Anda di halaman 1dari 4

Peningkatan Protein Hewani Untuk Ketahan Pangan

Oleh : Viktor Siagian

Acara puncak Peringatan Hari Pangan Sedunia yang ke – 27 berlangsung di


Provinsi Lampung, 5 Desember 2007. temu pangan sedunia tahun ini ”Melalui
Peningkatan Produksi Dan Mutu Produk Pangan Hewani Kita Tingkatkan
Kecerdasan Bangsa”. Tema ini berkaitan erat dengan subsektor peternakan dan
perikanan sebagai sumber pangan hewani.

Produk pangan hewani kita yaitu daging, susu, telur, dan ikan, belum
menggembirakan.kita menargetkan mencapai swasembada daging pada 2010.
Sementara itu, konsumsi daging per kapita pada 2004 sebesar 6,2 kg dengan
total konsumsi 1,97 juta ton, dengan produksi daging 2,0 juta ton, meningkat
rata-rata 7,9 persen per tahun dibandingkan 2003. Dibandingkan dengan
Malaysia, Filipina, Dan Thailand, tingkat konsumsi daging di Indonesia termasuk
rendah.

Pada tahun 2005, produksi daging sapi 463.800 ton dengan populasi ternak sapi
potong 10,4 juta ekor (Statistik Peternakan, 2006). Indonesia masih mengimpor
daging sapi sekitar 3.500 ton per tahun, sedangkan jumlah sapi bakalan 350.000
ekor per tahun. Strategi yang diterapkan Departemen Pertanian untuk mencapai
swasembada daging (sapi) adalah meningkatkan jumlah sapi 1,5 – 2 juta ekor.
Kemudian melakukan jaringan betina produktif 150.000-200.000 ekor per tahun.
Betina-betina produktif dihindari masuk rumah potong. Tentunya tidak lupa
mengintensifikasi program Inseminasi Buatan (IB), dan penanganan penyakit
hewan.

Berdasarkan data statistik peternakan, hampir 90 persen usaha peternakan sapi


di Indonesia adalah peternakan rakyat. Usaha-usaha pembibitan (breeding)
ataupun pembesaran sapi potong komersial (feedlooter) sejak terjadinya krisis
moneter sangat berkurang. Tidak satu pun pengusaha swasta bergerak di
bidang breeding sapi.

Mahalnya harga sapi bakalan impor dan rendahnya daya beli masyarakat
menjadi penyebab tidak berkembangnya usaha ternak. Padahal, jika hanya
mengandalkan produksi peternakan rakyat, sulit bagi kita untuk dapat
swasembada daging yang dimaksud adalah swasembada on trend dengan
tingkat impor 8,5 persen. Saat ini 28 persen daging sapi masih diimpor.
Unggas Swasembada
Dalam bidang perunggasan kita sebagian diekspor. Populasi ayam pedaging
pada 2004 berjumlah 889,1 juta ekor dengan produksi daging unggas 1,2 juta
ton. Tingkat konsumsi daging unggas 3,65 persen kg per kapita pada 2003
(Rusfida A.,2005), meningkat rata-rata 5 persen per tahun selama kurun waktu
tiga tahun. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tingkat
konsumsi kita termasuk rendah. Malaysia 36,7 kg/kapita/tahun, Thailand 13,5
kg/kapita/tahun, Filipina 7,5 kg/kapita/tahun, Vietnam 4,6 kg/kapita/tahun, dan
Myanmar 4,2 kg/kapita/tahun. Apalagi dengan merebaknya virus flu burung,
tingkat konsumsi daging unggas menurun drastis. Perlu waktu lama untuk
meyakinkan masyarakat bahwa mengkonsumsi daging unggas aman bagi
kesehatan.
Untuk daging kambing dan domba kita sudah berswasembada dengan produksi
masing-masing 58.900 ton dan 66.500 ton pada 2005. Demikian juga untuk
daging kerbau dengan produksi mencapai 40.800 ton pada 2005. Jumlah
populasi kerbau pada 2004 mencapai 2,5 juta ekor.

Susu Masih Impor


Salah satu produk pangan hewani yang cukup penting adalah susu. Jenis
pangan hewani ini masih kita impor dalam jumlah besar, yakni 1.010.000 ton
pada 2004. Tingkat konsumsi susu dalam negeri pada 2004 berjumlah 1,56 juta
ton dengan produksi susu 549.900 ton. Permintaan akan susu meningkatkan
rata-rata 3 persen per tahun selama periode 2000-2004. Tingkat konsumsi per
kapita mencapai 8 liter/ tahun masih lebih rendah dibandingkan dengan
Malaysia, yaitu 25 liter/kapita/tahun, India 45 liter/kapita/tahun, dan dunia 40
liter/kapita/tahun.

Tahun ini kita menghadapi kenaikan harga susu impor, yakni susu formula dan
susu kental manis. Penyebabnya, naiknya harga bahan baku susu formula di
negara asal, Australia dan Selandia Baru. Untuk meningkatkan tingkat konsumsi
susu, harga susu harus terjangkau dengan meningkatkan produksi oleh Industri
Pengolahan Susu (IPS) nasional. Bantuan bibit sapi perah unggul sangat
dibutuhkan peternak tradisional. Pengusaha yang terjun ke bidang usaha ini
harus mendapat bantuan dari pemerintah, baik dalam bentuk kredit kepemilikan
sapi maupun kemudahan memperoleh kredit perbankan.
Produksi pangan hewani lainnya adalah ikan. Tingkat konsumsi ikan sampai 21,8
kg/kapita per 2003, sedangakan standar kecukupan ikan adalah 26,25
kg/kapita/tahun. Pemerintah sudah melancarkan program Gemaprotekan
(Gerakan makan protein ikan) sejak 1997 yang tujuannya untuk meningkatkan
konsumsi ikan di masyarakat. Masalahnya, harga ikan laut jauh lebih mahal
dibandingkan dengan daging ayam ras, akibat naiknya harga BBM. Luasnya
lautan kita ternyata belum mampu memberikan kecukupan protein ikan bagi
seluruh masyarakat.

Telur juga jenis makanan hewan yang penting. Konsumsi telur perkapita 4,4
kg/tahun dengan total permintaan tahun 2004 sebanyak 1,1 juta ton. Jadi, kita
sudah berswasembada telur. Permintaan akan telur meningkat setiap tahun,
rata-rata 8 persen selama periode 2000-2004. jika dibandingkan dengan negara
ASEAN, tingkat konsumsi telur perkapita kita termasuk rendah. Malaysia 14,4
kg/kapita/tahun, Thailand 9,9 kg/kapita/tahun, dan Filipina 6,2 kg. Harga telur
yang berkisar Rp.8.000 - 10.000 per kg sebenarnya relatif murah, namun daya
beli masyarakat masih rendah. Populasi ayam petelur di Indonesia pada 2004
sebanyak 80,5 juta ekor.

Karena rendahnya tingkat konsumsi daging, telur, dan susu maka tingkat
konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, hanya 4,7 gram/orang/hari,
jauh dari target 6 gram. Padahal Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10
gram/orang/hari. Di negara-negara maju,seperti Amerika Serikat, Prancis,
Jepang, Kanada, Dan Inggris adalah 50-80 gram/kapita/hari. Dinegara-negara
berkembang lainnya, seperti, Korea, Brasil, dan Tiongkok 20-40 gram/kapita/hari.
Semakin tinggi tingkat konsumsi protein hewani semakin tinggi umur harapan
hidup/UHH (Han dalam Rusfida, 2005). Di negara-negara maju UHH-nya 75-85
tahun dan di negara-negara berkembang lainnya UHH 65-75 tahun. Sedangkan
di Indonesia, Bangladesh, dan India UHH 55-65 tahun (Han,1999).

Mutu Produk
Yang juga perlu menjadi perhatian adalah subtema tentang mutu produk pangan.
Sebenarnya hal ini sudah dilakukan sejak dulu, terutama untuk produk ikan.
Udang windu, misalnya, memiliki persyaratan yang tinggi agar dapat lolos ekspor
terutama menyangkut hama penyakit. Persyaratan sanitary dan phito sanitary-
nya merupakan salah satu kesepakatan GATT Uruguay, harus bebas dari bakteri
Salmonella,E Colli dan bakteri pathogen. Ikan tuna yang kita ekspor juga
memiliki persyaratan dasar agar dapat di ekspor, seperti, berat minimal 10 kg per
ekor. Hal ini berkaitan dengan konservasi biota laut.

Mutu daging kita juga menjadi persoalan serius belakangan ini. Ada daging
unggas yang terkena virus flu burung, daging sapi dan kambing terkena penyakit
mulut dan kuku.juga ada daging dan ikan yang disebut-sebut menggunakan
formalin. Kemudian ada daging sapi gelondongan, banyak mengandung air,
sehingga mudah busuk.

Semua hal di atas menurunkan mutu produk pangan kita. Siapa yang
bertanggung jawab untuk keamanan pangan ini? Tentunya aparat Dinas
Peternakan. Karantina Hewan, Badan/Kantor Ketahanan pangan setempat.
Merekalah yang bertanggung jawab memeriksa dan mengawasi produsen
daging dan ikan untuk memastikan bahwa pangan tersebut aman. Sanksi berat
kepada yang melanggar ketentuan tersebut harus dijatuhkan agar memberikan
efekjera. Kita memiliki UU Pangan No. 7 tahun 1996 yang menjadi payung
hukumnya.

Pengawasan lalu lintas ternak sangat penting untuk mencegah menyebarnya


penyakit menular hewan dan ikan. Lemahnya pengawasan lalu lintas hewan
antarprovinsi dan pulau merupakan salah satu penyebab merebaknya virus flu
burung. Jika kita mampu melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum
terhadap pelanggaran keamanan pangan maka masalah mutu pangan dapat
diatasi.

Viktor Siagian
Penulis adalah peneliti di BPTP Sumsel
Dimuat dalam Harian Bisnis Indonesia, 2 Januari 2008

Anda mungkin juga menyukai