Anda di halaman 1dari 9

NAMA : FATUR YUDHISTIRA

NIM : 1403617097
KELAS : PENDIDIKAN SEJARAH 2017 B
MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN

Cebong VS Kampret Sebelum dan Sesudah Pilpres 2019

Sebuah negara-bangsa (nation state) selalu dihadapkan pada upaya


bagaimana menyatukan keanekaragaman orang-orang yang ada di
dalamnya agar memiliki rasa persatuan,kehendak untuk bersatu dan
secara bersama bersedia membangun kesejahteraan untuk bangsa yang
bersangkutan. Oleh karena itu, bagaimana mungkin suatu negara negara
bisa membangun, jika orang-orang yang ada didalam negara tersebut
tidak mau bersatu, tidak memiliki perasaan sebagai satu kesatuan dan
tidak bersedia mengikatkan diri sebagai satu bangsa. Suatu negara-bangsa
membutuhkan persatuan untuk bangsanya yang dinamakan integrasi
nasional. Dapat dikatakan bahwa sebuah negara-bangsa yang mampu
membangun integrasi nasionalnya akan memperkokoh rasa persatuan dan
kesatuan bangsa-bangsa yang ada didalamnya. Integrasi nasional
merupakan salah satu tolok ukur persatuan dan kesatuan bangsa1.

Secara Etimologi Integrasi Nasional memiliki dua kata Integrasi dan


Nasional. Integrasi yang berasal dari bahasa latin interger yang berarti
utuh atau menyeluruh. Nation artinya bangsa sebagai bentuk persekutuan
dari orang-orang yang berbeda latar belakangnya, berada dalam suatu
wilayah dan di bawah suatu kekuasaan politik2.
Integrasi bangsa adalah proses penyatuanbebagai kelompok sosial
budaya dalam satu kesatuan wilayah dan dalam suatu identitas nasional,
1
Kemenristekdikti, Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum “PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN” hlm.53.
2
Ibid., hlm. 55
Integrasi bangsa berarti penggabungan unsur-unsur yang berbeda menjadi
satu kesatuan yang utuh. Kelompok budaya itu saling dihubungkan lebih
erat. Arah kecenderungan yang akan terjadi bersumber dari masyarakat
kecil menjadi masyarakat besar3.

Dalam kasus ini penulis melihat fenomena yang terjadi saat


penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2019 yang dimana terjadi
pembentukan sebuah 2 kubu politik yang bersebrangan yang ditentukan
oleh pilihan calon presiden. Penulis akan mecoba membedah kasus ini
secara runtun dimulai dari perkembangan awal mula kasus ini hingga
pasca kasus ini, yang dimana kasus ini sempat menjadi jalan untuk
disintegrasinya bangsa, dan disinilah sebuah integrasi bangsa sangat
penting karena tanpa integrasi sebuah bangsa tidak akan menjadi bangsa
yang maju.

Penulis mengambil sumber berdasarkan kumpulan artikel dan jurnal


yang penulis anggap kredibel dan terpercaya.

Pemilu 2019 sudah berakhir dan hasil hitung cepat dari mayoritas


lembaga survei menunjukkan petahana Joko “Jokowi” Widodo dan
pasangannya Ma'ruf Amin akan memimpin Indonesia periode 2019-2024.
Namun pesaing Jokowi, Prabowo Subianto, menolak hasil hitung cepat
ini. Prabowo mengklaim bahwa ia yang menang. Pertarungan wacana
kemenangan antara kedua kubu juga masif terjadi di ranah media sosial
melalui tagar #JokoWinElection versus #VictoryForPrabowo.
Dari preseden di atas, saya berargumen bahwa polarisasi politik paska
pemilu 2019 akan semakin tajam sebagai akibat akumulasi dari strategi
kampanye yang dilakukan kedua kubu sejak pemilihan presiden (pilpres)
3
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik.hlm.66
pada tahun 2014. Polarisasi politik antara pendukung Jokowi dan
Prabowo akan semakin tajam karena pilpres 2019 merupakan kelanjutan
pertarungan kedua kubu pada pilpres 2014 yang tampaknya belum
selesai.
Penyebutan Istilah Cebong bagi Pendukung Jokowi dan Kampret bagi
Pendukung Prabowo berawal dari Pilpres 2014 dimana sebelum menjadi
Kandidat Calon Presiden atau saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Beliau
suka memelihara Kodok itulah yang menjadi bahan olok oposisi dimana
Jokowi sebagai Kodok, sedangkan para pendukungnya dimanakan
Kecebong yang disebut Cebong yaitu anak anak Kodok (*maksudnya
anak anak Pendukung Jokowi). sedangkan Kampret berawal dari Koalisi
Partai pendukung Prabowo Subianto di 2014 yang menamakan diri
sebagai Koalisi Merah Putih yang disingkat KMP, lalu digunakan
menjadi bahan olok oleh pendukung jokowi dengan tambahan kata “pret”
dimana kata pret ini dianggap sebagai janji kampanye kubu Prabowo
yang mengada ada terkesan bualan. Jadilah kata “KMPret” yang dianggap
Binatang Kampret atau sebutan bagi anak Kelelawar dalam bahasa Jawa4.
Pengamat politik Indonesia dari Australian National University
Marcus Meitzner (2017) menggambarkan pemilihan presiden (pilpres)
2014 sebagai pertarungan antara dua kelompok politik di Indonesia,
Pendukung Jokowi mewakili kelompok yang disebut Meitzner sebagai
kelompok teknokrat yang populis. Mereka merupakan varian dari gerakan
populisme modern yang menggunakan persona individu untuk
memobilisasi massa. Sebelum berkarir di politik, Jokowi adalah seorang
pengusaha mebel dari Solo, Jawa Tengah. Dia memulai karir politiknya
ketika menang menjadi walikota Solo tahun 2005 dengan dukungan
partai politik. Karirnya melesat dan dia dipilih menjadi gubernur DKI
Jakarta tahun 2012 sebelum akhirnya mencalonkan diri sebagai presiden
4
https://www.tagar.id/sejarah-cebong-kampret-dalam-politik-indonesia
tahun 2014. Kelompok ini merespons positif citra Jokowi sebagai
politikus generasi baru yang merupakan produk reformasi dan bukan
bagian dari patron elite masa lalu. Mereka mengapresiasi pendekatan
politik Jokowi yang moderat dan inklusif yang bersandar pada reformasi.
Berseberangan dengan kubu Jokowi adalah kelompok ultra nasionalis
yang populis. Mereka mewakili pendukung Prabowo yang suka dengan
pendekatan jagoannya yang pro rakyat miskin, anti “status quo”, dan anti
Barat. Mereka juga mendukung tiga agenda utama gerakan populis yang
diadopsi Prabowo. Ketiga agenda itu adalah mengganti sistem politik
yang sudah rusak, menolak campur tangan pihak luar dalam
perekonomian dan pengelolaan kekayaan alam, dan mengganti elite
politik korup yang adalah antek asing. Strategi ini terbukti efektif di
beberapa negara. Keberhasilan metode bisa dilihat lewat keberhasilan 
Hugo Chavez di Venezuela, Rodrigo Duterte di Filipina dan  Donald
Trump di Amerika Serikat5.
Pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada pilpres 2019 dan
semakin diperparah dengan beberapa faktor: Perselisihan antara kedua
kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif. Partai-partai
oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik Kebijakan
pemerintahan Jokowi .
Berbagai isu sosial, ekonomi dan politik yang muncul dalam ranah publik
atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog
publik. Misalnya isu pembangunan jalan tol di Jawa menjadi isu partisan
antara kedua kelompok. Perdebatan antara “tol milik Jokowi” dan “rakyat
tidak makan infrastruktur” tidak bisa dihindari tanpa ada diskusi
substantif terkait isu yang lain seperti tarif dan penggunaan fasilitas jalan
tersebut.
5
http://theconversation.com/cebong-versus-kampret-polarisasi-politik-pascapilpres-2019-semakin-tajam-
115477
Politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (pilkada)
seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur
Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu
Prabowo.
Para ahli berpendapat kemenangan Anies disebabkan penggunaan
politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu
agama sebagai senjata terbukti ampuh untuk meraih kemenangan.
Dengan ketiga kondisi di atas, maka polarisasi politik paska pilpres 2019
menjadi semakin tajam karena kontes politik melibatkan dua kandidat
yang sama dengan kondisi publik yang sudah partisan. Sikap Prabowo
yang mengklaim kemenangan pilpres 2019 akan semakin mempertajam
perpecahan di kalangan publik sama seperti yang dilakukannya pada
pilpres 2014.
Belajar dari kemenangan Anies, Jokowi tampaknya mengadopsi
pendekatan kelompok Prabowo yang menggunakan isu agama. Ini
alasannya kenapa Jokowi kemudian memilih tokoh Islam konservatif
Ma'ruf Amin sebagai wakil presidennya.
Meski kedua kelompok baik Jokowi dan Prabowo akhirnya sama-
sama menggunakan isu Islam, hal ini tetap tidak meredakan polarisasi
yang ada antara kedua kelompok.
Setelah Jokowi memilih Ma'ruf, pendukung Prabowo menuding
Jokowi mempolitisasi isu SARA (Suku, Agama, dan Ras) untuk
kepentingan politiknya.
Jika kelompok Prabowo sering sekali mengkapitalisasi isu agama
melalui gerakan massif, seperti Gerakan 212 dan Munajat 212, maka
Jokowi, sejauh ini, tampaknya enggan memobilisasi massa atas nama
agama.
Tidak adanya gerakan tandingan massa dari Jokowi yang
mengatasnamakan Islam membuat fanatisme kubu Prabowo semakin
mengerucut dan mempertajam politik identitasi.
Langkah yang ditempuh kubu Prabowo saat ini dengan mengklaim
kemenangan pilpres tanpa didukung hasil pemilu, dapat mencederai
proses demokrasi dan mempertajam perbedaan. Lini masa sosial media
memperlihatkan militansi dukungan terhadap Prabowo tetap yakin
dirinya menang terus menguat. Hal ini akan menyebabkan bukan hanya
polarisasi politik, tetapi bisa berujung kepada segregasi sosial dan
perpecahan anak bangsa. Apabila terjadi segregasi sosial akan sangat
mudah negara menjadi terpecah atas dasar perbedaan ideologi atau
pilihan politik.
Kasus perpecahan bangsa setelah pemilihan umum (pemilu) pernah
terjadi di Kenya tahun 2007. Persaingan antara dua kandidat calon
presiden, berujung dengan 630.000 orang kehilangan tempat tinggal dan
1.133 terbunuh. Untuk mencegah kasus seperti di Kenya, kita harus
memperbaiki kondisi politik saat ini dengan menggunakan pendekatan
dari atas ke bawah6.
Hal ini bisa dilakukan melalui rekonsiliasi oleh kedua kandidat dan
elite politik pendukungnya saat ini. Salah satunya bisa dilakukan dengan
menempatkan persatuan bangsa di atas kepentingan politik golongan.
Pernyataan kekalahan dari pihak Prabowo dan elite pendukungnya bisa
menjadi permulaan. Kemudian dilanjutkan dengan Jokowi melakukan
pidato kemenangan. Kedua hal ini bisa menjadi tradisi baru dalam
demokrasi untuk meredakan ketegangan di kalangan akar rumput. Sikap
kenegarawanan dari kedua kandidat untuk sama-sama mengakui hasil
pemilihan tanpa menempuh proses hukum dapat menjadi angin segar
untuk mengakhiri polarisasi politik yang terjadi sejak 2014.

Upaya untuk mengakhiri ketegangan di masyarakat akibat Pemilihan


6
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/08/100804_kenyavote
Presiden atau Pilpres 2019 terus dilakukan. Dua calon presiden yang
bersaing dalam Pilpres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto,
kemudian melakukan pertemuan pada Sabtu (13/7/2019) untuk
mengakhiri ketegangan tersebut. Saat melakukan konferensi pers di
Stasiun MRT Senayan, Jakarta, baik Jokowi dan Prabowo meminta
pendukungnya untuk mengakhiri rivalitas itu. Bahkan, secara khusus
Jokowi dan Prabowo berharap tidak ada lagi istilah " cebong" dan
" kampret" yang selama tahun politik 2018 dan 2019 begitu bergema di
masyarakat.
Jokowi menegaskan sikapnya saat melakukan konferensi pers
bersama Prabowo di Stasiun MRT Senayan, Jakarta. Mantan Gubernur
DKI Jakarta berharap tidak ada lagi pendukung calon presiden setelah
Pilpres 2019 berakhir "Tidak ada lagi yang namanya 01. Tidak ada lagi
yang namanya 02," ujar Jokowi. Saat mendengar itu, Prabowo yang
berada di sampingnya pun bertepuk tangan. Kekompakan Jokowi dan
Prabowo kembali berlanjut saat Jokowi menyinggung soal cebong dan
kampret.
"Tidak ada lagi yang namanya cebong. Tidak ada lagi yang namanya
kampret. Yang ada adalah Garuda Pancasila" ucap Jokowi. Saat berbicara
dalam konferensi pers itu, Prabowo pun menyatakan hal senada. Ketua
Umum Partai Gerindra ini berharap polarisasi di masyarakat ini segera
berakhir.
"Sudahlah, enggak ada lagi cebong-cebong, Enggak ada lagi kampret-
kampret," ucap Prabowo. Mantan Danjen Kopassus dan Panglima
Kostrad ini kembali menegaskan sikapnya. "Semuanya sekarang Merah
Putih".

Pernyataan itu disambut tepuk tangan dan sorak sorai meriah oleh warga
yang kebetulan sedang berada di stasiun MRT itu.
Dengan pertemuan di Stasiun MRT tersebut maka selesailah
permasalahan Cebong VS Kampret. Dalam kasus ini Penulis ingin agar
Nilai Nilai Integritas bangsa harus selalu dijaga karena dalam istilah nya,
tak ada yang abadi dalam dunia politik yang ada hanya kepentingan.
Yang harus abadi adalah semangat kuta untuk menjaga utuhnya bangsa
ini dan jangan sampai kita terpecah belah.
i
http://theconversation.com/cebong-versus-kampret-polarisasi-politik-pascapilpres-2019-semakin-tajam-115477

DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenristekdikti, Buku bahan ajar Kuliah “Kewarganegaraan“ pdf
2. Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke IV
4. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180709153148-32-312746/cebong-
dan-kampret-sinisme-dua-kubu-nihil-gagasan
5. https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-47653910
6. http://theconversation.com/cebong-versus-kampret-polarisasi-politik-
pascapilpres-2019-semakin-tajam-115477
7. https://www.kompasiana.com/irsyadulumam/5cadf6e0cc5283590761f7f2/semingg
u-jelang-pilpres?page=2
8. https://www.tagar.id/sejarah-cebong-kampret-dalam-politik-indonesia
9. https://nasional.kompas.com/read/2019/07/14/08241871/berbagai-upaya-akhiri-
cebong-dan-kampret-seruan-jokowi-prabowo-hingga-ridwan?page=3
10. https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/08/100804_kenyavote

Anda mungkin juga menyukai