Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PMS/AIDS
“Pencegahan HIV dan AIDS Melalui Transmisi Seksual”

Oleh:
Kelompok 5
Dilli Fortuna Arianti 1711211006
Izzatul Mardiah Saini 1711211042
Randy Ramadhan 1711212018
Hukma Shabiyya 1711212048
Soraya Permata Sujana 1711212055
Gita Andri Yani 1711213039
Desi Kurnia Wati 1811216024

Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga dapat menyelesaikan makalah “Pencegahan HIV dan AIDS Melalui
Transmisi Seksual”. Makalah ini ditulis guna menyelesaikan tugas mata kuliah
Epidemiologi PMS/AIDS.
Penyusunan tugas ini dilaksanakan atas bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu perkenankan penulis menyampaikan ucapan hormat dan terima
kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi PMS/AIDS yang telah
membimbing dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya penulis berharap semoga
makalah tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Padang, 15 Februari 2020

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................3
2 BAB II PEMBAHASAN..................................................................................4
2.1 Peran pemangku kepentingan....................................................................4
2.2 Strategi komunikasi perubahan perilaku dan advokasi.............................4
2.3 Penggunaan kondom secara konsisten sebagai alat yang efektif dalam
pencegahan IMS termasuk HIV...........................................................................5
2.4 Konsep manajemen layanan IMS komprehensif.......................................8
2.4.1 Pengertian...........................................................................................8
2.4.2 Jenis-Jenis Layanan dalam LKB......................................................10
2.4.3 Model Layanan Komprehensif HIV dan IMS yang
Berkesinambungan.........................................................................................17
2.4.4 Unsur Utama Layanan Komprehensif HIV & IMS yang
Berkesinambungan.........................................................................................19
2.5 Monitoring dan evaluasi program pencegahan penularan HIV melalui
transmisi seksual.................................................................................................20
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................26
Daftar Pustaka........................................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita semua mungkin sudah banyak mendengar cerita-cerita yang
menyeramkan tentang HIV/AIDS. Penyebaran AIDS itu berlangsung secara cepat
dan mungkin sekarang sudah ada disekitar kita. Sampai sekarang belum ada obat
yang bisa menyembuhkan AIDS, bahkan penyakit yang saat ini belum bisa
dicegah dengan vaksin.
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yaitu: H = Human
(manusia), I = Immuno deficiency (berkurangnya kekebalan), V = Virus.
Maka dapat dikatakan HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel
kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah
terserang berbagai penyakit antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan
gejala penyakit yang menyerang tubuh kita itulah yang disebut AIDS
Maka, selama bertahun-tahun orang dapat terinfeksi HIV sebelum akhirnya
mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling sering ditemukan pada penderita
AIDS adalah sejenis radang paru-paru yang langka, yang dikenal dengan nama
pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan sejenis kanker kulit yang langka yaitu
kaposi’s sarcoma (KS). Biasanya penyakit ini baru muncul dua sampai tiga tahun
setelah penderita didiagnosis mengidap AIDS. Seseorang yang telah terinfeksi
HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik dia akan sama dengan orang yang
tidak terinfeksi HIV.
Oleh karena itu 90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka
telah tertular virus AIDS, yaitu HIV karena masa inkubasi penyakit ini termasuk
lama dan itulah sebabnya mengapa penyakit ini sangat cepat tertular dari satu
orang ke orang lain. Masa inkubasi adalah periode atau masa dari saat penyebab
penyakit masuk ke dalam tubuh (saat penularan) sampai timbulnya penyakit.

3
1.2 Rumusan Masalah
        Apa saja peran pemangku kepentingan ?
        Bagaimana strategi komunikasi perubahan perilaku dan advokasi ?
        Bagaimana penggunaan kondom yang efektif dalam pencegahan IMS ?
         Bagaimana konsep manajemen layanan IMS komprehensif ?
        Apa saja jenis layanan dalam LKB ?

1.3 Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
epidemiologi penyakit menular seksual, sekaligus untuk menambah
pemahaman mengenai upaya pencegahan HIV dan AIDS melalui transmisi
seksual terutama untuk pasien HIV.

4
2 BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peran pemangku kepentingan


Peningkatan peran positif pemangku kepentingan di lokasi. Tujuan
komponen ini adalah menciptakan lingkungan yang kondusif yang mendukung
perilaku hidup sehat, meningkatnya pemakaian kondom di lokasi dan menurunnya
kasus IMS. Pengguna komponen ini adalah pihak yang mempunyai kekuasaan
atau berpengaruh di lokasi yaitu mucikari. Komponen ini meliputi sosialisasi
program PMTS, pemberian informasi dan layanan kesehatan dasar untuk WPS.
Pada komponen ini diharapkan mucikari berperan aktif dalam menciptakan
lingkungan yang sehat dan kondusif sehingga dengan adanya peran dari mucikari
dapat menurunkan angka IMS di lokasi. Pelaksanaan program ini dilakukan
secara bersama‐sama antara KPA, LSM, dan Dinkes setempat, melalui Pokja
PMTS, dengan pembagian tanggung jawab sesuai bidang keahlian dan
kewenangan masing‐masing, melalui pemakaian kondom konsisten dan penapisan
rutin, diagnosis dini serta pengobatan IMS yang tepat.

2.2 Strategi komunikasi perubahan perilaku dan advokasi


Komunikasi perubahan perilaku (KPP) adalah kombinasi berbagai macam
kegiatan yang direncanakan secara sistematis dan dikembangkan bersama dengan
populasi kunci dan pemangku kepentingan setempat. Tujuan KPP adalah
memberikan pemahaman dan dapat mengubah perilaku sehingga kerentanan HIV
akan berkurang. Komunikasi yang dilakukan pada komponen ini diberikan kepada
mucikari dan WPS. Melalui komunikasi, WPS diberikan pelatihan pendidik
sebaya (peer education) di mana pelatihan tersebut ditujukan untuk saling
memberikan pengetahuan dan informasi mengenai HIV/AIDS dan IMS.
Dalam Komponen ini LSM berperan meningkatkan pelatihan komunikasi
pada Kelompok Dukungan Teman Sebaya (KDS) dan kader lokasi melalui
pelatihan yang dikoordinasikan dengan KPAK. Kelompok Dukungan Sebaya
(KDS) adalah WPS yang bisa menjadi pendidik atau role model bagi
kelompoknya dalam hal berperilaku aman. KDS dapat menjadi pendidik yang

5
efektif. Mereka biasanya dilatih oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau
oleh LSM yang berkoordinasi dengan KPA. Diharapkan WPS yang mengikuti
pelatihan mampu menyampaikan informasi yang diberikan kepada WPS lain yang
tidak mengikuti pelatihan. Saling mengingatkan untuk menggunakan kondom
merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk melaksanakan perubahan
perilaku WPS.

2.3 Penggunaan kondom secara konsisten sebagai alat yang efektif dalam
pencegahan IMS termasuk HIV
Kondom telah direkomendasikan secara luas untuk mencegah IMS dan
HIV. Kondom terbukti efektif menurunkan tingkat infeksi baik pada pria maupun
wanita. Walaupun tidak sepenuhnya, kondom efektif menurunkan penularan HIV,
herpes genitalis, genital warts, syphilis, gonorrhoeae, chlamydia dan infeksi
lainnya. Tingkat efektivitas kondom secara teoritis mencapai angka 98%, apabila
digunakan dengan benar dan konsisten. Penggunaan kondom secara benar dan
konsisten mampu menurunkan risiko IMS/HIV dan memberi proteksi yang
maksimal. Konsisten berarti menggunakan kondom mulai dari awal sampai akhir
setiap kali berhubungan seksual. Penggunaan kondom yang benar antara lain:
menggunakan kondom baru setiap kali berhubungan hubungan seksual. Gunakan
kondom sesegera mungkin saat ereksi dan sebelum kontak seksual. Pegang ujung
kondom dan masukkan pada penis yang ereksi, biarkan ruang di ujung kondom,
pastikan tidak ada udara yang terperangkap di ujung kondom, dan pastikan
penggunaan lubrikan yang tepat. Cabut dari pasangan segera setelah ejakulasi,
pegang kondom secara kuat agar tidak terlepas.
Penelitian di Baltimore, Amerika pada tahun 1995 oleh Zenilman dkk,
melibatkan 323 laki-laki dan 275 wanita dengan total 598 partisipan. Sebanyak
21% partisipan menggunakan kondom saat setiap kali berhubungan seksual
selama 30 hari, 21% lainnya jarang menggunakan kondom, dan 59% tidak
menggunakan kondom. Setelah dilakukan follow up, 21% dari total partisipan
menderita infeksi gonorrhea, chlamidia, sifilis dan trichomoniasis yang baru.
Sebanyak 23,5% dari peserta wanita yang selalu menggunakan kondom terinfeksi
IMS, 26,8% dari peserta wanita yang tidak menggunakan kondom terinfeksi IMS.

6
Laporan kasus pada tahun 2000 dari National Institute of Health (NIH),
penggunaan kondom secara benar dan konsisten menurunkan penularan HIV
sampai 85%. Kondom terbukti efektif mencegah infeksi HIV, hal ini dibuktikan
pada suatu penelitian di Eropa pada 123 pasangan yang salah satunya menderita
HIV dan pasangannya tidak menderita HIV. Mereka secara rutin menggunakan
kondom, tak satu pun dari pasangan seksualnya terinfeksi HIV. Sebaliknya pada
122 pasangan yang tidak rutin menggunakan kondom, terdapat 12 orang dari
pasangan seksualnya terinfeksi HIV.13 Penelitian oleh Lee Warner dkk, di klinik
IMS, pada 5 kota besar di Amerika Serikat pada tahun 2004, mendata diantara
429 partisipan yang memiliki pasangan yang diketahui menderita gonore dan
chlamidia, dengan penggunaan kondom secara konsisten, mengalami penurunan
risiko sebanyak 30% dan 40%. Sedangkan diantara 4314 partisipan yang
pasangannya tidak diketahui menderita gonore dan chlamidia, pada penggunaan
kondom secara konsisten, secara signifikan berhubungan dengan penurunan risiko
gonore dan chlamidia sebanyak 24% dan 25%.
Pada studi cohort didapatkan bahwa kondom dapat memberikan
perlindungan terhadap infeksi HPV genital. Kemudian penelitian yg dilakukan
pada universitas-iniversitas lain juga menunjukkan bahwa perempuan yang aktif
secara seksual, dan menggunakan kondom mengalami penurunan risiko terjadinya
infeksi HPV sebanyak 70%. Penggunaan kondom ternyata juga dapat menurunkan
infeksi lain yang disebabkan oleh HPV diantaranya kanker serviks dan kutil
genital. Probabilitas dari clearing an oncogenic Human Papilloma Virus (HPV)
infection, 30% lebih tinggi pada laki-laki multipartner yang menggunakan
kondom secara konsisten dibandingkan laki-laki yang tidak menggunakan
kondom.
Survei secara cross-sectional dari 766 wanita di Kosta Rika, menunjukkan
adanya efek perlindungan, yakni penurunan sebanyak 30% pada kasus herpes,
pada wanita yang pasangan laki-lakinya menggunakan kondom dibanding yang
tidak pernah menggunakan kondom. Penelitian prevalensi dari pekerja seks
komersial di daerah epidemic chancroid di Kenya, terdapat penurunan kasus
sebanyak 18% pada pekerja seks komersial yang menggunakan kondom
dibandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan kondom.

7
Penelitian pada 824 pekerja seks komersial di Jepang, ditemukan adanya
penurunan sifilis dari 7,5% hingga 5%, hal ini sejalan dengan peningkatan
penggunaan kondom dari 6,3% menjadi 25%.35 Sedangkan di Indonesia
penurunan sifilis pada pekerja seks komersial yang menggunakan kondom
sebanyak 8% dan yang tidak menggunakan kondom sebanyak 14%.10 Hingga
saat ini, belum ada data pasti yang melaporkan efektivitas kondom dalam
pencegahan herpes genital. Hal ini disebabkan karena lesi herpes genital yang
tidak tertutup kondom. Sebuah studi di Amerika Serikat pada tahun 2005 oleh
Anna dkk, yang melibatkan 1862 partisipan dari 22 klinik di Amerika,
menyimpulkan bahwa frekuensi penggunaan kondom berhubungan dengan
rendahnya risiko penularan HSV-2 terlepas dari frekuensi atau tipe hubungan
seksual. Walaupun kondom dikatakan tidak 100% mencegah infeksi ini, namun
promosi penggunaan kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan
herpes genital.
Sebuah penelitian yang membandingkan kondom laki-laki dan perempuan
menunjukkan kondom perempuan mempunyai tingkat robek yang lebih rendah
(0,1% vs 3,1%) tetapi tingkat kelicinan yang lebih tinggi (5,6% vs 1,1%).
Penelitian crosover randomized terakhir mempergunakan antigen spesifik prostat
(PSA) sebagai penanda dari paparan dengan semen, didapatkan secara signifikan
didapatkan PSA pada kondom perempuan dibandingkan kondom laki-laki.
Tentang keluhan-keluhan individu yang disampaikan lebih tinggi secara
signifikan pada pengguna kondom wanita.
Alasan utama bahwa kondom terkadang gagal untuk mencegah penularan
IMS/HIV adalah penggunaan yang tidak benar dan tidak konsisten, bukan karena
faktor kondom itu sendiri. Penggunaan lubrikan berbasis minyak dapat merusak
lateks, menyebabkan kondom robek. Kondom dapat juga rusak oleh karena
paparan panas, matahari atau batas pemakaian (kadaluwarsa), atau juga bisa rusak
oleh karena gigitan atau sentuhan kuku jari tangan. Secara umum kegagalan
pengunaan kondom oleh karena 2 faktor yaitu: faktor kondom (pembuatan yang
tidak standar, penyimpanan yang salah dan ukuran yang tidak tepat dan faktor
pengguna (cara memegang yang tidak tepat, tekanan yang berlebihan saat
intercourse). Dari berbagai literatur dapat disimpulkan, semakin tinggi

8
penggunaan kondom pada aktivitas seksual risiko tinggi, semakin besar efeknya
dalam mencegah penularan IMS dan HIV. Penggunaan kondom yang benar dan
bahan kondom yang berkualitas mengurangi risiko kegagalan penggunaan
kondom untuk mencegah penularan IMS dan HIV.

2.4 Konsep manajemen layanan IMS komprehensif


2.4.1 Pengertian
Layanan komprehensif adalah upaya yang meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk
layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif,
promosi penggunaan kondom, pengendalian faktor risiko, layanan
Konseling dan Tes HIV (KTS dan KTIP), Perawatan, Dukungan, dan
Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularandari Ibu ke Anak (PPIA),
Pengurangan Dampak Buruk NAPZA (LASS, PTRM, PTRB), layanan
IMS, Pencegahan penularan melalui darah donor dan produk darah
lainnya, serta kegiatan monitoring dan evaluasi serta surveilan
epidemiologi di Puskesmas Rujukan dan Non‐Rujukan termasuk fasilitas
kesehatan lainnya dan Rumah Sakit RujukanKabupaten/Kota.
Layanan yang berkesinambungan adalah pemberian layanan HIV
& IMS secara paripurna, yaitu sejak dari rumah atau komunitas, ke
fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit dan
kembali ke rumah atau komunitas; juga selama perjalanan infeksi HIV
(semenjak belum terinfeksi sampai stadium terminal). Kegiatan ini harus
melibatkan seluruh pihak terkait, baik pemerintah, swasta, maupun
masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga,
PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta
organisasi/kelompok yang ada di masyarakat).
Layanan komprehensif dan berkesinambungan juga memberikan
dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial ODHA
selama perawatan dan pengobatan untuk mengurangi atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya.

9
Puskesmas Rujukan (puskesmas terpilih yang memiliki sarana dan
tenaga tertetu sesuai dengan standar yang ditetapkan) dan Rumah Sakit
Rujukan perlu didukung oleh ketersediaan pemeriksaan laboratorium di
samping adanya pusat rujukan laboratorium di kabupaten/kota (Labkesda)
untuk pemeriksaan CD4 dan pusat rujukan laboratorium diprovinsi
(BLK/fasilitas kesehatan lainnya), untuk akses pemeriksaan viral load.
Permasalahan medis yang dihadapi ODHA dapat berupa infeksi
oportunistik, gejala simtomatik yang berhubungan dengan AIDS, ko‐
infeksi, sindrom pulih imun tubuh serta efek samping dan interaksi obat
ARV. Sedangkan masalah psikologis yang mungkin timbul yang berkaitan
dengan infeksi HIV adalah depresi, ansietas (kecemasan), gangguan
kognitif serta gangguan kepribadian sampai psikosis. Masalah sosial yang
dapat timbul pada HIV adalah diskriminasi, penguciIan, stigmatisasi,
pemberhentian dari pekerjaan, perceraian, serta beban finansial yang harus
ditanggung ODHA. Masalah psikososial dan sosioekonomi tersebut sering
kali tidak saja dihadapi oleh ODHA namun juga oleh keluarga dan kerabat
dekatnya.
Sebagian dari kasus HIV berasal dari kelompok pengguna NAPZA
suntikan sehingga cakupan layanan pada ODHA tak dapat dilepaskan dari
pemasalahan yang timbul pada penggunaan NAPZA yaitu adiksi,
overdosis, infeksi terkait NAPZA suntikan, permasalahan hukum, dan
lain‐lain. Dengan demikian cakupan layanan menjadi luas dan melibatkan
tidak hanya layanan kesehatan namun juga keluarga dan lembaga swadaya
masyarakat.
Pengobatan HIV sendiri memiliki keunikan yang perlu mendapat
perhatian, seperti misalnya:
- Terapi antiretroviral merupakan pengobatan seumur hidup dan
memerlukan pendekatan perawatan kronik.
- Tuntutan akan kepatuhan (adherence) pada pengobatan ARV yang
sangat tinggi (>95%) guna menghindari resistensi virus terhadap obat
ARV dan kegagalan terapi

10
- Layanan terapi ARV akan meningkatkan kebutuhan akan layanan
konseling dan tes HlV, namun juga akan meningkatkan kegiatan
pencegahan dan meningkatkan peran ODHA.
Agar kepatuhan pada terapi ARV dan kualitas hidup ODHA dapat
meningkat secara optimal, maka perlu dikembangkan suatu layanan
perawatan komprehensif yang berkesinambungan. Semula upaya
pencegahan merupakan ujung tombak dalam pengendalian HIV di
lndonesia karena jumlah anggota masyarakat yang terinfeksi HIV masih
sedikit, sehingga terbuka kesempatan luas untuk mencegah penularan di
masyarakat. Namun dengan semakin banyaknya orang yang terinfeksi HlV
di lndonesia maka dibutuhkan upaya terapi dan dukungan pada saat
dilaksanakan.
Komponen LKB terdiri dari 5 komponen utama dalam
pengendalian HIV di Indonesia yaitu:
1. Pencegahan
2. Perawatan
3. Pengobatan
4. Dukungan
5. Konseling

2.4.2 Jenis-Jenis Layanan dalam LKB


1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi Masyarakat
Dalam mencegah dan mengendalikan HIV &IMS, KIE melekat
pada setiap layanan yang ada. Tujuannya adalah meningkatkan
pengetahuan, kesadaran dan kemampuan masyarakat pada umumnya dan
populasi kunci pada khususnya tentang risiko penularan HIV, pencegahan,
pengobatan dan akses layanan.

2. Konseling dan Tes HIV (KT HIV)


Layanan KT HIV sering kali menjadi pintu masuk ke LKB.
Layanan KT HIV dapat berupa Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS)
atau Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan (KTIP).

11
Demikian pula dengan diagnosis dan tes terkait dengan TB dan pasien
rawat inap. Pengalaman yang baik dari pasien pada layanan tersebut akan
mempengaruhi kesinambungan dalam memanfaatkan LKB. Pemberian
konseling pra‐tes dan pasca‐tes merupakan kesempatan baik baik klien
untuk mendapatkan pengetahuan tentang layanan yang tersedia dalam
LKB dan siap untuk memanfaatkannya. Layanan KT HIV dapat
diintegrasikan ke dalam layanan perawatan, pengobatan dan pencegahan
yang ada atau dapat diselenggarakan secara mandiri di tempat lain seperti
misalnya diselenggarakan oleh LSM yang terhubung dengan layanan PDP.

3. Pencegahan infeksi HIV


a. Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS)
Penularan melalui jalur seksual merupakan salah satu pendorong
epidemi HIV di Indonesia. Selain itu, IMS sendiri akan
meningkatkan risiko penularan HIV. Untuk itu dijalankanlah
program pencegahan berbasis kabupaten/kota untuk
mengendalikan penularan HIV melalui transmisi seksual, yang
terdiridari 4 komponen, yaitu:
i. Peningkatan peran positif pemangku kepentingan lokal
untuk lingkungan yang kondusif
ii. Komunikasi perubahan perilaku yang berazaskan
pemberdayaan
iii. Jaminan ketersediaan dan akses kondom dan pelican
iv. Manajemen IMS yang komprehensif
Pelaksanaan program ini dilakukan secara bersama‐sama antara
KPA, LSM, dan Dinkes setempat, melalui Pokja PMTS, dengan
pembagian tanggung jawab sesuai bidang keahlian dan
kewenangan masing‐masing. Di kabupaten/kota, program ini
menyasar seluruh populasi kunci di wilayah tersebut (total
coverage), dengan tujuan umum menurunkan prevalensi IMS di
kabupaten/kota tersebut, melalui pemakaian kondom konsisten dan
penapisan rutin, diagnosis dini serta pengobatan IMS yang tepat.

12
b. Layanan Pencegahan Infeksi HIV dan Kesehatan Reproduksi bagi
Pasangan diskordan
Kerangka kerja LKB mampu mendorong pencegahan infeksi HIV
diantara ODHA dengan pasangan diskordannya melalui konseling.
LKB juga menawarkan informasi tentang cara meminimalkan
risiko transmisi kepada pasangan dan bayi. LKB menjamin adanya
layanan tersebut dan melaksanakan rujukan efektif antara layanan
PDP dengan KB dan kesehatan reproduksi.
c. Pengurangan Dampak Buruk bagi Populasi Kunci
Fokus LKB di fasyankes terutama pada perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV, oleh karena itu sangat dibutuhkan untuk
terhubung dengan layanan pencegahan bagi populasi kunci yang
meliputi Penasun, PS, LSL, pengungsi, remaja. Beberapa layanan
dapat diberikan melalui lokasi LKB, sedang sebagian lainya
diakses melalui jalur rujukan.
Perangkat utama dalam layanan pencegahan untuk kelompok
tersebut meliputi:
i. Distribusi kondom dan pelicinnya serta konseling untuk
mengurangi pasangan seksual.
ii. Konseling pengurangan dampak buruk, penggantian atau
distribusi alat suntik steril (LASS).
iii. Terhubung dengan berbagai layanan terapi dan rehabilitasi
yang meliputi detoksifikasi, rawat jalan, rawat inap jangka
pendek, rawat inap jangka panjang, dan rumatan (seperti
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang merupakan
salah satu pintu dalam mengakses terapi rehabilitasi,
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), terapi rumatan
buprenorfin).
iv. Penjangkauan sebaya dan komunikasi perubahan perilaku.
Pengobatan dan diagnosis IMS merupakan kegiatan pencegahan
HIV yang tidak kalah pentingnya dan memberi kesempatan untuk
kontak dengan kelompok berisiko agar kegiatan pencegahan dapat

13
dilaksanakan secara efektif. Rujukan kelompok populasi kunci ke
layanan KT HIV merupakan kesempatan untuk identifikasi HIV
dan melibatkan mereka ke dalam LKB secara lebih dini.
d. Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anaknya (PPIA)
Layanan PPIA diselenggarakan di layanan KIA dan ditawarkan
kepada semua ibu hamil, tanpa memandang faktor risiko yang
disandangnya, dan masuk dalam mata rantai LKB. Di dalam LKB
harus dipastikan bahwa layanan PPIA terintegrasi pada layanan
rutin KIA terutama pemeriksaan ibu hamil untuk memaksimalkan
cakupan. Jejaring layanan KT HIV dengan klinik rawat jalan
penting untuk dibangun. Perlu juga jejaring rujukan bagi ibu HIV
(+) dan anak yang dilahirkannya ke layanan di komunitas untuk
dukungan dalam hal pemberian makanan bayi dengan benar, terapi
profilaksis kotrimoksasol bagi bayi, kepatuhan minum obat ARV
baik bagi ibu maupun bayinya sebagai pengobatan atau profilaksis,
dan dukungan lanjutan bagi ibu HIV (+) dan juga dalam
mengakses diagnosis HIV dini bagi bayinya.

4. Perawatan, Pengobatan HIV


a. Pencegahan, Pengobatan dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik (IO)
Pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan IO merupakan layanan
esensial dalam perawatan HIV yang optimal. Maka di dalam
kerangka kerja LKB, unit rawat jalan memberikan layanan
pencegahan, pengobatan dan tatalaksana IO. Dalam hal ini unit
rawat jalan merupakan mata rantai LKB atau sebagai titik
penghubung utama ke layanan‐layanan yang meliputi: KT HIV,
PPIA, Terapi ARV, diagnosis dan pengobatan TB, terapi substitusi
opioid, imunisasi hepatitis‐B, keluarga berencana, layanan IMS,
layanan rawat inap, layanan dukungan psikososial Perawatan
Berbasis Masyarakat (PBM) dan Perawatan Berbasis Rumah
(PBR). Peran ODHA sebagai konselor atau manajer kasus menjadi
sangat penting untuk kesuksesan mata rantai LKB.

14
b. Terapi ARV
Ketersediaan obat ARV dan konseling kepatuhan merupakan
masalah esensial dalam LKB. Bagi ODHA, terapi ARV bukan
hanya merupakan komponen utama dalam layanan medis, namun
merupakan harapan untuk tetap hidup secara normal. Terapi ARV
membantu untuk memulihkan imunitas sehingga kuat untuk
mengurangi kemungkinan IO, meningkatkan kualitas hidup, serta
mengurangi kesakitan dan kematian terkait HIV. Terapi ARV tidak
hanya terdiri atas pemberian obat ARV saja, namun termasuk
dukungan medis dan sosial untuk membantu klien mengatasi efek
samping obat dan menjaga kepatuhan klien pada terapi. Kepatuhan
akan terjaga bila semua pemberi layanan selalu mengulangi dan
menyampaikan pesan yang konsisten tentang kepatuhan minum
obat tersebut. Kelompok pendukung sebaya berperan kuat dalam
memberikan konseling kepatuhan tersebut.
c. Pencegahan, Pengobatan dan Tatalaksana TB HIV
Diagnosis dan pengobatan dini TB pada ODHA akan memulihkan
fungsi imunnya dan menyembuhkan penyakit TB, yang merupakan
pembunuh nomor satu ODHA. Oleh karena itu layanan pengobatan
TB harus juga terhubung dan menjadi bagian dari layanan KT
HIV. Tatalaksana klinis TB‐HIV akan lebih efektif bila diberikan
oleh suatu tim yang terkoordinasi. Dalam keadaan tertentu
diperlukan rujukan ke layanan yang lebih spesialistik seperti ke
rumah sakit rujukan yang lebih tinggi di provinsi. Hal penting lain
yang perlu mendapat perhatian adalah mencegah ODHA agar tidak
tertular TB di fasyankes ketika mereka menjalani perawatan.
d. Dukungan Gizi
Dukungan gizi pada kehidupan sehari‐hari ODHA merupakan
strategi penting untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA. Dalam
LKB, petugas kesehatan dapat memberikan konseling gizi dalam
pertemuan kelompok atau dukungan melalui pendidikan, suplemen
makanan dan pemantauan gizi. ODHA dan keluarganya mungkin

15
juga perlu dukungan peningkatan pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar mereka seperti perumahan, makanan, transportasi.
Dengan kerjasama lintas sektor program seperti ini dapat
dijalankan misalnya hibah kecil dari program Dinas Sosial
setempat untuk membantu mereka memulai usaha kecil dan
mencari nafkah. Layanan seperti ini belum banyak tersedia, baik
melalui pemerintah atau LSM. Program LKB dapat
mengupayakan, mengidentifikasi layanan tersebut melalui
mekanisme koordinasi serta kemudian merujuk klien kepada
layanan tersebut. Pengelola LKB dapat menginisiasi forum
kemitraan untuk para mitra berpartisipasi dan menjalin jejaring
rujukan yang lebih baik untuk peningkatan dukungan social bagi
klien ODHA miskin.
e. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif dapat mengurangi penderitaan ODHA dan
keluarganya dengan memeriksa dan mengobati nyeri ketika
memberikan dukungan psikososial atau spiritual untuk
meningkatkan kualitas hidup ODHA Perawatan paliatif sebagai
pendukung pengobatan IO dan terapi ARV diberikan sejak
terdiagnosis HIV hingga kematian dan selama menjelang kematian.
Perawatan paliatif diberikan baik di rumah atau di rumah sakit.

5. Dukungan ODHA dan Keluarganya


a. Kelompok Pendukung ODHA
Kelompok pendukung ODHA merupakan kelompok yang berasal
dari masyarakat sebagai relawan atau kelompok sebaya yang
berhimpun secara mandiri dan mengadakan pertemuan secara
berkala untuk saling memberikan dukungan kepada anggotanya.
Sebagai penggerak adalah ODHA yang sudah berpengalaman
menjalani pengobatan dan terlatih. Mereka dapat berpartisipasi
dalam kegiatan layanan baik klinik maupun sosial yaitu
berpartisipasi dalam LKB. Kelompok pendukung ODHA tersebut

16
memegang peranan penting melalui kegiatan seperti menentukan
kesiapan ODHA untuk menerima terapi ARV, atau memberi
motivasi pada klien yang menolak terapi yang sebenarnya mereka
butuhkan.
b. Dukungan Psikososial
Dukungan psikososial bertujuan untuk membantu ODHA dan
keluarganya atau mitra untuk mengatasi tantangan psikologis dan
sosial dan mempertahankan harapan mereka untuk hidup secara
produktif, sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Para
pendukung LKB perlu mengadvokasi pengembangan layanan
dukungan psikososial dan memastikan bahwa mereka terhubung
dalam mata rantai jejaring LKB. Dukungan psikososial dapat
berupa penyediaan konseling individu, keluarga dan kelompok,
layanan kesehatan mental dan dukungan sebaya.
c. Perawatan dan Dukungan bagi Anak Yatim/Piatu dan Anak Rentan
(Orphans and Vulnerable Children/ OVC)
Anak‐anak akan menyandang masalah ganda ketika orang tuanya
HIV (+). Mereka dapat juga terkena penyakit dan kemungkinan
kehilangan orang tua; penolakan dari masyarakat dan teman
sebaya; tidak mendapat perawatan kesehatan, pendidikan dan
makanan, dan kerentanan terhadap kekerasan dan pelecehan
meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan anak yatim/piatu dan anak
rentan tersebut perlu dukungan dan perhatian pemerintah,
khususnya sektor kesehatan, sektor sosial, urusan perempuan, dan
pendidikan dan dukungan tambahan dari LSM beserta organisasi
lain yang bekerja di sektor sosial. Pelaksana LKB mendorong
dukungan dari organisasiorganisasi tersebut dengan mengundang
mereka untuk berpartisipasi dalam Forum Koordinasi LKB (FK‐
LKB). FK‐LKB juga dapat mendukung anak‐anak ini dengan
menyediakan arena keluarga yaitu, layanan untuk orang dewasa
dan anak dengan HIV dan layanan dukungan untuk anggota
keluarga.

17
2.4.3 Model Layanan Komprehensif HIV dan IMS yang
Berkesinambungan
Disadari bahwa tidak ada model layanan sempurna yang dapat
diterapkan secara universal. Namun, dalam hal layanan terkait HIV
disepakati bahwa layanan harus tersedia melalui layanan yang
berkesinambungan1 dengan melibatkan semua pemangku kepentingan
terkait (KPA, pelaksana layanan kesehatan, LSM, kelompok dukungan
sebaya ODHA, sektor pemerintah lainnya yang terkait, lapas/rutan, sektor
swasta, dll), serta jejaring berbagai layanan baik dari fasyankes dan
masyarakat yang terhubung satu sama lain dalam suatu wilayah geografi
tertentu.

Gambar 2.1 Kerangka kerja Layanan Komprehensif HIV & IMS yang Berkesinambungan

Sesuai KEPMENKES No. 374 Th 2009 tentang Sistem Kesehatan


Nasional maka jenjang layanan kesehatan terdiri atas 3 jenjang yaitu
sebagai layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier.
Dalam pengembangan model LKB, sebagai pusat rujukan LKB
adalah fasyankes sekunder yang berupa rumah sakit rujukan sekunder di
tingkat kabupaten/kota, yang merupakan tempat perawatan dan
pengobatan HIV, IMS dan penyakit lain terkait HIV. Layanan tersebut

18
diselenggarakan dengan membangun kemitraan dengan berbagai pihak
pemangku kepentingan terutama ODHA dan populasi kunci sebagai
manajer kasus, kelompok dampingan, konselor awam, dsb. Layanan
kesehatan sekunder tersebut befungsi sebagai pusat rujukan yang
mempunyai satelit.
Fasyankes satelit adalah fasyankes yang merupakan bagian dari
LKB yang mampu merawat ODHA sebelum dan sesudah mendapat terapi
ARV, namun untuk menginisiasi terapi ARV masih harus merujuk ke
fasyankes pengampu, yang dalam hal ini adalah fasyankes rujukan
sekunder.
Di tingkat kabupaten/kota, dimungkinkan terdapat layanan lain
yang mempunyai layanan terkait HIV seperti misalnya RS BUMN, RS
TNI dan Polri, RS swasta, klinik swasta, klinik di Lapas/Rutan, klinik
perusahaan, LSM dengan layanan kesehatan dasar dan KT HIV, klinik
IMS, klinik TB, KIA dsb. Fasyankes tersebut dapat menjadi satelit dari RS
Pusat LKB Kabupaten/Kota dalam pemberian terapi ARV.
Bila fasyankes tersebut mempunyai kemampuan setara dengan
fasyankes sekunder dan mempunyai LKB serupa maka menjadi mitra dari
RS pusat rujukan LKB Kabupaten/ Kota, dan dapat mengampu fasyankes
satelit di wilayahnya.
Fasyankes LKB didorong untuk mefasilitasi kelompok pendukung
melakukan kegiatannya, seperti menyelenggarakan pertemuan. Manfaat
pertemuan di Pusat LKB tersebut adalah:
- Untuk membangun koordinasi dan kolaborasi dari berbagai pihak yang
berkepentingan, termasuk pelayanan klinik dan kesehatan masyarakat,
Komunitas termasuk ODHA dan keluarganya.
- Untuk menyediakan layanan satu atap yang tidak asing bagi ODHA,
serta berfungsinya sistem rujukan ke berbagai layanan yang
dibutuhkan,
- Memungkinkan terbentuknya kelompok dukungan sebaya sebagai
factor pendukung perawatan dan pengobatan yang komprehensif.

19
- Mengintegrasikan perawatan dan pengobatan dengan upaya
pencegahan.
- Memfasilitasi proses pembelajaran timbal balik dan terbentuknya
kelompok pelaksana inti yang mumpuni karena berfungsinya system
bimbingan dan pertukaran informasi dan keterampilan.
- Mengoptimalisasikan kepatuhan terhadap terapi ARV melalui semua
kegiatan yang bermanfaat di atas
- Mengoptimalisasikan kepatuhan terhadap terapi ARV melalui semua
kegiatan yang bermanfaat di atas.

2.4.4 Unsur Utama Layanan Komprehensif HIV & IMS yang


Berkesinambungan
Agar model tersebut di atas dapat berjalan secara efektif maka
harus tersedia semua layanan yang diperlukan di kabupaten/kota. Seperti
telah disebutkan dalam kebijakan di atas bahwa penyelenggaraan layanan
komprehensif HIV& IMS yang Berkesinambungan didasarkan atas 6 pilar.

Gambar 2.2 Pilar Utama bagi Layanan Komprehensif HIV & IMS yang Berkesinambungan

20
2.5 Monitoring dan evaluasi program pencegahan penularan HIV melalui
transmisi seksual

Pencegahan Penularan HIV, Kebijakan yang dianut oleh Indonesia terkait


dengan pencegahan penularan HIV terbagi menjadi 3 jenis upaya yaitu:
pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual, pencegahan penularan HIV
melalui hubungan non seksual dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anaknya. Berikut merupakan fokus dari program pencegahan dan pengendalian
HV AIDS melalui transmisi hubungan seksual.

Pencegahan Melalui Hubungan Seksual


Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan berbagai
upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau penyakit IMS lain yang
ditularkan melalui hubungan seksual. Terdapat 4 kegiatan terintegrasi pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual yang terdiri dari peningkatan peran
pemangku kepentingan, intervensi perubahan perilaku, manajemen pasokan
perbekalan kesehatan pencegahan; dan penatalaksanaan IMS(infeksi menular
seksual).
Sedangkan yang dimaksud dengan Intervensi perubahan perilaku ditujukan
untuk memberi pemahaman dan mengubah perilaku kelompok secara kolektif dan
perilaku setiap individu dalam kelompok sehingga kerentanan terhadap HIV
berkurang. Manajemen pasokan perbekalan kesehatan ditujukan untuk menjamin
tersedianya perbekalan kesehatan pencegahan yang bermutu dan terjangkau.
Penatalaksanaan IMS ditujukan untuk menyembuhkan IMS pada individu dengan
memutus mata rantai penularan IMS melalui penyediaan pelayanan diagnosis dan
pengobatan serta konseling perubahan perilaku.
Yang menjadi penting untuk diperhatikan bahwa dalam Permenkes 21/2013
ini, dinyatakan bahwa Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual
dilaksanakan terutama di tempat yang berpotensi terjadinya hubungan seksual
berisiko, namun Permenkes 21/2013 ini tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai
tempat yang berpotensi terjadinya hubungan seksual beresiko tersebut.

21
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui 6
upaya, yaitu :
a. Tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia) bagi yang belum
menikah
b. Setia dengan pasangan (Be Faithful) tetap yang diketahui tidak terinfeksi
HIV
c. Menggunakan kondom secara konsisten (Condom use)
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug)
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk
mengobati IMS sedini mungkin (Education)
f. Melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisiatau sunat.
Pada hakikatnya yang dipromosikan adalah tidak melakukan hubungan
seksual untuk yang belum menikah, namun dalam Permenkes 21/2013 ini, diakui
bahwa terdapat kondisi dimana terjadi hubungan seksual walaupun pada orang
yang belum menikah, Permenkes21/2013ini mengupayakan penggunaan kondom
secara konsisten, termasuk apabila berhubungan seks dengan pasangan yang telah
terinfeksi HIV dan/atau IMS.
Sebuah layanan tidak akan terlepas dari penilaian atau pemantauan mutu
agar kualitas layanan dapat terus di pertahankan. Ada berbagai cara melakukan
penilaian dan pemantauan mutu sebagai upaya pengawasan dan juga merupakan
prinsip manajemen program diantaranya, monitoring dan evaluasi, bimbingan
tekhnis, peningkatan kapasitas dan refreshing training baik pelaksana tekhnis serta
pihak manajemen program.
Monitoring dan Evaluasi, selanjutnya disingkat M&E, adalah bagian
penting dari manajemen sebuah program atau layanan, baik sebagai unsur
perencanaan maupun pelaksanaan. Sebagai bagian perencanaan menghasilkan
data dan informasi untuk penetapan prioritas masalah, tujuan kegiatan dan target
yang harus dicapai. Sebagai bagian dari pelaksanaan, menghasilkan data dan
informasi untuk mengukur kemajuan terhadap tujuan dan mutu pelayanan atau
program.
Monitoring dan evaluasi adalah bagian integral dari pengembangan
program, pemberian layanan, penggunaan optimal sediaan layanan, dan jaminan

22
kualitas. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan cara sistematis dan berkala
yang dilakukan secara internal maupun eksternal.
Tujuan Monitoring dan evaluasi pada program layanan komprehensif HIV-
AIDS & IMS adalah :
a. Memantau pelaksanaan program pngendalian dan pengelolaan HIV/AIDS
b. Mengetahui kemajuan dan hambatan program
c. Menilai kemajuan terhadap pencapaian indikator
d. Membuat keputusan dan kebijakan berdasarkan fakta
e. Menyusun rencana dan tindak lanjut

Kebijaksanaan Departemen Kesehatan Menghadapi Masalah HIV/AIDS


Karena masalah AIDS telah menjadi masalah internasional, Maka World
Health Organization (WHO) mengambil keputusan untuk menghadapi masalah
AIDS dengan program khusus secara terpadu yang disebut Global Programme on
AIDS (GPA) yang memberikan bantuan kepada setiap negara anggota untuk
mengembangkan program AIDS nasional dengan memperhatikan strategi global
WHO yaitu dengan mengintergrasikannya ke dalam sistem yang ada dan bersifat
kecil edukatif dan preventif agar setiap orang dapat melinungi dirinya dari AlDS.
Satu-satunya komponen yang terpenting dalam program AIDS nasional adalah
informasl dan edukasi karena penularan AIDS dapat dicegah melalui perilaku
yang bertanggung jawab.
Didalam menyusun kebijaksanaan menghadapi masalah AIDS
perludipertimbangkan beberapa hal antara lain adalah:
1. Indonesia merupakan negara terbuka sehingga masuknya AIDS ke
Indonesia tidak dapat dihindarkan.
2. AIDS telah melanda sebagian besar negara didunia (pendemi) dan
telahmenjadikan masalah internasional.
3. Penanggulangan terpadu (GPA) telah dicanangkan oleh WHO dan di
bantu badan-badan internasional lainya

23
4. Inteksi HIV mempunyai konekwensi peting bagi perorangan keluarga
dan masyarakat dengan tidak memandang tingkat sosiol, ekonomi dari
sukubangsa
5. Dampak yang merugikan yang disebabkan oleh infeksi HIV tidak
sajadibidang medik tetapi juga dibidang lainnya seperti sosiol ekonomi
politik dankebudayaan.
6. Belum ada obat/vaksin yang efektif untuk melawan AIDS.
7. Masalah AIDS harus di lihat dalam kaitannya dengan prioritas masalah
kesehatan lainnya.
Dalam upaya menerapkan kebijaksanaan tersebut diatas maka departemen
Kesehatan telah membentuk suatu panitia untuk menanggulangi AIDS
yangdikatahui oleh Direktur Jenderal Pemerantasan Penyakit Menular dan
penyehatan lingkungan pemukiman. Panitia ini merupakan wadah
komunikasi/koordinasi serta pengolahan informasi dalam rangka meningkatkan
kewaspadaan dari kesiap-siapaanmenghadapi AIDS. Adanya panitia ini tidak
mengurangi wewenang dan tugas dari unit-unit struktural di Departemen
Kesehatan sesuai dengan bidang masing-masing. Perlu ditegaskan bahwa untuk
penanggulangan AIDS tidak akan diadakan struktur khusus dalam sistem
pelayanan kesehatan. Penangulangan AIDS akan dilakukan secara terpadu oleh
unit- unit yang bertangung jawab mengnai masalah tersebut.
Beberapa kebijaksanaan/keputusan telah diambil panitia penanggulangan
AIDS Departemen Kesehatan antara lain:
1. Untuk penentuan kasus AIDS di Indonesia digunakan definisi
WHO/CDC yang dikonfirmasikan dengan tes ELIsSA dan Western
Blot.
2. Kemampuan untuk pemeriksaan laboratorium terhadap AIDS
dikembangkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan
memperhatikan Quality Control.
3. Pemeriksaan rutin antibodi AIDS untuk skrining donor darah belum
dianggapperlu
4. Produk darah yang diimpor harus memenuhi persyaratan bebas AIDS.

24
5. Interprestasi hasil tes ELISA yang positif harus dilakukan dendan hati-
hati. Kerahasiaan harus dipegang teguh. Counseling hanya dilakukan
bila konfirmasi dengan tes Western Blot Positif.
6. Mengadakan survei seroepidemiologi infeksioHIV terutama pada
kelompokresiko tinggi di daerah-daerah tujuan wisata.
7. Mengadakan penelitian faktor-faktor resiko AIDS dan perilaku
seksualmasyarakat.
8. Pendidikan dan pelatihan tenaga-tenaga kesehatan antara lain dengan
pengiriman tim ke luar negri.
9. Penyuluhann kesehatan kepada masyarakat, dengan menyebarkan
informasi mengenai AIDS.

Penangulangan HIV /AIDS di Indonesia mempunyai tiga tujuan yaitu :


1. Pencegahan penularan HIV
2. Mengurangi sebanyak mungkin penderita perorangan serta dampak
sosial danekonomis dari HIV/AIDS diseluruh Indonesia.
3. Menghimpun dan menyatukan upaya-upaya nasional untuk
penanggulangan

HIV/AIDS Adapun prinsip-prinsip dasar penanggulangan HIV /AIDS


adalah :
1. Upaya penanggulangan HIV /AIDS dilaksanakan oleh seluruh
penduduk di Indonesia. masyarakat, dan pemerintah. Masyarakat
adalah pelaku utama dan pemerintah berkewajiban membimbing.
mengarahkan serta menciptakan suasana yang menunjang
2. Setiap upaya penanggulangan harus mencerminkan nilai –nilai agama
dan budaya yang ada di Indonesia.
3. Setiap kegiatan untuk mempertahankan dan memperkuat ketahanan
dan kesejahteraan keluarga serta sistem dukungngan sosial yang
mengakardalam masyarakat.

25
4. Pencegahan HIV/AIDS diaarahkan pada upaya pendidikan dan
penyuluhan untuk memantapkan perilaku yang baik/tidak memberikan
kesempatan penularan dan merubah perilaku yang beresiko tinggi
5. Setiap orang berhak untuk mendapat informasi yang benar untuk
melindungi diri dan orang lain terhadap infeksi HIV.6.Setiap
pemeriksaan pelayanan berkewajiban memberikan pelayanan tanpa
diskriminasi kepada pengidap HIV/penderita AIDS.
6. Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV IAIDS harus didahului
denganpenjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang
bersangkutan. Sebelum dan sesudahnya harus diberikan konseling
yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan.
Peraturan perundang-undangan mendukung dan selaras dengan strateginasional
penanggulangan HIV/AIDS disemua tingkat.

26
BAB III
3.1 Kesimpulan
Peningkatan peran positif pemangku kepentingan di lokasi. Tujuan
komponen ini adalah menciptakan lingkungan yang kondusif yang mendukung
perilaku hidup sehat, meningkatnya pemakaian kondom di lokasi dan menurunnya
kasus IMS. Komunikasi perubahan perilaku (KPP) adalah kombinasi berbagai
macam kegiatan yang direncanakan secara sistematis dan dikembangkan bersama
dengan populasi kunci dan pemangku kepentingan setempat. Tujuan KPP adalah
memberikan pemahaman dan dapat mengubah perilaku sehingga kerentanan HIV
akan berkurang.
Alasan utama bahwa kondom terkadang gagal untuk mencegah penularan
IMS/HIV adalah penggunaan yang tidak benar dan tidak konsisten, bukan karena
faktor kondom itu sendiri. Penggunaan lubrikan berbasis minyak dapat merusak
lateks, menyebabkan kondom robek. Kondom dapat juga rusak oleh karena
paparan panas, matahari atau batas pemakaian (kadaluwarsa), atau juga bisa rusak
oleh karena gigitan atau sentuhan kuku jari tangan. Secara umum kegagalan
pengunaan kondom oleh karena 2 faktor yaitu: faktor kondom (pembuatan yang
tidak standar, penyimpanan yang salah dan ukuran yang tidak tepat dan faktor
pengguna (cara memegang yang tidak tepat, tekanan yang berlebihan saat
intercourse). Dari berbagai literatur dapat disimpulkan, semakin tinggi
penggunaan kondom pada aktivitas seksual risiko tinggi, semakin besar efeknya
dalam mencegah penularan IMS dan HIV. Penggunaan kondom yang benar dan
bahan kondom yang berkualitas mengurangi risiko kegagalan penggunaan
kondom untuk mencegah penularan IMS dan HIV.

3.2Saran
Pembaca dapat memahami bagaimana upaya pencegahan HIV dan AIDS
melalui transmisi seksual, sehingga kita bisa terhindar dari HIV dan AIDS,
dengan menggunakan kondom yang baik dan benar, agar terwujudnya pencegahan
HIV melalui transmisi seksual dengan baik.

27
Daftar Pustaka

Bugis, Nova dan Shaluhiyah, Zahroh. (2013). Peran Manager Karaoke Terhadap
Praktik Penggunaan Kondom dalam Pencegahan IMS dan HIV/AIDS di
Kota Ambon. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia 8 (2) Hal 141-150
Bleeker MC, Hogewoning CJ, Voorhorst FJ, et al. Condom use promotes
regression of Human Papillomavirus-Associated penile lesion in Male
Sexual Partners of Women with Cervical Intraepithelial Neoplasia. Int J
Cancer 2003;107:804-10
Crosby R et all. Value of Consisten Condom Use: A Study of Sexually Transmitted
Disease Prevention Among American Adolesent Females. Am J Public
Health. 2003: 93:901-902
Campbell C, Lin HY, Fulp W, Papenfuss M, Salmeron J, Quinterio M, Ponce E,
Villa L, Guiliano A. Consistent Condom Use Reduce The Genital Human
Papilomavirus Burden Among High-Risk Men : The HPV Infection in Men
Study. Journal of Infectious Disease 2013
Hubaybah dan Fadzlul. (2016) Transmisi Seksual (Pmts) Di Kalangan Wanita
Pekerja Seks (Wps) Lokasi Gang Laler Kemayoran Jakarta Pusat Tahun
2014. Jambi Medical Journal 4 (1). Hal 39-53
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS
Berkesinambungan. 2012.
Kementerian Kesehatan RI Ditjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan. Laporan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia tahun
2014. Ditjen PP&PL Kemenkes RI.2014. hal.1-3
KPAD Provinsi DKI Jakarta (2013) Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP)
Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013-2017
Lubis RD. Penggunaan Kondom. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2008
Puspitaningtyas, W., & Suryawati, D. (2012). Implementasi Program Pencegahan
HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) Di Kecamatan Kencong
Kabupaten Jember. Universitas Jember. from http://repository.unej.ac.id,
accesed Aug 26, 2017.

28
Wulansari S. Kondom Perempuan, Pemberdayaan Perempuan Dalam Kesehatan
Reproduksi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol
59. Nomor 4. April 2009. P.165-170.
Zenilman, Jonathan M, Weisman. Condom Use to Prevent Incident STDs: The
Validity of Self-Reported Condom Use. Journal of The American Sexually
Transmitted Diseases Association January 1995 Volume 22 Issue 1 p 241-
251

29

Anda mungkin juga menyukai