Referat Anastesiologi
Referat Anastesiologi
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesiologi
2.1.1 Definisi
Anestesiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pembiusan/anestesi.
Anestesi mulai dikenalkan oleh kaum bangsawan sekitar pertengahan abad ke 19
dan menjadi terkenal sekitar 6 dekade lalu. Peradaban kuno lalu menggunakan
opium, daun-daunan kokain, akar mandrake, alkohol untuk membantu dan
mempermudah dalam melakukan operasi. Peradaban kuno lalu menggunakan
kokain dan scopolamine yang digunakan sebagai premedikasi. Selain itu untuk
melakukan general anastesi biasa menggunakan sesuatu yang dingin
(cryoanalgesia) untuk menekan dari kerja saraf-saraf yang berada disekitar itu.
Selain itu juga digunakan daun-daunan cocca yang bertujuan untuk anastesi lokal
seperti operasi pada luka.1
Seiring berkembangnya zaman, maka dilakukan lah penyempurnaan dari
sistem anestesi dengan meminimalisir dari efek samping penggunaan obat-obatan
anastesi. Maka dari itu mulailah ditemukannya anestesi inhalasi yang hanya
melakukan penghirupan pada zat-zat anestesi, dan diikuti juga dengan anestesi
lokal dan anestesi umum, dan akhirnya ditemukan lah anestesi intravena yaitu
dimasukan obat-obat anestesi hanya menggunakan infus.1
2
2.2.2 Tujuan
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi
otonom.3,4
2.2.3 Persiapan Anestesi Umum4,5,6
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara
(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, ukuran
lidah, leher kaku, dan pendek.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah
dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnea
jangan diulang. Kebiasaan merokok dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi
nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi
produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga harus dicurigai akan adanya
penyakit hepar.
Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa
pendarahan, masa pembekuan, radiologi, EKG).
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA) :
3
Tabel 1. Klasifikasi The American Society Of Anesthesiologist (ASA)4,5,6
Kategori
Kriteria Penyakit
ASA
ASA I Normal dan sehat -
4
Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau
keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat 1 - 2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anastesi
c. Mengurangi sekresi saliva dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anastesik
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang membahayakan
Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain:
a. Golongan Antikolinergik
Atropin diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan
muntah, melemaskan tonus otot polos organ-organ, dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Dosis 0,4-0,6 mg IM bekerja setelah 10-15 menit.
b. Golongan Hipnotik-Sedatif
Barbiturat (pentobarbital dan sekobarbital) diberikan untuk sedasi dan
mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral
atau IM. Dosis dewasa 100-200 mg, pada bayi dan anak 3-5 mg/kgBB.
Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.
c. Golongan Analgetik Narkotik
Morfin diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang
operasi. Dosis premedikasi dewasa 10-20 mg. Kerugian penggunaan morfin
ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada pasien asma,
mual dan muntah pasca bedah.
Pethidin dosis premedikasi dewasa 25-100 mg IV. Diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Pethidin juga
berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.
5
d. Gol. Transquilizer
Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian dosis
rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi
dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
2.2.4 Metode Pemberian Anestesi Umum1,2,3
Obat-obat anestesi umum bisa diberikan melalui perenteral (intravena,
intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-anak
dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus. Perinhalasi
melalui isapan, pasien disuruh tarik napas dalam kemudian berikan anestesi
perinhalasi secara perlahan.
2.2.5 Stadium Anastesi1,3,5
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu pertama berupa analgesia
sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan
stadium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesia (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata (untuk
mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya pernapasan
spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan
kekanan dengan mudah.
Stadium IV
6
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien
sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi
yang berlebihan.
Tanda Refleks pada Mata4,5,6
REFLEKS
REFLEKS REFLEKS REFLEKS
KELOPAK
PUPIL BULU MATA CAHAYA
MATA
Pada keadaan Refleks bulu Pengecekkan Untuk refleks
teranestesi maka mata sudah refleks kelopak cahaya yang kita
refleks pupil akan disinggung tadi di mata jarang lihat adalah
miosis apabila bagian stadium dilakukan tetapi pupilnya, ada /
anestesinya anestesi. Apabila bisa digunakan tidak respon saat
dangkal, midriasis saat dicek refleks untuk memastikan kita beri
ringan bulu mata (-) maka efek anestesi rangsangan
menandakan pasien tersebut sudah bekerja atau cahaya.
anestesi reaksinya sudah pada belum, caranya
cukup dan baik/ stadium 1. adalah kita tarik
stadium yang palpebra atas ada
paling baik untuk respon tidak, kalau
dilakukan tidak berarti
pembedahan, menandakan
midriasis pasien sudah
maksimal masuk stadium 1
menandakan ataupun 2.
pasien mati.
7
1. Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
2. Keadaan umum baik (ASA I – II)
3. Lambung harus kosong
Prosedur :
1. Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestesi
2. Pasang infus (untuk memasukan obat anestesi)
3. Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxietas: benzodiazepine; analgesia:
opioid, non opioid.
4. Induksi
5. Pemeliharaan
b. Intubasi endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakeal adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea
(ET= endotrakeal tube) kedalam trakea melalui oral atau nasal. Indikasi;
operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan
kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh
otot/suksinil dengan durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope
T = Tubes, pipa trakea, usia >5 tahun dengan balon (cuffed)
A= Airway, pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring
(nasofaring) yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape, plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.
I = Introductor, stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connector, penyambung pipa dan perlatan anestesi.
8
S = Suction, penyedot lendir dan ludah.
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1
menit
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan
mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah
bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah lurus)
7. Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dari
luar)
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glotis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu
napas (alat resusitasi)
Klasifikasi Mallampati:
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi mallampati:
9
Gambar 1: Klasifikasi Mallampati2
10
A. Anestesi intravena
Penggunaan:
1. Untuk induksi
2. Obat tunggal pada operasi singkat
3. Tambahan pada obat inhalasi lemah
4. Tambahan pada regional anestesi
5. Sedasi
Cara pemberian:
1. Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
2. Suntikan berulang (intermiten)
3. Diteteskan perinfus
Obat anestetik intravena meliputi :
1. Benzodiazepine
Sifat : hipnotik – sedatif, amnesia anterograd, atropine like effect, pelemas
otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, midazolam : induksi : 0,15 –
0,45 mg/kg IV.
2. Propofol
Merupakan salah satu anestesi intravena yang sangat penting. Propofol
dapat menghasilkan anestesi dengan kecepatan yang sama dengan pemberian
barbiturat secara intravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2
– 2,5 mg/kg IV.
3. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anestesi. Indikasi
pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang
sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien risiko tinggi dan asma.
Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1-2 mg/kgBB dan pada pemberian IM
3-10 mg/kgBB.
4. Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air
menjadi larutan 2,5% atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi
11
anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi
kejang. Keuntungannya : induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan
napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
B. Anestesi inhalasi
1. N2O
Dinitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam
bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar
± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesik yang baik, dengan inhalasi 20%
N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesik maksimum ± 35%. Gas ini sering digunakan pada
partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa
sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestesi tunggal N2O digunakan
secara intermiten untuk mendapatkan analgesik pada saat proses persalinan dan
pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestesi umum, dalam
kombinasi dengan zat lain
2. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan
tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi
dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet, dan plastik.
Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak
sehingga pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek
analgesik halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan
kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat
digunakan kadar tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah
0,76% volume.
3. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi mirip
dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam
12
sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena
penderita menahan napas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestesi
stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi.
Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensitisasi
jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardia
dihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-
10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi
terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis.
Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP
seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada
kadar lebih dari 1,1 MAC (Minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan intrakranial.
4. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai
untuk induksi inhalasi dan juga efek dari obat ini bisa menurunkan tekanan darah
secara perlahan beda dengan isofluran yang bisa menurunkan tekanan darah
dengan cepat.
2.2.8 Score Pemulihan Pasca Anestesi2,7
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu di observasi di ruang Recovery Room (RR).
13
a. Warna kulit:
a. Merah muda 2
b. Pucat 1
c. Sianosis 0
b. Pernafasan:
a. Spontan/lancar/tak ada tanda- 2
tanda sumbatan
b. Napas dibantu/nafas belum 1
teratur
c. Tidak bernapas 0
c. Kesadaran:
a. Sadar penuh 2
b. Sadar bila dirangsang 1
c. Tidak sadar 0
d. Aktivitas:
a. Seluruh ekstremitas dapat 2
digerakkan
b. Seluruh ekstremitas dapat 1
digerakkan bila dirangsang
c. Tidak ada pergerakan
0
e. Sirkulasi:
a. Bila tekanan darah ± 20% dari 2
normal
b. Bila tekanan darah ± 20%-50% 1
dari normal
c. Bila tekanan darah > 50% dari 0
normal
- Bila score ≥ 8 pasien boleh pindah ruangan
- Bila score <5 pindah ICU
14
3. Tidak mampu fleksi lutut 2
4. Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Keterangan: jika bromage score 2 dapat dipindahkan keruangan
15
1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan napas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
2.3.4 Kerugian Anastesi Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
2.3.5 Persiapan Anastesi Regional
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal, perlu
persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh
darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi
terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dengan anestesi umum.
2.3.6 Pembahasan Blok Sentral
Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris, dan
blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal).
1. Anastesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi lokal ke
dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.7
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis subkutis lig. supraspinosum lig. interspinosum lig. flavum ruang
epidural durameter ruang subarachnoid.
16
Gambar 2. Anestesi Spinal7
17
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
D. Persiapan analgesia spinal7
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga
tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah
ini:
1. Informed consent, kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui
anestesia spinal
2. Pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran, Hemoglobin, Hematokrit, PT
(Prothrombine Time), PTT (Partial Thromboplastine Time)
E. Peralatan analgesia spinal7
1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
18
Gambar 3. Jarum Spinal7
F. Anastesi lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-1.008. Anastesi
lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastesi lokal dengan
berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastesi lokal dengan berat jenis
lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anastesi lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestesi lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100 mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain, lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033,
sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dalamlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20 mg (1-4 ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)
G. Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.7
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
19
Gambar 4. Posisi duduk dan lateral decubitus7
20
Gambar 5. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.
H. Penyebaran anastetik lokal tergantung7:
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal.
I. Lama kerja anestetik lokal tergantung7:
a. Jenis anestetia lokal
b. Besarnya dosis
c. Ada tidaknya vasokonstriktor
d. Besarnya penyebaran anestetik local
J. Komplikasi tindakan anestesi spinal7:
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum
tindakan.
b. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai
T-2.
c. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas
21
d. Trauma pembuluh saraf
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
K. Komplikasi pasca tindakan7:
a. Nyeri tempat suntikan
b. Nyeri punggung
c. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d. Retensio urine
e. Meningitis
2. Anestesi Epidural
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan
obat di ruang epidural. Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan duramater.
Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm dan dibagian posterior kedalaman maksimal
pada daerah lumbal.7 Obat anestetik lokal diruang epidural bekerja langsung pada
akar saraf spinal yang terletak dilateral.Awal kerja anestesi epidural lebih lambat
dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih
lemah.
22
3. Pleksus venosus epiduralis
4. Arteria spinalis
5. Pembuluh limfe
6. Jaringan lemak
b. Keuntungan epidural dibandingkan spinal7:
1. Bisa segmental
2. Tidak terjadi headache post op
3. Hipotensi lambat terjadi
c. Kerugian epidural dibandingkan spinal7:
1. Teknik lebih sulit
2. Jumlah obat anestesi lokal lebih besar
3. Reaksi sistemis
d. Komplikasi anestesi / analgesi epidural7:
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskular (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual – muntah
e. Indikasi analgesia epidural7:
1. Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah
2. Untuk analgesia saja, di mana operasi tidak dipertimbangkan. Sebuah
anestesi epidural untuk menghilangkan nyeri (misalnya pada persalinan)
kemungkinan tidak akan menyebabkan hilangnya kekuatan otot, tetapi
biasanya tidak cukup untuk operasi.
3. Sebagai tambahan untuk anestesi umum. Hal ini dapat mengurangi
kebutuhan pasien akan analgesik opioid. Ini cocok untuk berbagai
macam operasi, misalnya histerektomi, bedah ortopedi, bedah umum
(misalnya laparotomi) dan bedah vaskuler (misalnya perbaikananeurisma
aorta terbuka).
4. Sebagai teknik tunggal untuk anestesi bedah. Beberapa operasi, yang
paling sering operasi caesar, dapat dilakukan dengan menggunakan
anestesi epidural sebagai teknik tunggal. Biasanya pasien akan tetap
23
terjaga selama operasi. Dosis yang dibutuhkan untuk anestesi jauh lebih
tinggi daripada yang diperlukan untuk analgesia.
5. Untuk analgesia pasca-operasi, di salah satu situasi di atas. Analgesik
diberikan ke dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi,
asalkan kateter telah dimasukkan.
6. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke
dalam ruang epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit
punggung
7. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam
perawatan terminal, biasanya dalam jangka pendek atau menengah.
Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat
menghambat penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana vasodilatasi
yang diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah ke jantung.
Anestesi epidural sebaiknya tidak dilakukan pada:
1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaanobat antikoagulan
(misalnya warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia
Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :
1. Volume obat yg disuntikan
2. Usia pasien
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
24
7. Panjang kolumna vetebralis
f. Teknik anestesia epidural :
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.7
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a) Jarum ujung tajam (Crawford)
b) Jarum ujung khusus (Tuohy)
25
Nacl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan secara
lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul oleh
tersedotnyatetes NaCl ke ruang epidural.Setelah yakin, lakukan uji dosis (test
dose).
Uji dosis (test dose)
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan
setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis
berulang (kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang
sudah bercampur adrenalin 1:200.000.
1. Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
sudah benar
2. Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang
subarakhnoid karena terlalu dalam.
3. Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
6. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya bergantung
pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai
50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat pengaruh hormon
dan mengecilnya ruang epidural akibat ramainya vaskularisasi darah dalam
ruang epidural.
7. Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan analgesia epidural :
a. Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
b. Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.
c. Tentang blok motorik dari skala bromage
Tabel 5. Skala bromage untuk blok motorik7
Melipat lutut Melipat jari
Blok parsial + ++
Blok lengkap - -
26
Anestesi lokal yang digunakan untuk epidural
1. Lidokain (xylokain, lidonest)
Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi otot
baik.0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik.1.5% lazim digunakan
untuk pembedahan.2% untuk relaksasi pasien berotot.
2. Bupivakain (markain)
Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam.Volum yang
digunakan <20ml.
Komplikasi:
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual-muntah
3. Anestesi Kaudal7
27
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena kanalis
kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum
sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan antara ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan ligamentum flavum. Ruang kaudal
berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura.7
a. Indikasi
Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid, fistula paraanal.
b. Kontra indikasi
Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural.
c. Teknik anesthesia kaudal : 6,7
1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala
lebih rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena
ukuran 20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan
kiri dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga
tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.
5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis,
tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk
kanalis sakralis, ubah jarum jadi 450-600 dan jarum didorong sedalam 1-2
cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil
meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan
masuk dengan benar di kanalis kaudalis.
28
Gambar 8. Anestesi Kaudal2,7
29
Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau
blokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang
transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi
saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
B. Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal:
1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
2. Batas keamanan harus lebar
3. Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada
membran mukosa
4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka
waktu yang yang cukup lama
5. Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap
pemanasan.
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada
pembedahan kecil dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di
Indonesia, yang paling banyak digunakan adalah lidokain dan bupivakain.
C. Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium-channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium
sehingga tidak terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi
konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin
poten.Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan
konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum
alveolar concentration) dipengaruhi oleh:
1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)
3. Frekuensi stimulasi saraf
30
Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi
meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan
mula kerja cepat
2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika local
Lama kerja dipengaruhi oleh:
1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi
3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian
D. Efek samping terhadap sistem tubuh
Sistem kardiovaskular:
a. Depresi automatisasi miokard
b. Depresi kontraktilitas miokard
c. Dilatasi arteriolar
d. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi
Sistem pernafasan:
a. Relaksasi otot polos bronkus
b. Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus
c. Paralisis interkostal
d. Depresi langsung pusat pengaturan nafas
Sistem saraf pusat:
a. Parestesia lidah
b. Pusing
c. Tinitus
d. Pandangan kabur
e. Agitasi
f. Depresi pernafasan
g. Tidak sadar
h. Konvulsi
i. Koma
Imunologi : reaksi alergi
31
Sistem muskuloskeletal : miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain
E. Komplikasi obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga
untuk tiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya.Komplikasi
dapat bersifat lokal atau sistemik.
Komplikasi lokal
1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene
2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan
antisepsis
3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang
disuntikkan pada daerah dengan end-artery
Komplikasi sistemik
1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan kardiovaskuler
2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa
perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa depresi.
3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan depresi
miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.
32
3. Pasang pengukur tekanan darah pada lengan atas seperti akan mengukur
tekanan darah biasa dengan torniket atau manset ganda dan bagian proksimal
dikembangkan dahulu sampai 100 mmHg di atas tekanan sistolik supaya
darah arteri tidak masuk kelengan dan tentunya juga darah vena tidak akan
masuk ke sistemik. Perban elastik dilepaskan.
4. Suntikkan lidokain atau prilokain 0,5% 0,6 ml/kg (bupivakain tidak
dianjurkan karena toksisitasnya besar) melalui kateter di punggung tangan
dan kalau untuk tungkai lewat vena punggung kaki dosis 1-1,2 ml/kg.
Analgesia tercapai dalam waktu 5-15 menit dan pembedahan dapat dimulai.
5. Setelah 20-30 menit atau kalau pasien merasa tak enak atau nyeri pada
torniket, kembangkan manset distal dan kempiskan manset proksimal.
6. Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukans ecara bertahap, buka
tutup selang beberapa menit untuk menghindari keracunan obat. Pada bedah
sangat singkat, untuk mencegah keracunan sistemik, torniket harus tetap
dipertahankan selama 30 menit untuk memberi kesempatan obat keluar vena
menyebar dan melekat keseluruh jaringan sekitar. Untuk tungkai jarang
dikerjakan karena banyak pilihan lain yang lebih mudah dan aman seperti
blok spinal, epidural, atau kaudal
33
hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi
juga penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter3.
Obat-obat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi
atau analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi.Hanya eter yang memiliki trias
anestesia.Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka
trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat.Eter
menyebabkan tidur, analgesia dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan
kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak mengganggu dan lambat (meskipun
aman) untuk induksi.Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot
(muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Obat-obat opium seperti
morfin dan petidin akan menyebabkan analgesia dengan sedikit perubahan pada
tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat
dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus dipilih yang paling
sesuai untuk pasien2.
a. Efek Hipnotik
b. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri hebat
dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory
drugs) untuk nyeri sedang atau ringan.
Metoda menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal,
transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang
sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg,
petidin 20-60 mg, fentanil 25-100ug) atau intraspinal opioid (untuk dewasa morfin
0,1-0,3 mg, petidin 10-30 mg, fentanil 5-25 ug).
Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum
pembedahan selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi1.
Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin.Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering
digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri
34
pasca pembedahan. Malahan kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik
total pada pembedahan jantung. Opium ialah getah candu. Opiate ialah obat yang
dibuat dari opium. Narkotik ialah istilah tidak spesifik untuk semua obat yang dapat
menyebabkan tidur1.
Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di
seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di
sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan
di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf
usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (met-enkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Opioid
digolongkan menjadi:
a. Agonis
Mengaktifkan reseptor.Contoh: morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
b. Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah
agonismerangsang reseptor.Contoh: nalokson, naltrekson.
c. Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin.
Klasifikasi Opioid :
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin),
tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan lain menjadi natural (morfin,
kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon,
derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih
mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver
somniferum.Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain
dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar
35
stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex
spinal, konvulsi, dan sekresi hormone antidiuretik (ADH).
Terhadap Sistem Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan beralkibat
bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa
sehat normal tidur terlentang hamper tidak mengganggu sistem jantung-sirkulasi.
Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik.
Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan
histamine, sehingga menyababkan konstriksi bronkus.Oleh sebab itu di indikasi-
kontrakan pada kasus asma dan bronchitis kronis.
Terhadap Sistem Saluran Cerna morfin mrnyababkan kejang otot usus, sehingga
terjadi konstipasi.Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga
tidak dianjurkan digunakan pada gangguan empedu.Kolik empedu menyerupai
serangan jantung, sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid.
Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter
buli-buli yang berakibat retensio urin.
Pethidine
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati
sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat.Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif
memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah
berkurang 50%.Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek
terhadap sfingter Oddi lebih ringan. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan
gemetaran pasca bedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis
20-25 mg iv pada dewasa.
36
Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam.
Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi.
Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia
spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin.Lebih larut
dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya.
Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya.Dosis 1-3
ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.Dosis besar
50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan anesthesia
dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari
fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3
mg/kgBB.
Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil.Insiden mual-muntahnya sangat
besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor
mu dan kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
Antagonis Opioid
Nalokson
37
Naloksom ialah antagonis murni opioid dan bekerja oada reseptor mu, delta,
kappa, dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin
akanterlihat laju napas meningkat, kantuk menghilang, pupil mataa dilatasi, tekanan
darah kalu sebelumnya rendah akan meningkat.
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir
pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5
menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosisi lebih dari 0,2 mg jarang digunakan.
Dosis intramuscular 2x dosis intravena.pada keracunan opioid nalokson dapat
diberikan per-infus dosis 3-10ug/kgBB.
Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10
ug/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg
diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.
Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan
per oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid.Waktu paro plasma 8-12
jam.Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10
mg dapat mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan,
tanpa menghilangkan efek analgesinya.
38
sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada
reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan
terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan ion
kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-
esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong
tertutup kembali terjadilah repolarisasi1.
Pelumpuh Otot Depolarisasi :
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti
asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup
lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh
fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.Termasuk golongan pelumpuh otot
depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma, pseudo-
kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin.Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase1.
Dampak samping suksinil ialah1 :
- Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai
90%, dan mioglobinuria.
- Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri
otot.
1. Peningkatan tekanan intracranial.
2. Peningkatan tekanan intragastrik.
3. Peningkatan kadar kalium plasma.
4. Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
5. Salviasi
6. Alergi, anafilaksis
Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi :
39
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan
menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum :d-tubokurarin,metokurin,atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi kerja
panjang, sedang, dan pendek.Gallamin ada yang memasukkan sebagai panjang yang
lainnya kerja sedang1.
Pilihan pelumpuh otot1 :
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miasternia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetri : semua dapat digunakan, kecuali gallamin
40
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium
0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang bronnkus,
hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh
obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01
mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa
BAB III
KESIMPULAN
41
Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu
Anastetik inhalasi dan anastetik intravena. Terlepas dari cara penggunaanya suatu
anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal
sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek
relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga penekanan reflex otonom dan
sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter.
Berbagai teknik Anestesi Umum yang biasa digunakan adalah inhalasi dengan
respirasi spontan (sungkup wajah, intubasi endotrakeal), inhalasi dengan
respirasi Kendali ( Intubasi endotrakeal, Laryngeal Mask Airway (LMA)), Anestesi
Intravena Total (TIVA) ( Tanpa intubasi endotrakeal dan dengan intubasi
endotrakeal). Obat anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya dibagi terdiri dari
3 golongan obat anestetika yang menguap (volatile anesthetic inhalation),
obat anestetika gas (gas anesthetic inhalation), dan obat anestetika yang diberikan
secara intravena (intravenous).
Anestesi regional adalah anastesi lokal dengan menyuntikan obat anastesi
didekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranastesi.Anastesi regional terbagi
atas epidural anastesi, spinal anastesi dan kombinasi spinal epidural. Anestesi spinal
dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan
perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi
urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah
anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan
dengan anestesi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, nyeri punggung, penggunaan
obat-obatan praoperasi golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin,
novalgin, parasetamol), heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak
stabil.Istilah epidural sering pendek untuk anestesi epidural, suatu bentuk anestesi
42
regional yang melibatkan injeksi obat melalui kateter ditempatkan ke dalam ruang
epidural. Injeksi dapat menyebabkan keduanya kehilangan sensasi (anestesi) dan
hilangnya rasa sakit (analgesia), dengan menghalangi transmisi sinyal melalui saraf
di dalam atau dekat tulang belakang.
Menyuntikkan obat ke dalam ruang epidural terutama dilakukan untuk
analgesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan sejumlah teknik yang
berbeda dan untuk berbagai alasan. Selain itu, beberapa efek samping-epidural
analgesia mungkin bermanfaat dalam keadaan tertentu (misalnya, vasodilatasi
mungkin bermanfaat jika pasien menderita penyakit pembuluh darah perifer). Ketika
kateter dimasukkan ke ruang epidural, sebuah infus kontinyu dapat dipertahankan
selama beberapa hari, jika diperlukan.
Analgesia kaudal sebenarnya sama dengan anestesia epidural, karena kanalis
kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat di tempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum
sakrokogsigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan antara ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan ligamentum flavum. Ruang kaudal
berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura.
DAFTAR PUSTAKA
43
7. Latief, Said. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi
II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009
44