi kuman pathogen


↓ system kekebalan AIDS
→ organ target
MK: Resiko
Infeksi
Asam darah meningkat Konsumsi ARV jangka panjang Infeksi bakteri

Nefropati Fungsi ginjal ↓

Sisa metabolisme Sistem Kerusakan ginjal


MK:
tidak dapat di buang hematologi progresif dan
Nyeri
irreversibel
Pembentukan
Sekresi urea dan Produksi
urokrom pada
kreatinin meningkat eritropoetin ↓ - perubahan
kulit
status kesehatan
Intoksikasi lambung Rangsangan - kurang
Pruritus pembentukan memahami
eritrosit pada tentang penyakit
Nausea,Vomitus
MK : tulang menurun
Kerusakan
Anoreksia intregritas
Stresor meningkat
kulit
HB Menurun
Intake nutrisi
menurun MK : Kecemasan
Suplai O2 ↓
MK : Nutrisi
Kurang dari Metabolisme
kebutuhan tubuh tubuh ↓

Kelemahan

MK : Intoleransi
aktifitas

7
2.5 KOMPLIKASI
Infeksi yang bisa timbul akibat komplikasi HIV-AIDS:
1. Tuberculosis (TB)
2. Cytomegalovirus.
3. Candidiasis
4. Meningitis kriptokokus
5. Toksoplamosis
6. Cryptosporidiosis
Kanker juga bisa timbul sebagai komplikasi HIV-AIDS, yaitu antara lain:
sarkoma kaposi (tumor dinding pembuluh darah) dan limfoma (kanker yang
berasal dari sel darah putih). Komplikasi HIV-AIDS lainnya yang mungkin
terjadi adalah:
1. Wasting sindrom
2. Komplikasi neurologis
3. Penyakit ginjal: HIV-Associated Nephropathy (HIVAN) adalah
peradangan pada filter kecil. Filter ini memainkan peran penting dalam
ginjal yang membuang kelebihan cairan dan ampas dari aliran darah dan
diteruskan ke urine.
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat
tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang
lain dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan
protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus.
Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai
sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6
minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski,
2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme-
linked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum
dilakukan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif
pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah
infeksi, maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah

8
infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu
mempunyai risiko yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif,
akan dilakukan tes Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah
diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan
oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan
ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan
berikatan dengan protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24.
Kemudian ditambahkan antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG
manusia. Reaksi warna mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum
pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick adalah
tes lain yang menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV.
Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus
dikonfirmasi dengan tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus,
manakala polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini
dapat mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi
antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”.
HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah
salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran
HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama
setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak
tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain
(Swierzewski, 2010).
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang
mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan
dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau
lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau
lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi

9
Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut
ini dapat mengunakan:
a) Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya
AZT, ddl, ddC & 3TC).
b) Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse
transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat
esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel.
Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c) Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel
tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang
mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a) Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang
dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa
hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian
pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi
50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan
sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan
Lamivudine (3TC).
b) Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.

10
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa
satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi
tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa
obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling
kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV
sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi
occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP,
maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang
yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk
memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk
mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk
PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah
memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari
PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah
terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai
sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan
bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya
pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses
terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif
100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan
mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang
terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti
HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset
AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi,
tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan

11
secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks,
2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.
2.8 DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d kerusakan ginjal progresif dan
irreversibel.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual dan muntah,
pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut.
3. Resiko infeksi b.d imunodefisiensi.
4. Intoleransi aktivitas b.d keadaan mudah letih, kelemahan, malnutrisi,
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi.
6. Kecemasan b.d proses perkembangan penyakit
2.9 INTERVENSI
N TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
O KRITERIA HASIL
DX
I Setelah dilakukan tindakan 1. BHSP 1. Menciptakan hubungan
keperawatan … x24 jam 2. Kaji tingkat nyeri dengan saling percaya antara
maka diharapkan rasa menggunakan skala 0-5, pasien dan perawat.
nyeri dapat teratasi, karakteristik, lokasi serta 2. Identifikasi karakteristik
dengan kriteria hasil: faktor yang memperburuk/ nyeri dan faktor yang
 Tidak ada keluhan meringankan. berhubungan.
nyeri. 3. Observasi TTV. 3. Indicator atau derajat
 Klien rileks dan 4. Anjurkan klien teknik nyeri yang tidak
tenang. relaksasi dan distraksi. langsung dialami serta
 TTV dalam batas 5. Kolaborasi dengan dokter dapat membantu
normal. dalam pemberian analgesik. mengevaluasi
pernyataan verbal dan

12
keefektifan intervensi.
4. Relaksasi dapat
menurunkan ketegangan
otot-otot sehingga dapat
mengurangi nyeri dan
ditraksi dapat
mengalihkan perhatian
terhadap nyeri.
5. Analgesic dapat
menghambat,
mengurangi impuls nyeri
(cortex cerebri) yang
menekan system syaraf
thalamus.
II Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji keluhan mual muntah 1. Untuk pemberian nutrisi
keperawatan … x24 jam dan tidak nafsu makan dari yang optimal meskipun
kebutuhan nutrisi pasien. kehilangan nafsu makan.
terpenuhi, dengan kriteria 2. Beri makanan yang mudah 2. Mempermudah proses
hasil: dikonsumsi oleh pasien. menelan dan
 Nafsu makan 3. Anjurkan pasien makan meningkatkan kerja
bertambah dan porsi dengan porsi kecil namun lambung.
makan habis. sering. 3. Intake nutrisi agar
 Pasien dapat mencerna 4. Catat jumlah porsi yang optimal.
makanan dengan baik dihabiskan. 4. Mengetahui jumlah
dan tidak ada 5. Kolaborasi dengan ahli makanan yang
anoreksia. gizi. dihabiskan pasien.
 BB pasien naik. 6. Timbang BB sesuai 5. Pemberian diit makanan
kebutuhan. Evaluasi BB yang sesuai.
dalam hal adanya BB yang 6. Indicator kebutuhan
tidak sesuai. Gunakan nutrisi/ pemasukan yang
serangkaian pengukuran adekuat. Catatan: karena
BB dan antropometrik. adanya penekanan
system imun maka

13
beberapa tes darah yang
umumnya digunakan
untuk menguji status
nutrisi menjadi tidak
berguna.

III Setelah diberikan asuhan 1. Monitor tanda-tanda 1. Untuk pengobatan dini


keperawatan selama … x infeksi. mencegah pasien
24 jam diharapkan pasien 2. Gunakan teknik aseptic terpapar oleh kuman
dapat terhindar dari risiko pada setiap tindakan pathogen yang diperoleh
infeksi, dengan kriteria invasive. Cuci tangan dari ruah sakit.
hasil: sebelum memberikan 2. Memutus rantai infeksi
tindakan. bakteri.

 Paien bebas dari tanda 3. Ajarkan pasien dan 3. Untuk mencegah infeksi

dan gejala infeksi. keluarga cara mencuci bakteri.

 Menunjukkan tangan dengan benar. 4. Dilakukan untuk

kemampuan untuk 4. Periksa kultur/ sensitivitas mengidentifikasi

mencegah timbulnya lesi, darah, urine dan penyebab demam,

infeksi. sputum. diagnose infeksi


5. Kolaborasi dengan dokter organisme, atau untuk
dalam pemberian antibiotic menentukan metode
antijamur/ agen mikroba, perawatan yang sesuai.
missal: trimetropin 5. Menghambat proses
(bactrim, septra), nistatin infeksi. Obat-obatan
(mycostatin), ketokonazol, lainnya ditargetkan
pentamidin atau untuk meningkatkan
AZT/retrovir. fungsi imun. Meskipun
6. Pantau suhu tubuh, catat tidak ada obat yang
adanya menggigil dan tepat, zat seperti AZT
takikardia dengan atau ditujukan untuk
tanpa demam. menghalangi enzim
yang memungkinkan
virus memasuki material

14
genetic sel T4 sehingga
dapat memperlambat
perkembangan penyakit.
6. Adanya proses
inflamasi/ infeksi
membutuhkan evaluasi/
pengobatan.
IV Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat ketergantungan 1. Sebagai dasar untuk
keperawatan … x24 jam pasien. memberikan latihan
masalah intoleransi 2. Bantu pasien dalam gerak pasien.
aktiviats teratasi, dengan memilih aktifitas sesuai 2. Membantu memilih
kriteria hasil: dengan kemampuannya. latihan gerak sesuai
 Pasien dapat 3. Bantu pasien dalam kemampuan pasien.
melakukan aktifitas pemenuhan kebutuhan 3. Membantu memenuhi
secara bertahap. ADL. kebutuhan ADL pasien.
 Pasien dapat 4. Observasi TTV. 4. Mengetahui keaadan
beraktifitas tanpa 5. Tingkatkan tirah baring/ umum pasien.
bantuan orang lain. duduk. Ciptakan 5. Meningkatkan istirahat
 Tanda-tanda vital lingkungan yang tenang, dan ketenangan.
dalam keadaan batasi pengunjung sesuai Menyediakan energi
normal. keperluan. yang digunakan untuk
penyembuhan.
V Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi dengan inspeksi 1. Menandakan area
keperawatan … x24 jam kulit terhadap perubahan sirkulasi buruk/
masalah kerusakan warna turgor vascular. kerusakan yang dapat
integritas kulit teratasi, 2. Pantau masukan cairan dan menimbulkan
dengan kriteria hasil: hidrasi kulit dan membrane pembentukan infeksi.
 Perfusi jaringan mukosa. 2. Mendeteksi adanya
normal 3. Anjurkan untuk melakukan dehidrasi/ hidrasi
 Tidak ada tanda ROM (range of motion) berlebihan yang
infeksi. dan mobilisasi jika mempengaruhi sirkulasi
mungkin. dan integritas jaringan
4. Rubah posisi tiap 2 jam. pada tingkat seluler.

15
5. Jaga kebersihan kulit dan 3. Meningkatkan aliran
seminimal mungkin hindari darah kesemua daerah.
trauma, panas terhadap 4. Menghindari tekanan
kulit. dan meningkatkan aliran
6. Berikan perawatan kulit. darah.
Berikan salep atau krim. 5. Mempertahankan
keutuhan kulit.
6. Lotion dan salep
mungkin diinginkan
untuk menghilangkan
kering, robekan kulit.
VI Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan lingkungan yang 1. Menurunkan stimulasi
keperawatan … x24 jam nyaman. yang berlebihan dapat
pasien tidak merasa cemas, 2. Catat derajat ansietas. mengurangi kecemasan.
dengan kriteria hasil: 3. Libatkan keluaraga dalam 2. Pemahaman bahwa
 Klien mampu proses keperawatan. perasaan normal dapat
mengungkapkan 4. Diskusikan mengenai membantu klien
ketakutan/ kemungkinan kemajuan meningkatkan beberapa
kekuatirannya. dari fungsi gerak untuk perasaan control emosi.
 Respon pasien tampak mempertahankan harapan 3. Peran serta keluarga
tersenyum. klien dalam memenuhi sangat membantu
kebutuhan sehari-hari. dalam menentukan
5. Berikan support system koping.
(perawat, keluarga, atau 4. Menunjukkan kepada
teman dekat dan klien bahwa dia dapat
pendekatan spiritual). berkomunikasi dengan
6. Reinforcement terhadap efektif tanpa
potensi dan sumber yang menggunakan alat
dimiliki berhubungan khusus, sehingga dapat
dengan penyakit, perawatan mengurangi rasa
dan tindakan. cemasnya.
5. Dukungan dari
beberapa orang yang

16
memiliki pengalaman
yang sama akan sangat
membantu klien.
6. Agar klien menyadari
sumber-sumber apa saja
yang ada disekitarnya
yang dapat mendukung
dia untuk
berkomunikasi.

3.1 ASKEP HIV-AIDS DENGAN KOMPLIKASI PENYAKIT GINJAL


A. Pengkajian
1. Data Demografi
Nama : Tn. A
Umur : 39 tahun
Diagnosa Medik : HIV-AIDS
Tanggal masuk : 17 Maret 2019
Alamat : Bono , Tulungagung
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan: Duda
Pendidikan : SMA
2. Riwayat Kesehatan Klien
a. Alasan Masuk Rumah Sakit:
Px mengeluh demam, merasa capek, mudah lelah, letih, lesu, flue,
pusing, diare, dan nyeri pinggang. Px juga mengalami BB yang
menurun drastis dari 62 kg menjadi 56 kg.
b. Keluhan Utama:
Nyeri pinggang.
c. Riwayat Penyakit Sekarang:

17
Px mengeluh nyeri seperti ditusuk-tusuk di pinggang sebelah kiri,
skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul agak mereda apa bila
diistirahatkan.
d. Riwayat Kesehatan yang Lalu:
Px mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang dialaminya
saat ini.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Keluarga Px tidak ada yang mengalami penyakit yang sedang
diderita Px saat ini.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas/ Istirahat
1) Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap
aktivitas biasanya, progresi kelelahan/ malaise. Perubahan pola
tidur.
2) Tanda : kelelahan otot, menurunnya masa otot. Respon
fisiologi terhadap aktivitas seperti perubahan dalam TD,
frekuensi jantung, pernafasan, dan nadi.
b. Integritas Ego
1) Gejala : faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan
(keluarga, pekerjaan, gaya hidup, dll), mengkuatirkan
penampilan (menurunnya BB), mengingkari diagnosa, merasa
tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa bersalah, dan
depresi.
2) Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri,
perilaku marah, menangis, kontak mata yang kurang.
c. Eliminasi
1) Gejala : diare yang intermiten, terus menerus, sering atau
tanpa disertai kram abdominal. Nyeri pinggang, rasa terbakar
saat miksi.
2) Tanda : fases encer atau tanpa disertai mucus atau darah.
Diare pekat yang sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses

18
rectal, perianal. Perubahan dalam jumlah, warna, dan
karakteristik urine.
d. Makanan/ Cairan
1) Gejala : tidak nafsu makan, perubahan dalam mengenali
makanan, mual/ muntah. Disfagia, nyeri retrosternal saat
menelan, penurunan BB yang progresif.
2) Tanda : penurunan BB, dapat menunjukkan adanya bising
usus yang hiperaktif, turgor kulit buruk, lesi pada rongga
mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna, edema.
e. Hygiene
1) Tanda : menunjukkan penampilan yang tidak rapi.
Kekurangan dalam banyak atau semua perawatan diri, aktivitas
perawatan diri.
f. Neurosensori
1) Gejala : pusing/ pening, sakit kepala. Perubahan status
mental, kehilangan ketajaman/ kemampuan diri untuk
mengawasi masalah, tidak mampu mengingat/ konsentrasi
menurun, kelemahan otot, tremor, dan perubahan ketajaman
penglihatan. Kebas, kesemutan pada ekstremitas (kaki
menunjukkan perubahan paling awal).
2) Tanda : perubahan status mental, dengan rentang antara
kacau mental sampai dimensia, lupa konsentrasi buruk, tingkat
kesadaran menurun, apatis, retardasi psikomotor/ respon
lambat. Ide paranoid, ansietas yang berkembang bebas, harapan
yang tidak realistis. Timbul reflek tidak normal, menurunnya
kekuatan otot, dan gaya berjalan ataksia, tremor pada motorik
kasar/ halus, menurunyya motorik fokalis. Hemoragi retina dan
eksudat.
g. Nyeri/ Kenyamanan
1) Gejala : nyeri umum/ local, nyeri bagian pinggang, sakit,
rasa terbakar pada kaki. Sakit kepala, nyeri dada pleuritis.

19
2) Tanda : pembengkakan pada sendi, nyeri pada kelenjar,
nyeri tekan. Penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan/
pincang, gerak otot melindungi yang sakit.
h. Pernafasan
1) Gejala : ISK sering, menetap, nafas pendek yang progresif.
Batuk (mulai dari sedang sampai parah), produktif/ non-
produktif sputum. Bendungan atau sesak pada dada.
2) Tanda : takipneu, disters pernafasan. Perubhan bunyi
nafas/ bunyi nafas adventius. Sputum: kuning.
i. Interaksi Sosial
1) Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis
misalnya: kehilangan kerabat/ orang terdekat, teman
pendukung. Rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang
lain, takut akan penolakan/ kehilangan pendapat. Isolasi,
kesepian, teman dekat atau pasangan yang meninggal karena
AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
2) Tanda : perubahan pada interaksi keluarga/ orang terdekat,
aktivitas yang tidak terirganisasi.
4. Hasil Laboratorium
a. Jumlah limfosit CD4 100, yang normal berkisar antara 500 dan
1.600.
b. LISA (+).
c. Western Blot (+).
B. Analisa Data

KELOMPOK DATA ETIOLOGI MASALAH


KEPERAWATAN
DS: Virus HIV Gangguan rasa
Px mengatakan nyeri seperti ↓ nyaman nyeri
ditusuk-tusuk di pinggang Merusak seluler
sebelah kiri, nyeri hilang ↓
timbul agak mereda apa bila Invasi kuman pathogen →
organ target

20
diistirahatkan. ↓
DO: Fungsi ginjal ↓

- k/u lemas, lesu, pucat &
Kerusakan ginjal progresif
tidak segar. dan irreversibel
- TTV: ↓
TD : 130/80 mmHg Nyeri
N : 80x/ menit
S : 39 oC
RR : 26x/ menit
- Px tampak meringis
menahan nyeri.
- Skala nyeri 4.
- Saat dipalpasi dan
diperkusi daerah
pinggang kiri terasa
nyeri.
DS: Virus HIV Nutrisi kurang dari
Px mengatakan capek, ↓ kebutuhan tubuh
mudah lelah, letih, lesu, dan Merusak seluler
tidak nafsu makan. ↓
DO: Invasi kuman pathogen →
organ target
- TTV: ↓
TD : 130/80 mmHg Gastrointestinal
N : 80x/ menit ↓
o
S : 39 C Anoreksia
RR : 26x/ menit ↓
- Px tampak lesu, pucat & Intake menurun
tidak segar. ↓
- BB Px turun drastic dari Nutrisi kurang dari
62 kg menjadi 56 kg. kebutuhan tubuh
- Px tampak sering BAB/
diare dan anoreksia.
DS: Virus HIV Resiko infeksi

21
Px mengatakan mudah ↓
sakit-sakitan, demam, Merusak seluler
gampang terserang flu, ↓
pusing, sakit kepala, merasa Menyerang T limfosit, sel
saraf, makrofag, monosit,
terbakar pada kaki, nyeri limfosit B
dada pleuritis, nyeri di ↓

pinggang, dan berkeringat ↓ system kekebalan



pada malam hari.
Invasi kuman pathogen →
DO:
organ target
- TTV:

TD : 130/80 mmHg
Resiko infeksi
N : 80x/ menit
S : 39 oC
RR : 26x/ menit
- Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan sel-T CD4
(+) = 100 sel/mm3.
- Px mengalami
Takikardia.
- Px mengalami nyeri
pinggang dan abdomen.

C. Diagnosa
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d kerusakan ginjal progresif dan
irreversibel.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual dan muntah,
pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut.
3. Resiko infeksi b.d imunodefisiensi.

22

Anda mungkin juga menyukai