Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

SINUSITIS MAKSILARIS DENTOGEN

Pembimbing :
dr. Sutarno, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :
Izzati Saidah
030.13.234

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT TNI - AL Dr. MINTOHARDJO
PERIODE 19 FEBRUARI – 23 MARET 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, referat dari:

Nama : Izzati Saidah

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Trisakti

Bagian : Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok

Judul : Sinusitis Maksilaris Dentogen

Ditujukan untuk memenuhi nilai referat kepanitraan Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit TNI-AL
Dr. Mintohardjo Jakarta.

Jakarta, Maret 2018

Mengetahui

dr. Sutarno, Sp.THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,
atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Sinusitis Maksilaris Dentogen” dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit
TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta periode 19 Februari – 23 Maret 2018. Di samping
itu, referat ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua tentang
Sinusitis Maksilaris Dentogen.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Sutarno Sp.THT-KL selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada
dokter – dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di
Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit TNI-AL Dr. Mintohardjo. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok serta berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2018

Izzati Saidah

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................2

.1 Anatomi..........................................................................................................2
.2 Definisi...........................................................................................................5
.3 Epidemiologi..................................................................................................6
.4 Etiologi...........................................................................................................6
.5 Patofisiologi....................................................................................................8
.6 Manifestasi Klinis.........................................................................................11
.7 Penegakan Diagnosis....................................................................................12
.8 Penatalaksanaan............................................................................................19
.9 Komplikasi....................................................................................................23
2.10 Prognosis.....................................................................................................24

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus
paranasal.(1,2) Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks
ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran
infeksi gigi.(7) Sinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan kronik. Secara anatomi, sinus
maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut dan merupakan lokasi yang
rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut.(1)

Masalah gigi seperti penyakit pada periodontal dan lesi periapikal dilaporkan
menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa sinus maksilaris.(3) Data dari Departemen
Kesehatan RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada dalam urutan
ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di
rumah sakit.(4) Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus sinusitis
maksilaris.(9) Penelitian lain juga mendapatkan insiden sinusitis dentogen di Departemen THT-
KL/RSUP H. Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal
yaitu sebanyak 71.43%.(5)

Sinusitis maksilaris akut dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring seperti
faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta Ml, M2, M3
(dentogen).(6) Sinusitisd entogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis.
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga
sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang
tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi
jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah
dan limfe.(5) Curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai
satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi
yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob, serta sering juga dilakukan irigasi sinus maksila.(7,8)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus
paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan
sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulag-tulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung.( 9,10)
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan
sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8
tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada
usia antara 15-18 tahun.(9)
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis
etmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid jarang ditemukan. Sinus maksila
disebut juga antrum high more, merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh karena (1)
merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia,
(3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi
dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius ,
disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.(9,10)
Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore adalah a) sinus maksilaris
dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang dibatasi oleh bagian alveolar sinus
maksilaris, lantai orbital, dinding lateral hidung dan dinding lateral os maksila; b) pada
setengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi sedemikian rupa sehingga
hanya sinus mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang tersisa; c) bisa juga terjadi

2
ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang alveolar antara sinus dan rongga
mulut; d) Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding lateral dari maksila dapat
langsung menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini lemah dan mudah ditembus
dari lantai sinus. Akibatnya, infeksi odontogenik umumnya terjadi bersamaan dengan
infeksi jaringan lunak vestibular/fasia.(10)

Gambar 2.1 Anatomi rongga hidung dan sinus paranasal (19)

SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.(7,9,10,11) Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.(9)

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah a) dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),
kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut
dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas

3
menyebabkan sinusitisSinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; b) Ostium
sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung
dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit; c)
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.(9,10)

Gambar 2.2 Anatomi sinus Maksila (18)

Kompleks Osteo-Meatal (KOM)


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan
sempit, dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang terdiri dari infundibulum etmoid
yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.(7,9,10,11)

Sistem mukosiliar

2
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.(7,9)

Fungsi sinus paranasal


Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal,
tetapi beberapa teori mengemukakan fungsinya adalah a) sebagai pengatur kondisi udara; b)
Sebagai penahan suhu; c) membantu keseimbangan kepala; d) membantu resonansi suara; e)
Peredam perubahan tekanan udara; f) Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung.(7,9)

.2 Definisi

Sinusitis adalah suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan
sinus paranasal.(1,2) Sinusitis dibagi menjadi dua menurut waktunya, yaitu sinusitis akut dan
sinusitis kronik. Sinusitis akut bila keluhan terjadi kurang dari 12 minggu dan sinusitis
kronis bila keluhan terjadi 12 minggu atau lebih.(1)

Gambar 2.3 Anatomi sinus yang terinfeksi (20)

.3 Epidemiologi

3
Di Eropa sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi, sedangkan di
Amerika lebih dari 30 juta penduduk per tahun menderita sinusitis, 10-15% dari seluruh
kasus sinusitis tersebut berasal dari infeksi gigi pada orang dewasa. (12) Penelitian lain di
Amerika Serikat juga menunjukkan 10% kasus sinusitis maksila yang terjadi setelah
gangguan pada gigi.(13) Penelitian di India juga mendapatkan bahwa sinusitis maksila tipe
dentogen sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal.
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien
rawat jalan. Data lain menunjukkan sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H.
Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu
sebanyak 71.43%. Hasil dari penelitian tersebut juga menunjukkan insiden sinusitis
dentogen lebih tinggi pada wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga
dan keempat.(8)

.4 Etiologi
Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama,
dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut
terangkat. Nathaniel Highmore yang mengemukakan tentang membran tulang tipis yang
memisahkan gigi geligi dari sinus pada tahun 1651, “Tulang yang membungkus antrum
maksilaris dan memisahkannya dengan soket geligi tebalnya tidak melebihi kertas
pembungkus.” (10,11)
Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat
menimbulkan kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini didominasi
terutama oleh infeksi bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus
yang berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung. Prinsip terapi adalah
pemberian antibiotik, irigasi sinus, dan koreksi gangguan geligi.(13)
Etiologi sinusitis dentogen, yaitu a) penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal
gigi maksila dari kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi
pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis,
walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang

2
yang tebal; b) prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu
akan diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu dilakukan
pencabutan gigi; c) p enjalaran penyakit periodontal yaitu adanya
penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus;
d) trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila;
e) adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambalan akibat
pengisian saluran akar yang berlebihan; e) osteomielitis akut dan kronis pada maksila; f)
kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan
folikuler; g) deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis. (10,12 )

.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi
oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi
dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus
dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba
serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.(14)
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium, jika terjadi obstruksi ostium sinus
akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang
dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi
silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Kegagalan
transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya
sinusitis.(5)
Patofisiologi sinusitis adalah inflamasi mukosa hidung menyebabkan
pembengkakan (oedem) dan eksudasi, yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus.
Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan drainase, resorbsi oksigen yang ada di

3
rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan
negatif), selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat
kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia, akhirnya
terjadi retensi sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman.(16)

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan


akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan.
Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan
berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh
bakteri anaerob. Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan.(9)
Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan
polip dan kista.(7,8,9)

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran


kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan
eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel
nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat
permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga
nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus.(5)

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi
bakteri anaerob menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan
pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung
lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai
tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus
maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus

2
dan abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya sinusitis maksila.(15)

.6 Manifestasi Klinis
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik
ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-
kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat,
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat
lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung
dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada nyeri alih
dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh
dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur
dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah
ditiadakan.(1)
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa
konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid
anterior tampak lendir atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak
mukopus di nasofaring (post nasal drip).(5,9)
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan
rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris
tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk.
Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis
tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen.
(10)

.7 Penegakkan Diagnosis

3
Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada
gigi serta pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai
dengan kriteria American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-
HNS), yang mana diagnosis sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor mayor atau
setidaknya 1 faktor mayor dan 2 faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis,
riwayat penyakit gigi geligi, serta temuan radiologi sinus paranasal dan CT Scan. Selain
itu, kadang diperlukan konsultasi dengan departemen kedokteran gigi untuk mendukung
dan membuat diagnosis sinusitis dentogen serta penatalaksanaannya.(7,9)
.7.1 Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan
keluhan yang paling sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan
ini dapat disertai keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada
muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia,
nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang
meningkat pada penderita asma.(9,10,17)
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
ditambah kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International
Consensus on Sinus Disease, tahun 1993 dan 2004.(16) Kriteria mayor terdiri
dari sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri
atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu. Kriteria minornya
adalah demam dan halitosis.(17)

.7.2 Pemeriksaan Fisik


INSPEKSI
Terdapat tiga keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan
inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu a) kerangka dorsum nasi /batang
hidung; b) adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial; c) bibir atas. Ada
empat bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan
pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu a) lorgnet pada abses septum
nasi; b) saddle nose pada lues; c) miring pada fraktur; d) lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di

2
tempat tersebut. Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat
melakukan inspeksi hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi
yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis.(10,17)

PALPASI

Terdapat empat struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan


palpasi hidung & sinus paranasalis, yaitu a) dorsum nasi /batang hidung; b) ala
nasi; c) regio frontalis sinus frontalis; d) fossa kanina. Krepitasi dan deformitas
dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi hidung.
Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis. Ala nasi
penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat
kita temukan pada furunkel vestibulum nasi.(17)

Terdapat dua cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus
frontalis, yaitu dengan menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior
dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis
kiri dan kanan). Palpasi kita beri nilai bila kedua sinus frontalis tersebut
memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus
tersebut patologis. Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial
dengan tenaga optimal dan simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis.
Foramen supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga juga
menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara
pertama diatas. Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan
sinus maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis
sinus frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus
infraorbitalis.(17)

PERKUSI

Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita
lakukan apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-
syarat perkusi sama dengan syarat-syarat palpasi. (17)

3
Rinoskopi Anterior

Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda


patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada
rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal
drip).(9,10,17). Ada tiga alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior,
yaitu a) aplikator; b) pinset (angulair) dan bayonet (lucae); c) spekulum hidung
Hartmann. Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya
juga unik meliputi cara memegang, memasukkan dan mengeluarkan. Cara kita
memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri
dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral
sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke
dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Cara kita memasukkan spekulum
hidung Hartmann, yaitu mulutnya yang tertutup kita masukkan ke dalam
kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya pelan-pelan
di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Cara kita mengeluarkan spekulum
hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang hidung), kita menutup
mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut spekulum 100% karena
bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar).(9,10,17)

Rinoskopi Posterior

Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari


koane dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin
yang kita tempatkan dalam nasofaring. Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan
pada rinoskopi posterior, yaitu a) cermin kecil; b) spatula; c) lampu spritus; d)
solusio tetrakain (- efedrin 1%). Teknik-teknik yang kita gunakan pada
rinoskopia posterior, yaitu cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan.
Sebelum memasukkan dan menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita
terlebih dahulu memanaskan punggung cermin pada lampu spritus yang telah
kita nyalakan. Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik
ke dalam mulut, jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.
Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada

2
punggung lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di
paramedian kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk
menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin
kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan
pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala.
Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih
dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.(9,10,17)

Pemeriksaan Transiluminasi

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal


dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena
terbatas kegunaanya. Ada dua cara melakukan pemeriksaan transiluminasi
(diaphanoscopia) pada sinus maksilaris, yaitu cara pertama adalah dengan
mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo
inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup
dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum
homolateral berwarnaterang. Cara kedua adalah dengan mulut pasien kita minta
dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi dengan tabung gelas ke
dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar
dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding
depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit .(9,10,17)

Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan


adanya perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang,
menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa
menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus
tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus
yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.(9,10,17)

Nasoendoskopi

3
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi
kavum nasi hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan
dengan jelas keadaan dinding lateral hidung. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan
untuk menentukan diagnosa yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya
pus di meatus media (pada sinusitis maksilaris, etmoid anterior dan frontalis)
atau di meatus superior (pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoid).(9,17)

Foto polos sinus paranasal

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos. Foto polos


posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus –
sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. (9,17)

CT Scan

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena


mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan
sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan
operasi sinus. (9,10,17)

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media


atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Kebanyakan sinusitis
disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus
berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung. (9,10,17)

2
Sinoskopi

Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila.


Pemeriksaan ini menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di
meatus inferior atau fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau
jamur di dalam rongga sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya
apakah kemungkinan kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel.(16)

.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen, yaitu a) atasi masalah gigi; b)
Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya
beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan
kelembaban udara tetap; c)konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika,
dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus; d) operatif. Beberapa macam
tindakan bedah sinus, yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra
dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal, dan bedah sinus endoskopik fungsional.(9,10 )

.8.1 AKUT
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam).
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazol
dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk
memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada
perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
(7-10)
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polos atau CT Scan
dan atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan
maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan
evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi
sinus.(8,9) Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali
bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.(7,8)

3
.8.2 KRONIK
Apabila ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana
yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.(9) Jika faktor predisposisi tidak ditemukan
maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil
menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari
atau buat kultur. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi 10-14
hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan
nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.(9,10) Daerah
sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek. Jika ada sinusitis
maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal
atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

Pembedahan Radikal :
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc
Tindakan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal
dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.
Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan
anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas
yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah
konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntika di
fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi
horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di
superior gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum.
Periosteum diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf
orbita diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.(8,9,16)

2
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau
alat bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari
kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral
meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok.
Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang
dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya
1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak
diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang
tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya
tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi
perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam
antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau
ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah
edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman.(8,9)

Pembedahan Non Radikal :

- Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)


Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat
dalam bedah sinus. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan
dipopulerkan oleh Stamm-berger dan Kennedy. BSEF adalah operasi pada hidung
dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali
ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah membuka dan
membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami. (12,16)
Indikasi absolut tindakan BSEF adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil
yang luas, rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma.
Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis
kronis atau rekuren simptomatik yang tidak respon dengan terapi medikamentosa.
Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah dilakukan tindakan BSEF.(9,10,16)

3
Komplikasi pasca tindakan BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi
awal dan lanjut. Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan
penglihatan, diplopia, kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, abses otak,
cedera arteri karotis dan epifora. Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah
rekurensi, mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda asing.
Komplikasi orbita dan intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut.(16)

.9 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini
harus rutin dilakukan pada sinusitis rekuren, kronis atau berkomplikasi.(7,9,17)
.9.1 Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis
akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita
dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.(9-11)
.9.2 Komplikasi Intra Kranial
Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang
mana infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial. Abses subdural, adalah kumpulan pus
diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul
sama dengan abses dural. Abses otak, setelah sistem vena, dapat
mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik
secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra kranial ini adalah

2
antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami
abses dan pencegahan penyebaran infeksi. (9-11,16)

.10 Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan
pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika drainase sinus membaik
dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang
baik.(10)

BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyakit utamanya adalah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus
paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. 10% kasus sinusitis dengan sumber
odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas.1,2 Meskipun sinusitis dentogen adalah
kondisi yang relatif umum, patogenesisnya masih belum jelas serta masih kurangnya
konsensus mengenai gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen
dapat terjadi melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan
granulasi di salam mukosa sinus maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau
limfogen dari granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila. Bila sinusitis
disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung berbau.

3
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang berupa transluminasi, foto
rontgen, CT-Scan dan MRI. Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif,
diberikan obat-obatan; antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus
serta operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior,
Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus
endoskopik fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens W., Lund V., Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps. Rhinology. 2007 (disitasi tanggal 23 Agustus 2016); 45(20):1-139. Tersedia
dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17844873
2. Busquets JM., Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
3. Vallo JL., Suominen T., Huumonen S., Soikkonen K., Norblad A. Prevalence of
mucosal abnormalities of the maxillary sinus and their relationship to dental disease in
panoramic radiography: results from the health 2000 health examination survey. Oral
Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology and Endodontics. 2010;
109(3):80-87.
4. Departemen Kesehatan RI. Pola Penyakit 50 peringkat utama menurut DTD Pasien
Rawat Jalan di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI; 2003.
5. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP
H.Adam Malik Medan Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK
USU/RSUP H.Adam Malik Medan; 2006.

2
6. Universitas Muhammadiyah Semarang. Sinusitis Maksilaris Odontogen. Universitas
Muhammadiyah Semarang; disitasi tanggal 24 Agustus 2016. Tersedia dari:
http://digilib.unimus.ac.id/dow n load.php.id=12241
7. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997
8. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006; 1-6
9. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, 2008; 145-53.
10. Universitas Sumatera Utara. Sinusitis Maksilaris Dentogen. Tersedia dari URL
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf. Diunduh
tanggal 9 Februari 2013

11. Abdul Rachman Saragih. Rinosinusitis Dentogen. Diambil dari dentika Dental Journal,
Vol 12, No 1. 2007. Hal : 81 -84. Tersedia dari URL :
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/121078184.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari
2013

12. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A Short
Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31

13. Itzhak Brook, MD. Acute Sinusitis. Tersedia dari URL


http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm Edisi April 2012. Diunduh tanggal 9
Februari 2013
14. Mehra P., Murad H. Maxillary sinus disease of odontogenic origin. Otolaryngologic
Clinic of North America; 2004.
15. Universitas Sumatera Utara Instutitional Repository. Sinusitis Maksilaris Dentogen.
Universitas Sumatera Utara; diakses tanggal 24 Agustus 2016. Tersedia dari :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf.
16. Bestary, Jaka Budiman. Rossy, Rosalinda. Bedah Endoskopi Fungsional Revisi Pada
Rinosinusitis Kronis. Diambil dari Jurnal FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M Djamil
Padang, Bagian THT Bedah Kepala Leher. Tersedia dari URL

3
http://repository.unand.ac.id/17210/1/Bedah_Sinus_Endoskopi_Fungsional_Revisi_pa
da_Rinosinusitis_Kronis.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari 2013

17. Henny Kartika. Cara Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal. Tersedia dari URL
http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/cara-pemeriksaan-hidung-dan-sinus-
paranasal/. Diunduh tanggal 9 Februari 2013

18. Anatomi Sinusitis Paranasal Sinus. Avaible from


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3119314/chapter%2011.pdf. Diakses
22 Mei 2014

19. Rahman Sukri, Firdaus M. Abduh. Tumor Sinus Paranasal Dengan Perluasan
Intrakranial dan Metastasis ke Paru.Jurnal Kesehatan Andalas;2012:1(3).

20. Budiman Bestari j, Asyari Ade dari kepustakaan (Sumber: Budiman Bestari j, Asyari
Ade. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi. Bagian Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang

Anda mungkin juga menyukai