Anda di halaman 1dari 7

Pemberdayaan stakeholder

A. Pengertian Stakeholder Pendidikan


Stakeholder pada awalnya digunakan dalam dunia usaha, istilah ini berasal dari bahasa
inggris terdiri atas dua kata ; stake dan holder. Stake berarti to give support
to /  pancang , holder  berarti pemegang. Jadi stakeholder adalah siapapun yang memiliki
kepentingan dari sebuah usaha. Stakeholder berfungsi sebagai “tokoh kunci” atau “key person”
dan merupakan orang yang menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya, dalam dunia pendidikan
misalnnya seperti : Kepala sekolah, pendidik, pemerintah, masyarakat, dll.
Kelembagaan yang dianjurkan dibentuk untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam
memajukan pendidikan, menurut UU No 20 Tahun 2003, pasal 56 adalah berupa Dewan
Pendidikan, dan komite sekolah. Ketua dan anggota kedua lembaga tersebut dapat digolongkan
sebagai Stakeholder.
Freeman (1984) yang mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang
dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan
Biset (1998) secara singkat mendefenisikan stakeholder merupakan orang dengan suatu
kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder ini sering diidentifikasi dengan suatu
dasar tertentu sebagimana dikemukakan Freeman (1984), yaitu dari segi kekuatan dan
kepentingan relatif stakeholder terhadap issu, Grimble and Wellard (1996), dari segi posisi
penting dan pengaruh yang dimiliki mereka. Dipihak lain mengatakan bahwa stakeholder adalah
kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan
hidup organisasi. Stakeholders adalah Orang atau sekelompok orang yang memiliki kepentingan,
keterlibatan atau investasi dalam suatu organisasi.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa yang dapat berperan sebagai stakeholder dalam
implementasi pendidikan kebutuhan khusus/pendidikan inklusif berdasarkan uraian di atas
adalah: siswa, guru, orang tua, administrator, komite sekolah, profesional pendidikan,
profesional medis, LSM, yayasan pendidikan, organisasi penyandang cacat, universitas, badan
hukum, dan pemerintah.

B. Macam – macam Stakeholder


Pengelompokan Stakeholder ODA (1995) mengelompokkan stakeholder ke dalam tiga kategori
yaitu stakeholder primer, sekunder, dan stakeholder kunci. Sebagai gambaran pengelompokan tersebut
pada berbagai kebijakan, program, dan proyek pemerintah (publik). Pengelompokannya adalah sebagai
berikut:
a. Stakeholder primer, yaitu yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan,
program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan
keputusan. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: (1) masyarakat dan tokoh masyarakat:
masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat
dan yang akan terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari
proyek ini. (2) tokoh masyarakat: Anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu
sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat. (3) pihak manajer publik: lembaga/badan publik
yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan.
b. Stakeholder sekunder, adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung
terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (consern) dan keprihatinan
sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal
pemerintah. Yang termasuk stakeholder sekunder antara lain: (1) lembaga(Aparat) pemerintah dalam
suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggungjawab langsung; (2) lembaga pemerintah yang terkait
dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan; (3)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat: LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai dengan
rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki “concern” (termasuk organisasi massa yang
terkait); (4) Perguruan Tinggi: Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan
keputusan pemerintah; (5) Pengusaha (badan usaha) yang terkait.
c. Stakeholder Kunci, merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal
pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya,
legislatif, dan instansi. Misalnya, stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level
daerah kabupaten, yaitu pemerintah kabupaten, DPR kabupaten, dan dinas yang membawahi langsung
proyek yang bersangkutan.

C.      Komponen Stakeholder Dalam Pendidikan


Komponen stakeholder dalam pendidikan yaitu :
1.      Masyarakat lokal (ada anggapan pendidikan hanya tanggung jawab pemerintah, sehingga
desentralisasi pendidikan belum dimaknai oleh masyarakat sebagai pengembangan kemajuan
pendidikan). UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah mengilhami otonomi
pendidikan di daerah. Namun dalam tahun 2006 muncul apa yang kita kenal Ujian Nasional,
padahal konsep tersebut cenderung konsep penyeragaman budaya yang berbeda. Bukankah
pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang memberikan kebebasan bagi daerah untuk
menyesuaikan dengan perkembangan daerahnya serta apakah pengelolaan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia yang di daerah dapat disamaratakan kualitasnya. Fungsi pendidikan
kekinian adalah transisi iptek dan masyarakat masa depan yang menghargai kebhinekaan dan
keragaman pendapat.
2.      Orang tua (selalu beranggapan sekolah saja tempat pendidikan, sehingga kurang serius
memperhatikan kemajuan anak baik secara behavior maupun psikologis). Peserta didik lebih
cenderung terbentuk dari karakter proses kehidupan dalam keluarga, sekolah lebih cenderung
memberikan pengetahuan saja. Namun sangat disayangkan bahwa kondisi orangtua dalam
masyarakat Indonesia masih hidup terbelakang baik secara ekonomi maupun kesehatan (kurang
gizi), serta kerja yang serabutan, sehingga dapat kita bayangkan bagaimana generasi yang
dihasilkannya dalam rangka peningkatan pendidikan non-formal anak disamping pendidikan di
sekolah.
3.      Peserta didik (belum sepenuhnya peserta didik dari berbagai tingkatan yang tertampung,
sehingga berdampak pada jumlah anak putus sekolah karena biaya tinggi dan juga kurang
didukung oleh faktor pendekatan pisik (gizi) dan pendekatan psikis.
4.       Negara (dari segi material bahwa negara belum menempatkan pos khusus untuk pendidikan, dan
kesannya dana pendidikan disediakan secara tambal sulam, jelas kita akan mengetahui apa hasil
pendidikan dengan dana terbatas. Siap atau tidak siap, pendidikan di daerah memerlukan
perhatian serius terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya
manusia di daerah. Selanjutnya dana pendidikan 20% yang dianggarkan dalam APBN/APBD
masih sebatas wacana, kalaupun ada biaya murah atau gratis biaya pendidikan di daerah-daerah
tertentu, kesannya dipaksakan untuk populis saja bahkan untuk menarik simpati partai politik
pendukung saja bukan sebagai bentuk perencanaan pendidikan yang matang.
5.      Pengelola profesi pendidikan (cenderung menyelenggarakan pendidikan bukan motif
mencerdaskan tetapi profit oriented atau bisnis sehingga pendidikan terkesan mahal, sementara
pendidikan formal yang disediakan negara sangat terbatas menampung peserta didik).
Dikawatirkan olehNeils Postman seorang pemikir pendidikan dunia, akan terjadi apa yang
dinamakan teacher as as subversive activity. Untuk itu sekolah harus bisa menjadi alat kontrol
cita-cita kemajuan bangsa sesuai filsafat pendidikan dan arah kebijakan pembangunan nasional
yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 45.
Selain penjelasan diatas, ada yang membagi Stakeholder dalam Bidang Pendidikan 3
kategori utama, yaitu :
1.      Sekolah, termasuk di dalamnya adalah para guru, kepala sekolah, murid dan tata usaha sekolah.
2.      Pemerintah, diwakili oleh para pengawas, penilik, dinas pendidikan, walikota, sampai menteri
pendidikan nasional.
3.      Masyarakat, sedangkan masyarakat yang berkepentingan dengan pendidikan adalah orangtua
murid, pengamat dan ahli pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan atau badan
yang membutuhkan tenaga terdidik (DUDI), toko buku, kontraktor pembangunan sekolah,
penerbit buku, penyedia alat pendidikan, dan lain-lain.

siswa, administrator, profesional pendidikan, profesional medis, LSM, yayasan pendidikan, organisasi
penyandang cacat, universitas, badan hukum,.
D.      Peranan Stakeholder Dalam Pendidikan
Adapun beberapa Peranan stakeholder dalam pendidikan inklusif adalah sebagai berikut :
1.      Orang tua
Peranan orang tua antara lain:
a. Mendukung pelaksanaan belajar mengajar di sekolah.
b. Berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan kegiatan sekolah di berbagai komunitas.
c. Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan profesi yang dimiliki.
f.   Aktif bekerja sama dengan guru dalam proses pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus.
g. Aktif dalam memberikan ide/gagasan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran.
2.      Guru
Peranan guru antara lain:
a. Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu: orang tua atau wali tentang kemajuan
anak mereka dalam belajar dan berprestasi.
b. Bekerjasama dengan masyarakat untuk menjaring anak yang tidak bersekolah, mengajak dan
memasukkannya ke sekolah.
c. Menjelaskan manfaat dan tujuan sekolah kepada orang tua peserta didik.
d. Menjadi fasilitator bagi pembelajaran pada anak sehingga anak lebih interaktif dalam prosess
pembelajaran.
e.  Mengajak orang tua dan anggota masyarakat terlibat di kelas.
3.    Komite sekolah
Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan,
baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar
sekolah (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai:
a.    Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanan kebijakan pendidikan
di satuan pendidikan.
b.    Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c.    Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d.    Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas
nomor: 044/U/2002).
       Depdiknas dalam bukunya Partisipasi Masyarakat, menguraikan tujuh peranan Komite
Sekolah terhadap penyelenggaraan sekolah, yakni:
a.    Membantu meningkatkan kelancaran penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah baik
sarana, prasarana maupun teknis pendidikan.
b.    Melakukan pembinaan sikap dan perilaku siswa. Membantu usaha pemantapan sekolah dalam
mewujudkan pembinaan dan pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
pendidikan demokrasi sejak dini (kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan pendahuluan
bela negara, kewarganegaraan, berorganisasi, dan kepemimpinan), keterampilan dan
kewirausahaan, kesegaran jasmani dan berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta apresiasi seni
dan budaya.
c.    Mencari sumber pendanaan untuk membantu siswa yang tidak mampu.
d.    Melakukan penilaian sekolah untuk pengembangan pelaksanaan kurikulum, baik intra maupun
ekstrakurikuler dan pelaksanaan manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa,
dan karyawan.
e.    Memberikan penghargaan atas keberhasilan manajemen sekolah.
f.     Melakukan pembahasan tentang usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(RAPBS).
g.    Meminta sekolah agar mengadakan pertemuan untuk kepentingan tertentu (Depdiknas, 2001:17).
4.         Kepala sekolah
Peranan kepala sekolah antara lain:
a.    Mengatur hubungan sekolah dengan orang tua siswa.
b.    Memelihara hubungan baik dengan BP3.
c.    Memelihara dan mengembangkan hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga lain, baik
pemerintah maupun swasta.
d.    Memberi pengertian kepada masyarakat tentang fungsi sekolah melalui bermacam-macam media
komunikasi.
e.    Mencari dukungan dari masyarakat. Dukungan yang diperlukan meliputi
1)    Personil, seperti : tenaga ahli, konsultan, guru, orang tua, pengawas dan sebagainya
2)    Dana yang diperlukan untuk mendukung tersedianya fasilitas, perlengkapan dan bahan-bahan
pengajaran yang lain.
3) Dukungan berupa informasi, lembaga dan sikap politis.
f.     Memanfaatkan sumber-sumber daya yang diperoleh secara tepat, sehingga mampu
meningkatkan proses mengajar dan belajar.
5.    Peran Pemerintah
       Peran negara dalam dunia pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah didasarkan pada Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD). Dalam UUD 1945 hasil amandemen Pasal 31 ayat 1-4 disebutkan
bahwa :
a.         Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
b.        Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
c.         Pemerintah wajib menguasahakan dan menyelanggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
d.        Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Isi dari pasal ini adalah pengembangan dari UUD 1945 awal yang hanya terdiri dari dua pasal.
Hasil amandemen mengamanatkan untuk pemerintah agar menyelenggarakan pendidikan yang
berkarakter (akhlak mulia) lengkap dengan pembiayaannya, yaitu 20 APBN dan 20 APBD (I dan
II).
Nampaknya, pasal tentang pendidikan ini muncul terkait dengan kejadian pada masa penjajahan
yang mengalami diskriminasi dalam pendidkan. Anak-anak pribumi saat itu sangat sulit
mengakses pendidikan sebagaimana kaum priyayi dan warga Belanda. Kemudian direspon
dengan bunyi pasal tentang hak warga negara yang tanpa diskriminasi.
Pemerintah juga mengucurkan bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD, SMP, dan mulai
tahun ini (2013) kepada SMA. BOS ini diberikan kepada semua lembaga pendidikan baik negeri
maupun swasta.
Untuk kasus di pesantren, pemerintah memberikan BOS di pesantren yang menyelenggarakan
wajardikdas ula, wustho, paket C. Bantuan di luar itu masih bersifat insidental. Bisa jadi
dikarenakan standardisasi pesantren yang dianggap sulit oleh pemerintah.
Pada wilayah sertifikasi, antrian giliran guru di bawah kemenag untuk mendapatkan tunjangan
sertifkasi relatif lebih cepat dibanding dengan guru di bawah kemendikbud. Ini disebabkan
‘antrian’ di masing-masing kementerian yang tidak sama. Antrian di kemenag lebih pendek
dibanding di kemendikbud.
6.         Masyarakat usaha
Selain masyarakat sukarela, banyak juga masyarakat yang mempunyai tujuan mengambil
manfaat dari dunia pendidikan. Para penerbit buku, usaha kursus, penyedia alat pendidikan, dan
pengusaha-pengusaha lainnya. Kelompok ini juga perlu difasilitasi, bahkan jika perlu
dibangkitkan kesadarannya, bahwa selain sebagai lahan penghidupan, dunia pendidikan juga
memerlukan kesetiakawanan yang dapat memperbaiki kualitas maupun kuantitas pelayanan
pendidikan. Untuk itu, pendekatan usaha terhadap dunia pendidikan adalah bersifat mendukung,
tidak hanya sekedar memeras dan menjadikannya layaknya komoditas.

E.       Bentuk Kemitraan dengan Komite Sekolah, Dunia Usaha, dan Dunia Industri (DUPI) dan
Industri Lainnya
Bentuk kemitraan yang dapat dilakukan oleh tenaga kependidikan dengan stakeholder antara lain
berupa :
1.      Kerjasama dalam penggalangan dana pendidikan baik untuk kepentingan proses pembelajaran,
pengadaan bahan bacaan (buku), perbaikan mebeuler sekolah, alat administrasi sekolah,
rehabilitasi bengunan sekolah maupun peningkatan kualitas guru itu sendiri.
2.      Kerjasama penyelenggaraan kegiatan pada momen hari – hari besar nasional dan keagamaan.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195412071981121-
AHMAD_NAWAWI/Peran_serta_Masyarakat_dlm_Implementasi_Pend_Inklusif.pdf

(sumber: http://hmp-humas-usahid.blogspot.com/2008/09/).

Anda mungkin juga menyukai