Laporan Tutorial
Skenario 4: Kegaduhan di Unit Gawat Darurat
Jawaban
Diagnosis multiaksial:
Aksis I: F20.0.x9 Skizofrenia paranoid, periode pengamatan kurang dari 1 tahun
Z91.1 ketidakpatuhan terhadap pengobatan
Aksis II: Z03.2 tidak ada diagnosis
Aksis III: tidak ada
Aksis IV: pemutusan hubungan kerja
Aksis V: GAF 11-20 (bahaya mencederai diri sendiri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam
komunikasi da mengurus diri)
2. Tanda dan gejala
Berdasarkan DSM – IV, ciri yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran dari dua
karakteristik (baik gejala psotif maupun gejala negatif). Secara umum, karakteristik gejala
skizofrenia (kriteria A) dapat digolongkan dalam tiga kelompok yaitu :
A. Gejala positif: tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun pada pasien
skizofrenia justru muncul. Gejala positif adalah gejala yang bersifat aneh, anatara lain
berupa halusinasi, delusi, ketidakteraturan pembicaraan dan perubahan perilaku.
B. Gejala negatif: menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti perasaan yang
datar, tidak adanya perasaan bahagia dan gembira, menarik diri, ketiadaan pembicaraan
yang berisi, mengalami gangguan sosial, serta kurangnya motivasi untuk breaktivitas.
C. Gejala lainnya: Kategori gejala yang ketiga yaitu disorganisasi, anatara lain perilaku yang
aneh (misalnya katatonia, dimana pasien menampilkan perilaku tertentu berulang –
ulang, menampilkan pose tubuh yang aneh atau waxy flexibility yaitu orang lain dapat
memutar atau membentuk posisis tertentu dari anggota badan pasien, yang akan di
pertahankan dalam waktu yang lama) dan disorganisasi pembicaraan yaitu masalah dalam
mengorganisasikan ide dan pembicaraan, sehingga orang lain mengerti ( dikenal dengan
gangguan berpikir formal ) mislanya inkohorensi dan sebgainya.
3. Prinsip Diagnostik
II. Alloanamanesis
II.1. Sebab dibawa ke RS pernyataan pasien: kata-kata sendiri mengapa
datang/dibawa, pernyataan orang yang mendampingi pasien) (versi lain : pernyataan
orang yg mendampingi pasien)
II.2. Riwayat Perjalan Penyakit / Sekarang Uraian kronologis ttg. latar belakang dan
perkembangan dari gejala-gejala yg disusun secara berurutan hingga memuncak dan
pasien meminta pertolongan; suasana kehidupan pasien pd saat timbulnya (onset);
kepribadian ktk sehat; bagaimana pengaruh penyakit thd aktivitas hidupnya dan hub.
personalnya(perubahan-perubahan pada kepribadiannya; minat,afek(mood)sikap thd
orang lain, cara berpakaian, kebiasaan, taraf ketegangan, irritabilitas, aktivitas,
perhatian, konsentrasi; daya ingat, pembicaraan, gejala psikofisiologik) perincian dan
sifat dari taraf disfungsi(hendaya), lokasi intensitas, fluktuasi disfungsinya; hubungan
antara gejala psikis dan fisik, sejauh mana penyakit itu berguna sebagai
tujuan(keuntungan tambahan) bagi pasien apabila ia menghadapi stress, apakah
anxietasnya bersifat umum dan tidak spesifik, ataukah secara spesifik berhubungan
dengan situasi, aktivitas atau objek tertentu; bagaimana cara anxietasnya diatasi,
penghindaran diri dari situasi yang ditakuti, penggunaan obat-obatan atau aktivitas
lain untuk mengalihkan dari hal-hal yang mengganggunya.
II.3. Grafik Perjalanan Penyakit Keluhan fisik dan dampak terhadap fungsi sosial dan
kemandirian
Patogenesis Delirium
Walaupun patogenesis delirium belum diketahui secara pasti, beberapa teori yang
diungkapkan oleh beberapa pakar tetap penting untuk diperhatikan. Perubahan Electro
Encephalo Graphic (EEG) (-8 kali per detik, lebih lambat dari fungsi sistem saraf pusat normal)
sering terjadi pada delirium yang terkait dengan disfungsi korteks, hal ini disebabkan karena
EEG mengukur aktivitas listrik di korteks. Struktur subkorteks (formasiretikuler, thalamus)
mengendalikan aktivitas listrik di korteks sehingga struktur ini juga erat kaitannya dengan
delirium. Disaritmia korteks mengindikasikan adanya defisiensi substrat tertentu, umumnya
karena paparan abnormal glukosa dan oksigen dalam kada rtertentu. Sayangnya, tidak semua
pasien dengan delirium menunjukkan adanya perlambatan EEG, dan bukti adanya defisiensi
substrat tertentu tidak dapat ditemukan pada sebagian besar kasus. Ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit mengganggu kemampuan sel saraf untuk menginisiasi aktivitas listrik.
Menurunnya aktivitas listrik antar sel saraf akan menyebabkan melambatnya gelombang EEG.
a. Asetilkolin
b. Dopamine
c. Neurotransmitter lainnya
Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa
yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama dapat
berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti epilepsi, penyakit sistemik, intoksikasi atau
reaksi, dan putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak di luar sistem
pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah
asetilkolin, serotonin, serta glutamat Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.
Selain itu diakibatkan juga karena adanya gangguan metabolik/defisiensi vitamin (thiamin),
hipoksia, hipcarbamia, hipoglikemia, gangguan mineral, pasca bedah, kejang, cedera
kepala, ensefalopati hipertensif, gangguan fokal lobus parietal, dan inferomedial lobus
oksipital.
B. Dementia
Demensia merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya diakibatkan oleh proses
degeneratif yang progresif yang mengenai fungsi kognitif . Demensia merupakan sindroma
yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif (biasanya tanpa gangguan kesadaran)
yang mempengaruhi kepribadian pasien.
Etiologi
Demensia dapat disebabkan oleh penyakit alzheimer dengan kemungkinan 60%, dapat juga
disebabkan karena gangguan neurologis (seperti chorea huntington, parkinsonism, multiple
sklerosis), gangguan toksik metabolik (anemia pernisiosa, defisiensi asam folat, hipotiroidime,
intoksikasi bromida), trauma (cedera kepala), dan obat toksin (termasuk demensia alkoholik
kronis). Demensia yang masih mungkin disembuhkan (reversible) adalah yang disebabkan oleh
gangguan kelebihan atau kekurangan hormon tiroid, dan vitamin B12.
Jenis-jenis Demensia
1. Alzheimer
Dalam kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk tipe alzheimer pada dementia of menekankan
kerusakan memori dan memmperlihatkan salah satu penurunan fungsi kognitif (aphasia,
apraxia, agnosia, or abnormal executive functioning). Diagnosis juga mempersyaratkan
penurunan yang gradual dalam pemfungsian dan kerusakan pada fungsi sosial dan
okupasional.
Etiologi
• Genetik. Dipengaruhi sebanyak 40%, keluarga yang memiliki latar belakang demensia
dengan tipe Alzheimer. Sehingga dapat dikatakan genetik memiliki peran dalam munculnya
penyakit tersebut. Dizygotic 43%. Alzheimer menunjukkan hubungan antara kromosom 1, 14,
21.
Genetik yang menjadi dasar protein amyloid terdapat pada lengan kromosom 21. Proses ini
berlanjut pada pembentukan of amyloid precursor protein. Protein ini nantinya akan
membentuk plak senilis.
• Neurotransmitter
2. Vascular Dementia
Gejala umum dari vascular dementia adalah sama dengan tipe demensia alzheimer, tetapi
diagnosis dari vascular demensia membutuhkan pemerikasaan klinis dimana vascular
demensia lebih menunjukkan penurunan dan deteriorasi dari penyakit alzheimer. Demensia
vaskuler juga merupakan demensia yang terjadi akibat penyakit ateroskleros pada pembuluh
darah sehingga resiko demensia sama dengan penyakit aterosklerose lainnya, seperti
hipertensi, diabetes mellitus dan hiperlipidemia. Demensia vaskuler yaitu demensia yang
timbul akibat keadaan atau penyakit lain seperti stroke, hipertensi kronik, gangguan
metabolik, toksik, trauma otak, infeksi, tumor dan lain-lain. Dimana demensia vaskuler dapat
terjadi apabila lansia memiliki penyakit diatas, sehingga kejadian demensia dapat terjadi
dengan cepat. Perjalanan penyakit ini pasien akan mendadak merasa membaik kemudian
memburuk
DSM IV menyatakan 6 penyebab spesifik dari demensia yang dapat dikodekan seperti: HIV
disease, head trauma, Parkinson's disease, Huntington's disease, Pick's disease, and
Creutzfeldt-Jakob disease.kategori ketujuh memberikan klinikus untuk menspesifikan kondisi
medis yang diasosiasikan dengan demensia.
Untuk memfasilitasi pemikiran klinikus tentang perbedaan diagnosa, substance induced ini
terdapat pada dua daftar di DSM yaitu yang diikuti dengan demensia dan yang terkait dengan
kelainan zat. Zat spesifik yang dituliskan dalam DSM IV TR adalah alkohol, sedatives,
hypnotics, anxyolitics.
Untuk mendiagnosis jenis ini kriteria diagnosa demensia harus terpenuhi, karena amnesia
dapat muncul pada psikosis, dan korsakoff sindrom. Kita harus dapat membedakan kerusakan
fungsi memori yang terjadi disertai dengan defisit fungsi kognitif dengan amnesia yang
disebabkan oleh kekurangan thiamine
Dalam sindrom wernicke korsakoff terdapat juga kerusakan pada fungsi kognitif, namun hal
ini disertai dengan perubahan mood, konsentrasi yang kurang dan gejala lain dalam konteks
depresi juga harus dibedakan.
Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine ternyata memberi efek
merugikan pada neurologis dan endokrinologi.Selain itu, berbagai antipsikotik juga
menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan histaminergik jadi menyebabkan
bervariasinya sifat efek merugikan yang ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek samping baik
endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat memanifestasikan dirinya sebagai
galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan efek samping ekstrapiramidal (EPS).
Selanjutnya, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan penambahan berat badan.
Kombinasi dari semua efek samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi.
3.Efek hematologis
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi
sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.Jika pasien melaporkan
adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera
dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis.Jika indeks darah
rendah, antipsikotik harus segera dihentikan.Angka mortalitas dari komplikasi setinggi
30%.Purpura trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang
dapat terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik.
Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut dan hidung kering,
hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis.Beberapa
pasien juga mengalami mual dan muntah.Obat antipsikotik tipikal seperti
chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat
mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya
dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula,
karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan
insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet
tinggi serat, serta preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang
menjadi ileus paralitik.Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau
penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik.Pilocarpine mungkin berguna pada
beberapa pasien dengan retensi urin.
5.Efek Endokrin
6.Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling
sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah,
khusunya chlorpromazine.Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki,
dan erupsi edematous telah dilaporkan.Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam
minggu pertama dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang
menyerupai proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan tentang efek
tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan
harus menggunakan tabir surya.Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa
kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar
matahari.
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam
dosis lebih besar dari 800 mg sehari.Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang
berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan
malam.Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine
dihentikan karena tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai
oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea
posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama
hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat
kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien.
8.Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang terjadi
dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama
terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu,
demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan
transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan
diganti.Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat
jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine.
9.Overdosis Antipsikotik
Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan beberapa
efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.Efek neurologis tersebut dikenal sebagai
efek sindrom ekstrapiramidal.Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi
dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi.
1.Parkinsonisme akibat Neuroleptik
Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati
dengan antipsikotik tipikal.Biasanya terjadi dalam 5-90 hari setelah awal terapi. Gejala-
gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity),
rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk
dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik
jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial
mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam
DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang
ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila
orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang berulang.Wajah
yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia
(kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering
didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia.
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik
adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih
dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme,
khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang
rendah.Kemungkinan chlorpromazine dan thioridazine kemungkinan tidak
terlibat.Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah
penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik.
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat
antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine.Antikolinergik harus dihentikan
setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi
terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat
neuroleptik dapat meneruskan terapi.
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala parkinsonisme dapat
terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3 bulan sehingga perlu meneruskan
pemberian antikolinergik setelah menghentikan antipsikotik sampai gejala
parkinsonisme pulih sepenuhnya.
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal
mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau
hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang
perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter.Distonia
dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa
yang menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan
keseluruhan tubuh (opistotonus).Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis
okulorigik, ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas.Tidak seperti tipe distonia
lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia lain berupa
blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria, disfagia, dan
kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis.
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling
sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik
dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi IM. Mekanisme kerja
diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang
terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis.
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah
berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya.
Terapi dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hamper
selalu menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine
sodium benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif.
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat terjadi
setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Gejala motorik dan perilaku adalah
rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme, obtundasi, dan agitasi.Gejala otonomik
adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan
darah.Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin
fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai
dengan gagal ginjal.
4. Efek Epileptogenik
5. Sedasi
Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik atipikal bervariasi dan
spesifik pada masing-masing obat. Secara umum, antipsikotik atipikal diharapkan memiliki
kemungkinan lebih rendah untuk terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik tipikal.
Namun, tardive dyskinesia biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik jangka
panjang (mungkin beberapa dekade). Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal, yang
telah di gunakan untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden tardive dyskinesia
yang lebih rendah.
Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada antipsikotik tipikal. Walaupun
banyak pasien akan membantah klaim ini. Pada tahun 2004, Komite untuk Keselamatan Obat-
obatan (CSM) di Inggris mengeluarkan peringatan bahwa olanzapine dan risperidone tidak
boleh diberikan kepada pasien lansia dengan demensia, karena peningkatan risiko stroke.
Kadang-kadang antipsikotik atipikal dapat menyebabkan perubahan abnormal pada pola
tidur, dan kelelahan ekstrim dan kelemahan.
Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel tentang efek obat antipsikotik
pada anak-anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal (Clozaril, Risperdal, Zyprexa, Seroquel,
Abilify, dan Geodon) telah disetujui untuk anak-anak, dan ada sedikit penelitian tentang
dampaknya pada anak-anak. Dari 2000-2004, ada 45 kematian dilaporkan, di mana sebuah
antipsikotik atipikal tercatat sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek samping
yang serius, dan kadang-kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk tardive dyskinesia dan
distonia.
Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa antipsikotik atipikal
meningkatkan resiko penyakit jantung.Penelitian Kabinoff et al mengatakan peningkatan
penyakit kardiovaskular dilihat terlepas dari perlakuan yang mereka terima, melainkan
disebabkan oleh berbagai faktor seperti gaya hidup atau diet .Efek samping seksual juga telah
dilaporkan. Antipsikotik mengurangi gairah seksual laki-laki, merusak performa seksual
dengan kesulitan utama berupa kegagalan untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus
haid normal dan infertilitas. Pada laki-laki dan perempuan mungkin payudara membesar dan
kadang-kadang akan mengeluarkan cairan dari puting.
6. Penatalaksanaan skizofrenia
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional,
banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2
pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang
sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik
konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan
untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami
kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka
waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot
formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di
dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak
dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic.
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbda,
serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik
konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :
· Risperdal (risperidone)
· Seroquel (quetiapine)
· Zyprexa (olanzopine)
Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-pasien
dengan Skizofrenia.
c. Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama.
Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan
antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang
jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat
menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya,
pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara
reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat
antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran
Cara penggunaan
· Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klnis) yang sama
pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping sekunder.
· Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
· Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis
lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil
efek samping belum tentu sama.
· Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang
· Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
o Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
o Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
o Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis
pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup
pasien
· Mulai dosis awal dengan dosis anjuran >> dinaikkan setiap 2-3 hari >> sampai mencapai
dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) >> dievaluasi setiap 2 minggu dan bila
perlu dinaikkan >> dosis optimal >> dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) >>
diturunkan setiap 2 minggu >> dosis maintanance >> dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) >> tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4
minggu) >> stop
· Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi pemeliharaan
dapat dibarikan palong sedikit selama 5 tahun.
· Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis
terakhir yang masih mempunyai efek klinis.
· Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk psikosis
reaktif singkat penuruna obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kueun
waktu 2 minggu – 2 bulan.
· Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
· Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu:
gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini
akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM
dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari)
· Obat anti psikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau
atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis
dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1
cc setap bulan. Pambarian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan terhadap kasus skizofrenia.
· Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu peubahan
posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi
noradrenalin (effortil IM)
Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya dengan tablet
trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari
Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja.
Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para
ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada
Clozaril)
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk
mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita
berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila
hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya,
atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah.
Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat
oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat
dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.
Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal
ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain,
misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau
newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat
menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh.
Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode
petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien
Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan
sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari
satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan
yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab
tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit.
Skizofrenia atau gangguan jiwa berat saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia. Berdasarkan definisi medis, skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan
serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahka nmasalah (Stuart, 2006).
Menurut data WHO, prevalensi penderita skizofrenia sekitar 0,2% hingga 2% atau berjumlah
24 juta penderita di seluruh dunia. Sedangkan insidensi atau kasus baru yang muncul tiap
tahun sekitar 0,01%. Perbandingan jumlah penderita laki-laki dan wanita adalah sama,
dengan rentang usia, pada laki-laki mulai umur 18-25 tahun dan wanita mulai umur 26-45
tahun. Prevalensi pada usia anak-anak jarang terjadi, bila muncul pada masa anak-anak
biasanya mengenai 4-10 anak diantara 10.000 anak. Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi
penderita gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar
400.000 orang. Dengan prevalensi terbanyak adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7‰), Aceh
(2,7‰), Sulawesi Selatan (2,6‰), Bali (2,3‰), dan Jawa Tengah (2,3‰).
Kejadian nonaffective timbul psikosis akut 10 kali lipat lebih tinggi di negara berkembang
daripada di negara-negara industri. Beberapa dokter percaya bahwa gangguan yang mungkin
paling sering terjadi pada pasien dengan sosioekonomi yang rendah, pasien dengan gangguan
kepribadian yang sudah ada sebelumnya (paling sering adalah gangguan kepribadian
histrionik, narsistik, paranoid, skizotipal, dan ambang). Untuk kasus gangguan jiwa penderita
Psikotik di Indonesia adalah 3 sampai 5 per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di
kota besar. Ini terkait dengan tingginya stres yang muncul di daerah perkotaan. Berdasarkan
laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, memperlihatkan prevalensi nasional penderita gangguan jiwa
Psikotik 0,46% atausekitar 1 juta jiwa. Jika jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 250 juta,
maka penderita gangguan jiwa Psikosis yang harus ditemukan adalah (3- 5/1000x250 juta)
750.000 sampai 1.250.000 penderita.
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka insidensi
187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita
sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden
demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65
tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin
banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin
banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD.
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/5/Chapter%20I.pdf;
(http://www.depkes.go.id/article/print/201410270010/lighting-the-hope-for-schizoprenia-
warnai-peringatan-hari-kesehatan-jiwa-tahun-2014.html;
eprints.ums.ac.id/30909/3/4_BAB_I.pdf)
9. Etiologi dan faktor risiko
A. Etiologi, Model diatesis-stress : Skizofrenia timbul karena adanya integrasi antara
faktor biologis, faktor sosial dan lingkungan
B. Faktor resiko
Faktor pencetus dan kekambuhan dari skizofrenia dipengaruhi oleh emotional
turbulent families, stressful life event, diskriminasi dan kemiskinan , over critical, dan
pengabaian
C. Faktor genetik, berkaitan dengan kromosom 1,3,5,11 dan kromosom X. Penelitian ini
dikaitkan dengan katekol-O-metil transferasi (COMT) dalam mengoencoding dopamin
sehingga mempengaruhi fungsi dopamin.
D. Neurogenik pada pasien skizofrenia dapat dikarenakan :
- destruksi program genetik yang berasal dari neuron atau sinap
- anoksia janin
- infeksi janin
- toksin selama hamil
- kurang gizi selama kehamilan
E. Faktor neurobiologis
1. Penurunan aktivitas di lobus frontalis , temporalis dan serebelar : timbulnya gejala
negatif, kronisitas penyakit
2. Penurunan aktivitas dikorteks singulat anterior: gangguan atensi
3. Retardasi motorik; penurunan aktivitas di daerah basal ganglia
4. Gangguan bicara : hipoakvitas di area Brodman 22 (bahasa asosiatif sensoris), area
Brodmann 43,44,45 (motorik)
5. Halusinasi : gangguan aliran darah dihipokampus, parahipokampus dan amigdala
6. Waham : peningkatan aliran darah dilobus temporal kiri, korteks singulat anterior
7. Gangguan menilai realita: gangguan aliran darah dikorteks prefrontal lateral kiri,
striatum ventral, girus temporal superior dan regio parahipokampus
8. Bicara kacau : penurunan aktivitas dikorteks frontal inferior, singulat dan temporal
superior kiri
9. Gangguan memori : jangka pendek dan working memori serta fungsi eksekutif
lainnya
10. Pada pasien skizofrenia memiliki fosfomonoester (PME) yang lebih rendah dan
kadar fosfodiester (PDE) yang lebih tinggi dibandingkan nilai normal. Konsentrasi
fosfat inorganik menurun dan konsentrasi ATP meningkat. Hal ini disebabkan karena
terjadinya hipofungsi didaerah korteks frontal dorsolateral.