Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke
2.1.1. Definisi
Stroke adalah kondisi otak mengalami kekurangan suplai oksigen dan nutrisi
yang disebabkan oleh terputusnya suplai darah akibat dari penyumbatan atau pecahnya
pembuluh darah di otak. Gejala yang umumnya tejadi seperti kelemahan mendadak
atau mati rasa pada wajah, kelemahan satu sisi tubuh yang biasa dirasakan pada
ekstremitas atas dan bawah, kesulitan bicara dan memahami perkataan orang lain,
kehilangan keseimbangan dan tidak sadarkan diri (WHO, 2014). Sedangkan menurut
Smeltzer (2009) stroke ialah kondisi hilangnya fungsi tubuh secara mendadak akibat
terganggunya pasokan darah ke bagian otak. Hal ini terjadi biasanya akibat dari
penyakit serebrovaskular yang telah berlangsung lama.

2.1.2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2009) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu tempat kejadian
seperti:
1. Thrombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain
3. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
4. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke
otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir,
memori, bicara, atau sensasi.

2.1.3. Klasifikasi
Sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke menajadi 3 kategori
berdasarkan penyebabnya: trombolitik, embolik, dan hemoragik. Kategori ini sering
didiagnosis berdasarkan riwayat perkembangan dan gejala. Teknik-teknik pencitraan
yang lebih baru seperti CT Scan dan MRI, dapat mendiagnosis perdarahan subaraknoid
dan intraserebrum dengan tingkat kepastian yang tinggi. Perbedaan antara thrombus
dan embolus sebagai penyebab suatu stroke iskemik masih belum tegas sehingga saat
ini keduanya digolongkan ke dalam kelompok yang sama yaitu stroke iskemik. Dengan
demikian, dua kategori dasar gangguan sirkulasi yang menyebabkan stroke adalah
iskemik-infrak dan perdarahan intrakranium yang masing-masing menyebabkan 80%
sampai 85% dan 15% sampai 20% dari semua kasus stroke (Price, 2006).

2.1.4. Patofisiologi
Serangan stroke iskemik, terjadi gangguan pada aliran darah serebral akibat
penyumbatan pembuluh darah. Gangguan pada aliran darah ini memulai rangkaian
kejadian metabolik seluler yan kompleks yang disebut kaskade iskemik. Hal ini
bermula dari aliran darah serebral turun menjadi kurang dari 25 ml/100 g/menit. Pada
kondisi seperti ini, neuron tidak bisa lagi mempertahankan respirasi aerobik. Kemudian
mitokondria harus mengkonpensasi hal ini dengan respirasi anaerobik. Kondisi
respirasi anaerobik menghasilkan zat sisa berupa asam laktat dengan jumlah besar,
menyebabkan perubahan tingkat Ph. Peralihan ke respirasi anaerobik yang kurang
efisien ini juga membuat neuron tidak mampu menghasilkan jumlah adenosin trifosfat
(ATP) yang cukup untuk memicu proses depolarisasi, sehingga pemopa membran yang
menjaga keseimbangan elektrolit mulai gagal dan sel berhenti berfugsi (Smeltzer,
2009).
Aliran darah ke serebral yang rendah mengakibatkan gangguan di otak. Daerah
yang kurang dialiri oleh darah disebut area infark dan disekitar area infark terdapat area
penumbra. Area penumbra ialah jaringan otak iskemik yang dapat disembuhkan dengan
intervensi tepat waktu. Iskemik mengancam sel-sel di penumbra karena depolarisasi
membran dinding sel menyebabkan peningkatan kalsium intraselular dan pelepasan
glutamat. Daerah penumbra dapat direvitalisasi dengan pemberian aktivator
plasminogen jaringan (t-PA), dan peningkatan kalsium dapat dibatasi dengan
penggunaan calcium channel blockers. Apabila pelepasan calsium dan glutamat
dibiarkan dapat mengakibatkan penghancuran selaput sel dan peningkatan radikal
bebas. Proses ini dapat memperbesar area infark menjadi penumbra (Smeltzer, 2009).

2.1.5. Manifestasi Klinis


Secara umum gejala stroke meliputi:
1. Defisit neurologik yang terjadi secara mendadak seperti kelemahan otot wajah,
kelemahan otot lengan dan tungkai terutama pada salah satu sisi tubuh. Hemiparesis
(kelemahan) dan hemiplagia (paralisis) yang terjadi pada salah satu sisi tubuh lazim
terjadi setelah serangan stroke. Kedua gejala ini sering disebabkan oleh sumbatan
arteri serebral anterior dan media yang menimbulkan infark pada area motorik
korteks frontal. Hemiparesis dan hemiplagia terjadi secara kontralateral. Infark pada
area motorik korteks sebelah kanan menyebabkan hemiplegia sebelah kiri atau
sebaliknya. Hal ini terjadi karena serabut saraf saling menyilang pada traktus
pyramidal (Price, 2006)
2. Kehilangan kemampuan bicara atau memahami pembicaraan (Afasia). Afasia adalah
defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia dapat merusak beberapa atau semua
aspek kemampuan komunikasi seperti berbicara, membaca, menulis, dan memahami
bahasa orang lain. Afasia terjadi karena sumbatan arteri serebral media yang
menyebabkan infark pada hemisfer kiri serebral. Afasia umumnya berhubungan
dengan hemiplegia yaitu mencakup hemisfer dominan. Pasien dengan tangan kanan
dominan memiliki pusat bicara pada hemisfer kiri serebral atau sebaliknya. Sehingga
pada pasien dengan tangan kanan dominan yang mengalami hemiplegia kanan
biasanya mengalami afasia infark yang terjadi pada hemisfer kiri serebral juga
menyebabkan rusaknya fungsi bicara (Black, 2009).

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Computedtomography scaning (CT-Scan)
Computed tomography scaning merupakan pemeriksaan yang sangat
bermanfaat untuk menentukan letak lesi serebral, perdarahan dan oedem serebral.
Pemeriksaan ini juga dapat membedakan antara lesi cerebrovaskuler dan lesi non
vaskuler.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI dapat digunakan untuk membandingka
diagnosa stroke dengan diagnosa lainnya.
3. Elektro Kardio Grafi (EKG) Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menentukan
adanya masalah kelistrikan jantung seperti atrial fibrilasi dan disritmia yang dapat
menyebabkan terjadinya stroke.
4. Fungsi Lumbal Fungsi lumbal dilakukan untuk mendeteksi adanya perdarahan pada
ruang subarachnoid. Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika tekanan intra cranial
dalam kondisi stabil. Adanya darah dalam cairan serebrospinal menunjukkan adanya
hemoragik subarachnoid
5. Pemeriksaan laboratorium Pada dasarnya tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
menjamin kepastian diagnose stroke. Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah
pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin. Peningkatan hematokrit dan hemoglobin
dapat memperberat oklusi pada arteri serebral. Pemeriksaan lainnya adalah
pemeriksaan protrombin time sebagai dasar untuk memberikan terapi antikoagulan
(Price, 2006).

2.1.7. Rehabilitasi Pasca Stroke


Serangan stroke meninggalkan gejala sisa yang mencakup gangguan kognitif,
gangguan mood, depresi, gangguan bicara, dan disabilitas fisik. Penanganan gejala sisa
tersebut, telah dilakukan berbagai penelitian dan telah menajadi evidance-based
practice seperti restorative and compensatory rehabilitation, falls prevention training,
treadmill training, virtual reality training, bilateral leg training, auditory and visual
feedback, hippotherapy, selfmanagement programs, brain stimulation, acupunture and
chinese herbal medicine digunakan untuk menangani gangguan mobilitas dan
ekstremitas bawah. Ekstremitas atas dapat menggunakan terapi seperti
neurodevelopmental techniques, bilateral arm training, strength training, trunk
restraint, feedback therapy, dan mirror therapy. Rehabilitasi kognitif dapat
menggunakan terapi seperti berikut; remediation of attention deficits post stroke,
remediation of memory deficits post stroke, exercise program post stroke, music
listening therapy post stroke (Teasell, 2015).

2.2. Mirror Therapy Exercise


2.2.1 Definisi
Mirror therapy adalah teknik rehabilitasi dengan cara cermin diposisikan sejajar
tubuh. Pasien meletakkan bagian ekstremitas atas/bawah yang mengalami disabilitas
dibelakang cermin dan ekstremitas atas/bawah yang sehat didepan cermin. Pasien
memandang refleksi ekstremitas yang sehat dipantulkan cermin dan menggerak-
gerakkannya (Andreas, 2011)

2.2.2 Tujuan
Pemeberian mirror therapy bertujuan meningkatkan dan mengembalikan fungsi
ektremitas baik atas maupun bawah pasca stroke (Hung, 2015). Terapi ini pada tujuan
akhirnya meningkatkan kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
kemampuan untuk makan, minum, mengenakan pakaian, mandi dan kebutuhan sehari-
hari lainnya (Toh, 2012)

2.2.3 Waktu Pemberian dan Tempat


Waktu yang optimal dalam pemberian terapi ini masih terus diteliti. Pemberian
yang dianjurkan ialah saat fase sub akut dari perjalanan stroke diantara 3 bulan – 12
bulan pasca terserang stroke, namun demikian terdapat beberapa penelititan yang
menunjukkan mirror therapy dapat diberikan pada fase kronik lebih dari 12 bulan pasca
stroke (Toh, 2012). Tempat pemberian terapi dapat dilakukan di pusat rehabilitasi, di
rumah pasien, dan rumah sakit yang memiliki fasilitas rehabilitasi medis (Radajewska,
2013).

2.2.4 Mekanisme Mirror Therapy


Dalam Meningkatkan Performa Fisik Mekanisme dari mirror therapy terhadap
perbaikan performa fisik terutama ekstremitas atas oleh beberapa ahli belum diketahui
secara pasti mekanismenya. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan bagaimana
mirror therapy dapat digunakan sebagai terapi rehabilitasi pasca stroke. Hipotesis yang
pertama, mirror therapy diperkirakan dapat meningkatkan normalisasi keseimbangan di
dalam hemisfer setelah stroke, hal ini bagian penting dalam pemulihan fungsi motor.
Ditemukan bukti bahwa baik aktivitas motor dan perseptual yang ditemukan pada
mirror therapy yang memodulasi rangsangan korteks motor primer (M1). Selama
aktivitas mirror therapy, rangsangan M1 dimodulasi oleh gerakan anggota badan
ipsilateral dan observasi pasif gerakan anggota badan kontralateral seperti yang
tercermin di cermin. Dengan kata lain, gerakan sebenarnya dari ipsilateral (yaitu,
ekstremitas atas yang terkena) menunjukkan M1 ipsilateral dan pengamatan tindakan di
cermin (yang dilakukan oleh ektremitas atas yang tidak terpengaruh) mengaktifkan M1
kontralateral. Perubahan simultan pada rangsangan M1 ini diperkirakan dapat
memfasilitasi reorganisasi kortikal yang sesuai untuk pemulihan fungsional motor
(Hung, 2015).
Hipotesis kedua melibatkan neuron cermin, yang diperkirakan ditemukan di
daerah frontotemporal dan girus temporal superior. Mereka dianggap sebagai neuron
bimodal yang menyala saat seseorang melakukan atau mengamati pergerakan motorik.
Aktivasi bilateral dari korteks premotor selama pengamatan lengan/tangan dari aktivitas
fungsi motorik yang dipantulkan oleh cermin dan menemukan peningkatan rangsangan
M1 tangan di belakang cermin (tangan yang mengalami disabilitas). Ilusi cermin dari
gerakan tangan yang normal sebagai pengganti tangan yang menalami disabilitas
dampak penurunan fungsi proprioseptif dan membantu merekrut korteks premotor
(Hung, 2015).

2.3. Religius Koping


2.3.1 Definisi
Religius koping merupakan cara individu dalam menghadapi stresor dengan
menggunakan keyakinannya (Wong, 2000). Sedangkan menurut (Ano, 2005) religius
koping didefinisikan sebagai penggunaan keyakinan agama untuk menjadi media
pemecahan masalah yang dihadapi dan menurunkan efek negatif dari keadaan
emosional.
2.3.2 Pemberi Latihan Religius Koping
Latihan religius koping dapat dilakukan oleh petugas bimbingan rohani di rumah
sakit yang memiliki fasilitas bimbingan rohani (Styana, 2016). Seorang tenaga
kesehatan terutama perawat diharapkan juga mampu memberikan pelayanan secara
menyeluruh terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual. Perawat dapat
mengajarkan seseorang untuk melakukan ibadah rutin harian, seperti halnya umat Islam
yang diwajibkan untuk melakukan ibadah sholat lima kali dalam sehari. Perawat dapat
membantu klien dalam memenuhi kewajiban, mendorong, dan memfasilitasi dalam
beribadah (Mohamed, 2014). Keluarga yang merawat juga dapat dilibatkan dalam
latihan religius koping ini, seperti membantu berwudhu, membantu sholat, berdoa, dan
berdzikir (Styana, 2016).
2.3.3 Bentuk religius koping
Menurut (Pargament, 2001) religius koping memiliki dua pola yaitu:
1. Koping religius positif Koping religius positif menggambarkan hubungan yang baik
dengan Tuhan. Keyakinan dimana ada sesuatu yang baik ditemukan dalam hidup
dan berhubungan dengan orang lain didasari oleh sikap spiritual. Koping religius
positif ini memiliki beberapa aspek yaitu:
a. Benevolent religious reappraisal: mendeskripsikan kembali stresor yang dihadapi
dalam pandangan agama secara baik dan memberi manfaat yang menguntungkan.
Seperti adanya pandangan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan balasan dari
Tuhan atas perbuatan baik yang pernah dilakukan dahulu kala. Seseorang dapat
mengambil hikmah yang terjadi bahwasannya apa yang terjadi atas kehendak
Tuhan.
b. Collaborative religious coping: mencari kontrol melalui hubungan kerjasama
dengan Tuhan dalam mengahadapi stresor. Kondisi seseorang dalam menghadapi
masalah ia merasa mendapatkan bimbingan dari Tuhan, selalu berdoa, dan
berusaha mencari jalan keluar.
c. Seeking spiritual support: mencari rasa nyaman dan ketenangan melalui cinta dan
kasih sayang dari Tuhan. Apabila seseorang menghadapi masalah hidup ia
menganggapnya sebagai ujian karena ia disayang Tuhan. Ia akan berusaha ikhlas
dalam menjalani ujian hidup.
d. Religious purification: melakukan pembersihan atas segala dosa yang dilakukan
melalui amalan. Mengakui segala khilaf dan salah kepada Tuhan atas yang pernah
dilakukan dimasa lalu. Mengurangi dosanya ia melakukan amal kebaikan.
e. Spiritual connection: mencari rasa keterkaitan dengan Yang Maha Kuasa,
misalnya seseorang memiliki anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah
ditakdirkan oleh Tuhan dengan melihat ciptaan Tuhan, mereka semakin yakin apa
akan adanya Tuhan dan berharap doanya terkabul.
f. Seeking support form clergy or members: mencari sumber kenyamanan dan
keamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman, misalnya seseorang
mengalami cobaan hidup, seseorang yang memiliki koping religius adaptif akan
mencari seorang yang ahli agama untuk meminta nasehat.
g. Religious helping: usaha untuk meningkatkan dukungan spiritual dan kenyamanan
pada sesama, misalnya mendoakan teman agar mereka dapat diberi kekuatan
Tuhan untuk mengatasi masalahnya.
h. Religious forgiving: mencari pertolongan agama dengan membiarkan pergi setiap
kemarahan, rasa sakit, dan ketakutan yang berkaitan dengan kondisi tidak
mengenakkan. Misalnya meminta bimbingan petunjuk pada Tuhan agar selalu
dimudahkan dalam ikhlas menerima segala kejadian.
2. Koping religius negatif
Koping religius negatif memiliki hubungan yang kurang baik dengan Tuhan, cara pandang
yang salah dan tidak menyenangkan terhadap dunia. Sikap yang kurang baik dalam
berhubungan dengan manusia yang menyangkut sikap religius. Koping religius negatif
juga memiliki aspek seperti berikut:
a. Punishing God reappraisal: menunjukkan kembali stresor sebagai suatu hukuman dari
Tuhan atas segala dosa-dosa yang telah dilakukan dimasa lalu. Misalnya seseorang
merasa diabaikan dan ditinggalkan oleh Tuhan atau menganggap sebagai sebuah
hukuman dari Tuhan.
b. Demonic reappraisal: menunjukkan kembali stresor sebagai suatu tindakan yang
dilakukan oleh kekuatan jahat/setan. Misalnya individu memiliki keyakinan bahwa
kejadian buruk yang pernah dialami karena pengaruh kekuatan negatif.
c. Reappraisal of God’s powers: menunjukkan kekuatan Tuhan untuk mempengaruhi
situasi stres. Misalnya seseorang berdoa kepada Tuhan agar membalas tindakan yang
tidak mengenakkan kepada dirinya.
d. Self-directing religious coping: mencari kontrol melalui inisiatif individu dibandingkan
meminta bantuan pada Tuhan. Misalnya seseorang menghadapi suatu masalah dalam
kehidupan ini, ia beranggapan bahwa dapat mengatasi masalah tersebut sendiri tanpa
perlu bantuan dari Tuhan.
e. Spiritual discontent: seseorang menunjukkan sikap tidak puas atas apa yang menimpa
dirinya dengan anggapan bahwa Tuhan tidak memperhatikan dirinya.
f. Interpersonal religious discontent: seseorang menunjukkan sikap cemas dan tidak puas
terhadap orang yang ahli ibadah ataupun seiman. Misalnya individu merasa tidak puas
dengan saran pemuka agama dalam mengahadapi masalah hidup. Dukungan religius
koping ini dapat berupa konseling, mengajarkan untuk berdoa, berdzikir, berwudhu,
dan sholat (Styana, 2016).
2.3.4 Prosedur
Menurut Styana (2016) peningkatan respon religius koping adaptif memiliki tahapan
sebagai berikut:

1. Seseorang yang melakukan dukungan religius koping menjelaskan kepada pasien


mengenai sikap syukur dan sabar atas segala hal yang menimpanya. Sikap syukur
dan sabar ditumbuhkan dengan cara ridho atas sakit yang menimpanya, dengan
begitu Tuhan menilai keikhlasan kita. Memanamkan pemahaman bahwa sakit yang
diderita merupakan ujian dari Tuhan dan bukan sebuah hukuman merupakan bagian
terpenting dalam tahap awal.

2. Menilai respon pasien, jika respon yang ditunjukkan baik maka dilanjutkan dengan
menilai pemahan pasien mengenai tata cara beribadah ketika dalam keadaan sakit.
3. Mencoba mengingatkan sesuatu yang buruk terjadi karena keburukan yang kita
lakukan. Kejadian yang buruk terjadi dapat menjadi jalan menggugurkan dosa yang
kita lakukan selama ini.

4. Mensugesti pasien untuk melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang


dianut. Pasien beragama Islam dapat diajarkan sholat, berdzikir, dan berdoa.

5. Respon pasien adaptif dapat dilanjutkan dengan terapi lainnya untuk menunjang
proses penyembuhan.

2.3.5 Kriteria Hasil yang Diharapkan


Religius koping adaptif meningkatkan respon penerimaan diri seseorang atas
stresor, dalam hal ini berupa sakit. Sikap positif yang timbul berupa tabah, sabar, dan
pandai mengambil hikmah. Seseorang yang memiliki respon koping religius adaptif
tidak merespon bahwa sakit yang diderita merupakan hukuman dari Tuhan atas dirinya
melainkan sakit yang diderita merupakan ujian sebagai penggugur dosa. Respon adaptif
memunculkan kekuatan yang luar biasa bagi pasien stroke, dapat mendorong ketaatan
dalam proses pengobatan sebagaimana anjuran tenaga medis sampai mencapai kondisi
sediakala (Styana, 2016).
2.3.6 Mekanisme dukungan religius koping terhadap penerimaan diri pasien pasca
stroke
Mekanisme dukungan religius koping terhadap penerimaan diri pasien pasca stroke
oleh beberapa ahli dideskripsikan sebagai proses religius koping positif. Religius
koping positif dimaknai oleh seseorang yang terkena serangan stroke sebagai sebuah
ujian dari Tuhan, bukan dimaknai sebagai sebuah hukuman dari Tuhan. Seseorang yang
memaknai religius secara positif ia tetap berdoa dan meminta kepada Tuhan agar
diberikan kesembuhan (Kalra, 2007). Perasaan yang kuat dari seorang pasien stroke
bahwa sakit yang ia derita merupakan bentuk cinta dari Tuhan dengan diberikan cobaan
berupa sakit. Pasien stroke menerima keadaan yang ia alami saat ini dan tetap memiliki
rasa bahwa Tuhan tidak meninggalkannya hal ini menimbulkan harapan yang kuat dan
keinginan untuk tetap melanjutkan hidup ini dengan terus menjalankan proses
pengobatan dan program rehabilitasi (Omu, 2014). Pasien yang melakukan rehabilitasi
stroke, keyakinan agama yang dianut dapat mendorong perasaan dukungan dan
harapan, meningkatkan self-efficacy (Kalra, 2007).
Respon religius koping yang adaptif berdampak pada proses kesehatan pasien pasca
stroke. Kesehatan pasien pasca stroke menjadi meningkat karena adanya respon
penerimaan diri terhadap sakit yang diderita. Respon penerimaan diri tersebut berupa
sikap realistis, pandai mengambil hikmah, dan ketabahan hati. Respon yang
ditunjukkan pada fisik pasien berupa pernafasan yang stabil, terlihat lebih tenang, dan
proses penyembuhan yang lebih cepat dari waktu seharusnya (Styana, 2016).
2.4. Performa Fisik
2.4.1 Definisi
Performa fisik adalah kemampuan fisik dalam melakukan kegiatan tertentu yang
berkaitan dengan stamina, kekuatan otot, dan koordinasi saraf. Setiap individu memiliki
kemampuan dasar yang berbeda-beda dalam melakukan aktivitas tertentu (Robins,
2008).
2.4.2 Faktor-faktor kekuatan fisik
Performa fisik dipengaruhi oleh beberapa faktor (Robins, 2008) seperti berikut:
a. Kekuatan dinamis: kemampuan untuk mengenakan otot secara berulangulang atau
berkesinambungan sepanjang kurun waktu tertentu.
b. Kekuatan tubuh: kemampuan mengenakan kekuatan otot dengan menggunakan otot-
otot tubuh
c. Kekuatan verbal: kemampuan mengenakan kekuatan terhadap objek luar
d. Kekuatan statis: kemampuan menghabiskan suatu energi eksplosit dalam satu atau
sederetan tindakan eksplosit
e. Keluwesan menggerakan otot tubuh dan merenggang punggung sejauh mungkin
f. Keluwesan dinamis kemampuan melakukan gerakan cepat
g. Koordinasi tubuh kemampuan mengkoordinasi tindakan-tindakan serentak dari
bagian-bagian tubuh yang berlainan
h. Keseimbangan: kemampuan mempertahankan keseimbangan meskipun ada
kekuatan-kekuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut.
i. Stamina: kemampuan melanjutkan upaya maksimum yang menuntut upaya yang
sepanjang kurun waktu.
2.4.3 Indikator Performa fisik Ektremitas Atas
Performa fisik ekstremitas atas dapat diukur dengan kemampuan lengan atas,
lengan bawah, dan jari-jari. Kemampuan lengan atas diukur dengan kemampuan untuk
abduksi dan adduksi. Melakukan sirkumduksi terhadap bahu. Lengan bawah diukur
dengan kemampuan untuk pronasi, supinasi, kemampuan stabilitas dalam waktu
tertentu dan kemampuan siku dalam fleksi. Kekuatan jarijari diukur dengan
kemampuan untuk menggenggam, fleksi, ekstensi, dorsofleksi (Meyer, 2009).

Anda mungkin juga menyukai