Anda di halaman 1dari 27

Block 18: Neurology, Behavior & Psychiatry September 2016

Laporan Tutorial
Skenario 4: Kegaduhan di Unit Gawat Darurat

Nama : Kurniawan Syam


Stambuk : N 101 13 017
Kelompok : 2 (Dua)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
Block 18: Neurology, Behavior & Psychiatry Jumat, 23 September 2016

Skenario 4: Kegaduhan di Unit Gawat Darurat


Learning Objectives

1. Diagnosis dari skenario, klasifikasi (diagnosis multiaxis)


2. Tanda dan gejala serta pengertiannya
3. Kriteria diagnosis menurut PPDGJ atau DSM serta penjelasannya
4. Jelaskan sindrom otak organik, mekanisme serta faktornya
5. Macam-macam obat antipsikotik serta efek sampingnya
6. Penatalaksanaan dari skenario (prinsip, dosis dan waktu pemberian )
7. Indikasi rujukan dari skenario
8. Epidemiologi skenario
9. Etiologi dan faktor resiko dari skenario

Jawaban

1. Pedoman diagnostik skizofrenia


 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau jelas):
a. Thought echo, thought insertion atau withdrawal, thought broadcasting;
b. Delusion of control, delusion of influence, delusion of passivity, delusional perception;
c. Halusinasi auditorik;
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misallnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensis atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
d. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respoons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendiri (sself-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Klasifikasi skizofrenia – pedoman diagnosis

(1) Skizofrenia paranoid


 Memenui kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Sebagai tambahan:
o Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
 Suara-suara halusinasi yang mengaancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa;
 Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin
ada tetapi jarang menonjol;
 Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (control), dipengaruhi (influence), atau “passivity”,
dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.
o Gangguan afektik, dorongan kehendak dan pembicaraana, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.
Diagnosis banding: epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan; keadaan
paranoid involusional; paranoia.
(2) Skizofrenia hebefrenik
 Memenui kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis
 Untuk diagnosis hebefrrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran
yang khas berikut ini memang benar bertahan:
o Perilaku yang tidak bertanggungjawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
o Afek pasien dangkal dan tidak wajar, serta disertai oleh cekikikan atau
perasaan puas diri, senyum sendiri,atau oleh sikap tinggi hati, tertawa
menyeringai, mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan
hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
o Proses pikir mengalam disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
inkoheren.
 Gangguan afekrif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol.
Dorongan kehendak dan yang bertujuan hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
dan tanpa maksud.
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan
pikiran pasien.
(3) Skizofrenia katatonik
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
o Stupor atau mutisme
o Gadauh-gelisah
o Menampilkan posisi tubuh tertentu
o Negativisme
o Rigiditas
o Fleksibilitas cerea
o Gejala-gejala lain seperti “command automatism”, dan pengulangan kata-
kata serta kalimat-kalimat
 Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk memperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit
otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.
(4) Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
 Memenui kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-skizofrenia
(5) Depresi pasca-skizofrenia
 Diagnosis dapat ditegakkan hanya kalau:
o Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
o Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya)
o Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresi dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
Episode Depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-F20.3)
(6) Skizofrenia residual
 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua:
o Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjoll, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isis pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang
buruk
o Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
o Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sondrom “negatif” dari
skizofrenia
o Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat mnejelaskan disabilitas
negatif tersebut
(7) Skizofrenia simpleks
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
o Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik
o Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan dengan subtipe
skizofrenia lainnya
(8) Skizofrenia lainnya
(9) Skizofrenia YTT (yang tak tergolongkan/unspecified)
(Maslim R. (2013). Buku Saku diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ – III dan
DSM – 5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya)

Diagnosis multiaksial:
Aksis I: F20.0.x9 Skizofrenia paranoid, periode pengamatan kurang dari 1 tahun
Z91.1 ketidakpatuhan terhadap pengobatan
Aksis II: Z03.2 tidak ada diagnosis
Aksis III: tidak ada
Aksis IV: pemutusan hubungan kerja
Aksis V: GAF 11-20 (bahaya mencederai diri sendiri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam
komunikasi da mengurus diri)
2. Tanda dan gejala

Berdasarkan DSM – IV, ciri yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran dari dua
karakteristik (baik gejala psotif maupun gejala negatif). Secara umum, karakteristik gejala
skizofrenia (kriteria A) dapat digolongkan dalam tiga kelompok yaitu :
A. Gejala positif: tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun pada pasien
skizofrenia justru muncul. Gejala positif adalah gejala yang bersifat aneh, anatara lain
berupa halusinasi, delusi, ketidakteraturan pembicaraan dan perubahan perilaku.
B. Gejala negatif: menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti perasaan yang
datar, tidak adanya perasaan bahagia dan gembira, menarik diri, ketiadaan pembicaraan
yang berisi, mengalami gangguan sosial, serta kurangnya motivasi untuk breaktivitas.
C. Gejala lainnya: Kategori gejala yang ketiga yaitu disorganisasi, anatara lain perilaku yang
aneh (misalnya katatonia, dimana pasien menampilkan perilaku tertentu berulang –
ulang, menampilkan pose tubuh yang aneh atau waxy flexibility yaitu orang lain dapat
memutar atau membentuk posisis tertentu dari anggota badan pasien, yang akan di
pertahankan dalam waktu yang lama) dan disorganisasi pembicaraan yaitu masalah dalam
mengorganisasikan ide dan pembicaraan, sehingga orang lain mengerti ( dikenal dengan
gangguan berpikir formal ) mislanya inkohorensi dan sebgainya.

Adapun gejala skizofrenia berdasarkan klasifikasinya menurut DSM – IV yaitu :


(1) Skizofrenia paranoid
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut :
 Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi auditorik yang menonjol
secara berulang – ulang
 Tidak ada yang menonjol dari bernagai keadaan berikut : pembicaraan yang tidak
terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik, atau efek yang
datar atau tidak sesuai.
(2) Skizofrenia katatonik
Tipe ini memiliki gambaran klinis yang di dominasi sekurang kurangnya 2 hal berikut :
 Imobilitas motorik, seperti ditunjukkan adanya katalepsi (termasuk fleksibilitas
lilin) atau stupor
 Aktivitas motorik yang berlebihan (tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
stimulus external )
 Negativisme yang berlebihan
 Gerakan – gerakan sadar yang aneh, seperti yang ditunjukkan oleh posturing
(mengambil postur yang tidak lazim atau aneh tidak sengaja), gerakan sterotipik
yang berulang-ulang, manerisme yang menonjol atau bermuka menyeringai secra
menonjol
 Ekolalia atau ekopraksia ( pembicaraan yang tidak bermakna )
(3) Skizofrenia terdisorganisasi
Tipe skizofrenia memenuhi kriteria sebgai berikut :
 Dibawah ini semuanya menonjol :
o Pembicaraan yang tidak terorganisasi
o Perilaku yang tidak terorganisasi
o Afek yang datar atau tidak sesuai
 Tidak memenuhi kriteria katatonik
(4) Skizofrenia tidak tergolongkan
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria A tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe
paranoid, terdisorganisasi dan katatonik
(5) Skizofrenia residual
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
 Tidak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisasi dan
perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik yang tidak menonjol
 Terdapat terus tanda – tanda gangguan seperti adanya gejala negatif dua atau
lebih gejala yang trdapat dalam kriteria a , walaupun ditemukan dalam bentuk
yang lemah seperti keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim

3. Prinsip Diagnostik

PENGANTAR PENULISAN STATUS PSIKIATRI


I. Identitas pasien
Identitas pemberi alloanamsesis dan waktu alloanamnesis, Nama, jenis kelamin,
umur, agama, pendidikan, pekerjaan, Bangsa/suku, Alamat, No. RM, Tanggal
periksa/masuk RS

II. Alloanamanesis
II.1. Sebab dibawa ke RS pernyataan pasien: kata-kata sendiri mengapa
datang/dibawa, pernyataan orang yang mendampingi pasien) (versi lain : pernyataan
orang yg mendampingi pasien)

II.2. Riwayat Perjalan Penyakit / Sekarang Uraian kronologis ttg. latar belakang dan
perkembangan dari gejala-gejala yg disusun secara berurutan hingga memuncak dan
pasien meminta pertolongan; suasana kehidupan pasien pd saat timbulnya (onset);
kepribadian ktk sehat; bagaimana pengaruh penyakit thd aktivitas hidupnya dan hub.
personalnya(perubahan-perubahan pada kepribadiannya; minat,afek(mood)sikap thd
orang lain, cara berpakaian, kebiasaan, taraf ketegangan, irritabilitas, aktivitas,
perhatian, konsentrasi; daya ingat, pembicaraan, gejala psikofisiologik) perincian dan
sifat dari taraf disfungsi(hendaya), lokasi intensitas, fluktuasi disfungsinya; hubungan
antara gejala psikis dan fisik, sejauh mana penyakit itu berguna sebagai
tujuan(keuntungan tambahan) bagi pasien apabila ia menghadapi stress, apakah
anxietasnya bersifat umum dan tidak spesifik, ataukah secara spesifik berhubungan
dengan situasi, aktivitas atau objek tertentu; bagaimana cara anxietasnya diatasi,
penghindaran diri dari situasi yang ditakuti, penggunaan obat-obatan atau aktivitas
lain untuk mengalihkan dari hal-hal yang mengganggunya.

II.3. Grafik Perjalanan Penyakit Keluhan fisik dan dampak terhadap fungsi sosial dan
kemandirian

II.4. Anamnesis Sistem Simptom Fungsi Peran

II.5. Hal-hal yang mendahului penyakit dan RPD


II.5.1 Hal-hal yang mendahului penyakit
II.5.1.1 Faktor organik
II.5.1.2 Faktor Psikososial (Stressor psikososial)
II.5.1.3 Faktor Predisposisi
II.5.1.4 Faktor Presipitasi

II.5.2 Riwayat Penyakit Dahulu


II.5.2.1 Riwayat penyakit serupa sebelumnya
II.5.2.2 Riwayat penyakit berat/opname

II.6. Riwayat Keluarga


II.6.1 Pola asuh keluarga
II.6.2 Riwayat penyakit Keluarga

III. PEMERIKSAAN FISIK

III.1. Status Praesens


III.1.1. Status Internus
III.1.2. Status Neurologis
III.1.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium/Penunjang

III.2. Status Psikiatri


III.2.1. Kesan Umum: Penampilan, Perilaku dan aktivitas psikomotor,
Pembicaraan, Sikap terhadap pemeriksa
III.2.2 Kesadaran
III.2.3. Mood dan Afek
III.2.4. Proses Pikir: Bentuk pikir, Isi Pikir, Progres pikir
III.2.5. Fungsi Intelektual (Kognitif): Daya konsentrasi, Orientasi, Daya Ingat
(Memori), Pikiran Abstrak
III.2.6. Gangguan Persepsi (Halusinasi, Ilusi, Depersonalisasi, dll)
III.2.7. Pengendalian Impuls: Apakah pasien dapat mengendalikan impuls
marah, agresi, seksual, berahi dan cinta, keinginan memiliki, berjudi, main api
dan lain sebagainya
III.2.8. Daya Nilai: Daya Nilai sosial, Uji Daya Nilai
III.2.9. Hubungan Jiwa
III.2.10. Perhatian: Sulit tertarik, Mudah tertarik sulit dicantum, Mudah
tertarik sulit dicantum
III.2.11. Tilikan (insight): Derajat 1 – 6
III.2.12. Gejala dan tanda lain

III.3. Hasil Pemeriksaan Psikologi


III.3.1. Kepribadian
III.3.2. IQ
III.3.3. Lain-lain

III.4. Hasil Pemeriksaan Sosiologi

IV. RANGKUMAN DATA


IV.1. Tanda-tanda
IV.2. Gejala
IV.3. Kumpulan gejala (Sindrom)
IV.4. FORMULA DIAGNOSTIK

V. EVALUASI MULTIAKSIAL (Aksis I-V)


VI. RENCANA PENATALAKSANAAN
VI.1. Terapi Organobbiologik: Psikofarmaka, Terapi Fisik
VI.2. Psikoedukasi/Psikoterapi
VI.3. Terapi Sosiokultural: Terapi Rehabilitatif, Terapi Spiritual, Edukasi dan Modifikasi
Keluarga
VII. PROGNOSIS
VII.1. Faktor Premorbid
VII.2. Faktor Morbid
VII.3. Kesimpulan prognosis
VIII. RENCANA FOLLOW UP
(Prasetiawati, T. (2016). Multiaksial Diagnosis & Pengantar Penulisan Status Psikiatri. KSM
Psikiatri RS UGM)

4. Sindrom otak organik/gangguan mental organik


Gangguan mental organik merupakan sebuah gangguan mental yang memiliki dasar organik
yang patologis yang juga bisa diidentifikasi seperti halnya penyakit serebralvaskular, tumor
otak, intoksikasi obat-obatan, dll. Secara umum, ganguan mental seperti ini bisa
diklasifikasikan menjagi 3 kelompok berdasarkan kepada gejala utamanya yang merupakan
gangguan berbahasa, gangguan kognitif seperti halnya penurunan daya ingat, dan juga
gangguan perhatian. Ketiga kelompok gangguan mental itu adalah delirium, dimensia, serta
gangguan amnestik.
A. Delirium
Delirium adalah kejadian akut atau subakut neuropsikiatri berupa penurunan fungsi kognitif
dengan gangguan irama sirkardian dan bersifat reversibel. Penyakit ini disebabkan oleh
disfungsi serebral dan bermanifestasi secara klinis berupa kelainan neuropsikiatri. Definisi
delirium menurut Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) adalah
sindrom yang memiliki banyak penyebab dan berhubungan dengan derajat kesadaran serta
gangguan kognitif. Tanda yang khas adalah penurunan kesadaran dan gangguan kognitif.
Adanya gangguan mood (suasana hati), persepsi dan perilaku merupakan gejala dari defisit
kejiwaan. Tremor, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala defisit
neurologis.
Klasifikasi delirium berdasarkan DSM-IV-TR :
- Delirium karena kondisi medis umum
- Delirium karena intoksikasi zat
- Delirium karena sindrom putus zat
- Delirium karena etiologi yang multiple
- Delirium yang tak terklasifikasikan

Patogenesis Delirium

Walaupun patogenesis delirium belum diketahui secara pasti, beberapa teori yang
diungkapkan oleh beberapa pakar tetap penting untuk diperhatikan. Perubahan Electro
Encephalo Graphic (EEG) (-8 kali per detik, lebih lambat dari fungsi sistem saraf pusat normal)
sering terjadi pada delirium yang terkait dengan disfungsi korteks, hal ini disebabkan karena
EEG mengukur aktivitas listrik di korteks. Struktur subkorteks (formasiretikuler, thalamus)
mengendalikan aktivitas listrik di korteks sehingga struktur ini juga erat kaitannya dengan
delirium. Disaritmia korteks mengindikasikan adanya defisiensi substrat tertentu, umumnya
karena paparan abnormal glukosa dan oksigen dalam kada rtertentu. Sayangnya, tidak semua
pasien dengan delirium menunjukkan adanya perlambatan EEG, dan bukti adanya defisiensi
substrat tertentu tidak dapat ditemukan pada sebagian besar kasus. Ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit mengganggu kemampuan sel saraf untuk menginisiasi aktivitas listrik.
Menurunnya aktivitas listrik antar sel saraf akan menyebabkan melambatnya gelombang EEG.

Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguanstructural dan fisiologik.


Neuropatologi dari delirium telah dipelajari padapasien dengan hepatic encephalopathy dan
pada pasien dengan putusalkohol. Patogenesis delirium terdiri dari beberapa transmitter,
yaitu :

a. Asetilkolin

Asetilkolin adalah salahsatu dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis


terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik
diketahui sebagai penyebab keadaan bingung, pada pasien dengan transmisi kolinergik
yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien postoperatif delirium serum
antikolinergik juga meningkat.

b. Dopamine

Pada otak,hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dandopaminergik. Pada delirium


muncul aktivitas berlebih daridopaminergik,pengobatan simptomatis muncul pada
pemberianobat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambatdopamine.

c. Neurotransmitter lainnya

Serotonin : terdapat peningkatan serotonin pada pasien denganencephalopati


hepatikum.GABA (Gamma-Aminobutyric Acid); pada pasien dengan hepaticencephalopati,
peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada
pasien hepaticencephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asamamino glutamat
dan glutamine (kedua asam amino inimerupakan precursor GABA). Penurunan level GABA
pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus
benzodiazepine dan alkohol.

Etiologi

Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa
yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama dapat
berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti epilepsi, penyakit sistemik, intoksikasi atau
reaksi, dan putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak di luar sistem
pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah
asetilkolin, serotonin, serta glutamat Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.

Selain itu diakibatkan juga karena adanya gangguan metabolik/defisiensi vitamin (thiamin),
hipoksia, hipcarbamia, hipoglikemia, gangguan mineral, pasca bedah, kejang, cedera
kepala, ensefalopati hipertensif, gangguan fokal lobus parietal, dan inferomedial lobus
oksipital.

B. Dementia
Demensia merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya diakibatkan oleh proses
degeneratif yang progresif yang mengenai fungsi kognitif . Demensia merupakan sindroma
yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif (biasanya tanpa gangguan kesadaran)
yang mempengaruhi kepribadian pasien.

Etiologi
Demensia dapat disebabkan oleh penyakit alzheimer dengan kemungkinan 60%, dapat juga
disebabkan karena gangguan neurologis (seperti chorea huntington, parkinsonism, multiple
sklerosis), gangguan toksik metabolik (anemia pernisiosa, defisiensi asam folat, hipotiroidime,
intoksikasi bromida), trauma (cedera kepala), dan obat toksin (termasuk demensia alkoholik
kronis). Demensia yang masih mungkin disembuhkan (reversible) adalah yang disebabkan oleh
gangguan kelebihan atau kekurangan hormon tiroid, dan vitamin B12.

Jenis-jenis Demensia

1. Alzheimer

Dalam kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk tipe alzheimer pada dementia of menekankan
kerusakan memori dan memmperlihatkan salah satu penurunan fungsi kognitif (aphasia,
apraxia, agnosia, or abnormal executive functioning). Diagnosis juga mempersyaratkan
penurunan yang gradual dalam pemfungsian dan kerusakan pada fungsi sosial dan
okupasional.

Etiologi

• Genetik. Dipengaruhi sebanyak 40%, keluarga yang memiliki latar belakang demensia
dengan tipe Alzheimer. Sehingga dapat dikatakan genetik memiliki peran dalam munculnya
penyakit tersebut. Dizygotic 43%. Alzheimer menunjukkan hubungan antara kromosom 1, 14,
21.

• Amyloid Precursor Protein

Genetik yang menjadi dasar protein amyloid terdapat pada lengan kromosom 21. Proses ini
berlanjut pada pembentukan of amyloid precursor protein. Protein ini nantinya akan
membentuk plak senilis.

• Neurotransmitter

Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter


dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan
penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta
penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik ini
bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis
neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu
didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin
pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat
mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit alzheimer

2. Vascular Dementia
Gejala umum dari vascular dementia adalah sama dengan tipe demensia alzheimer, tetapi
diagnosis dari vascular demensia membutuhkan pemerikasaan klinis dimana vascular
demensia lebih menunjukkan penurunan dan deteriorasi dari penyakit alzheimer. Demensia
vaskuler juga merupakan demensia yang terjadi akibat penyakit ateroskleros pada pembuluh
darah sehingga resiko demensia sama dengan penyakit aterosklerose lainnya, seperti
hipertensi, diabetes mellitus dan hiperlipidemia. Demensia vaskuler yaitu demensia yang
timbul akibat keadaan atau penyakit lain seperti stroke, hipertensi kronik, gangguan
metabolik, toksik, trauma otak, infeksi, tumor dan lain-lain. Dimana demensia vaskuler dapat
terjadi apabila lansia memiliki penyakit diatas, sehingga kejadian demensia dapat terjadi
dengan cepat. Perjalanan penyakit ini pasien akan mendadak merasa membaik kemudian
memburuk

3. Dementia Due to Other General Medical Condition

DSM IV menyatakan 6 penyebab spesifik dari demensia yang dapat dikodekan seperti: HIV
disease, head trauma, Parkinson's disease, Huntington's disease, Pick's disease, and
Creutzfeldt-Jakob disease.kategori ketujuh memberikan klinikus untuk menspesifikan kondisi
medis yang diasosiasikan dengan demensia.

4. Substance-Induced Persisting Dementia

Untuk memfasilitasi pemikiran klinikus tentang perbedaan diagnosa, substance induced ini
terdapat pada dua daftar di DSM yaitu yang diikuti dengan demensia dan yang terkait dengan
kelainan zat. Zat spesifik yang dituliskan dalam DSM IV TR adalah alkohol, sedatives,
hypnotics, anxyolitics.

5. Alcohol-Induced Persisting Dementia

Untuk mendiagnosis jenis ini kriteria diagnosa demensia harus terpenuhi, karena amnesia
dapat muncul pada psikosis, dan korsakoff sindrom. Kita harus dapat membedakan kerusakan
fungsi memori yang terjadi disertai dengan defisit fungsi kognitif dengan amnesia yang
disebabkan oleh kekurangan thiamine
Dalam sindrom wernicke korsakoff terdapat juga kerusakan pada fungsi kognitif, namun hal
ini disertai dengan perubahan mood, konsentrasi yang kurang dan gejala lain dalam konteks
depresi juga harus dibedakan.

C. Gangguan Mental Organik Selektif


(1) Sindroma Lobus Frontalis
Gejala ini biasanya mendahului gejala demensia. Hal ini ditandai dengan gangguan
fungsi lobus frontalis pada tahap dini, dengan masih terpeliharanya daya ingat secara
relatif hingga saat selanjutnya.
(2) Sindroma Amnesia Organik
Sindrom amnesik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya. Namun dari
pengaruh daya ingat, berupa berkurangnya daya ingat jangka pendek (lemahnya
kemampuan belajar materi baru). Amnesia Anterograd dan Retrograd, menurunkan
kemampuan mengingat dan mengungkap pengalaman lalu. Biasanya orang yang
menderita amnesia organik memilik riwayat cedera / penyakit pada otak (jaringan
diensefalon dan lobus temporalis medialis), sehingga daya ingat segera tidak
berkurang. Namun daya perhatian dan kesadaran tidak terganggu, hendaya
intelektual menyeluruh kurang.
Secara Etiologi : kerusakan bilateral diensefalon medial temporal à karena cedera
kepala, gangguan vaskuler, ensefalitis, defisiensi tiamin, alkoholisme kronik
(3) Sindroma Waham Organik
Gangguan Waham Organik (Lir-Skizofrenia) memiliki kriteria umum untuk menduga
suatu penyebab organik seperti dicantumkan sebelumnya. Penderita memiliki waham
yang menetap / berulang (waham kejar, tubuh yang berubah, cemburu dll.). Sidroma
waham organik ini dipengaruhi oleh pemakaian zat, seperti : amfetamin, kanabis,
halusinogen. Pemakaian zat ini akan dapat merusak bagian otak lobus temporalis,
sehingga penderita mengalami epilepsi dan Chorea Huntington. Seseorang yang
penderita sindrom tersebut sering mengalami halusinasi, gangguan proses pikir, dan
katatonik. Namun, penderita masih mengalami kesadaran dan daya ingatnya harus
tidak terganggu. Diagnosis jangan dibuat jika penyebab organik yang diduga tidak
khas atau terbatas pada penemuan seperti ventrikel otak yang melebar (CT-Scan)
atau gejala neurologis yang halus (soft neurological signs). Hal yang terbaik dilakukan
untuk penderita ini, yaitu melakukan Flash back.
(4) Halusionosis Organik
Halusinosis organik adalah suatu gangguan halusinasi yang menetap atau berulang,
biasanya visual atau auditorik yang terjadi pada keadaan kesadaran penuh. Bisa pula
dijumpai waham, tapi tidak menonjol dan insightnya masih baik. Gangguan ini
disebabkan oleh oleh gangguan tertentu pada otak. Kasus ini banyak ditemukan di
kalangan para pecandu alkohol.
(5) Sindroma Afektif Organik
Sindrom afektif organik adalah gangguan berupa keadaan mania atau depresi
sehubungan dengan gangguan pada otak. Penyebabnya bisa cedera otak, tumor otak,
tumor pada kelenjar hormon. Hal ini menyebabkan gangguan pada toksik atau
metabolik.
 Sindroma depresif: reserpin, metildopa, halusinogen
 Sindroma manik/depresif: hipertiroidisme, hipotiroidisme,
Hiperaldosteronisme, Hiperadrenokortikalisme, Ca pankreas (depresif),
Penyakit virus (HIV)

(6) Sindroma Putus Zat dan Sindroma Intoksikasi


Sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang biasa menggunakan
secara rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan atau menurunkan jumlah zat
yang biasa digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.
(7) Sindroma neuroleptik maligna
Neuroleptic malignant syndrome (NMS) adalah suatu gangguan yang terjadi akibat
reaksi merugikan yang paling sering disebabkan oleh penggunaan obat-obat
neuroleptik atau antipsikotik.
Gejala awal:
a. Kekakuatn otot
b. Peningkatan sekresi air liur
c. Diaphoresis
d. Dysphagia
e. Dyskinesia
f. Dystonia
g. Demam tinggi sampai 108 derajat F
h. Disfungsi sistem otonom, tekanan darah meningkat dan denyut nadi
fluktuatif, pernafasan cepat
i. Tremor
j. Delirium
k. Lethargy
l. Stupor
m. Pucat, hipertertemia
Gejala biasanya terjadi pada 24-72 jam dan bertahan selama 1-44 hari (rata-rata 10 hari).
NMS ini disebabkan karena adanya penurunan aktivitas dopamin akibat blokade reseptor
dopamin (D2), ataupun deplesi dopamin di SSP, disfungsi membran otot, serta adanya
gangguan sistem saraf simpatik. Pemblokan reseptor dopamin ini akan meningkatkan
kontraksi otot rangka. Faktor penyebab dari sindroma ini adalah peningkatan dosis
neuroleptik yang cepat, serta penghentian secara tiba-tiba penggunaannya. Psikomotor
agitasi merupakan gejala awal yang paling signifikan pada pasien NMS, ia juga mengalami
stres, dehidrasi, pasien berusia dibawah 40 tahun serta lebih sering terjadi pada pria.
Zat yang mungkin menyebabkan NMS:
a. Obat-obat neuroleptik/antipsikotik (clozapine, nisperidone)
b. Obat-obat non-neuroleptik yang memblok jalur dopamin (metoclopramide,
amoxapine, lithium)
c. Dopaminergik (obat-obatan antiparkinson)
d. Obat-obat antiemetikum
e. Obat-obat anastesi (droperidol)

5. Efek samping antipsikotik tipikal

Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine ternyata memberi efek
merugikan pada neurologis dan endokrinologi.Selain itu, berbagai antipsikotik juga
menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan histaminergik jadi menyebabkan
bervariasinya sifat efek merugikan yang ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek samping baik
endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat memanifestasikan dirinya sebagai
galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan efek samping ekstrapiramidal (EPS).
Selanjutnya, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan penambahan berat badan.
Kombinasi dari semua efek samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi.

A. Efek Samping Non neurologis

1.Efek pada jantung

Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan


antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan interval QT dan
PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya
memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan,
seperti torsade de pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga
disebabkan karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler.Untuk
mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun
dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan magnesium.

2.Hipotensi ortostatik (postural)

Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling


sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan
thioridazine.Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki
toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan.Bahaya utama dari hipotensi ortostatik
adalah adanya kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah
pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa
hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang efek kemungkinan terjatuh dan
pingsan akan sangat membantu pasien sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila
hipotensi terjadi pada pasien yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat
ditangani dengan membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan
kepala.Ekspansi volume dengan cairan sangat membantu.Pemberian epinefrin
dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi.Metaraminol dan
norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.Untuk
antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak menghambat
adrenergic.

3.Efek hematologis

Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian


antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hamper semua
antipsikotik adalah agranulositosis.Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang
ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni
berat yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan
kulit.Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan,
zat kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.

Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi
sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.Jika pasien melaporkan
adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera
dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis.Jika indeks darah
rendah, antipsikotik harus segera dihentikan.Angka mortalitas dari komplikasi setinggi
30%.Purpura trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang
dapat terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik.

4.Efek Antikolinergik Perifer

Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut dan hidung kering,
hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis.Beberapa
pasien juga mengalami mual dan muntah.Obat antipsikotik tipikal seperti
chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat
mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya
dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula,
karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan
insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet
tinggi serat, serta preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang
menjadi ileus paralitik.Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau
penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik.Pilocarpine mungkin berguna pada
beberapa pasien dengan retensi urin.

5.Efek Endokrin

Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan


peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara,
galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada
wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat
antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan
bromokriptin.Untuk gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan
brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex),
midrione, dan imipramin (tofranil).Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis
adrenergic α1.Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling
sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan nantinya
akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia.

6.Efek Dermatologis

Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling
sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah,
khusunya chlorpromazine.Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki,
dan erupsi edematous telah dilaporkan.Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam
minggu pertama dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang
menyerupai proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan tentang efek
tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan
harus menggunakan tabir surya.Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa
kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar
matahari.

7.Efek pada Mata

Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam
dosis lebih besar dari 800 mg sehari.Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang
berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan
malam.Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine
dihentikan karena tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai
oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea
posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama
hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat
kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien.

8.Ikterus

Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang terjadi
dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama
terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu,
demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan
transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan
diganti.Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat
jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine.

9.Overdosis Antipsikotik

Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan reflex


tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium,
koma, depresi pernapasan, dan kejang.Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk
pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat
dipertimbangkan.Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin
juga merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.

B. Efek Samping Neurologis

Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan beberapa
efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.Efek neurologis tersebut dikenal sebagai
efek sindrom ekstrapiramidal.Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi
dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi.
1.Parkinsonisme akibat Neuroleptik

Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati
dengan antipsikotik tipikal.Biasanya terjadi dalam 5-90 hari setelah awal terapi. Gejala-
gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity),
rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk
dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik
jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial
mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam
DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang
ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila
orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang berulang.Wajah
yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia
(kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering
didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia.
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik
adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih
dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme,
khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang
rendah.Kemungkinan chlorpromazine dan thioridazine kemungkinan tidak
terlibat.Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah
penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik.
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat
antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine.Antikolinergik harus dihentikan
setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi
terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat
neuroleptik dapat meneruskan terapi.
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala parkinsonisme dapat
terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3 bulan sehingga perlu meneruskan
pemberian antikolinergik setelah menghentikan antipsikotik sampai gejala
parkinsonisme pulih sepenuhnya.

2.Distonia Akut akibat Neuroleptik

Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal
mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau
hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang
perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter.Distonia
dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa
yang menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan
keseluruhan tubuh (opistotonus).Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis
okulorigik, ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas.Tidak seperti tipe distonia
lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia lain berupa
blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria, disfagia, dan
kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis.
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling
sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik
dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi IM. Mekanisme kerja
diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang
terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis.
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah
berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya.
Terapi dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hamper
selalu menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine
sodium benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif.

3.Sindrom Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat terjadi
setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Gejala motorik dan perilaku adalah
rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme, obtundasi, dan agitasi.Gejala otonomik
adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan
darah.Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin
fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai
dengan gagal ginjal.

4. Efek Epileptogenik

Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan


sinkronisasi EEG.Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik
menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain
diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi.

5. Sedasi

Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-


1.Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi.Memberikan
dosis antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi,
dan toleransi untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi.

6. Efek Antikolinergik Sentral

Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap


waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan
koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan
obat penyebab dan pemberian physostigmine (antilirium, Eserine) 2 mg malalui infuse
IV lambat, diulangi dalam satu jam seperlunya. Terlalu banyak physostigmine juga
membahayakan.Gejala toksisitas physostigmine adalah hipersalivasi dan berkeringat.
Atropin sulfat (0,5 mg) dapat membalikkan physostigmine.
C. Efek samping antipsikotik atipikal

Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik atipikal bervariasi dan
spesifik pada masing-masing obat. Secara umum, antipsikotik atipikal diharapkan memiliki
kemungkinan lebih rendah untuk terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik tipikal.
Namun, tardive dyskinesia biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik jangka
panjang (mungkin beberapa dekade). Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal, yang
telah di gunakan untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden tardive dyskinesia
yang lebih rendah.
Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada antipsikotik tipikal. Walaupun
banyak pasien akan membantah klaim ini. Pada tahun 2004, Komite untuk Keselamatan Obat-
obatan (CSM) di Inggris mengeluarkan peringatan bahwa olanzapine dan risperidone tidak
boleh diberikan kepada pasien lansia dengan demensia, karena peningkatan risiko stroke.
Kadang-kadang antipsikotik atipikal dapat menyebabkan perubahan abnormal pada pola
tidur, dan kelelahan ekstrim dan kelemahan.
Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel tentang efek obat antipsikotik
pada anak-anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal (Clozaril, Risperdal, Zyprexa, Seroquel,
Abilify, dan Geodon) telah disetujui untuk anak-anak, dan ada sedikit penelitian tentang
dampaknya pada anak-anak. Dari 2000-2004, ada 45 kematian dilaporkan, di mana sebuah
antipsikotik atipikal tercatat sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek samping
yang serius, dan kadang-kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk tardive dyskinesia dan
distonia.
Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa antipsikotik atipikal
meningkatkan resiko penyakit jantung.Penelitian Kabinoff et al mengatakan peningkatan
penyakit kardiovaskular dilihat terlepas dari perlakuan yang mereka terima, melainkan
disebabkan oleh berbagai faktor seperti gaya hidup atau diet .Efek samping seksual juga telah
dilaporkan. Antipsikotik mengurangi gairah seksual laki-laki, merusak performa seksual
dengan kesulitan utama berupa kegagalan untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus
haid normal dan infertilitas. Pada laki-laki dan perempuan mungkin payudara membesar dan
kadang-kadang akan mengeluarkan cairan dari puting.

(Utama, H. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FKUI: Jakarta.)

6. Penatalaksanaan skizofrenia

Terapi Somatik (Medikamentosa)

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik


bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia.
Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau
kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama
diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif
untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu
antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine).
a. Antipsikotik Konvensional

Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional.


Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping
yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :

1. Haldol (haloperidol) 5. Stelazine ( trifluoperazine)


2. Mellaril (thioridazine) 6. Thorazine ( chlorpromazine)
3. Navane (thiothixene) 7. Trilafon (perphenazine)
4. Prolixin (fluphenazine)

Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional,
banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2
pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang
sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik
konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan
untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami
kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka
waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot
formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di
dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak
dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic.

b. Newer Atypcal Antipsycotic

Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbda,
serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik
konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :

· Risperdal (risperidone)
· Seroquel (quetiapine)
· Zyprexa (olanzopine)
Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-pasien
dengan Skizofrenia.

c. Clozaril

Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama.
Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan
antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang
jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat
menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya,
pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara
reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat
antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran

No. Nama Generik Sediaan Dosis


1. Klorpromazin Tablet 25 dan 100 mg, 150 - 600 mg/hari
injeksi 25 mg/ml
2. Haloperidol Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 - 15 mg/hari
5 mg,
Injeksi 5 mg/ml
3. Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12-24 mg/hari
4. Flufenazin Tablet 2,5, 5 mg 10-15 mg/hari
5. Flufenazin dekanoat Injeksi 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu
6. Levomeprazin Tablet 25 mg 25-50 mg/hari
Injeksi 25 mg/ml
7. Trifluperazin Tablet 1, 5 mg 10-15 mg/hari
8. Tioridazin Tablet 50, 100 mg 150-600 mg/hari
9. Sulpirid Tablet 200 mg 300-600 mg/hari
Injeksi 50 mg/ml
10. Pimozid Tablet 1, 4 mg 1-4 mg/hari
11. Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2-6 mg/hari

Cara penggunaan

· Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klnis) yang sama
pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping sekunder.
· Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
· Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis
lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil
efek samping belum tentu sama.
· Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang
· Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
o Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
o Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
o Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis
pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup
pasien
· Mulai dosis awal dengan dosis anjuran >> dinaikkan setiap 2-3 hari >> sampai mencapai
dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) >> dievaluasi setiap 2 minggu dan bila
perlu dinaikkan >> dosis optimal >> dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) >>
diturunkan setiap 2 minggu >> dosis maintanance >> dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) >> tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4
minggu) >> stop
· Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi pemeliharaan
dapat dibarikan palong sedikit selama 5 tahun.
· Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis
terakhir yang masih mempunyai efek klinis.
· Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk psikosis
reaktif singkat penuruna obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kueun
waktu 2 minggu – 2 bulan.
· Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
· Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu:
gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini
akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM
dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari)
· Obat anti psikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau
atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis
dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1
cc setap bulan. Pambarian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan terhadap kasus skizofrenia.
· Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu peubahan
posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi
noradrenalin (effortil IM)
Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya dengan tablet
trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari

Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama


Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode
pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive
dyskinesia lebih rendah.

Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja.
Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para
ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada
Clozaril)

Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)

Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk
mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita
berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila
hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya,
atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah.

Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat
oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat
dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.
Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal
ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain,
misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau
newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat
menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.

Pengobatan Selama fase Penyembuhan

Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh.
Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode
petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien
Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan
sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari
satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan
yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab
tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit.

7. Indikasi rujukan untuk skizofrenia


(Kementrian Kesehatan RI. (2015). Buku Saku Pelayanan Rujuk dan Rujuk Balik. Dari
[programrujukbalik.com/sites/default/files/pdf/231115_1234.pdf])
8. Epidemiologi skizofrenia

Skizofrenia atau gangguan jiwa berat saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia. Berdasarkan definisi medis, skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan
serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahka nmasalah (Stuart, 2006).
Menurut data WHO, prevalensi penderita skizofrenia sekitar 0,2% hingga 2% atau berjumlah
24 juta penderita di seluruh dunia. Sedangkan insidensi atau kasus baru yang muncul tiap
tahun sekitar 0,01%. Perbandingan jumlah penderita laki-laki dan wanita adalah sama,
dengan rentang usia, pada laki-laki mulai umur 18-25 tahun dan wanita mulai umur 26-45
tahun. Prevalensi pada usia anak-anak jarang terjadi, bila muncul pada masa anak-anak
biasanya mengenai 4-10 anak diantara 10.000 anak. Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi
penderita gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar
400.000 orang. Dengan prevalensi terbanyak adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7‰), Aceh
(2,7‰), Sulawesi Selatan (2,6‰), Bali (2,3‰), dan Jawa Tengah (2,3‰).

Epidemiologi gangguan psikotik :

Kejadian nonaffective timbul psikosis akut 10 kali lipat lebih tinggi di negara berkembang
daripada di negara-negara industri. Beberapa dokter percaya bahwa gangguan yang mungkin
paling sering terjadi pada pasien dengan sosioekonomi yang rendah, pasien dengan gangguan
kepribadian yang sudah ada sebelumnya (paling sering adalah gangguan kepribadian
histrionik, narsistik, paranoid, skizotipal, dan ambang). Untuk kasus gangguan jiwa penderita
Psikotik di Indonesia adalah 3 sampai 5 per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di
kota besar. Ini terkait dengan tingginya stres yang muncul di daerah perkotaan. Berdasarkan
laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, memperlihatkan prevalensi nasional penderita gangguan jiwa
Psikotik 0,46% atausekitar 1 juta jiwa. Jika jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 250 juta,
maka penderita gangguan jiwa Psikosis yang harus ditemukan adalah (3- 5/1000x250 juta)
750.000 sampai 1.250.000 penderita.

Epidemiologi gangguan memori dan kognitif :

Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka insidensi
187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita
sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden
demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65
tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin
banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin
banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD.

(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/5/Chapter%20I.pdf;
(http://www.depkes.go.id/article/print/201410270010/lighting-the-hope-for-schizoprenia-
warnai-peringatan-hari-kesehatan-jiwa-tahun-2014.html;
eprints.ums.ac.id/30909/3/4_BAB_I.pdf)
9. Etiologi dan faktor risiko
A. Etiologi, Model diatesis-stress : Skizofrenia timbul karena adanya integrasi antara
faktor biologis, faktor sosial dan lingkungan
B. Faktor resiko
Faktor pencetus dan kekambuhan dari skizofrenia dipengaruhi oleh emotional
turbulent families, stressful life event, diskriminasi dan kemiskinan , over critical, dan
pengabaian
C. Faktor genetik, berkaitan dengan kromosom 1,3,5,11 dan kromosom X. Penelitian ini
dikaitkan dengan katekol-O-metil transferasi (COMT) dalam mengoencoding dopamin
sehingga mempengaruhi fungsi dopamin.
D. Neurogenik pada pasien skizofrenia dapat dikarenakan :
- destruksi program genetik yang berasal dari neuron atau sinap
- anoksia janin
- infeksi janin
- toksin selama hamil
- kurang gizi selama kehamilan
E. Faktor neurobiologis
1. Penurunan aktivitas di lobus frontalis , temporalis dan serebelar : timbulnya gejala
negatif, kronisitas penyakit
2. Penurunan aktivitas dikorteks singulat anterior: gangguan atensi
3. Retardasi motorik; penurunan aktivitas di daerah basal ganglia
4. Gangguan bicara : hipoakvitas di area Brodman 22 (bahasa asosiatif sensoris), area
Brodmann 43,44,45 (motorik)
5. Halusinasi : gangguan aliran darah dihipokampus, parahipokampus dan amigdala
6. Waham : peningkatan aliran darah dilobus temporal kiri, korteks singulat anterior
7. Gangguan menilai realita: gangguan aliran darah dikorteks prefrontal lateral kiri,
striatum ventral, girus temporal superior dan regio parahipokampus
8. Bicara kacau : penurunan aktivitas dikorteks frontal inferior, singulat dan temporal
superior kiri
9. Gangguan memori : jangka pendek dan working memori serta fungsi eksekutif
lainnya
10. Pada pasien skizofrenia memiliki fosfomonoester (PME) yang lebih rendah dan
kadar fosfodiester (PDE) yang lebih tinggi dibandingkan nilai normal. Konsentrasi
fosfat inorganik menurun dan konsentrasi ATP meningkat. Hal ini disebabkan karena
terjadinya hipofungsi didaerah korteks frontal dorsolateral.

Anda mungkin juga menyukai