Anda di halaman 1dari 8

KONFLIK LAHAN DI HUTAN GAMBUT RAWA TRIPA PROVINSI ACEH

Iswahyudi
Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Samudra, Langsa

Abstrak

Provinsi Aceh termasuk daerah yang sangat rawan akan terjadi konflik, terutama konflik
lahan yang melibatkan perusahaan dan masyarakat. Penyebab utama maraknya konflik ini
berkaitan dengan formulasi kebijakan mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
terutama perkebunan kelapa sawit. Hutan gambut Rawa Tripa sebagian besar lahannya
merupakan Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan kawasan strategis nasional, namun
pada saat ini telah dirambah untuk pembukaan perkebunan sawit oleh perusahaan-perusahaan
besar. Konflik lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit di
Hutan Gambut Rawa Tripa merupakan kondisi yang sengaja diciptakan. Sebelum diterapkan
kebijakan Otonomi Daerah, para aktor birokrat pusat (lokal) dan partai politik berkolaborasi
dengan pemilik modal dalam mengeksploitasi sumber daya perkebunan kelapa sawit.
Caranya adalah dengan menerapkan berbagai kebijakan pembangunan yang menguntungkan
pihak pemilik modal besar, birokrat dan para politisi dalam memperebutkan lahan dan akses
ke pembuat keputusan perizinan. Sementara itu, para tokoh lokal tidak bisa berbuat banyak.
Disini memberikan suatu gambaran kepada kita tentang lemahnya peran pemerintah dalam
menyelesaikan konflik lahan. Peran aktif pemerintah sangat diperlukan dalam mengawal
berbagai masalah yang berkaitan dengan tanah agar tidak terjadi perselisihan karena ada
pihak-pihak yang merasa dirugikan atas kebijakan yang dibuat.
Kata kunci : konflik lahan, hutan gambut Rawa Tripa, kelapa sawit

PENDAHULUAN agraria yang dianut adalah politik agraria


yang kapitalistik, otoritarian dan represif.
Konflik antara negara, pengusaha dan Pola pendekatan seperti ini akan melahirkan
rakyat yang berlatar belakang sengketa sengketa agraria struktural yang akan terus
pertanahan sudah berjalan sekian lama di menerus terjadi sepanjang tidak dilakukan
Republik ini. Tidak hanya di zaman Orde perubahan politik agraria kita dari politik
Lama yang cenderung meggunakan agraria yang pro ekonomi kuat (kapitalis)
tindakan represif dan pendekatan kekuasaan menjadi pro golongan ekonomi lemah
untuk mengambil alih tanah dengan (Pramono, 2007 dalam
menggunakan aparat militer dan polisi. Di http://mediatani.wordpress.com/2007).
zaman reformasi kini yang lebih demokratis Penyebab terjadinya sengketa pertanahan
dan tidak represif lagi masih melegalkan yang melahirkan protes yang
tindakan-tindakan yang bersifat represif berkepanjangan adalah karena negara telah
dalam menyelesaikan sengketa tanah. gagal memberikan perlindungan kepada
Negara sepertinya belum mampu berbuat rakyat dan gagal menjadi pihak yang
untuk kepentingan rakyat ketika seharusnya menjadi pelindung dan bukan
berhadapan dengan pengusaha yang masih sebaliknya melakukan persekongkolan
dilindungi oleh negara. Sebagaimana dengan pengusaha untuk merampas hak
disinyalir, bahwa sampai sekarang politik rakyat atas tanah mereka. Sejarah

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

38
persengketaan di bidang agraria akan terus merespon apa yang menjadi tuntutan
berlanjut sepanjang negara tidak bisa masyarakat/komunitas tersebut terhadap
membuat sebuah kebijakan yang berpihak hak mereka atas tanah yang menjadi
kepada rakyat dengan melakukan sumber persengketaan baik dengan negara
perombakan hukum agraria secara ataupun pengusaha. Kalaupun sepertinya
revolusioner dan total bukan parsial yang pertarungan tersebut tidak akan pernah
sebenarnya cenderung hanya memenangkan masyarakat sepanjang
menguntungkan negara dan negara tidak melindungi hak rakyatnya atas
pengusaha/bisnis. tanah yang dipersengketakan
Menguatnya kasus-kasus sengketa tanah di Provinsi Aceh termasuk daerah yang sangat
Indonesia beberapa waktu terakhir ini rawan akan terjadi konflik, terutama konflik
seakan kembali menegaskan kenyataaan lahan yang melibatkan perusahaan dan
bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka masyarakat. Sengketa atas lahan
negara masih belum bisa memberikan masyarakat yang terjadi di Aceh,
jaminan hak atas tanah kepada rakyat. setidaknya terdapat di lima kabupaten, yaitu
Adanya protes bahkan konflik yang Kabupaten Aceh Tamiang antara
dilakukan oleh masyarakat/komunitas yang masyarakat dengan PT Sinar Kaloy Perkasa
bersumber dari sengketa pertanahan di Indo (PT SKPI) yang akan
berbagai tempat di Indonesia bertujuan mengembangkan perkebunan sawit, di
untuk ; (1) mereka melawan untuk Kabupaten Aceh Timur sejak tahun 1990
mempertahankan lahan yang mereka kuasai masyarakat yang tergabung dalam Forum
semenjak lama sebagai tempat permukiman Perjuangan Rakyat Atas Tanah (Fojerat),
atau sebagai tempat melakukan aktivitas menuntut penyelesaian sengketa tanah
ekonomi pertanian yang diambil alih secara seluas 1.300 hektar dari PT. Bumi Flora dan
paksa oleh negara atau bisnis; (2) penduduk di Kabupaten Aceh Jaya terjadi indikasi
setempat atau komunitas setempat penjualan lahan eks transmigran, yang
memprotes perusahaan dan negara untuk belum kembali dari eksodus sejak konflik
menuntut apa yang mereka sebut sebagai terjadi di Provinsi Aceh dan di Kabupaten
haknya terhadap lahan dan tanah yang Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan
sedang dikontrol atau diolah oleh bisnis Raya. Jadi bisa dikatakan cakupan konflik
atau negara; (3) penduduk atau komunitas ini sudah mengenai seluruh wilayah di
setempat memprotes aparatur negara atau Provinsi Aceh. Penyebab utama maraknya
bisnis untuk menuntut kontribusi ekonomis konflik ini berkaitan dengan formulasi
dari perusahaan atau dari pemerintah kebijakan mengenai pengelolaan Sumber
disebabkan oleh perusahaan yang Daya Alam (SDA) terutama perkebunan
bersangkutan atau pemerintah kelapa sawit
memamfaatkan tanah ulayat mereka atau Salah satu kasus konflik lahan yang marak
karena pemerintah menjanjikan diberitakan media massa adalah konflik
keuntungan-keuntungan ekonomis atas lahan di Hutan Gambut Rawa Tripa yang
pemamfaatan tanah ulayatnya (Afrizal, terletak di wilayah Kabupaten Nagan Raya.
2006). Hutan Gambut Rawa Tripa telah dirambah
Tiga alasan yang menjadi tujuan mengapa untuk pembukaan perkebunan sawit oleh
masyarakat/komunitas melakukan protes, PT Kallista Alam. Hutan gambut Rawa
sangat benar adanya karena sesungguhnya Tripa terletak di dua wilayah yaitu
itulah yang menjadi tujuan dari warga Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten
mengapa melakukan perlawanan dan Aceh Barat Daya. Luas total hutannya kira-
protes. Permasalahannya bagaimana kira 61,803 hektar. Sebagian besar lahannya

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

39
merupakan Kawasan Ekosistem Leuser politisi dalam memperebutkan lahan dan
yang merupakan kawasan strategis akses ke pembuat keputusan perizinan.
nasional. Secara alamiah dibatasi oleh Sementara itu, para tokoh lokal tidak bisa
Sungai Tripa, disebelah barat daya, Lautan berbuat banyak.
India di sebelah selatan, dan Sungai Batee Sesudah diterapkan kebijakan
di sebelah timur. Hutan Rawa Gambut desentralisasi, perkembangan perpolitikan
Tripa merupakan salah satu dari tiga hutan di provinsi mengenai kebijakan perkebunan
rawa gambut yang cukup besar dan kelapa sawit semakin dinamik ditandai
signifikan di Pantai Barat Provinsi Aceh, munculnya kelompok-kelompok lokal yang
selain Hutan Rawa Gambut Kluet (luas bersaing dengan birokrat lokal, politisi dan
sekitar 18.000ha) dan Hutan Rawa Gambut pengusaha perkebunan. Kelompok-
Singkil (luas sekitar 100.000 ha). Ketiga kelompok lokal ini seolah-olah secara
hutan rawa gambut ini merupakan formasi sendiri-sendiri berinisiatif menangkap
hutan rawa yang hanya berada di bagian peluang sumberdaya perkebunan. Yang
pantai Barat Pulau Sumatera (Pan Eco direbut adalah kendali atas perkebunan
Foundation for Sustainable Development sawit di Provinsi Aceh, baik milik swasta,
and Intercultural Exchange, 2008). negara ataupun rakyat. Apa yang dilakukan
Menurut keputusan Menteri Kehutanan para aktor ini untuk memperkuat
No.170/kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000, “leverage”- nya dalam perpolitikan di
disebutkan bahwa luas total hutan di Provinsi Aceh.
Propinsi Aceh adalah 5.774.788,92 hektar. Para aktor lokal berebut menanamkan
Saat ini, batasan hutan telah berubah, pengaruh dalam proses perizinan, misalnya
diperkirakan hutan tersisa hanya dalam mengendali Surat Izin Usaha
3.998.662,45 hektar. Ini menurut Perdagangan (SIUP), sehingga perizinan
masterplan perencanaan pembangunan yang memerlukan waktu yang panjang dan biaya
dikeluarkan pemerintah Aceh. Hutan yang besar. Perebutan kendali itu dapat
Gambut Rawa Tripa juga mengalami nasib diilustrasikan dengan penyesuaian
yang serupa, luasnya terus berkurang. Salah Keputusan Mentan
satu penyebab berkurangya luasan Hutan No.357/Kpts/HK.350/5/2002. Izin ini harus
Gambut Rawa Tripa adalah adanya diurus untuk lahan diatas 25 ha. Seorang
konversi hutan gambut menjadi areal yang ingin SIUP harus ada lahan yang
perkebunan kelapa sawit. dicadangkan Pemerintah Provinsi,
selanjutnya Izin Pelepasan Kawasan Hutan
(IPK) padahal kawasan hutan itu tidak ada
“LEVERAGE “ AKTOR LOKAL
lagi yang ada perkebunan kelapa sawit atau
Konflik lahan antara masyarakat dengan Hutan Tanaman Industri (HTI). Jika Bupati
pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit mengeluarkan izin, maka Gubernur
di Provinsi Aceh selama ini merupakan menolaknya dengan alasan tidak sesuai
kondisi yang sengaja diciptakan. Sebelum dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
diterapkan kebijakan Otonomi Daerah, para Provinsi (RTRWP). Jika Gubernur
aktor birokrat pusat (lokal) dan partai merekomendasikan bisa jadi Menteri
politik berkolaborasi dengan pemilik modal Kehutanan yang menolak karena alasan
dalam mengeksploitasi sumber daya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
perkebunan kelapa sawit. Caranya adalah Wilayah Nasional (RTRWN).
dengan menerapkan berbagai kebijakan
Selain itu para tokoh lokal ini bersaing
pembangunan yang menguntungkan pihak
dengan cara mengusung kebijakan lokal.
pemilik modal besar, birokrat dan para
Misalnya Kebijakan Gubernur Aceh
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

40
tentang “Program Moratorium Logging" Gambut Tripa sudah di tebang dan di
dan “Program Green Aceh”. Selama ini bersihkan. Pada saat HGU itu diberikan,
kelompok-kelompok lokal mengklaim diri sudah ada permukiman penduduk yang
sebagai pihak yang dirugikan sejak menempati wilayah itu, beserta lahan yang
kebijakan perkebunan kelapa sawit di mereka kelola, ada lahan transmigrasi, dan
terapkan di Provinsi Aceh. Lahan hutan untuk perkebunan yang dibuka
perkebunan sebagian besar dikuasai pemilik warga. Semuanya tumpang tindih dan tidak
modal perkebunan swasta/negara. ada batas koordinat yang jelas.
Sementara itu, perkebunan rakyat hanya Pada tahun 1990-an, banyak lahan warga,
lebih banyak menanggung risiko misalnya yang saat itu sebagian besar tanpa
berkurangnya lahan usaha, fluktuasi harga, dikuatkan dengan sertifikat, diserobot oleh
konflik sosial, banjir, asap, dan kebakaran perusahaan-perusahaan besar. Pada tahun
hutan dan lahan. 1999 hingga 2005, lahan-lahan yang
Dalam persaingan ini, para aktor diserobot itu menjadi lahan tidur karena
memanfaatkan berbagai sumber daya, masa konflik. Saat itu sebagian warga tak
arena, dan jaringan di tingkat lokal dan memiliki sertifikat karena mereka tidak
nasional. Kemenangan dalam pergulatan tahu. Mereka hanya tahu orangtuanya
politik ini ditentukan oleh kemampuan mengerjakan lahan itu. Mereka tak dapat
membangun koalisi dan negosiasi antara melawan perusahaan yang didukung oknum
birokrat, politisi, pengusaha perkebunan aparat Setelah tahun 2005, konflik lahan
dan kelompok-kelompok lokal. Strategi kembali meluas. Bahkan, warga yang
interaksi aktor dalam situasi konflik lahannya disertifikatkan pun dirambah oleh
perkebunan dilandasi perspektif ekonomi- perusahaan-perusahaan sawit. Warga tak
politik yang mempertimbangkan kekuatan mampu melawan karena mereka tak tahu
politik dan ekonomi yang berkembang di prosedur hukum dan takut. Perusahaan
tingkat lokal dalam memperebutkan sumber berdalih penguasaan itu berdasarkan luasan
daya perkebunan. HGU yang mereka miliki. Namun,
pemerintah sendiri tak pernah memeriksa
HGU itu dengan pasti. Selain penguasaan
KONFLIK LAHAN HUTAN GAMBUT dengan cara paksa, konflik lahan di Hutan
RAWA TRIPA Gambut Rawa Tripa juga berlangsung
Konflik lahan di kawasan Hutan Gambut melalui kongsi antara elit-elit di desa
Rawa Tripa sebenarnya sudah terjadi sejak dengan oknum pejabat lokal, yang
tahun 1990-an, seiring dengan pemberian mengupayakan sertifikasi bersama ke BPN.
hak guna usaha (HGU) untuk lima Setelah sertifikat tersebut jadi, tanah-tanah
perusahaan perkebunan besar, yaitu PT. hutan rawa yang sudah disertifikatkan itu
Gelora Sawita Makmur, PT. Kallista Alam, lalu dijual ke perusahaan atau pemilik
PT. Patriot Guna Sakti Abadi II, PT. perkebunan sawit besar. Warga pemilik
Cemerlang Abadi dan PT. Agra Para Citra. lahan banyak yang tidak tahu modus ini.
Pada tahun 2007, PT. Astra Agro Lestari Ada yang tahu namun setelah diberi uang
mengambil alih konsesi PT. Agra Para Rp 2.000.000- Rp.3.000.000, mereka tak
Citra. Perusahaan-perusahaan ini berdaya untuk memperjuangkan haknya
mempunyai konsesi seluas 5.000 ha sampai atas lahan dan dengan terpaksa menerima
14.000 ha, dan secara bersama-sama kelima pemberian uang tersebut tanpa mereka
perusahaan tersebut memakan hampir ketahui tujuan pemberian uang tersebut.
semua lahan gambut yang ada. Antara Pada konferensi mengenai perubahan iklim
tahun 1994-1999 sekitar 40% Hutan Rawa (COP 13, tahun 2007 di Bali, Gubernur

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

41
Provinsi Aceh Irwandi Yusuf menjadi salah Kegiatan pembukaan perkebunan kelapa
satu pemimpin dunia dalam konteks sawit di Hutan Rawa Gambut Tripa sudah
penyelamatan hutan yang memiliki manfaat mengarah kepada indikasi pelanggaran
berkelanjutan terhadap masyaraat lokal. terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Beliau menandatangani “Deklarasi Hutan 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Sekarang” (Forests Now Declaration) yang Lingkungan Hidup, karena pembakaran
bertujuan menjaga hutan hujan tropis lahan. Lalu, UU No 18/2004 tentang
melalui sistem perdangan karbon dan biaya Perkebunan karena beroperasi tanpa izin.
untuk penyelamatannya. Hal ini diikuti UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber
dengan dikeluarkannya kebijakan tentang Daya Hayati dan Ekosistemnya karena
Moratorium Logging (jeda tebang) dan Visi beroperasi di Kawasan Ekosistem Leuser.
Green Aceh pada bulan Agustus tahun Selain itu pemerintah juga seharusnya
2007. Peraturan moratorium logging mewajibkan pihak PT. Kallista Alam untuk
diberlakukan untuk seluruh hutan di membayar sejumlah ganti rugi atas
Provinsi Aceh, ironisnya beberapa kerusakan ekosistem Hutan Rawa Gambut
perkebunan kelapa sawit, terutama PT Tripa. Pemulihan kerusakan Hutan Gambut
Kallista Alam, tetap saja melakukan Rawa Tripa yang termasuk Kawasan
pembukaan hutan primer di areal Ekosistem Leuser akibat pembukaan lahan
konsesinya untuk persiapan lahan tanam. dan kebakaran menjadi tanggung jawab
Meskipun kegiatan yang mereka lakukan perusahaan. Dasar penghitungan untuk
bertentangan dengan peraturan moratorium biaya ganti rugi ini sesuai dengan
logging, hal ini tidak menyurutkan aktivitas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
perusahaan tersebut untuk membuka Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti
kembali perkebunan kelapa sawit di Kerugian akibat Pencemaran dan atau
wilayah Hutan Gambut Rawa Tripa. Kerusakan Lingkungan Hidup.
Penghujung tahun 2011, riak kecil isu
lingkungan di Hutan Gambut Rawa Tripa
SEPERTI AYAM MATI DI LUMBUNG
kembali muncul, menyusul pemberian izin
PADI
Hak Guna Usaha (HGU) pada 25 Agustus
2011, No. 525/BP2T/5322/2011, tentang “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
Izin Usaha Perkebunan Budidaya dari terkandung didalamya dikuasai oleh
Pemerintah Aceh kepada perusahaan negara dan dipergunakan untuk sebesar-
perkebunan kelapa sawit PT Kallista Alam besarnya kemakmuran rakyat”.
di Kabupaten Nagan Raya yang dikeluarkan
oleh Gubernur Irwandi Yusuf. Padahal, Itulah kalimat yang tercantum dalam pasal
pada bulan Mei tahun 2011, areal 1.605 33 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara
hektar yang diizinkan dibuka tersebut Republik Indonesia tahun 1945. Maksud
masuk dalam areal moratorium. Namun, dan tujuan dari isi pasal tersebut adalah
pada revisi pertama peta moratorium, pada bahwa setiap rakyat Indonesia berhak untuk
bulan November tahun 2011, areal ini menggunakan kekayaan alam yang terdapat
dikeluarkan. Langkah pemberian izin HGU didalam bumi Indonesia untuk menjamin
kepada PT. Kallista Alam, diakhir masa kemakmuran hidup mereka melalui
pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf pemanfaatan hasil dari kekayaan alam yang
menjadi kontradiktif dengan ada ditanah Indonesia dengan aturan-aturan
penandatangan Forests Now Declaration, yang dibuat oleh Pemerintah sebagai
kebijakan Moratorium Logging (jeda pemegang kekuasaan atas segala hal yang
tebang) dan Visi Green Aceh yang dia meliputi kekayaan tanah dan alam yang ada
canangkan pada awal pemerintahannya. di Indonesia.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

42
Lantas bagaimana dengan nasib rakyat Rawa Tripa adalah hilangnya sumber mata
Indonesia yang pada dasarnya pemilik dari pencarian penduduk. Selain itu, keberadaan
seluruh kekayaan yang ada di tanah kawasan ekosistem Leuser Rawa Tripa
Indonesia. Agaknya sebuah pepatah diatas tersebut sebagai lokasi mata pencaharian
cocok untuk menggambarkan kondisi yang tetap bagi penduduk di sejumlah desa di
dialami oleh rakyat Indonesai saat ini. sekitar wilayah Hutan Gambut Rawa Tripa
Sebab dari sekian banyak pulau dan juga terancam. Bertahun-tahun kawasan itu
kekayaan alam yang dimiliki Indonesia berfungsi sebagai ladang mata pencaharian
seharusnya negara ini mampu untuk masyarakat untuk bertahan hidup dan
memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, melanjutkan pendidikan bagi anak-anak
minimal hak atas tanah yang merupakan mereka dengan mencari ikan, rotan, madu,
kewajiban negara untuk menentukan dan lokan dan lainnya. Artinya, kalau areal
mengatur hubungan-hubungan hukum kebun sawit dibuka maka secara otomatis
antara orang-orang dengan bumi, air dan mata pencaharian penduduk akan hilang.
ruang angkasa sesuai isi Pasal 2 ayat 2b Selain itu, juga ada keresahan masyarakat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun di kawasan tersebut selama ini karena salah
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok satu perusahaan perkebunan sawit
Agraria, yang bertujuan untuk mencapai memperketat setiap warga yang ingin
sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam mencari nafkah di wilayah tersebut.
arti kebahagian, kesejahteraan dan Masyarakat yang akan melintasi kawasan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara perkebunan kelapa sawit, harus melapor
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan meninggalkan Kartu Tanda Penduduk
adil dan makmur, sesuai isi Pasal 3 yang (KTP) kepada petugas salah satu
merupakan lanjutan dari Pasal 2 UUPA. perusahaan. Padahal, kawasan itu sudah
berpuluh-puluh tahun milik adat warga
Realita yang ada sekarang justru berkata
sekitar. Pada saat ini, sudah sering terjadi
lain, sebab hingga saat ini negara belum
konflik antara masyarakat dengan pihak
mampu untuk menyelesaikan berbagai
perkebunan, baik dalam skala kecil maupun
polemik kehidupan masyarakat Indonesia
dalam skala besar. Apabila terus-menerus
terutama yang menyangkut tentang masalah
konflik ini dibiarkan, akan menjadi bom
pertanahan. Hal ini dapat dilihat pada
banyaknya kasus tanah yang timbul akibat waktu, yang bisa meledak kapan saja.
rebutan lahan yang terjadi baik antara
masyarakat dengan masyarakat, masyarakat SOLUSI PENYELESAIAN KONFLIK
dengan instansi swasta, maupun masyarakat Dalam kasus konflik lahan antara
dengan negara. Ini sungguh merupakan masyarakat dengan PT Kallista Alam, bila
pukulan telak bagi kita dimana saat ini dikaji secara hukum, mengenai objek tanah
orang lain terus memanfaatkan kekayaan ini hak yang melekat atasnya adalah Hak
alam yang dimiliki oleh tanah Indonesia, Guna Usaha dari PT Kallista Alam,
sementara disaat yang sama rakyat pengertian Hak Guna Usaha itu sendiri
Indonesia sendiri yang memang memiliki menurut UUPA Pasal 28 adalah hak untuk
hak atas tanah-tanah yang dimiliki negara mengusahakan tanah bagi perusahaan, dan
untuk kemakmuran hidupnya justru tanah tersebut dikuasai langsung oleh
disibukkan dengan berbagai kasus-kasus Negara, penggunaan tanah ini jangka waktu
rebutan lahan yang seolah tiada hentinya. tertentu sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 29, dan Hak Guna Usaha ini
Dampak besar akibat pemberian izin Hak
digunakan sebagai usaha perusahaan
Guna Usaha (HGU) untuk areal perkebunan
dibidang pertanian, perikanan ataupun
kelapa sawit di kawasan Hutan Gambut

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

43
peternakan. Sedangkan mengenai hapusnya Bertolak dari permasalahan tersebut, sudah
HGU ini diatur dalam Pasal 34 UUPA. seharusnya pemerintah bertindak serius
dalam memberikan jaminan atas lahan
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
kepada siapa saja yang memiliki hak atas
tentang Pengadaan Tanah Bagi
lahan tersebut dan berani bertindak tegas
Pelaksanaan Pembangunan Untuk
kepada pihak-pihak yang coba menggangu
Kepentingan Umum pada Pasal 1 ayat (3)
lahan pertanahan yang ada tanpa ada hak
dikatakan bahwa “Pengadaan tanah adalah
yang dia miliki. Selain itu pemerintah juga
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
harus memiliki transparansi data mengenai
dengan cara memberikan ganti rugi kepada
Hak atas tanah kepada siapapun agar tidak
yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
yang selama ini menjadi pemicu banyaknya
berkaitan dengan tanah.” Jika dikaitkan
konflik tanah yang terjadi.
dengan kasus konflik lahan di Hutan Rawa
Gambut Tripa, memang masyarakat
menerima pemberian uang sebesar Rp KESIMPULAN
2.000.000- Rp.3.000.000/kepala keluarga, Konflik lahan yang terjadi di Hutan
namun mereka menerimanya dengan Gambut Rawa Tripa memberikan suatu
terpaksa dan dibawah intimidasi pimpinan gambaran kepada kita tentang lemahnya
desa/tokoh masyrakat yang bekerjasama peran pemerintah dalam menyelesaikan
dengan pihak perusahaan. Pihak perusahaan konflik lahan. Peran aktif pemerintah
tidak pernah memberitahukan tujuan dari sangat diperlukan dalam mengawal
pemberian uang tersebut berbagai masalah yang berkaitan dengan
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun tanah agar tidak terjadi perselisihan karena
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum kebijakan yang dibuat. Sebab
pada Pasal 3 dikatakan bahwa “Pengadaan bagaimanapun negaralah yang memiliki
Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan kuasa atas tanah dan berkewajiban untuk
menyediakan tanah bagi pelaksanaan memberikan kemakmuran kepada setiap
pembangunan guna meningkatkan rakyat Indonesia melalui pemanfaatan tanah
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, dan hasil bumi yang terkandung dalam
negara, dan masyarakat dengan tetap wilayah Indonesia.
menjamin kepentingan hukum Pihak yang
Berhak” dan dalam Pasal 7 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, DAFTAR PUSTAKA
juga menyebutkan sebagai berikut Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik Agraria :
“Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Protes-protes Agraria Dalam
Kepentingan Umum memperhatikan Masyarakat Indonesia Kontemporer,
keseimbangan antara kepentingan Andalas University Press, Padang.
pembangunan dan kepentingan
masyarakat”. Dalam hal ini jelaslah PT. http://mediatani.wordpress.com/2007/10/27
Kallista Alam telah melakukan pelanggaran /reforma-agraria-jalan-paling-tepat-
terhadap isi Pasal tersebut, karena dengan akhiri-konflik/ di Unduh tanggal 10
pembukaan perkebunan kelapa sawit, Desember 2013.
mereka telah memaksa masyarakat yang [Kepmenhut] Keputusan Menteri
berdomisili di wilayah Hutan Rawa Gambut Kehutanan No.170/kpts-II/2000
Tripa untuk meninggalkan pemukiman tentang Arahan Fungsi Hutan dan
mereka dan pindah kedaerah lain. Perairan Provinsi Aceh.

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

44
[Kepmentan] Keputusan Mentan
No.357/Kpts/HK.350/5/2002
tentang Perizinan Permohonan
Usaha Perkebunan.

Pan Eco Foundation for Sustainable


Development and Intercultural
Exchange. 2008. Bagaimana
Perkebunan Kelapa Sawit di Tripa
Beresiko Mendatangkan Bencana,
Berkontribusi Terhadap Pemanasan
Global dan Membuat Populasi Unik
Orangutan Sumatera Menjadi
Punah: Hutan Rawa Gambut Tripa,
Aceh, Sumatera. Chileweg 5, CH-
8415 Berg am Irchel, Switzerland.

[Perpres] Peraturan Presiden Nomor 65


Tahun 2006 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.

[Permen LH] Peraturan Menteri


Lingkungan Hidup Nomor 13
Tahun 2011 tentang Ganti
Kerugian akibat Pencemaran dan
atau Kerusakan Lingkungan
Hidup.

[UU RI] Undang-Undang Republik


Indonesia Tahun 1945 Pasal 33
Ayat 3.

[UU RI] Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.

[UU RI] Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya
Hayati dan Ekosistemnya.

[UU RI] Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan.

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 2 Jul – Des 2016

45

Anda mungkin juga menyukai