BAB II Stroke
BAB II Stroke
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke
2.1.1. Definisi
Stroke adalah kondisi otak mengalami kekurangan suplai oksigen dan nutrisi
yang disebabkan oleh terputusnya suplai darah akibat dari penyumbatan atau pecahnya
pembuluh darah di otak. Gejala yang umumnya tejadi seperti kelemahan mendadak
atau mati rasa pada wajah, kelemahan satu sisi tubuh yang biasa dirasakan pada
ekstremitas atas dan bawah, kesulitan bicara dan memahami perkataan orang lain,
kehilangan keseimbangan dan tidak sadarkan diri (WHO, 2014). Sedangkan menurut
Smeltzer (2009) stroke ialah kondisi hilangnya fungsi tubuh secara mendadak akibat
terganggunya pasokan darah ke bagian otak. Hal ini terjadi biasanya akibat dari
penyakit serebrovaskular yang telah berlangsung lama.
2.1.2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2009) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu tempat kejadian
seperti:
1. Thrombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain
3. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
4. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke
otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir,
memori, bicara, atau sensasi.
2.1.3. Klasifikasi
Sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke menajadi 3 kategori
berdasarkan penyebabnya: trombolitik, embolik, dan hemoragik. Kategori ini sering
didiagnosis berdasarkan riwayat perkembangan dan gejala. Teknik-teknik pencitraan
yang lebih baru seperti CT Scan dan MRI, dapat mendiagnosis perdarahan subaraknoid
dan intraserebrum dengan tingkat kepastian yang tinggi. Perbedaan antara thrombus
dan embolus sebagai penyebab suatu stroke iskemik masih belum tegas sehingga saat
ini keduanya digolongkan ke dalam kelompok yang sama yaitu stroke iskemik. Dengan
demikian, dua kategori dasar gangguan sirkulasi yang menyebabkan stroke adalah
iskemik-infrak dan perdarahan intrakranium yang masing-masing menyebabkan 80%
sampai 85% dan 15% sampai 20% dari semua kasus stroke (Price, 2006).
2.1.4. Patofisiologi
Serangan stroke iskemik, terjadi gangguan pada aliran darah serebral akibat
penyumbatan pembuluh darah. Gangguan pada aliran darah ini memulai rangkaian
kejadian metabolik seluler yan kompleks yang disebut kaskade iskemik. Hal ini
bermula dari aliran darah serebral turun menjadi kurang dari 25 ml/100 g/menit. Pada
kondisi seperti ini, neuron tidak bisa lagi mempertahankan respirasi aerobik. Kemudian
mitokondria harus mengkonpensasi hal ini dengan respirasi anaerobik. Kondisi
respirasi anaerobik menghasilkan zat sisa berupa asam laktat dengan jumlah besar,
menyebabkan perubahan tingkat Ph. Peralihan ke respirasi anaerobik yang kurang
efisien ini juga membuat neuron tidak mampu menghasilkan jumlah adenosin trifosfat
(ATP) yang cukup untuk memicu proses depolarisasi, sehingga pemopa membran yang
menjaga keseimbangan elektrolit mulai gagal dan sel berhenti berfugsi (Smeltzer,
2009).
Aliran darah ke serebral yang rendah mengakibatkan gangguan di otak. Daerah
yang kurang dialiri oleh darah disebut area infark dan disekitar area infark terdapat area
penumbra. Area penumbra ialah jaringan otak iskemik yang dapat disembuhkan dengan
intervensi tepat waktu. Iskemik mengancam sel-sel di penumbra karena depolarisasi
membran dinding sel menyebabkan peningkatan kalsium intraselular dan pelepasan
glutamat. Daerah penumbra dapat direvitalisasi dengan pemberian aktivator
plasminogen jaringan (t-PA), dan peningkatan kalsium dapat dibatasi dengan
penggunaan calcium channel blockers. Apabila pelepasan calsium dan glutamat
dibiarkan dapat mengakibatkan penghancuran selaput sel dan peningkatan radikal
bebas. Proses ini dapat memperbesar area infark menjadi penumbra (Smeltzer, 2009).
2.2.2 Tujuan
Pemeberian mirror therapy bertujuan meningkatkan dan mengembalikan fungsi
ektremitas baik atas maupun bawah pasca stroke (Hung, 2015). Terapi ini pada tujuan
akhirnya meningkatkan kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
kemampuan untuk makan, minum, mengenakan pakaian, mandi dan kebutuhan sehari-
hari lainnya (Toh, 2012)
2. Menilai respon pasien, jika respon yang ditunjukkan baik maka dilanjutkan dengan
menilai pemahan pasien mengenai tata cara beribadah ketika dalam keadaan sakit.
3. Mencoba mengingatkan sesuatu yang buruk terjadi karena keburukan yang kita
lakukan. Kejadian yang buruk terjadi dapat menjadi jalan menggugurkan dosa yang
kita lakukan selama ini.
5. Respon pasien adaptif dapat dilanjutkan dengan terapi lainnya untuk menunjang
proses penyembuhan.