Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ETIKA KEPADA ALLAH, RASULULLAH

DAN SESAMA MANUSIA

Disusun untuk memenuhi Tugas mata kuliah Agama & Etika Islam

Dosen Pengampu: Qoriah, MA

Disusun Oleh:

Iqbal Fauzi : 12218019

Muhammad Yusran Yunus : 12218022

Bagus Eko Febrianto : 12218042

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Agama dan Etika Islam Semester ke-2 tahun 2019/2020.

Berkat rahmat dan karunia-Nya, serta didorong kemauan yang keras disertai
kemampuan yang ada, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas
tentang ”Etika Kepada Allah, Rasulullah Dan Sesama Manusia” dalam mata kuliah
Pendidikan Agama Islam.

Makalah berisi tentang “akhlak”. Manusia yang hidup dalam bimbingan akhlak
akanmelahirkan suatu kesadaran untuk berprilaku yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan
Allah danRasulnya, serta akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. penulis
menyadari bahwamakalah ini masih jauh dari sempurna. Karena keterbatasan ilmu dan
pengetahuan penulis, makakritik dan saran yang membangun, sangat kami harapkan demi
kebaikan dimasa mendatang dansemoga bermanfaat bagi pembaca yang budiman dan
khususnya pembaca.

Bandung, 17 Maret 2020


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan
atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada
perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek
manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah
kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir,
jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana
memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan
yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti
nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.

Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat
ditawar, dia hadir seiring tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam
bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya sangat
tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang
dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan
mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain
sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang
manusia yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering
dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.

Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara komprehenship dan
seyogyanya harus diposisikan sebagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang lain.
Keberagamaan yang berbeda (defernsial) antara satu dengan yang lainnya merupakan
salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam itu lahir dengan pondasi
keimanan, syariat, muamalat dan ihsan. Keimanan adalah inti pemahaman manusia
tehadap sang pencipta. Syariat adalah jalan menuju penghambaan manusia kepada
tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan manusia memandang dirinya
dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan harmonis yang bermuara pada kesalehan
sosial.

Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan


manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah perbedaan
cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang
sudah dikatakan di atas sebagai fitrah mansia yang diberikan akan mengarakan kepada
kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam konteks ini adalah bagaimana manusia
memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan
dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori
“ihsan” yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri
akan melahirkan sebuah prilaku, yaitu moral atau etika.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini.
1. Bagaimana Etika kepada Allah, rasulullah, dan Manusia dengan baik.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah.
1. Untuk mengetahui Etika Etika kepada Allah, rasulullah, dan Manusia dengan baik.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etika kepada Allah SWT


Etika kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap
atau perbuatan itu memiliki cirri-ciri perbuatan etika sebagaimana telah disebut dalam
latar belakang tadi. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu
beretika kepada Allah SWT.

Pertama, karena Allah SWT –lah yang menciptakan manusia. Dia yang menciptakan
manusia dari air yang dikeluarkan dari tulang punggung dan tulang rusuk, hal ini
sebagaimana di firmankan Allah SWT dalam surat At-Thariq ayat 5-7, sebagai berikut :

ِ ‫ص ْل‬
ِ ِ‫ب َوالتَّ َرآئ‬
)۷( ‫ب‬ ًّ ‫) يَ ْخ ُر ُج ِم ْن بَي ِْن ال‬۶( ‫ق‬ َ ِ‫فَ ْالــيَ ْنظُ ِر اإْل ِ ْن َسانُ ِم َّم ُخل‬
َ ِ‫) ُخل‬۵( ‫ق‬
ٍ ِ‫ق ِم ْن َمآ ٍء دَاف‬

Artinya : “(5). Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?,
(6). Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar, (7). Yang terpancar dari tulang sulbi
(punggung) dan tulang dada”.

Kedua, karena Allah SWT –lah yang telah member perlengkapan panca indera,
berupa pendengaran, penglihatan, akal fikiran dan hati sanubari, disamping anggota
badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Firman Allah SWT dalam syrat An-
Nahl ayat 78 :

َ‫ْصــــــا َر َواأْل َ ْفئِــــــ َدة‬ َّ ‫ َو َج َعــــــ َل لَ ُك ُم‬, ‫خـــــــ َر َج ُك ْم ِم ْن بُطُــــــوْ ِن أُ َّمهَــــــاتِ ُك ْم الَ تَ ْعلَ ُمــــــوْ نَ َشــــــ ْيئًا‬
َ ‫الســــــ ْم َع َواأْل َب‬ ْ َ‫ َوهللاُ أ‬,
)۷۸( َ‫لَـ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬

Artinya : “(78). Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun dan DIa memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan
hati agar kamu bersyukur”.
Ketiga, karena Allah SWT –lah yang menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan lainnya. Firman Allah SWT dalam
surat Al-Jasiyah ayat 12-13 :

ْ َ‫ك فِيْـــــ ِه بِـــــأ َ ْم ِر ِه َولِتَ ْبتَ ُغـــــوْ ا ِم ْن ف‬


)۱۲( َ‫ضـــــلِ ِه َولَ َعلَّ ُك ْم ت َْشـــــ ُكرُوْ ن‬ ُ ‫ي ْالفُ ْلـــــ‬
َ ‫هللاُ الَّ ِذيْ َســـــ َّخ َر لَ ُك ُم ْالبَحْـــــ َر لِتَجْـــــ ِر‬
)۱۳( َ‫ إِ َّن فِى َذالِكَ آِل يَات لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬, ُ‫ض َج ِم ْيعًا ِم ْنه‬ ِ ْ‫ت َو َما فِى اأْل َر‬ ِ ‫َو َس َّخ َر لَ ُك ْم َما فِى ال َّس َما َوا‬

Artinya : “(12). Allah -lah yang menundukkan laut untuk mu agar kapal-kapal dapat
berlayar di atasnya dengan perintah-NYa, dan agar kamu bersyukur, (13). Dan Dia
menundukan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya
(sebagai rahmat) dari -Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir.

Keempat, Allah SWT –lah yang memuliakan manusia dengan diberikannya


kemampuan daratan dan lautan. Firman Allah SWT dalam surat Al-Israa’ ayat 70 :

ٍ ‫ضـــــ ْلنَاهُ ْم َعلَى َكثِب‬


‫ْـــــر ِم َّم ْن‬ ِ ‫َولَقَـــــ ْد َك َّر ْمنَـــــا بَنِ ْي أ َد َم َو َح َم ْلنَـــــاهُ ْم فِى ْالبَـــــ ِّر َو ْالبَحْـــــ ِر َو َر َز ْقنَـــــاهُ ْم ِمنَ الطَّيِّبَـــــا‬
َّ َ‫ت َوف‬
ِ ‫خَ لَ ْقنَا تَ ْف‬
) ٧٠( ً‫ض ْيال‬

Artinya : “(70). Dan sungguh, Kami telah muliakan anak-anak cucu Adam dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka di ats banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan
yang sempurna”.

Dari sedikit uraian diatas, kita memang benar perlu untuk beretika kepada Allah
SWT. Karena alasan-alasan di atas adalah tolak ukur yang tepat dan terdapat perintah
Allah SWT di dalamnya bahwa kita sebagai seorang muslim memang diharuskan untuk
beretika kepada Sang Pencipta. Berikut macam-macam etika kepada Allah:
1. Taat kepada perintah-Nya
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah
SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah –Nya., padahal Allah SWT –
lah yang telah memberikan segala-galanya pada dirinya. Allah SWT berfirman dala
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 65 :
۟ ‫ضيْتَ َويُ َسلِّ ُم‬ ۟ ‫ك فِيما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِجد‬
َ َ‫ُوا فِ ٓى أَنفُ ِس ِه ْم َح َرجًا ِّم َّما ق‬
‫وا تَ ْسلِي ًما‬ َ َ ‫فَاَل َو َربِّكَ اَل ي ُْؤ ِمنُونَ َحتَّ ٰى ي َُح ِّك ُمو‬

Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan
engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
(sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Kendati demikian, taat keada Allah SWT merupakan konsekwensi keimanan seorang
muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu
indikasi tidak adanya keimanan.

2. Amanah
Memiliki Rasa
Tanggung Jawab
Atas Amnanah
Yang Di
Embankan
Padanya
Etika kedua yang
harus dilakukan
seorang muslim
kepada Allah
SWT, adalah
memiliki rasa
tanggung jawab
terhadap amanah
yang diberikan
padanya. Karena
pada hakekatnya,
kehidupan ini-pun
merupakan
amanah dari Allah
SWT. Oleh
karenanya,
seorang mukmin
senantiasa
meyakini apapun
yang Allah SWT
berikan padanya,
maka itu
meruakan amanah
yang kelak akan
diminta
pertanggung
jawaban dari Allah
SWT. Dalam
sebuah hadits
Rasulullah SAW
bersabda.

“Setia kalian adalah peminpin, dan setiap kalian bertanggung jawab


terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang Amir (presiden/imam/ketua) atas
manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan
ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah
pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang
dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggujng jawab
atas aa yang dipimpinnya”. (HR. Muslim).

3. Ridho terhadap ketentuan Allah SWT.


Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT,
adala ridla terhadap segala ketentuan yang telah Allah SWT berikan pada dirinya.
Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun keluarga yang
kurang mampu, bentuk fisik yang Allah SWT berikan padanya, atau hal-hal lainnya.
Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin terhadap apaun yang
Allah SWT berikan padanya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan.
Rasulullah SAW bersabda :

“Sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah


dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia
tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa
musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi
dirinya.” (HR. Bukhari).

Apalagi terkadangsebagai seorang manusia, pengetahuan atau pendangan kita


terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik,
justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki nilai
kebaikan bagi diri kita.

4. Senantiasa Bertaubat Kepada-Nya


Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai
dan lupa. Karena hal ini merupakan sifat dan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika
kita kepada Allah SWT manakala kita sedang terjerumus kedalam “kelupaan”
sehingga berbuat kemaksiatan kepada –Nya adalah dengan segera bertaubat kepada
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :

“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunterhadap dosa-dosa
mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui”.

5. Merealisasikan Ibadah Kepada-Nya


Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang mulim terhadap
Allah SWT adalah merealisasikan ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang
bersifat mahdloh, ataupun ibadah yang ghairu mahdloh. Karena, pada hakekatnya
seluruh aktivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an
Allah SWT berfirman :

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku”.

Oleh karenanya, sebagai aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain
sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT.
Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdloh saja, seperti puasa, shalat,
haji dan lain sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan
pada saat ini adalah beraktifitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak
hukum Allah SWT di muka bumi ini. Sehingga islam menjadi pedoman hidup yang
direalisasikan oleh masyarakat islam pada khhususnya dan juga oleh masyarakat
dunia pada umumnya.

2.2 Etika Kepada Rasulullah SAW


Selain beretika kepada Allah SWT, kita juga sebagai umat muslim di haruskan untuk
beretika kepada Nabi SAW. Karena dari beliaulah kita banyak mendapatkan warisan yang
bisa kita warikan lagi turun-menurun ke anak cucu kita. Saat Rasulullah SAW wafat,
beliau meninggalkan dua warisan yang berharga, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Orang
yang berpegang teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Saat ini,
tidak sedikit orang yang melupakan, bahkan mematikan sunnah beliau. Tidak hanya itu,
mereka kemudian malah beralih pada tradisi dan adat istiadat yang justru tidak sesuai
dengan syari‘at.Berikut macam etika kepada Rasulullah SAW:
1. Menghidupkan Sunnah
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda yang menerangkan bahwa, kita
sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-sunah yang telah
beliau wariskan. “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-
sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala)
seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala
mereka sedikit pun.” (HR Ibnu Majah).

Jika terjadi perbedaan pendapat di antara kaum muslimin atau antara mereka
dengan Ulil Amri atau sesama Ulil Amri maka wajib baginya mengembalikan
persoalan itu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yaitu dgn merujuk kepada kitabullah
dan sunnah Rasul-Nya.

Jika benar-benar beriman seseorang hanya akan kembali kepada kitabullah dan
unnah Rasul-Nya dalam menyelesaikan segala perkara dan tidak akan berhukum
kepada selain keduanya. Jika tidak maka iman seseorang dapat diragukan dari
ketulusannya.
Jika seseorang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir ia akan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya karena ia mengimani benar bahwa Allah SWT
sesungguhnya Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang nampak maupun yang
tersembunyi. Iman kepada hari akhir akan membuat seseorang berpikir akan akibat
segala perbuatannya yg dilakukannya di dunia. Pada hari akhir seluruh amal anak
Adam akan dibalas, jika baik maka baik pula balasannya, namun jika buruk maka
buruk pula balasannya. Boleh jadi seseorang dapat menghindari hukuman di dunia
namun tidak akan dapat seseorang menghindar dari hukuman akhirat.

2. Mencintai Keluarga Nabi SAW


Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya aku tinggalkan dua
perkara yang besar untuk kalian, yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran) dan
yang kedua adalah Ithrati (Keturunan) Ahlulbaitku. Barangsiapa yang berpegang
teguh kepada keduanya, maka tidak akan tersesat selamanya hingga bertemu
denganku di telaga al-Haudh.” (HR. Muslim dalam Kitabnya Sahih juz. 2, Tirmidzi,
Ahmad, Thabrani dan dishahihkan oleh Nashiruddin Al-Albany dalam kitabnya
Silsilah Al-Hadits Al-Shahihah).

3. Ziarah
Kata ziarah berasal dari bahasa arab yaitu ziaroh, yang berarti masuk atau
mengunjungi. Yaitu kunjungan yang dilakukan oleh orang islam ketempat tertentu
yang dianggap memiliki nilai-nilai sejarah. Namun sering kali kata ziarah disebut oleh
kebanyakan orang adalah berkunjung ke makam dan dan mendoakannya sambil
mengingat akan diri sendiri dan mengambil pelajaran tentang kematian. Kegiatan
berziarah tersebut terbagi dua bagian, yakni beerziarah menurut syari’at dan berziarah
yang berbentuk bid’ah.

Pada awal sejarah islam, yang namanya ziarah itu diharamkan bagi laki-laki
maupun perempuan, dikarenakan hawatir akan goncangnya keimanan. Namun, ketika
aqidah umat islam sudah demikian mantapdan telah diketahui hukum berziarah serta
tujuannya, maka dibolehkan karena pula ada hadits yang membolehkannya. Madzhab
syafi’i berpendapat bahwa ziarah kubur hukumnya sunnah, sedangkan kaum wahabi
mengatakan bahwa ziarah kubur hukumnya mubah.

4. Melanjutkan Misi Rasulullah.


Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan menegakkan nilai-nilai Islam. Tugas
yang mulia ini harus dilanjutkan oleh kaum muslimin, karena Rasul telah wafat dan
Allah tidak akan mengutus lagi seorang Rasul. Meskipun demikian, menyampaikan
nilai-nilai harus dengan kehati-hatian agar kita tidak menyampaikan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada dari Rasulullah Saw. Keharusan kita melanjutkan misi Rasul ini
ditegaskan oleh Rasul Saw: Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, dan
berceritalah tentang Bani Israil tidak ada larangan. Barangsiapa berdusta atas (nama)
ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka
(HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Umar). Demikian beberapa hal yang
harus kita tunjukkan agar kita termasuk orang yang memiliki akhlak yang baik kepada
Nabi Muhammad Saw.

2.3 Etika kepada Manusia


Setelah mencermati kondisi realitas sosial tentunya tidak terlepas dari pembicaraan
menggenai masalah kehidupan (problem of life). Tentu kita mengetahui bahwa adalah
masalah dan tujuan hidup adalah mempertahankan hidup untuk kehidupan selanjutnya
dan salah satu jalan untuk mempertahankan hidup dengan mengatasi masalah hidup itu
sendiri. Kehidupan tidak pernah membatasi hak ataupun kemerdekaan seseorang untuk
bebas berekspresi, berkarya dan lain sebagainya dalam menjalani hidup ( Suseno, 1987:
30)

Sejatinya kehidupan adalah saling memiliki ketergantungan antara sesame manusia


dan dalam kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari aturan-aturan, baik yang bersumber
dari kesepakatan antara sesame maupun norma-norma agama, karena hanya dengan
norma hidup kita akan lebih jauh memahami akhlak natara sesame manusia dan makhluk
lainnya dalam mengarungi kehidupan.
Manusia tentu sajamerupakan hasil dari evolusi terkhir dan karena itu, sebagai
makhluk,manusia memiliki karakter atau sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh
hewan-hewan dan makhluk-makhluk yang lebih rendah dari manusia.Sekalipun hewan
dikatakan memiliki kesadaran dan nafsu, tapi kesadaran hewan tentang dunia fisik
hanyalah kesadaran indrawi, tidak bisa menjangkau ke kedalaman dan antarhubungan
batin benda-benda.Kesadaran indrawi hanyalah pada objek-objek yang bersifat individual
dan particular dan tidak bisa menjangkau yang bersifat universal dan general
(Kartanegara, 2007 :102)

Berbeda dengan kesadaran hewani, kesadaran manusia bisa menjangkau apa-apa yang
tidak bisa dijangkau oleh kesadaran hewani.Kesadaran manusia tidak tetap terpenjara
dalam batas lokal atau ruang, ia juga tidak terbelenggu pada waktu tertentu. Kesadaran
manusia justru bisa melakukan pengembaraan menembus ruang dan waktu.Namun selain
dari itu, yang benar-benar membedakan antara manusia dengan hewan adalah “ilmu dan
iman”.Inilah perbedan utama manusia dari hewan.Oleh karena itu, sains dan iman adalah
dua hal yang harus diperoleh dan dikembangkan oleh manusia untuk mengekspresikan
nilai-nilai kemanusiaannya (Mutahhari, 2008 :1)

Manusia menikmati kemuliaan dan keagungan yang khusus di antara makhluk-


makhluk lain dan memiliki peran khusus sebagai wakil Tuhan dan misi khusus sebagai
pengelola alam.Namun manusia (dengan kebebasan memilihnya) bertanggungjawab
terhadap evolusi dan pertumbuhan serta pendidikannya begitu pula dengan perbaikan
masyarakatnya. Alam semesta merupakan sekolah bagi manusia dan Tuhan akan
memberi pahala pada setiap diri manusia sesuai dengan niat baik dan usahanhya yang
tulus.

Sifat kebebasan yang dimiliki manusia sehingga ia menjadi makhluk moral yang bisa
diberi sifat baik dan buruk, tergantung perbuatan mana yang dipilihnya secara sadar.
Sebagai makhluk moral senantiasa berinteraksi untuk mencapai kebahagian sebagai
tujuan puncak dari etika, karena tak seorang pun yang tidak mau menggapai kebahagiaan
dan bahwa etika adalah ilmu yang menunjukkan jalan kebahagiaan (Mutahhari, 1998:
195)
Bagaimanakah etika bisa membawa kebahagiaan, padahal etika berkaitan dengan baik
dan buruk, benar dan salah? Etika ingin agar manusia menjadi baik, karena hanya dengan
menjadi baik maka seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya adalah bahwa orang yang
baik adalah orang yang sehat mentalnya dan orang yang sehat mentalnya akan mampu
mengecap berbagai macam kebahagiaan rohani, sebagaimana orang yang sehat fisiknya
bisa mengecap segala macam kesenangan jasmaninya. Misalnya ketika seseorang terkena
penyakit flu dan sejenisnya, kita terkadang mengalami “mati rasa” ketikatidak bisa
membedakan rasa manis, asin atau pahit. Ini terjadi ketika fisisk kita sakit, namun jika
fisik kita sehat, kita bukan saja mampu membedakan aneka rasa, tapi juga dapat
mengenali perbedaan dalam tingkatan rasa, seperti kemanisan, kurang manis atau bahkan
tidak manis sama sekali (Kartanegara, 2007: 117-118).

Demikian pula dengan seseorang yang terkena penyakit jiwa, misalnya ketika ia
mengidap penyakit iri (dengki). Dia akan senantiasa gelisah dan resah dan tidak bisa
tenang dikarenakan penyakitnya tersebut telah membuat mentalya sedemikian sakit
sehinggan ia tidak lagi mampu untuk menikmati kebahagiaan yang dianugrahkan Tuhan
kapadanya (Kartanegara, 2007: 117-118).

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Etika adalah budi perkerti yang dilihat dengan kasyaf mata, orang yang berakhlak
mulia akan selalu manis dilihat orang-orang di sekitar. Rasulullah adalah Uswatun
Hasanah bagi kita semua umat Islam, dari beliau kita mendapat anugerah yang begitu
besar. Bukan hanya Rasulullah Saw, tetapi Rasul-Rasul yang diutus Allah pun selain
Nabi Muhammad Saw juga mempunyai etika yang begitu mulia pula. etika terhadap
Rasulullah sendiri menjadi acuan yang sangat penting bagi kehidupan kita, karena etika
beliau yang begitu sempurna kita juga harus memperlakukan beliau dengan begitu
sempurna juga, dilihat dari cerita pada zaman sahabat-sahabat beliau yang begitu
mengagungkan beliau dan begitu hormatnya.

Adapun diantara akhlak kita kepada rasulullah yaitu salah satunya ridho dan beriman
kepada rasul , ridho dalam beriman kepada rasul inilah sesuatu yang harus kita nyatakan
sebagaimana hadist nabi saw; Aku ridho kepada allah sebagai tuhan, islam sebagai agama
dan muhammad sebagai nabi dan rasul. Beriman kepada nabi dan rasul, yaitu berarti
bahwa kita beriman kepada para Rasul itu sebagai utusan Tuhan kepada ummat manusia.
Kita mengakui kerasulannya dan menerima segala ajaran yang disampaikannya.
Kita juga harus beretika dengan sesama manusia,saling berbuat baik satu sama
lain,serta saling memafkan jika ada kesalahan.
3.2 Saran
Setelah membaca makalah diatas maka kita sudah sepantasnya untuk menjalankan
semua cara-cara beretika kepada ALLAH SWT dan Rasul serta sesama manusia.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2002.


Bakar, Abu Jabir al-Jazairy, Pedoman dan program Hidup Muslim, CV Toha Putra,
Semarang, 1984, hlm 48. -http://www.eramuslim.com/syariah/tsaqofah-islam/drs-h-ahmad-
yani-ketua-lppd-khairu-ummah-akhlak-kepada-rasul. tgl 15. 12. 2011.

Hasanuddin, Pengantar Studi Akhlak, RajaGrafindo, Jakarta, 2004

Mansyur, Akidah Akhlak II. Penerbit Ditjen Binbaga Islam, Jakarta, 1997, hlm 176.

Mustofa, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Banddung, 1997.

Rusli, Nasrun, SH, dkk. Materi pokok akidah akhlak 1 , Direktorat jenderal pembianaan
kelembagaan agama islam dan universitas terbuka.1993.

Zahruddin AR, Sinaga, Usamah, Abu Masykur, “Aku Cinta Rosul shallallahu ‘alaihi wa
sallam“, cetakan pertama (Juni 2006/Februari 2007), , Penerbit: Darul Ilmi, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai