Disusun oleh:
Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang
serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pula terhadap meningkatnya tuntutan
masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan. Hal ini
merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan profesionalisme selama
memberi pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan
komitmen yang kuat dengan basis pada etik dan moral yang tinggi.
Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap
langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi
yang muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta
penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan
keperawatan dimana nilai-nilai pasien selalu menjadi pertimbangan dan dihormati.
1. Pengertian etika keperawatan
1.4 Teori Etik
Teori etik dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Utilitarian
Kebenaran atau kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekwensi atau akibat dari
tindakan contoh: mempertahankan kehamilan yang berisiko tinggi dapat menyebabkan hal
yang tidak menyenangkan, nyeri atau penderitaan pada semua organ yang terlibat.
b. Deontologi
Aturan atau prinsip; autonomi, informe concent, alokasi sumber-sumber atau
euthanasia.
Etika selalu merujuk kepada standart moral, terutama yang terkait dengan kelompok
profesi seperti dokter dan perawat. Sebagai profesi yang bergerak dalam pelayanan kesehatan,
perawat sering dihadapkan pada berbagai pengambilan keputusan etik, oleh karena itu perawat
harus dapat memahami cara pengambilan keputusan yang baik. Pengambilan keputusan etik
dalam keperawatan memerlukan keahlian dalam beberapa komponen, yang antara lain adalah
hubungan manusia yang baik, etika, dan situasi kontekstual.
Moral adalah suatu kegiatan/prilaku yang mengarahkan manusia untuk memilih tindakan
baik dan buruk, dapat dikatakan etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang
dapat dipertanggung jawabkan (Degraf, 1988).
Etika keperawatan mempunyai berbagai dasar penting seperti advokasi, akuntabilitas,
loyalitas, kepedulian, rasa haru, dan menghormati martabat manusia. Di antara pernyataan ini
yang lazim termasuk dalam standar praktik keperawatan dan telah menjadi bahan kajian dalam
waktu lama adalah advokasi, akuntabilitas, dan loyalitas (Fry, 1991; lih. Creasia, 1991).
1. Advokasi
Pada dasarnya peran perawat sebagai advokat pasien adalah memberi
informasi dan memberi bantuan kepada pasien atas keputusan apa pun yang dibuat pasien.
Memberi informasi berarti menyediakan penjelasan atau informasi sesuai dengan kebutuhan
pasien. Memberi bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran nonaksi. Dalam
menjalankan peran aksi, perawat memberikan keyakinan kepada pasien bahwa mereka
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak
tertekan dengan pengaruh orang lain. Sedangkan peran nonaksi mengandung arti pihak advokat
seharusnya menahan diri untuk tidak mempengaruhi keputusan pasien (kohnke,
1989; lih. Megan, 1991).
2. Akuntabilitas
Mengandung arti dapat mempertanggungjawabkan suatu tindakan yang dilakukan dan
dapat menerima konsekuensi dari tindakan tersebut (Kozier, 1991).
Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua komponen utama, yakni tanggung
jawab dan tanggung gugat. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan perawat dilihat dari
praktik keperawatan, kode etik dan undang-undang dapat dibenarkan atau absah.
3. Loyalitas
Merupakan suatu konsep yang pelbagai segi, meliputi simpati, peduli, dan hubungan
timbal balik terhadap pihak yang secara professional berhubungan dengan perawat. Ini berarti
ada pertimbangan tentang nilai dan tujuan orang lain sebagai nilai dan tujuan sendiri. Hubungan
professional dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji, menentukan
masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan bersama (Jameton, 1984;
Fry, lih. Creasia, 1991). Loyalitas dapat mengancam asuhan keperawatan, bila terhadap anggota
profesi atau teman sejawat, loyalitas lebih penting daripada kualitas asuhan keperawatan.
Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan berbagai
pihak yang harmonis, maka aspek loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat baik
loyalitas kepada pasien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi. Untuk mewujudkan ini,
AR. Tabbner (1981; lih. Creasia, 1991) mengajukan berbagai argumen:
a) Masalah pasien tidak boleh didiskusikan dengan pasien lain dan perawat harus bijaksana
bila informasi dari pasien harus didiskusikan secara professional.
b) Perawat harus menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat.
c) Perawat harus menghargai dan memberi bantuan kepada teman sejawat.
d) Perawat harus loyal terhadap profesi dengan berperilaku secara tepat saat bertugas.
Dalam upaya mendorong profesi keperawatan agar dapat diterima dan dihargai oleh pasien,
masyarakat atau profesi lain, maka mereka harus memanfaatkan nilai-nilai keperawatan dalam
menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang kuat dalam mengemban peran
profesionalnya. Dengan demikian perawat yang menerima tanggung jawab, dapat melaksanakan
asuhan keperawatan secara etis profesional. Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan
standar, melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan bagi
keselamatan pasien, penghormatan terhadap hak-hak pasien, akan berdampak terhadap
peningkatan kualitas asuhan keperawatan.
Daftar Pustaka
Sumijantun, S.Kp. MARS (2011) Membudayakan Etika dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Carol Taylor,Carol Lillies, Priscilla Le Mone, 1997, Fundamental Of Nursing Care, Third Edition,
by Lippicot Philadelpia, New York.
Dengan berkembangnya teknologi yang semakin pesat, handphone menjadi sebuah kebutuhan
tersendiri bagi setiap orang. Banyak kebutuhan yang bisa terpenuhi hanya dengan mengaksesnya
melalui sebuah handphone. Dalam dunia kesehatan terutama keperawatan, handphone juga
menjadi suatu hal yang dapat membantu berjalannya komunikasi antar perawat, atau perawat
dengan tenaga kesehatan lain. Tentunya hal ini bisa mengefisiensi pekerjaan-pekerjaan perawat
dalam hal komunikasi, dokumentasi, atau mencari sumber valid untuk ilmu pengetahuan.Tetapi
dibalik banyaknya hal positif yang didapat dari sebuah penggunaan handphone oleh perawat saat
bertugas, hal ini juga menimbulkan sebuah problematika, dimana perawat
menggunakan handphone untuk hal-hal diluar kepentingan tugasnya sebagai
perawat. Penggunaan handphone oleh perawat untuk chatting dengan teman atau keluarga, untuk
berbelanja online, atau bahkan untuk selfie telah menjadi kasus yang diperbincangkan oleh
masyarakat dan para ahli di bidang keperawatan.
Etika memiliki arti atau makna yang berbeda-beda dalam berbagai penggunaannya. Menurut
Berman, Snyder & Frandsen (2016), penggunaaan etika tergantung pada (a) metode
penggunaannya yang digunakan untuk memahami moralitas dari manusia, (b) praktik atau
penggunaan dalam kelompok tertentu, dan (c) standar dari sikap dan moral dari kelompok
tertentu misalnya kode etik profesi.
Kode etik adalah seperangkat prinsip petunjuk dimana semua anggota profesi menyetujui
(Berman, Snyder & Frandsen, 2016). Tujuan kode etik menurut International Council of Nurses
(ICN) adalah (1) menginformasikan kepada publik mengenai standar minimum profesi dan
membantu memahami perilaku keperawatan professional, (2) sebagai tanda komitmen profesi
kepada masyarakat yang dilayani, (3) sebagai garis besar mengenai pertimbangan etika utama
dari profesi, dan (4) mengingatkan kembali kepada perawat untuk tanggungjawab yang mereka
miliki saat merawat seseorang yang sakit.
Kode etik perawat Indonesia dibuat oleh organisasi profesi perawat yaitu PPNI atau Persatuan
Perawat Nasional Indonesia. Apabila seorang perawat melanggar kode etik profesi, organisasi
profesi dapat memberikan sanksi atau mengeluarkan anggota tersebut (Suhaemi, 2003). Di dalam
kode etik perawat Indonesia terdapat isi yang mengatur atau mengarahkan hubungan perawat
dalam praktiknya, yaitu antara perawat dengan klien, perawat dengan praktik, perawat dengan
masyarakat, perawat dengan teman sejawat dan perawat dengan profesi. Dengan adanya kode
etik tersebut diharapkan perawat dapat bekerja dengan baik dan professional dalam bekerja.
Moral serupa dengan etik, namun terdapat sedikit perbedaan. Moral biasanya merujuk kepada hal
yang lebih privat, standar personal dari apa yang benar dan apa yang salah dalam melakukan
sesuatu, karakter atau perilaku (Berman, Snyder & Frandsen, 2016). Terdapat 8 prinsip moral
yang penting dalam keperawatan yang merupakan panduan khusus perawat dalam bertindak.
Prinsip-prinsip ini juga berguna dalam diskusi etik, karena jika ada pihak yang tidak setuju atau
mempertanyakan perlakuan seperti apa yang paling tepat dilakukan pada situasi tertentu, dengan
adanya prinsip moral berikut dapat tercerahkan.
Prinsip yang pertama adalah autonomi, dimana autonomi ini merujuk pada hak seseorang atau
pasien untuk menentukan pilihannya sendiri. Contoh implementasi dari prinsip autonomi adalah
perawat tidak ikut campur dalam keputusan yang akan pasien ambil dan perawat melakukan
informed concent sebelum melakukan prosedur tertentu. Prinsip selanjutnya adalah
nonmaleficence, kewajiban untuk tidak menyakiti atau membahayakan, termasuk didalamnya
membuat pasien berada dalam kondisi membahayakan, menambah risiko yang membahayakan,
dan melakukan sesuatu yang menyakiti atau merugikan pasien.
Prinsip yang ketiga adalah beneficence, yang memiliki arti melakukan kebaikan atau sesuatu
yang beranfaat. Perawat harus melakukan semua tindakan atau intervensi dengan manfaat yang
lebih besar daripada kerugiannya. Selanjutnya adalah justice atau dapat juga disebut fairness.
Perawat terkadang berada pada situasi dan kondisi dimana prinsip keadilannya harus berjalan.
Perawat harus dapat adil kepada setiap pasiennya dalam segala hal.
Fidelity, berarti perjanjian dan persetujuan yang dapat dipercaya. Perawat harus berpegang teguh
pada janji yang ia buat, dan jangan pernah menjanjikan sesuatu hal yang belum tentu dapat
terjadi. Dengan adanya kepercayaan, hubungan antara perawat dengan pasien atau kliennya
dapat terjalin dengan baik dan membantu mempermudah proses penyembuhan pasien atau klien
tersebut. Keenam ada veracity, merujuk pada mengatakan yang sejujurnya. Perawat harus
mengatakan informasi yang jujur kepada klien mengenai penyakitnya. Salah satu penyebab
hilangnya kepercayaan antara perawat dengan pasiennya adalah ketidakjujuran.
Prinsip yang ketujuh adalah akuntabilitas, perawat harus memiliki akuntabilitas. Menurut kode
etik keperawatan dalam Fowler (2010), akuntabilitas berarti tindakan yang dapat dipertanggung
jawabkan kepada diri sendiri dan orang lain. Dan yang terakhir tanggung jawab, mengarah pada
kewajiban yang terkait dengan kinerja tugas dalam suatu peran tertentu. Dengan adanya prinsip-
prinsip moral tersebut, diharapkan dapat menjelaskan rasional dari setiap keputusan dan
perlakuan yang dilakukan oleh seorang perawat..
(2) Akses informasi kepada referensi kesehatan. Dengan menggunakan smartphone kita dapat
dengan mudah mengakses referensi kesehatan dan juga berbagai informasi kesehatan. Telah
banyak aplikasi medis yang tersedia secara online untuk dapat diakses kapan saja dan dimana
saja. Informasi medis tersebut dapat berupa informasi tentang obat-obatan, penyakit, uji
laboratorijm dan lain sebagainya.
Menurut Wyatt, T. & Krauskopf, P, (2012) dalam jurnalnya, sumber atau referensi data
mengenai obat-obatan adalah yang paling sering digunakan oleh tenaga medis pada smartphone
mereka. Aplikasi ini sangat membantu karena didalamnya memuat informasi mengenai obat-
obatan, penyakit, laboratorium, informasi mengenai keamanan penggunaan obat, efek samping
obat dan interaksi antar obat. Menurut Einerson, (2010) (dalam Wyatt, T & Krauskopf, P., 2012)
beberapa contoh healthcare provider dan beberapa aplikasi tersebut diantaranya ePocrates,
Skyscape and Lexi-Drugs,didalamnya terdapat akses gratis berisi database berbagai obat. Selain
itu juga kalkulator medis, adalah aplikasi yang sering digunakan oleh perawat. Biasanya
digunakan untuk menghitung BMI, obesitas, tingkat filtrasi glomerulus, dan sebagainya. Aplikasi
kalkulator medis yang terkenal adalah MedCalc.
(3) Pengaturan waktu. Dengan menggunakan smartphone perawat dapat menghemat waktu yang
dimilikinya dan memanfaatkannya untuk berada lebih lama disamping pasien. Dengan adanya
smartphone, perawat tidak perlu memanjangkan kabel telepon untuk berkomunikasi satu dengan
yang lain, dapat menambah produktifitas dan mempersingkat alur bekerja. (4) Penghilang stress.
Perawat dapat menggunakan smartphone untuk selain tujuan pekerjaan dan interaksi social
tersebut dapat mengurangi stress kerjanya. Perawat dapat menghibur diri dengan sosialnya dan
juga dukungan emosional lainnya.
Namun, juga terdapat dampak buruk atau kerugian yang mungkin terjadi akibat perawat
menggunakan smartphone dalam pemberian asuhan keperawatan. Diantaranya: (1) Menggagu.
Jika perawat menggunakan smartphone disaat praktik, mereka dapat terganggu oleh paggilan
atau notifikasi lain saat sedang memberikan asuhan keperawatan. Distraksi tersebut juga dapat
menurunkan tingkat kepercayaan atau hubungan antara perawat dengan pasiennya. (2)
Smartphone sebagai vektor potensial infeksi. Penggunaan smartphone dalam area klinis atau
rumah sakit dapat menjadi potensi dari transmisi infeksi penyakit yang dapat menyerang
kesehatan manusia.
Dan dampak yang terakhir adalah (3) Penampilan yang tidak professional. Meskipun perawat
memandang bahwa smartphone dapat membantu kerja perawat. Namun, jika dilihat dari sudut
pandang pasien, perawat yang terus menerus memegang smartphone dapat terlihat tidak
professional. Perawat yag seharusnya memberikan perhatiannya kepada pasien malah terlalu
fokus dengan smartphone nya sendiri.
Dari jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan smartphone oleh perawat memiliki
dampak buruk dan juga baiknya. Jika perawat ingin menggunakan smartphone-nya sebaiknya ia
menggunakannya tidak dihadapan pasiennya. Dan jika perawat harus sekali atau dalam keadaan
darurat dan perlu untuk menggunakan smartphone-nya dihadapan pasien, perawat harus memberi
tahu terlebih dahulu kepada pasiennya tujuan ia menggunakan handphone tersebut agat tidak
menimbulkan kesalah pahaman.
Penggunaan smartphone dalam pemberian perawatan memang memiliki sisi positif dan
negatifnya. Perawat harus bisa memanfaatkan smartphone sebaik mungkin, dan pada waktu yang
tepat Hindari menggunakan handphone saat dihadapan pasien kecuali mendesak. Lebih baik
hanya gunakan smartphone saat jam istirahat saja. Perawat harus bijak dan bertanggung jawab
dalam memberikan asuhan keperawatan. Dengan perawat terus menunjukkan sisi yang baik dan
professional, citra perawat didunia kesehatan akan semakin baik nantinya.
Berman, A., Snyder, S., Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb's Fundamental of Nursing 10th
Edition. New Jersey: Pearson