Anda di halaman 1dari 20

KARYA ILMIAH

PERAN HUTAN DALAM MEREDUKSI


PEMANASAN GLOBAL

Oleh:

BUDI UTOMO
NIP: 132 305 100
Staf Pengajar Departemen Kehutanan

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat-Nya penulis masih
diberi kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini.
Pemanasan global yang terjadi merupakan dampak dari semakin majunya
teknologi yang diikuti dengan penggunaan ahan bakar berbasis fosil, peralatan perang,
dan lain sebagainya yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya gas rumah kaca.
Tingginya kandungan CO2, CH4, CFC, dll dalam atmostir bumi menyebabkan
peningkatan suhu bumi yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran iklim yang sulit
diprediksi. Kerusakan hutan khususnya akibat kebakaran erat kaitannya dengan
sumbangsih Indonesia pada efek pemanasan global tersebut. Kajian pemanasan global
ini penting untuk memberi masukan bagi kita akan pentingnya kelestarian hutan dalam
rangka mereduksi efek tersebut.
Pada kesempatan ini penulis berhasrat ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam membantu penyediaan literatur yang
diperlukan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, karenanya
kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tulisan-tulisan berikutnya. Akhir
kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien.

Medan, Mei 2007

Budi Utomo

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv

PENDAHULUAN 1

PEMANASAN GLOBAL 4
Perubahan peruntukan lahan 7
Intensitas karbon dan emisi per-kapita 8
Dampak yang terjadi 9
Pencegahan 11

MENGURANGI GAS RUMAH KACA 13


Alternatif penganggulangan 13
Moratorium 15

PUSTAKA 16

ii

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Pembukaan areal pertanian yang melibatkan kegiatan pembakaran hutan. 7
2. Uji coba penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biodiesel) di 11
Indonesia.

iii

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
PENDAHULUAN

Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan hutan alam
tropis terluas di dunia, memiliki keanekaragaman hayati tertinggi, sehingga dijuluki
"Zamrud Khatulistiwa" dan diharapkan mampu menjadi "penjaga" keseimbangan
keberlangsungan dan kelestarian ekosistem bumi, posisi Indonesia kini justru sangat
mengenaskan.
Secara tragis, Indonesia kini justru dikenal sebagai salah satu penyumbang emisi gas
rumah kaca (GRK) terbesar di dunia yang salah satu dampaknya menimbulkan perubahan
iklim yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia di planet Bumi ini. Ini bisa terjadi
karena, jujur saja, akibat perilaku buruk kita dalam mengelola alam Indonesia.
Laporan ilmiah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang
dikeluarkan di Paris, 2 Februari 2007, secara tegas menyebutkan besarnya polah
manusia sebagai penyebab perubahan iklim. Menurut laporan ini, sebagaimana
disiarkan organisasi lingkungan hidup Indonesia, Pelangi, memberikan kemungkinan
sampai 90 persen bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab perubahan iklim
itu. Ini lebih tinggi daripada laporan terakhir pada 2001 yang menyebutkan bahwa
kemungkinannya hanya 66 persen.
Menurut IPCC, konsentrasi gas-gas karbondioksida (CO2), metana, dan dinitro-
gen oksida (N20), meningkat pesat sejak 1750 sehingga konsentrasi saat ini jauh lebih
tinggi dibandingkan sebelum era industri. Peningkatan konsentrasi CO2 terutama
disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil serta alih fungsi hutan menjadi lahan
ekonomis, sementara aktivitas pertanian menyebabkan peningkatan konsentrasi gas
metana dan dinitrogen oksida.

Perubahan Iklim

Perubahan iklim atau cuaca di Indonesia khususnya di Sumatera Utara


belakangan ini makin meningkat. Namun sejauh pengamatan lebih banyak
musim panas dibandingkan musim hujan. Hal ini terlihat dari beberapa bulan terakhir
selalu terjadi musim panas. Bila terjadi hujan tidak berlangsung lama dan kemudian
kembali panas.
Ironisnya pada musim panas ini suhu udara bisa mencapai 35 oC. Akibatnya banyak
warga yang merasa kegerahan bahkan bisa menyebabkan suatu penyakit karena

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
kondisi tubuh yang tidak stabil. Menurut BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika)
Wilayah Medan salah satu pengaruh perubahan iklim di Medan bisa jadi karena makin
meningkatnya suhu udara dari 30 tahun terakhir ini sekitar 0.3 (nol poin tiga) – 0.85
o
C. Jadi sejak 30 tahun ini ada peningkatan rata-rata dari suhu udara.
Selain itu, ada juga peningkatan jumlah curah hujan yang naik. Karena itu kalau
suhu udara semakin meningkat maka dari pertumbuhan awan juga makin tinggi
sehingga jumlah curah hujan bila kita lihat lima tahun terakhir ini dibanding rata-rata
juga cukup meningkat dari curah hujan yang turun untuk di wilayah Sumatera Utara.
"Contohnya saja di stasiun Sampali, Polonia dan Sibolga. Kecendrungan curah hujannya
menjadi naik," katanya.
Namun secara global, kalau kita lihat dari data IPCC (Inter Governmental Thanel
on Climat Change) yang memantau dari peningkatan suhu global dunia, juga
mengalami peningkatan suhu udara. Hal itu disebabkan karena pengaruh banyaknya
CO2 yang ada ada di angkasa sehingga menyebabkan gas rumah kaca (GRK) sehingga
ada perubahan iklim yang tidak menentu.
Perubahan iklim seperti itu kadang di suatu daerah bisa menyebabkan
banjir yang besar karena curah hujannya tinggi, tapi daerah lain menjadi kondisinya
sangat kering. Hal itu mungkin dari salah satu efek pemanasan global dalam skala
dunia. Sedangkan kalau yang di wilayah Sumatera Utara sebenarnya dalam posisi
musim kemarau. Mungkin karena kondisi efek global iklim yang sudah tidak
berubah, sehingga ketika musim kemarau terasa sangat panas.
Di wilayah Sumut ada dua kali musim kemarau dan dua kali musim penghujan.
Untuk musim kemarau terjadi Januari-Maret dan Juni-Juli. Dan kebetulan bulan ini jatuh
pada musim kemarau, namun perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan kadang-
kadang hujan dan panas. Sedangkan musim penghujan April-Mei dan
September-Desember. Terjadinya dua kali musim kemarau dan dua
kali musim penghujan menurut Syafril, karena dua kali dilewati
matahari. Namun kadang kala ada sedikit keterlambatan atau kecepatan
sehingga menyebabkan perubahan iklim tidak menentu. Sebagai contoh, tahun
2006 kemarin terjadi keterlambatan musim hujan sampai pertengahan Januari. Jadi sampai
pertengahan akhir Maret Sumatera Utara masih terasa kering. Hal itu, karena
keterlambatan musim kemarau. Pada pertengahan Januari hujannya
cukup banyak, sehingga kalau dilihat sekarang pertumbuhan awannya

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
berada di Jawa. Namun sekarang mulai balik lagi ke wilayah Sumatera
Barat, kemudian di sepanjang pantai Barat dan laut Jawa, tapi garis
pertumbuhan awannya belum stabil.
Menyikapi perubahan iklim atau cuaca ini, pihak BMG sendiri memberikan
informasi. Artinya BMG memberikan informasi prakiraan musim yakni musim kemarau
maupun hujan, sehingga masyarakat tinggal mengantisipasi misalnya
bertanam atau merencanakan pembangunan sesuai dengan prakiraan
itu.
Selain itu juga BMG menggunakan prakiraan bulanan. Misalnya bulan ini cuaca
normal atau di bawah normal, sektor pertanian atau untuk bidang-bidang peternakan bisa
menyesuaikan dengan kondisi cuaca tersebut.

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
PEMANASAN GLOBAL

Banyak yang tidak sadar kalau belakangan ini suhu udara dan perubahan
cuaca telah berdampak luas terhadap berbagai sendi kehidupan manusia.
Siang hari (tahun 2007 ini), sebagai contoh di kota Medan suhu udara bisa mencapai
35 sampai 36 derajat celsius. Sektor lainnya seperti pertanian pun terkena imbasnya.
Banyak tanaman yang mati akibat kekeringan, banyak petani yang berpikir berkali-
kali untuk memulai pertanaman. Tanpa disadari oleh banyak orang, bahwa sebenamya
saat ini telah terjadi peningkatan suhu udara dunia akibat terjadinya pemanasan global.
Bumi pun terasa makin panas belakangan.
Gejala alam ini mulai diteliti secara aktif mulai dekade tahun 1980-an dan
hasilnya sangat mengejutkan para ahli lingkungan karena kengerian akan
dampak yang dikuatirkan muncul kemudian. Carbon Dioksida (CO 2 ) dan
beberapa jenis gas lainnya (CH4, N20, CFC), sisa pembakaran bahan bakar
minyak bumi temyata telah.memenuhi atmosfer bumi dan seolah menciptakan
(dinding kaca) yang menjebak panas sinar matahari tertahan di permukaan bumi,
fenomena ini dikenal sebagai efek rumah kaca.
Para ahli cuaca internasional memperkirakan bahwa planet bumi bakal
mengalami kenaikan suhu rata-rata 3,5 oC memasuki abad mendatang sebagai efek
akumulasi penumpukan gas tersebut. Akibat yang muncul cukup mencemaskan antara
lain meliputi : kenaikan permukaan laut akibat proses pencairan es di kutub; perubahan
pola angin; meningkatnya badai atmosferik; bertambahnya populasi dan jenis
organisme penyebab penyakit yang berdampak pada kesehatan; perubahan pola curah
hujan dan siklus hidrologi serta perubahan ekosistem hutan, daratan dan ekosistem
lainnya.
Para pakar lingkungan dunia selama bertahun-tahun telah mencoba mengum-
pulkan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjelaskan fenomena alam ini, dan hasilnya
cukup mengejutkan yaitu, iklim mulai tidak stabil. Pada Juni 1998 di Tibet terjadi
gelombang udara panas, temperatur berkisar 25 oC selama 23 hari, kejadian ini belum
pernah terjadi sebelumnya. Kawasan Siberia, Eropa Timur dan Amerika Utara yang
dikenal udaranya sangat membekukan tulang kini mulai menghangat.
Sementara Kairo pada Agustus 1998 tercatat suhu udara menembus angka 41 oC.
Pada Agustus 1998 di Sidney Australia terjadi badai besar disertai hujan dengan curah

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
hujan mencapai tiga kali ukuran normal. Sementara di Indonesia, Meksiko dan
Spanyol terjadi musim kering berkepanjangan akibat dipicu oleh badai tropis yang
berujung pada terbakarnya hutan dengan luasan kumulatif mencapai jutaan hektar.
Kemudian, naiknya permukaan air laut di beberapa kawasan Asia dilaporkan
bahwa air laut telah meluap melampaui batas air payau dan memusnahkan areal
hutan bakau di kawasan tersebut.
Sementara di Fiji terjadi penyusutan garis pantai sepanjang 15 cm per tahun
selama 90 tahun terakhir Berdasarkan hasil penelitian IPCC (1990) permukaan air
laut telah naik sekitar 10-20 cm pada masa abad terakhir ini. Bila angka kenaikan
permukaan air laut ini sampai menyentuh kisaran angka 20-50 cm maka habitat di
daerah pantai akan mengalami gangguan bahkan musnah.
Sedangkan peningkatan sebesar 1 meter diprediksi akan mampu menggusur
puluhan juta orang akibat terendamnya kota dan desa dikawasan pesisir, lahan
pertanian produktif akan hancur terendam dan persediaan air tawar akan tercemar.
Perlu dilakukan tindakan menyeluruh disertai komitmen yang kuat untuk
menghentikan meluasnya wabah bencana Secara sederhana tindakan yang bisa
dilakukan adalah:
Pengembangan etika hemat energi dan ramah lingkungan. Budaya
penghematan energi terutama yang terkait dengan energi yang dihasilkan dari
bahan fosil (BBM) harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh kesadaran.
Dalam bidang transportasi misalnya pemakaian kendaraan bermotor yang
boros bahan bakar hendaknya semakin dikurangi yang juga dibarengi dengan upaya
perancangan peraturan secara ketat untuk mengurangi pencemaran udara dalam
berbagai bentuk.
Upaya penghematan pemakaian listrik konsumsi rumah tangga perlu terus
diupayakan terutama bila pembangkit listriknya mempergunakan bahan bakar
diesel/batu bara. Sebagai konsumen kita harus kritis melakukan penolakan untuk
mempergunakan barang konsumsi dan peralatan yang masih mempergunakan CFC
dalam produknya karena saat kita memakainya tak ubahnya kita menyediakan tali
untuk menjerat leher kita sendiri di masa mendatang. Bahan CFC banyak dijumpai
pada peralatan pendingin (Kulkas, AC) serta tabung penyemprot parfum.
Substitusi Bahan Bakar. Penggunaan gas alam dalam aktivitas rumah tangga
maupun industri ternyata berperan cukup nyata dalam mengurangi tingkat emisi

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
gas rumah kaca. Gas alam menghasilkan CO2 temyata 40 persen lebih rendah
dibanding batu bara dan 25 persen lebih rendah daripada minyak bumi sehingga
dengan menukar sumber bahan bakar kita bisa mengurangi tingkat emisi gas CO2.
Pelestarian Hutan dan Reboisasi. Keberadaan hutan ternyata berfungsi luar
biasa dalam menyerap gas CO 2 sehingga dapat memperlambat penimbunan
gas-gas rumah kaca. Penelitian menunjukkan bahwa untuk menyerap 10 persen
emisi CO2 yang ada di atmosfer saat ini diperlukan upaya penanaman setidaknya pada
areal seluas negara Turki. Seandainya saja setiap jiwa di Sumatera Utara
(jumlah penduduk Sumut sekitar 12 juta jiwa) menaman satu batang pohon
maka setidaknya ada 12 juta pohon yang terhampar menjadi satu kawasan hutan
baru yang akan mampu menyerap jutaan ton carbon.
Suatu jumlah yang cukup berarti bagi upaya pelestarian bumi. Perlu
komitmen secara global untuk mengurangi kerusakan hutan akibat eksploitasi
hutan maupun kebakaran hutan dan menggiatkan upaya reboisasi pada lahan
kosong.
Kekeringan akibat kemarau berkepanjangan merupakan salah satu dampak
dari perubahan iklim secara global. Sebenamya masih banyak langkah-langkah antisipatif yang dapat
dilakukan terutama dalam tatanan kebijakan nasional dalam rangka mencegah pemanasan global, namun
semuanya berpulang kembali kepada kesadaran kita semua selaku individu.
Kini saatnya berpartisipasi secara aktif bagi bumi yang telah memberikan kehidupan bagi kita. Bumi ini
hanya satu mari kita menjaganya karena hal itu hanya akan mendatangkan bencana bagi penghuninya termasuk anak

cucu kita. Mari kita wariskan bumi yang bersih dan generasi mendatang.

Perubahan Peruntukan Lahan

Terkait fenomena di atas, sejauh mana sebenarnya "sumbangsih" Indonesia bagi


terjadinya perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan nasib manusia di bumi ini.
Sebuah penelitian yang dilakukan Pew Center dalam perubahan iklim global bertajuk
Climate Data: Insights and Observations yang dikeluarkan pada Desember 2004,
dapat menjadi gambaran posisi negeri khatulistiwa ini. Misalnya dalam perubahan
penggunaan lahan (land use change). Dalam skala global, penelitian yang melibatkan
World Resources Institute ini, jumlah CO2 dari aspek ini perkirakan mencapai 18 persen
dari total emisi tahunan. Penyebabnya antara lain akibat industri hutan, pembersihan dan
pengelolaan lahan untuk pertanian. CO2 dari perubahan peruntukan lahan ini merupakan
sepertiga dari total emisi dari negara berkembang dan lebih dari persennya berasal dari

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
negara dunia ketiga.

Gambar 1. Pembukaan areal pertanian yang melibatkan kegiatan pembakaran hutan.

Peringkat suatu negara dalam penghitungan emisi global ini sangat tergantung
kepada jenis gas yang dihitung. Jika dihitung dari sumbangsihnya akibat perubahan
peruntukan lahan dan gas non CO2, maka Indonesia berada di posisi keempat.
Indonesia hanya berada di peringkat ke-25 dalam total emisinya jika dilihat dari
sumbangsih CO2 akibat penggunaan bahan bakar fosil. Nasib sama juga dialami Brazil,
yang jika dengan penghitungan perubahan peruntukan lahan dan gas non CO2, negara ini
naik dari peringkat ke-17 menjadi peringkat kelima. "Bersama-sama, kedua negara
mengumpulkan kira-kira 50 persen dari total perkiraan emisi CO2 global tahunan dari
perubahan peruntukan lahan," sebut hasil penelitian ini.

Intensitas Karbon dan Emisi per-Kapita

Intesintas karbon, yaitu tingkat emisi CO2 per unit dari keluaran ekonomi
(economic output), di Indonesia juga meningkat. Sepanjang 1990-2000, intensitas
karbon di Indonesia, bersama-sama dengan Arab Saudi, Ukraina dan Brazil, naik secara
signifikan.
Untuk emisi per kapita, "sumbangsih" Indonesia bersama-sama negara-negara lain
juga memprihatinkan. Empat negara berkembang terbesar, yakni China, India, Indonesia

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
dan Brazil, yang memiliki sekitar 44 persen populasi dunia, menyumbang sekitar 24
persen emisi global.
Memang, harus diakui, emisi per kapita ini memiliki keterkaitan erat dengan tingkat
kesejahteraan rakyat suatu negara. Artinya, makin sejahtera rakyat suatu negara, maka
tingkat rata-rata emisi per orang makin tinggi. Namun, seperti disimpulkan dari
penelitian ini juga, jika ditambahkan dengan CO2 akibat perubahan peruntukan lahan,
maka lagi-lagi Indonesia dan Brazil memiliki tingkat emisi per kapita lebih tinggi
dibandingkan dengan Uni Eropa. Akhirnya, jika dihitung emisi kumulatifnya, yaitu
"sumbangsih" suatu negara dalam perubahan iklim secara keseluruhan dibandingkan
emisinya pada suatu waktu, posisi Indonesia juga menyesakkan dada.
Hasil penelitian Pew Center ini menjelaskan, "Pertumbuhan paling dramatis
dalam sejarah pembagian adalah pada negara-negara tropis yang merupakan produsen besar
kayu. Brazil dan Indonesia, dengan 0,9 persen dan 0,5 persen untuk emisi kumulatif bahan
bakar fosil-berturut-turut-melompat hingga ke 6,2 persen dan 7,2 persen-berturut-turut-
dengan penambahan CO2 dari perubahan peruntukan lahan."
Indonesia sulit untuk membantah hasil penelitian ini. Berbagai peristiwa yang
berkaitan dengan hasil penelitian ini terus terjadi. Kebakaran hutan dan pembakaran
lahan hampir selalu terjadi setiap tahun. Menyedihkannya lagi, kasus kebakaran hutan
dan pembakaran lahan ini sampai-sampai merepotkan dan menyengsarakan negara-
negara tetangga Indonesia yang pada akhirnya membuat citra negeri berlimpah sumber
daya alam ini, makin terpuruk. Selain itu, berbagai fenomena bencana alam, yang
diduga erat berkaitan dengan akibat terjadinya perubahan iklim juga makin sering
menimpa berbagai daerah di Indonesia. Banjir bandang, tanah longsor, badai tropis,
musim hujan dan musim kering yang makin sulit diprediksi, adalah sedikit gambaran
lain dari pengaruh perubahan iklim itu. Secara global, laporan ilmiah IPCC pada Februari
2007 juga mengungkapkan beberapa temuan yang memprihatinkan terkait perubahan
iklim itu. Penemuan itu, misalnya, pada periode1850-2005 telah terjadi kenaikan suhu
rata-rata sebesar 0,76 derajat Celcius dan 11 dari 12 tahun terakhir (1995-2006)
merupakan tahun-tahun dengan rata-rata suhu terpanas sejak dilakukannya pengukuran
suhu pertama kali pada 1850. Kemudian, telah terjadi kenaikan permukaan laut global
rata-rata sebesar 1,8 meter per tahun dan antara periode 1961-2003 telah terjadi
kekeringan yang lebih intensif pada wilayah yang lebih luas sejak 1970-an, terutama di
daerah tropis dan sub tropis. Sekadar tambahan, suhu udara di Medan yang saat ini (2007)

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
diperkirakan lebih panas dan merupakan yang terpanas sejak 1987, kiranya juga harus
dilihat dari kacamata perubahan iklim yang melanda Indonesia.

Dampak yang terjadi

Sudah sejak lama para ahli mengkawatirkan efek yang timbul dari aktifitas
manusia di permukaan bumi seperti pembakaran bahan bakar fosil untuk kendaraan,
proses industri, penyediaan listrik dan proses penebangan hutan yang dapat
mengeluarkan sejumlah besar Gas Rumah Kaca (GRK) yang menutupi lapisan azon di
atmosfer bumi. Semakin tebal GRK menutupi lapisan di atmosfer menyebabkan panas
yang dipancarkan matahari ke bumi terperangkat. Akibatnya temperatur permukaan
bumi perlahan-lahan terus mengalami peningkatan. Peningkatan ternperatur ini disebut
pemanasan global.
Terjadinya pemanasan global ditandai dengan terjadinya perubahan iklim yang
secara cepat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungan, baik
pada saat sekarang maupun waktu yang akan datang. Misalnya pemanasan global
diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikkan suhu bumi rata-rata. Di Indonesia
kenaikkan telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3 oC sejak tahun 1990, dan
peningkatan ini diperkirakan akan terus terjadi. Selain itu akibat dari pemanasan global
juga mempengaruhi kondisi hutan. Dengan perubahan iklim diperkirakan akan terjadi
pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan. Beberapa
spesies akan terancam punah karena tidak mampu beradaptasi, sedangkan spesies yang
mampu bertahan akan berkembang tidak terkendali. Begitu juga dengan kebakaran
hutan akibat terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan semakin tidak
dapat terelakkan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti
musim kemarau panjang mengakibatkan mudah terbakar ranting-ranting atau daun-daun
akibat gesekan yang ditimbulkan.
Dampak lain dari pemanasan global juga terjadi pada pertanian karena adanya
pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Pada umumnya semua bentuk sistem
pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim
tanam atau panen akan memberikan dampak yang besar baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti ketahanan pangan, industri pupuk, transportasi dan lain
sebagainya.
Meningkatnya frekwensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
juga terjadi dari pemanasan global. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang
menyebakan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, nyamuk malaria
dan demam berdarah akan berkembang biak lebih cepat.
Diperkirakan dengan adanya pemanasan global permukaan air laut mengalami
peningkatan. Dan berbagai studi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikkan permukaan air laut sebesar 1-2 meter
dalam 100 tahun terakhir. Masih menurut IPCC, pada tahun 2030 permukaan air laut
akan bertambah antara 8-9 sentimeter dan permukaan laut saat ini. Sebagai dampak
naiknya permukaan air laut, banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia
akan hilang. Apabila perkiraan IPCC terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan
2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian
besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai,
maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan berkurang. Bukan itu saja, selain naiknya
permukaan air laut, suhu air laut juga mengalami peningkatan sebesar 2-3 derajat
celcius. Bila ini terjadi, alga yang merupakan sumber makanan akan mati karena tidak
mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada
menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya terumbu karang pun akan
berubah warna menjadi putih dan mati.
Pemutihan karang berimbas punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai
ekonomis tinggi, seperti ikan. Padahal Indonesia mempunyai dari 1.650 jenis ikan
karang, itu pun hanya yang terdaftar di wilayah Indonesia bagian timur saja belum
terhitung yang berada di wilayah lainnya.

Pencegahan

Dengan berbagai akibat perubahan iklim tersebut, tak terkecuali yang melanda
Indonesia, yang lebih utama disebabkan oleh tingkah dan polah manusia, maka untuk
memperbaikinya juga harus memperbaiki perlakuan manusia terhadap alam atau bumi
secara global pula. Kita dituntut untuk mengubah gaya hidup kita yang selama ini tidak
ramah kepada lingkungan hidup.

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
Gamba
r 2. Uji coba peng

S
ebagai
langka
h
penceg
ahan
yang
bisa
dilakuk
an
untuk
menahan laju perubahan iklim yang berakibat ekstrim itu adalah dengan mengurangi
emisi GRK hasil aktivitas manusia. Caranya antara lain bisa dengan menggunakan
bahan bakar dari sumber energi yang lebih bersih atau menggunakan sumber energi
terbarukan. Biodiesel, gas, tenaga matahari atau biomassa merupakan sumber energi yang
ramah terhadap lingkungan.
Sebuah penelitian di satu industri manufaktur di Cilegon, penggunaan gas bisa
menurunkan emisi GRK di industri ini hingga sebesar 31 persen dibandingkan ketika
menggunakan batubara. Langkah penting lainnya adalah Pemerintah Indonesia harus
segera mengubah kebijakannya dalam pembangunan yang sedang dilakukan. Dalam
setiap kebijakan ini, maka aspek lingkungan hidup mesti menjadi salah satu pertimbangan
utama. Kemudian, secara global, negara ini juga harus lebih meningkatkan peran
aktifnya dalam menjaga lingkungan hidup dunia dengan mengacu kepada Protokol Kyoto,
yang sudah diratifikasi menjadi Undang-undang (UU) No 17/2004.
Bagi Indonesia, ini sangat penting. Karena ternyata, perubahan iklim tersebut akan
berdampak sangat besar bagi Indonesia, seperti menurunnya produksi pangan,
terganggunya ketersediaan air dan meningkat dan meluasnya kasus penyakit. Semua
langkah ini, implementasinya membutuhkan perilaku dan cara pandang lebih ramah
terhadap alam. Jika perilaku dan pandangan terhadap alam masih seperti saat ini, maka
bukan tidak mungkin negeri kita yang dulu dikenal sebagai negeri Zamrud Khatulistiwa-
menjadi sebuah negeri yang paling menderita akibat perubahan iklim tersebut.

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
Berbagai bencana yang terjadi belakangan ini, mungkin bisa menyadarkan kita bahwa
alam membutuhkan perlakuan setara, sebagai sahabatnya, dari manusia.

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
MENGURANGI GAS RUMAH KACA

Alternatif Penanggulangan

Dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global disebabkan adanya GRK


dihasilkan dari aktifitas masyarakat, berbagai negara terus berupaya untuk menekan
jumlah GRK yang dihasilkan dengan cara mencari berbagai alternatif seperti tidak
mempergunakan minyak fosil secara berlebihan.
Salah satu upaya untuk menekan GRK, lahirnya konvensi perubahan iklim pada
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Pembangunan
Berkelanjutan di Rio de Janeiro Brasil pada bulan Juni 1992 silam. Dan hasil
konferensi tersebut telah disepati dan disyahkan perjanjian di bawah Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk me ngadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upaya
konservasi lingkungan.
Sekedar menyegarkan ingatan, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan
iklim (Konverensi Perubahan Iklim) dibuat berdasarkan gagasan dan program untuk
menekan emisi GRK secara internasional sejak tahun 1979. Konverensi diadopsi pada
tanggal 14 Mei 1992 dan mulai berlaku tanggal 21 Maret 1994.
Untuk Indonesia, pemerintah telah juga meratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994
melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations
Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Konvensi Perubahan Iklim adalah suatu
perjanjian multi lateral untuk meningkatkan negara dalam upaya menurunkan emisi
GRK untuk menjaga stabil itas konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat aman bagi
sistem iklim di bumi.
Pertanyaanya, sudah sejauh mana negara Indonesia yang ikut dalam Konvensi
Perubahan Iklim berupaya untuk mengurangi emisi GRK. Bila dilihat secara kasat
mata, negara Indonesia masih belum mampu mengurangi emisi GRK. Besarnya
GRK yang dihasilkan Indonesia dengan penggunaan bahan minyak fosil, tidaklah
mengherankan bila Indonesia masuk dalam daftar negara penghasil GRK terbesar.
Meski upaya untuk mengurangi GRK belum maksimal, bukan berarti upaya
tersebut tidak dilakukan. Untuk menahan laju perubahan iklim yang sangat ditekankan
dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas,
dengan cara beralih ke bahan bakar yang memiliki emisi yang lebih rendah sepertu

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
penggunaan gas dan energi dari sumber terbarukan, atau melakukan program efisiensi
energi. Ini efektif dilakukan di sektor industri dan pembangkit listrik. Kedua sektor ini
termasuk penghasil emisi GRK utama di Indonesia, dan memiliki konsumsi energi per
kapita yang tinggi.
Menggantikan penggunaan batubara atau diesel menjadi gas bisa menghasilkan
penurunan emisi GRK yang signifikan. Beralih menggunakan sumber energi
terbarukan bisa mengurangi emisi GRK dalam jumlah yang lebih besar. Dengan
semakin tingginya harga minyak bumi, sumber energi terbarukan menjadi pilihan yang
semakin menarik.
Kerusakan hutan yang semakin parah dan diiringi dengan terjadinya musibah
seperti banjir, tanah longsor yang beruntun dan merengut nyawa dalam jumlah cukup
banyak berikut harta yang tak ternilai, merupakan persoaIan yang tidak kunjung tuntas.
Bukan itu saja, kekhawatiran pada penggundulan serta terjadinya pembakaran hutan
yang berakibat meningkatnya suhu panas bumi, juga ikut menambah daftar persoalan
yang muncul dan tidak mungkin dihindari.
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, ternyata sejak tahun 1861 sebagai
masa pertama pencatatan suhu bumi, maka rata-rata suhu global meningkat selama abad
ke-20. Alhasil, keberadaan hutan kita sudah tidak dapat lagi menyuplai kebutuhan kayu
untuk industri dan lain sebagainya. Tidak dapat disangkal lagi, ternyata untuk Sumut
sendiri, diperkirakan dari 3,7 Juta Hektar lahan hutan yang ada, maka setengahnya sudah
rusak atau dalam kondisi kritis. Kalau kita tidak segera mengambil sikap tegas untuk
mencegah perambahan, pembakaran atau penggundulan hutan, maka negeri ini akan
tandus dan gersang yang dipastikan akan diikuti dengan berbagai bentuk bencana
mengerikan. Bahkan sebelum itu semua terjadi, ada satu hal yang juga merisaukan kita,
karena ternyata dalam catatan salah satu badan lingkungan dunia, ternyata Indonesia
merupakan produsen ketiga terbesar penghasil gas emisi setelah USA dan China. Dari
beberapa sumber disebutkan bahwa, usaha untuk mengurangi produk karbon dioksida
(CO2) dengan mencegah terjadinya pembakaran hutan menjadi salah satu solusi terbaik
meredusir peningkatan emisi gas tersebut selain penghematan energi dan lain
sebagainya.

Moratorium

Terjadinya pembakaran serta penggundulan hutan secara besarbesaran menjadi

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
pemicu utama kita meraih predikat buruk tersebut. Predikat ini tentu bertolak belakang
dengan identitas yang melekat pada bumi Indonesia yang tersohor dengan hutannya.
Karenanya, pemerintah harus segera rnenerapkan Moratorium (jeda tebang-red) hutan
untuk menghentikan segala bentuk pengrusakan yang masih terus berlangsung. Dengan
jeda tebang tersebut, secara otomatis potensi hutan kita tidak akan terusik, yang berarti
juga hutan akan membangun dirinya secara alami.
Walaupun konsep ini dinilai lambat, tapi jauh lebih efektif dari pada digalakkan
reboisasi hutan, tapi ternyata konversi atau pengalihan fungsi hutan tidak dikendalikan.
Selain itu, upaya penegakan hukum yang dilakukan aparatur penegak hukum kita,
seperti Operasi Hutan Lestari II tidak dilakukan secara seporadis. "Mustahil operasi
tersebut maksimal kalau tidak dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Kalau
dihitung-hitung upaya rehabilitasi maupun reboisasi ternyata tidak sebanding dengan akibat
yang ditimbulkan dan pengrusakan hutan.
Bukankah sudah cukup banyak kasus atau musibah yang terjadi karena
pengrusakan hutan tersebut. Dan penting dicamkan, bahwa bencana tersebut akan
berakibat orang lain yang ticiak berdosa ikut menjadi korban serta rnenanggung
akibatnya. Bukan itu saja, karena bencana akan terus terjadi kalau alam serta hutan
makin parah. Karena itu, seluruh masyarakat sebaiknya turut serta secara global untuk
menjadikan hutan sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan diri kita sendiri.

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008
PUSTAKA ACUAN

Malau F. 1 April 2007. Dicari alternatif mengurangi gas rumah kaca. Analisa: 16 (1-
3).

Sukma GA. 1 April 2007. Wajah buruk Indonesia dalam perubahan iklim. Analisa:
16 (1-3).

Purba JR. 2007. Moratorium hutan harus segera terlaksana. Analisa: 16 (4-5).

Pardede. JP. 22 Desember 2007. Ketika bumi makin panas. Analisa: 15 (1-3).

Bardaisyah. 8 Oktober 2007. peningkatan suhu udara sudah terjadi sejak 30 tahun
terakhir. Analisa: 15 (1-3).

Budi Utomo : Peran Hutan Dalam Mereduksi Pemanasan Global, 2007


USU e-Repository © 2008

Anda mungkin juga menyukai