Anda di halaman 1dari 19

KISARAN TOLERANSI DAN FAKTOR PEMBATAS

1.1 Kisaran Toleransi


Setiap organisme hanya dapat hidup dalam kondisi faktor lingkungan yang dapat
ditolelirnya dinyatakan secara lain, yaitu menurut Hukum Toleransi (Shelford) setiap
organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis yang merupakan batas
bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu terhadap kondisi faktor
lingkungannya.
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berjenis hewan
yang berbeda dapat berbeda pula. Jenis hewan yang satu mungkin lebar kisaran
toleransinya (euri-), jenis hewan lain mungkin sempit (steno-). Ikan Mujair misalnya
mempunyai kisaran toleransi yang relatif lebar terhadap salinitas (eurihalin), sedang
beberapa ikan laut sempit (stenohalin, polihalin). Demikian pula halnya suatu jenis hewan
tertentu dapat berbeda-beda kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungan yang
berbeda. Misalnya hewan itu bersifat stenohidris dan oligohidris tetapi euritermal. Jenis-
jenis hewan yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor lebar, biasanya mempunyai
daerah sebaran yang relatif luas.
Tidak mudah untuk menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan terhadap
suatu faktor lingkungan, terlebih dalam lingkungan alami. Setiap organisme terdedah pada
sejumlah faktor lingkungan, dan oleh adanya suatu interaksi faktor, maka sesuatu faktor
lingkungan dapat mengubah efek faktor lingkungan lain. Misalnya suatu individu hewan
akan merasakan efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara tinggi,
dibandingkan dengan pada kelembaban udara yang relatif rendah. Dengan kata lain, hewan
akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila udara kering dibandingkan dengan pada
kondisi udara yang lembab.

1.2. Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Ikan


Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Pada proses
pencernaan yang tak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak energi yang
terbuang. Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga
akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi. Tingkat
pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya
meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutien yang masuk kedalam tubuh ikan juga
tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan.
Suhu media juga berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang terlibat proses
katabolisme dan anabolisme. Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses
katabolisme (menghasilkan energi) dan anabolisme (sintesa nutrien menjadi senyawa baru
yang dibutuhkan tubuh). Jika aktifitas enzim metabolisme meningkat maka laju proses
metabolisme akan semakin cepat dan kadar metabolit dalam darah semakin tinggi.
Tingginya kadar metabolit dalam darah menyebabkan ikan cepat lapar dan memiliki nafsu
makan tinggi, sehingga tingkat konsumsi pakan meningkat. Konsumsi pakan yang tinggi
akan meningkatkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh.
Energi ini akan digunakan untuk proses-proses maintenance dan selanjutnya
digunakan untuk pertumbuhan. Suhu media yang optimum akan mendorong enzim-enzim
pencernaan dan metabolisme untuk bekerja secara efektif. Konsumsi pakan yang tinggi
yang disertai dengan proses pencernaan dan metabolisme yang efektif, akan menghasilkan
energi yang optimal untuk pertumbuhan.
Proses metabolisme ikan umumnya meningkat jika suhu naik hingga dibawah batas
yang mematikan. Berdasarkan hukum van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10°C akan
menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada
kondisi normal. Kebutuhan protein pada ikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang
optimum sangat dipengaruhi oleh suhu. Contoh pada suhu 20°C pada ikan Channel Catfish
(Ictalurus punctatus) memperlihatkan pertumbuhan optimum dengan kadar protein 35 %,
sedangkan pada suhu 25°C membutuhkan protein 40%.

1.3 Pengaruh Lingkungan Terhadap Organisme Akuatik


Faktor-faktor lingkungan sering berfluktuasi, baik yang bersifat harian maupun
musiman, kadang-kadang ditemukan kondisi yang ekstrim. Fluktuasi faktor lingkungan
akan mempengaruhi kehidupan organisme, proses-proses fisiologis, tingkah lakunya dan
mortalitas. Untuk mengurangi pengaruh buruk dari lingkungannnya maka ikan melakukan
adaptasi. Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan
oleh suatu organisme terhadap kondisi baru.
Dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hewan memiliki toleransi
dan resistensi pada kisaran tertentu dari variasi lingkungan. Kemampuan mentolerir
variable lingkungan ini erat kaitannya dengan faktor genetik dan sejarah hidup
sebelumnya. Kisaran ekstrim dari variable lingkungan yang menyebabkan kematian bagi
organisme disebut zone lethal. Kisaran intermedier dimana suatu organisme masih dapat
hidup disebut zone toleransi. Namun demikian posisi dari zone-zone tersebut dapat
berubah selama hidup suatu organisme.

Ikan akan melakukan mekanisme homeostasi yaitu dengan berusaha untuk


membuat keadaan stabil sebagai akibat adanya perubahan variabel lingkungan. Mekanisme
homeostasis ini terjadi pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme sel,
pengontrolan permeabilitas membran sel dan pembuangan sisa metabolisme. Suhu ekstrim,
perbedaan osmotik yang tinggi, racun, infeksi dan atau stimulasi sosial dapat menyebabkan
stress pada ikan.
Jika terjadi stress, maka ikan akan merespon dengan cara:
 penurunan volume darah,
 penurunan jumlah leucosit,
 penurunan glikogen hati,
 peningkatan glukosa darah,
 menyusutnya diameter lambung
 menipisnya lapisar mukosa

Pengaruh lingkungan terhadap organisme dapat dibedakan kepada 5 kategori, yaitu:


 Lethal factor, yaitu faktor lingkungan yang merusak sistem integrasi dari suatu
organisme dan dapat menyebabkan kematian.
 Controlling factor, yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas molekuler
pada mata rantai metabolisme.
 Limiting factor, yaitu faktor lingkungan mempengaruhi laju metabolisme tetapi
melalui pembatasan penyediaan nutrien atau pembuangan sisa metabolisme.
 Masking factor, yaitu faktor lingkungan yang merubah atau menghambat
bekerjanya faktor lain (tidak langsung).
 Directive factor, yaitu faktor lingkungan yang menyebabkan gerakan atau
terganggunya aktivitas suatu organisme.

1.4 Kondisi Lingkungan Ekstrem


Kondisi faktor lingkungan sekitar yang optimum (preferendum), akan
menghasilkan kinerja Biologis yang paling tinggi. Preferendum untuk sesuatu faktor
lingkungan relatif mudah ditentukannya di laboratorium. Tidak demikian halnya di
lingkungan alami. Terkonsentrasinya dalam jumlah banyak individu-individu suatu spesies
hewan di suatu tempat dalam habitat alaminya, belum tentu menunjukkan bahwa kondisi
dari satu atau beberapa faktor lingkungan di tempat itu menunjukkan preferendumnya.
Kehadiran pesaing atau predator dapat menyebabkan terhalangnya populasi hewan
untuk mendiami tempat dengan kondisi faktor-faktor lingkungan penting, di kisaran-
kisaran optimum yang sebenarnya. Manusia dan hampir seluruh mamalia hampir mustahil
bisa hidup di dalam lingkungan dengan kondisi sangat ekstrem. Sebutlah suhu yang
teramat dingin atau teramat panas. Namun ada makhluk-makhluk berukuran mikro yang
justru menyenangi hidup di lingkungan sangat panas atau sangat dingin.
Mikroba-mikroba ini justru tidak dapat berkembang di lingkungan di mana
sebagian besar makhluk hidup lain dapat hidup dengan nyaman di dalamnya. Mikroba-
mikroba ini biasa disebut "extremophile". "Extremo" berarti sangat berlebihan (ekstrem),
"phile" berarti menyukai. Jadi extremophile adalah mikroba yang menyukai lingkungan
habitat ekstrem untuk kelangsungan hidupnya. Makhluk hidup jenis ini, walaupun menurut
dugaan banyak ilmuwan telah hidup di bumi jauh lebih tua daripada makhluk hidup
lainnya, tetapi baru diketahui keberadaannya sekitar tahun 1980-an. Penelitian terhadap
extremophile meningkat pesat sejak ditemukan mikroba yang dapat hidup mendekati suhu
air mendidih oleh ilmuwan bernama Stetter dari Jerman.
Ada extremophile yang menyukai lingkungan yang bersuhu sangat tinggi
mendekati suhu didih (90ºCelcius). Bahkan hasil penemuan akhir-akhir ini menunjukkan
ada mikroba yang bisa hidup di suhu 130ºCelcius. Extremophile yang menyenangi
lingkungan sangat panas ini biasa disebut hyperthermophile. Penemuan hyperthermophile
yang bisa hidup pada suhu di atas 100ºCelcius membawa spekulasi kepada kemungkinan
adanya mikroba yang bisa hidup pada suhu lebih tinggi di atasnya, misalnya 200ºCelcius.

1.5 Lingkungan sebagai Faktor Pembatas

Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi lingkungan yang mendekati batas
kisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan tekanan (stress) fisiologis.
Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunjukkan
kondisi kritis berupa hipotermia, sedang pada suhu ekstrim tinggi akan mengakibatkan
gejala hipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran
toleransi hewan itu berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan
akan mati. Setiap kondisi faktor lingkungan yang besarnya atau intensitasnya mendekati
atas kisaran toleransi organisme, akan beroperasi sebagai faktor pembatas, yang berperan
dalam menetukan kesintasan organisme.

Proses kehidupan dan kegiatan makhluk hidup termasuk tumbuh hewan pada
dasarnya akan dipengaruhi dan mempengaruhi faktor-faktor lingkungan, seperti cahaya,
suhu atau nutrien dalam jumlah minimum dan maksimum. Justus von Liebig adalah
seorang pionir yang mempelajari faktor-faktor lingkungan dan menjelaskan bahwa faktor
lingkungan yang terdapat dalam jumlah minimumlah yang dapat berperan sebagai faktor
pembatas. Penemuannya kemudian lebih dikenal sebagai "hukum minimum Liebig".

Faktor-faktor lingkungan sebagai faktor pembatas ternyata tidak saja berperan


sebagai faktor pembatas minimum, tetapi terdapat pula faktor pembatas maksimum. Bagi
hewan tertentu misalnya factor lingkungan seperti suhu udara atau kadar garam (salinitas)
yang terlalu rendah/sedikit atau terlalu tinggi/banyak dapat mempengaruhi berbagai proses
fisiologinya. Faktor-faktor lingkungan tersebut dinyatakan penting jika dalam keadaan
minimum, maksimum atau optimum sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan hewan
menurut batas-batas toleransinya.

Pengertian tentang faktor lingkungan sebagai faktor pembatas kemudian dikenal


sebagai Hukum faktor pembatas, yang dikemukakan oleh F.F Blackman, yang
menyatakan: jika semua proses kebutuhan hewan tergantung pada sejumlah faktor yang
berbeda-beda, maka laju kecepatan suatu proses pada suatu waktu akan ditentukan oleh
faktor yang pembatas pada suatu saat. Faktor-faktor lingkungan penting yang berperan
sebagai sifat toleransi faktor pembatas minimum dan faktor pembatas maksimum yang
pertama kali dinyatakan oleh V.E. Shelford, kemudian dikenal sebagai "hukum toleransi
Shelford". Suatu jenis hewan yang mempunyai toleransi yang luas sebagai faktor pembatas
cenderung mempunyai sebaran jenis yang luas. Masa reproduksi merupakan masa yang
kritis bagi hewan jika faktor lingkungan dan habitatnya dalam keadaan minimum.

Dalam ekologi, pernyataan taraf relatif terhadap faktor-faktor lingkungan


dinyatakan dengan awalan steno (sempit) atau eury (luas) pada kata yang menjadi faktor
lingkungan tersebut. Misalnya toleransi yang sempit terhadap suhu udara disebut
stenotermal atau toleransi yang luas terhadap kadar pH tanah, disebut euryionik. Pengaruh
faktor-faktor lingkungan dan kisarannya untuk suatu hewan berbeda-beda, karena satu
jenis hewan mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda menurut habitat dan waktu
yang berlainan. Tetapi pada dasarnya secara alami kehidupannya dibatasi oleh: jumlah dan
variabilitas unsur-unsur faktor lingkungan tertentu (seperti nutrien dan faktor fisik,
misalnya suhu udara) sebagai kebutuhan minimum, dan batas toleransi hewan terhadap
faktor atau sejumlah faktor lingkungan tersebut.

1.6 Faktor Pembatas Fisik dan Indikator Ekologi

Kehadiran atau keberhasilan suatu organisme/ kelompok organisme tergantung


kepada komples keadaan. Kadaan yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi
dinamakan sebagai yang membatasi (faktor pembatas). Dengan adanya faktor pembatas,
semakin jelas kemungkinan apakah suatu organisme mampu bertahan dan hidup pada
suatu kondisi wilayah tertentu.

Jika suatu organisme mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang
relatif mantap dan dalam jumlah yang cukup, maka faktor tadi bukan merupakan faktor
pembatas. Sebaliknya apabia organisme hanya mempunyai batas-batas toleransi tertentu
untuk suatu faktor yang beragam, maka faktor tadi dapat dinyatakan sebagai faktor
pembatas. Beberapa keadaan faktor pembatas, termasuk diantaranya adalah temperatur,
cahaya, air, gas atmosfir, mineral, arus dan tekanan, tanah, serta api. Setiap organisme
mempunyai kisaran kepekaan terhadap faktor pembatas. Dengan adanya faktor pembatas,
maka faktor ini dianggap dapat ikut menseleksi organisme yang mampu bertahan dan
hidup pada suatu wilayah. Organisme ini disebut sebagai indikator biologi (indikator
ekologi) pada wilayah tersebut.

1.7 Aklimasi

Aklimasi adalah adaptasi terhadap pendedahan yang cukup lama pada kisaran suhu
rendah atau tinggi yang dapat ditoleransi. Aklimasi termal adalah kemampuan untuk
mentolerir perubahan suhu di bawah dan di atas kisaran suhu normal dengan mengubah
mekanisme homeostasis menurut perubahan tahapan termal lingkungan. Seperti pada suhu
normal, suhu letal atas dan bawah, juga ada suhu aklimasi atas dan bawah. Contoh,
aklimasi termal ikan mas. Suhu letal atas adalah 27ºC untuk ikan diletakkan pada suhu
0ºC, dan bertambah sampai 41ºC untuk ikan yang diletakkan pada suhu 36ºC. Ikan mas
tidak dapat menyesuaikan diri pada suhu yang lebih tinggi dari 41ºC, bahkan jika
diletakkan di atas suhu 36ºC misalnya saja 39ºC membentuk batas aklimasi atas.
Sebaliknya, suhu letal rendah adalah 0ºC/ sedikit lebih rendah lagi, untuk ikan yang
diletakkan pada suhu sampai setinggi 17ºC, tapi jika mereka beraklimasi pada suhu yang
lebih tinggi maka batas letal rendah akan bertambah.

Osmoregulasi adalah proses mengatur konsentrasi cairan dan menyeimbangkan


pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup. Proses
osmoregulasi diperlukan karena adanya perbedaan konsentrasi cairan tubuh dengan
lingkungan disekitarnya. Jika sebuah sel menerima terlalu banyak air maka ia akan
meletus, begitu pula sebaliknya, jika terlalu sedikit air, maka sel akan mengerut dan mati.
Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak
diperlukan oleh sel atau organisme hidup.

== Makna osmoregulasi adalah proses mengatur dan menyeimbangkan konsentrasi asupan


cairan dan pengeluaran oleh sel atau cairan tubuh organisme hidup. Sementara pemahaman
tentang osmoregulasi ikan Tekanan osmotik cairan tubuh pengaturan sesuai untuk
kehidupan ikan, sehingga proses-proses fisiologis fungsi tubuh normal (Homeostasis). ka
sel menerima terlalu banyak air maka akan meletus, dan sebaliknya, jika terlalu sedikit air,
maka sel akan mengerut dan mati. Osmoregulasi juga ganda sebagai sarana untuk
membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup.

Kebanyakan invertebrata berhabitat di laut tidak secara aktif mengelola sistem


osmosis mereka, dan dikenal sebagai osmoconformer. Osmoconformer memiliki
osmolaritas internal yang sama dengan lingkungan sehingga tidak ada kecenderungan
untuk mendapatkan atau kehilangan air. Karena osmoconformer paling hidup dalam
lingkungan yang memiliki komposisi kimia yang sangat stabil (di laut) maka
osmoconformer yang cenderung memiliki osmolaritas konstan. Sementara osmoregulator
adalah organisme yang menjaga osmolaritas tanpa tergantung pada lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu kemampuan untuk mengatur ini osmoregulator kemudian dapat hidup
dalam lingkungan air tawar, darat, dan laut. Di lingkungan dengan konsentrasi rendah
cairan, osmoregulator akan merilis kelebihan cairan dan sebaliknya.

Untuk organisme akuatik, proses ini digunakan sebagai ukuran untuk menyeimbangkan
tekanan osmosa antara substansi dalam tubuh dengan lingkungan melalui sel permeabel.
Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan,
semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk osmoregulasi mmelakukan
sebagai adaptasi, hingga batas toleransi yang mereka miliki. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang osmoregulasi sangat penting dalam mengelola media air pemeliharaan kualitas,
terutama salinitas. Hal ini karena dalam osmoregulasi, proses regulasi terjadi melalui
konsentrasi ion dan air dalam tubuh dengan kondisi di lingkungan.

Ion dan air pada ikan terjadi regulasi hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung pada
perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh dengan
konsentrasi media1, 2. Perbedaannya dapat digunakan sebagai strategi dalam berurusan
dengan komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan2. Untuk ikan yang hiperosmotik
potadrom dengan lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh
dan ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuh dapat terjadi
dengan meminum sedikit air atau tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuh
dapat dikurangi dengan membuangnya dalam bentuk urin. Untuk ikan yang hipoosmotik
oseanodrom terhadap lingkungannya, air mengalir dari osmosa tubuh melalui ginjal,
insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion ke tubuh dengan difusi1, 2. Adapun
eurihalin ikan, memiliki kemampuan untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan
osmotik dalam tubuh dengan media (isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan
perairan tidak selalu tetap, maka proses serta ikan ormoregulasi potadrom dan oseanodrom
masih terjadi.

Salinitas atau garam konten adalah jumlah bahan padat dalam satu kilogram air laut, dalam
hal ini semua karbonat telah diubah menjadi oksida, brom dan yodium yang telah
disinkronkan dengan klorin dan bahan organik yang telah teroksidasi. Langsung, media
akan mempengaruhi salinitas tekanan osmotik cairan tubuh ikan. Pengetahuan tentang
metabolisme dapat juga dikaitkan dengan beberapa disiplin lain, seperti genetika,
toksikologi dan lainnya ilmiah sehingga ikan yang dihasilkan dapat memiliki kualitas lebih
unggul daripada sebelumnya. Hal ini karena ikan untuk berinvestasi untuk 25-50% dari
output total dalam mengendalikan metabolisme komposisi cairan intra-dan
ekstraselularnya.

Perubahan dalam tingkat salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh


ikan, sehingga ikan untuk menyesuaikan pengaturan osmotik internal atau bekerja
sehingga proses fisiologis dalam tubuh dapat bekerja secara normal lagi. Jika salinitas
yang lebih tinggi, usaha ikan untuk menjaga ketertiban dalam kondisi homeostasi nya
tercapai, sampai batas toleransi yang mereka miliki. Osmotik bekerja membutuhkan energi
yang lebih tinggi juga. Hal ini juga mempengaruhi waktu kepenuhan (waktu kekenyangan)
ikan.
Rainbow trout seringkali digunakan sebagai sistem model untuk mempelajari rute
dan mekanisme ekskresi dan osmoregulasi. Proses osmoregulasi juga menghasilkan
produk-produk limbah seperti kotoran dan amonia, sehingga pemeliharaan yang akan
menjadi media berwarna keruh akibat jumlah kotoran ikan dirilis. Dampak ekskresi
nitrogen juga akan mempengaruhi kehidupan ikan di dalamnya. Pada embrio rainbow
trout, ekskresi nitrogen dalam bentuk urea juga dapat dikaitkan dengan kandungan
nitrogen dalam kuning telur, karena permeabilitas rendah dari membran sel telur dari
amonia.

Dampak dari produk limbah dari metabolisme pada kelangsungan hidup ikan berdasarkan
perubahan fisik dalam kualitas air, dapat diduga bahwa perubahan tersebut juga
mempengaruhi kondisi ambient ikan, yang pada gilirannya mempengaruhi pertahanan
tubuh. Setelah melewati batas toleransi, maka ikan yang sekarat. Mengingat bahwa tidak
semua ikan mati, maka dapat dipastikan bahwa kekuatan toleransi pada populasi ikan di
akuarium berbeda. Hal ini mungkin karena perbedaan kondisi tubuh sebelum dimasukkan
dalam intensitas praktek media, termasuk parasit, tingkat stres dan lain-lain. Nitrat
toksisitas di air tawar tergolong sangat rendah (96 h LC50s> 1000 mg / L sebagai N). Hal
ini dapat dikaitkan dengan munculnya potensi masalah dalam proses osmoregulasi. Dalam
sistem dengan konsentrasi nitrat tinggi, reduksi nitrat terjadi pada anaerobik. Nitrat di
perairan laut konsentrasi kurang dari 500 mg / L untuk ikan laut sebagian besar, tapi untuk
ikan laut tropis seperti anemone (Amphiprion ocellaris) lebih sensitif, yaitu hanya 20 mg /
L.

Tingkat stres juga bervariasi tambakan dialami oleh benih di akuarium, sebagai akibat dari
perbedaan perlakuan. Lebih mendalam studi, dapat ditelusuri dengan isi kortisol. Banyak
hal berkenaan dengan kortisol selama proses metabolisme, seperti starvasi (puasa),
osmoregulasi, penyebaran penghematan energi untuk migrasi, proses gonad, pemijahan
pematangan dan selama stres yang dialami oleh ikan itu sendiri.

Ormoregulasi mekanisme juga dapat dilacak pada tingkat sel. Sel-sel yang pertama
dihasilkan melalui mekanisme kultur sel. Penelitian tentang sel epitelioma papulosum
cyprinid (EPC), berasal dari sel epidermis ikan mas dapat digunakan untuk menentukan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel-sel di hiper-media dan hipoosmotik. Dengan
menggunakan sel kultur, ekspresi gen dapat diamati juga bahwa bias yang terkait dengan
kemampuan adaptasi dan stres osmotik.

Aktivitas osmoregulasi juga dipengaruhi oleh stadia ikan atau Krustase dalam kaitannya
dengan salinitas. Penelitian tentang remaja dan dewasa Krustase stadion, regulasi ionik
dari Na / K-ATP menunjukkan bahwa berbeda ketika diamati dengan aktivitas enzim Na /
K-ATPase. Pada Artemia salina dan A. franciscana aktivitas enzim meningkat sejalan
dengan perkembangannya sejak setelah menetas hingga tahap mulai berenang bebas.
Dalam udang, juga berlangsung begitu. Namun, pada orang dewasa stadion, aktivitas Na /
K-ATPase pada udang galah tidak berbeda nyata setelah diperlakukan pada salinitas
berbeda8. Studi pada osmoregulasi dalam tahap awal perkembangan ikan telah diamati
pada tingkat sel klorida extrabranchial. Sejumlah sel klorida yang terkandung dalam
membran kantung kuning telur embrio dan larva ikan nila disesuaikan stadion dalam air
tawar (FW) dan air asin (SW). Sel klorida dalam SW seringkali dalam bentuk kompleks
multiseluler bersama dengan sel aksesori yang berdekatan. Sementara di FW, sel klorida
yang terletak di kondisi individu. Klorida tes dan X-ray Mikroanalisis menunjukkan bahwa
sel-sel klorida dalam SW dalam kompleks, fungsi definitif dari sekresi klorida. Namun,
setelah sel tersebut dipindahkan ke lingkungan SW, membentuk sel tunggal juga berubah
sebagai respons terhadap lingkungan baru yang kompleks yang SW. Umumnya, sel klorida
extrabranchial memainkan peran penting dalam mengontrol osmoregulasi sampai tahap sel
insang klorida bekerja fungsional.

Penemuan terakhir adalah tentang morfologi fungsional dari sel klorida pada ikan
membunuh, Fundulus heteroclitus, ikan euryhaline air laut (SW). Immunocytochemical
deteksi dilakukan pada sel klorida dengan anti-Na + / K +-ATPase dalam distribusi klorida
sel dari proses transisi selama tahap-tahap awal kehidupan. Sel klorida muncul dalam
membran kantung kuning fase awal embrio dan kemudian di kulit selama tahap terakhir
dari embrio. Perbedaan morfologi antara SW-jenis sel klorida dan FW diidentifikasi dalam
killifish dewasa disesuaikan dengan SW dan FW. Kedua jenis sel klorida, aktif di kedua
lingkungan, tetapi berbeda dalam fungsi transpor ion. Transfer langsung dari SW ke
killifish FW, sel tipe klorida BD ditransformasikan ke dalam sel tipe FW, diikuti dengan
penggantian sel klorida dalam promosi respon.
Adaptasi ikan, juga dapat diketahui melalui penelitian pada Takifugu rubripes fugu remaja
dengan lingkungan salinitas rendah. Ikan dipindahkan dari air laut (100% SW) ke media
air tawar (FW), 25, 50, 75 dan 100 SW% dan mortalitas kemudian direkam selama 3 hari.
Tidak membunuh ikan dalam salinitas media baru 25-100% SW dan semua ikan mati
dalam media massa FW 100%. Rupanya, ikan dipindahkan ke media 25-100% SW,
osmolalitas darah dipertahankan pada kisaran fisiologis yang normal. Studi terus bergerak
ikan dari lingkungan 100% SW ke media FW, 1, 5, 10, 15 dan SW 25%. Semua ikan hidup
di sebuah BD 5-25% menengah, tetapi meninggal di FW media dan SW 1%. Ikan yang
hidup di SW media massa 25% dan kemudian ditransfer kembali ke media FW, 1 dan SW
5% dan menunjukkan bahwa osmolalitas darahnya menurun hingga mendekati level
sublethal, yaitu sekitar 300 mOsm / kg H2O •. Tampaknya preacclimatisasi dalam SW
25% selama 7 hari memiliki pengaruh sedikit pada kemampuan bertahan hidup dari selang.
Meskipun kelangsungan hidup dan osmolalitas darah meningkat sedikit oleh
preacclimatisasi dalam 25% SW, osmolalitas darah menurun setelah ditransfer ke salinitas
media BD kurang dari 10%. Temuan ini menunjukkan bahwa fugu dapat beradaptasi
dengan lingkungan karena kemampuan hyperosmoregulatori hypoosmotik, namun sel-sel
yang telah mengurangi ion klorida mengabsorb hipoosmotik pada lingkungan.

Aktivitas osmoregulasi, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang diberikan untuk
organisme air. Dengan memberikan kortisol, hormon pertumbuhan yg berhubung dgn
domba (OGH), rekombinan insulin-seperti faktor pertumbuhan sapi I (rbIGF-I) dan 3,3 ',5-
triiodo-L-thyronine (T3) dapat meningkatkan kapasitas pada ikan hypoosmoregulasi
euryhaline, Fundulus heteroclitus. Diadaptasi ikan di lingkungan air payau (BW, salinitas
10 ppt) kemudian disuntik dengan dosis hormon dan 10 hari kemudian dipindahkan ke
lingkungan air asin (SW, salinitas 35 ppt. Setelah ditransfer dari BW ke SW menunjukkan
peningkatan dalam plasma osmolitas nyata, tetapi tidak untuk Na + insang dan aktivitas K
+-ATPase Pemberian kortisol (50 microg / g berat badan) juga dapat meningkatkan
ketersediaan mereka dalam mempertahankan plasma osmolitas;. peningkatan Na + insang
dan aktivitas K +-ATPase . OGH (5 microg / g berat badan) juga dapat meningkatkan
kemampuan dan hypoosmoregulatory Na + insang dan aktivitas K +-ATPase Kombinasi
OGH dan kortisol dapat meningkatkan kemampuan hypoosmoregulatori namun tidak
meningkatkan Na + insang, aktifitas K +. - ATPase. rbIGF-I (0,5 microg / g berat badan)
tidak berpengaruh dalam meningkatkan toleransi untuk salinitas atau Na + insang, aktifitas
K +-ATPase. rbIGF-I dan OGH menunjukkan interaksi positif dalam meningkatkan
toleransi terhadap salinitas, tetapi tidak untuk Na + insang dan aktivitas K +-ATPase
Pengobatan dengan T3. (5 microg / g berat badan) tidak berdampak terhadap toleransi
salinitas meningkat, insang Na +, K +-ATPase aktivitas dan pengaruhnya tidak nyata
konsisten ketika digunakan bersama dengan kortisol dan T3 atau antara GH dan T3. Untuk
ikan air tawar, organ yang terlibat dalam osmoregulasi termasuk insang, usus dan ginjal.
Sel-sel yang berperan dalam insang organ untuk proses tersebut adalah mitokondria-kaya
(MR) dan peran pavement2. Struktur insang memiliki hubungan dengan kemampuan untuk
mentolerir salinitas berkisar. Bhal ditunjukkan dengan histologi dari struktur insang
Caprella (Amphipoda: Caprellidea) (yaitu C. danilevskii, C. subinermis, C. penantis R-
type dan C. verrucosa) yang dikumpulkan dari komunitas Sargassum di timur-daya Jepang
dan diamati bawah mikroskop elekron. Epitel seperti berang-berang danilevskii C, C
subinermis, dan C. verrucosa terdiri-dari pengembangan sistem infolding apikal (AIS) dan
sistem infolding basolateral (BIS) terkait dengan mitokondria. Percobaan tentang toleransi
salinitas dari empat spesies Caprella konsentrasi letalnya mengindikasikanbahwa median
(LC 50) pada 20 ° C berkisar antara 12,97 - 18,84 unit Salinitas praktis (PSU) dengan
kelangsungan hidup lebih dari 80% dengan salinitas di atas 25,37 PSU bahkan untuk 5
hari. Karakteristik insang dan berbagai toleransi salinitas dalam Caprella spp.
menunjukkan bahwa Caprella spp. menghuni komunitas Sargassum merupakan organisme
yang eurihalin.

IKAN AIR TAWAR PADA OSEMOREGULASI

Ikan yang hidup di air tawar memiliki cairan tubuh yang hiperosmotik pada lingkungan,
sehingga air cenderung untuk masuk ketubuhnya oleh difusi melalui permukaan tubuh
semipermiable. Jika ini tidak dikendalikan atau offset, itu akan menyebabkan hilangnya
garam tubuh dan cairan tubuh mengencernya, sehingga cairan tubuh tidak dapat
mempertahankan fungsi fisiologis normal.

Ginjal akan memompa kelebihan air keluar sebagai urin. Apakah ginjal glomerulus
dalamjumlah banyak dengan diameter besar. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mampu
menahan tubuh garam sehingga tidak untuk memompa air keluar dan di seni yang sama
sebanyak mungkin.

Ketika cairan dari memasuki tubuh tubuli ginjal malpighi, glukosa akan diserap kembali di
proximallis tubuli dan garam diserap dalam tubuli distal. Ginjal dinding tubuli
impermiable (kedapair, kedap air). Ikan keluar dari air yang sangat encer dan seniyang
mengandun g sejumlah kecil senyawa nitrogen, seperti: • Asam urat • Creatine • kreatinin •
Amonia.

Meskipun urin mengandung garam sangat sedikit, pelepasan air yang berlimpah
menyebabkan jumlah kerugian garam cukup besar. Garam juga hilang karena difusi dari
tubuh. Kehilan garam diimbangi oleh garam yang terkandung dalam makanan dan serapan
aktif melalui insang. Pada kelompok ikan dapat Teleosteiter gelembung air kencing
(kandung kemih) untuk menahan kencing. Berikut melakukan re-penyerapan ion.
Gelembung dinding urin impermiable air.

OSMOREGULASI IKAN DI AIR LAUT

Ikan laut hidup di lingkungan yang hipertonik ke jaringan dan cairan tubuh, sehingga
cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang, dan kebobolan garam. Untuk mengatasi
hilangnya air, minum'air ikan laut 'sebanyak mungkin. Dengan demikian berarti juga akan
meningkatkan kandungan garam dalam cairan tubuh. Fakta dehidrasi dapat dicegah oleh
proses ini dan kelebihan garam harus dihilangkan. Karena ikan dipaksa oleh kondisi untuk
mempertahankan osmotik air, volume urine kurang dari ikan air tawar. Tubuli ginjal dapat
berfungsi sebagai penghalang air. Jumlah glomeruli ikan laut cenderung lebih sedikit dan
bentuk yang lebih kecil daripada di ikan air tawar Sekitar 90% dari nitrogen limbah yang
dapat dihapus melalui insang, sebagian besar dalam bentuk amonia dan sedikit urea.
Namun, urine masih mengandung sedikit senyawa. Osteichthyes urin mengandung: •
Creatine • kreatinin • Nitrogen senyawa • Trimetilaminoksida (TMAO)

TENTANG IKAN ELASMOBRANCHII osmoregulasi

Elasmobranchii cairan tubuh ikan umumnya memiliki tekanan osmotik lebih besar dari
sekitarnya karena karena isi urea tinggi dan TMAO dalam tubuh (bukan sebagai garam).
Karena cairan tubuh yang hiperosmotik terhadap lingkungannya, kelompok ikan ini
cenderung menerima air melalui difusi, terutama melalui insang. Untuk menjaga tekanan
osmotiknya, kelebihan air dikeluarkan sebagai urin. Reabsorpsi urea di ginjal tubuli juga
merupakan upaya dalam menjaga tekanan osmotik tubuhnya. Permukaan tubuh relatif
impermiable mencegah masuknya air dari lingkungan ke dalam tubuhnya.
Para osmoregulators hewan: • vertebrata laut: Ikan tulang keras: Konsentrasi larutan dalam
tubuh dengan 01:03 di lingkungan → mencegah hilangnya air tubuh dan mencegah diffusi
garam dari lingkungannya → minum, osmosis melalui insang, ekskresi garam melalui sel-
sel khusus pada insang

Ikan tulang rawan: konsentrasi dalam tubuh> dengan di lingkungan → air masuk ke dalam
tubuh melalui osmosis → diekskresikan

• Air Tawar ikan: Solusi konsentrasi dalam> tubuh sebagai satu di lingkungan →
mencegah masuknya air dan kehilangan garam → tidak minum, kulit ditutupi dengan
lendir, osmosis melalui insang, produksi urin encer, pompa garam melalui sel-sel khusus
pada insang.

LAPORAN PRAKTIKUM TOLERANSI TERHADAP SALINITAS


I. PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Air merupakan media hidup ikan, media itupun berbeda-beda sesuai kadar garam
yang dikandungnya yaitu perairan tawar, laut dan payau. Ikan yang hidup pada air tawar
mempunyai cairan tubuh yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungan yaitu kadar
garam dalm tubuh ikan lebih besar dari pada kadar garam yang ada di sekitarnya, sehingga
untuk dapat menyusaikan diri, ikan tersebut banyak mengeluarkan urine. Batas toleransi
kadar garam berbeda-beda untuk setiap jenis ikan. Ikan yang mempunyai batas toleransi
yang luas terhadap perbedaan kadar garam disebut euryhaline, sedangkan yang
mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan kadar garam disebut stenohaline.
Ikan adalah hewan vertebrata berdarah dingin (poikilotermal), yang pergerakan dan
keseimbangan tubuhnya terutama menggunakan sirip dan umumnya bernapas dengan
insang serta hidup dalam lingkungan air. Ikan memiliki mekanisme fisiologi yang tidak
dimiliki oleh hewan darat, sehingga mengakibatkan ikan harus mengontrol keseimbangan
air dan ion antara tubuh dan lingkungannya, disebut osmoregulasi.
Semakin jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin
banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai
upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi. Karena itu, pengetahuan ini sangat
penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas.
Tidak ada organisme yang hidup pada air tawar tidak melakukan osmoregulasi,
pentingnya hal ini maka praktikum Toleransi Terhadap Salinitas dilakukan.

1.2     Tujuan dan kegunaan


Tujuan praktikum Fisiologi Biota Air tentang Toleransi Terhadap Salinitas adalah
untuk mengetahui daya toleransi ikan terhadap salinitas. Kegunaan diadakannya praktikum
adalah agar praktikan dapat melihat secara langsung keadaan dalam mengatasi kisaran
salinitas yang tinggi.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan
tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui
mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai pengaturan
keseimbangan total konsentrasi eklektrolit yang terlarut dalarn air media hidup organisme,
(http://www.musida.web.id/indo/osmoregulasi).
Organisme perairan harus melakukan osmoregulasi karena; (1) Harus terjadi
keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan; (2) Membran sel yang permeabel
merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat; (3) Adanya
perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan         (Kimball, 1992)
Proses osmoregulasi pada ikan air tawar menyebabkan mineral dan garam cepat
hilang pada air pemeliharaan, sedangkan pada pemeliharaan ikan laut, air akan menjadi
semakin pekat akibat pengeluaran garam dan pengambilan air (Subani, 1984).
Ikan sebagai hewan yang hidup di air mempunyai kapasitas osmoregulasi melalui
membran yang dalam hal ini adalah insang. Terganggunya proses osmoregulasi dapat
disebabkan karena insang menjadi lebih permaebel sehingga sulit di lalui air. Akibatnya
pengeluaran garam dari insang menjadi terhenti dan menyebabkan gagal ginjal (Lesmana,
2001).
Insang berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula berfungsi sebagai alat
ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat pertukaran ion, dan osmoregulator. Pada
hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas. Insang
terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang
di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamella, yang merupakan tempat
pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamella itu yang tersusun atas sel-sel
tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamella yang tidak menempel pada
lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh
darah kapiler. Jumlah dan ukuran lamella sangat besar variasinya, tergantung tingkah laku
ikan (Fujaya, 2008).
Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus, dan cauda, diantara  mana tidak ada batas yang
nyata sebagai batas antara caput dan  truncus dipandang tepi caudal operculum dan sebagai
batas  antara truncus dan ekor dipandang anus. Ikan-ikan yang dapat  berenang cepat
berbentuk seperti torpedo. TetapiCypri nus lebih  pendek, lebih pipih kearah bilateral dan
lebih lebar ka arah dorsoventral (Radiopoetra, 1996).
Pada bagian kepala ikan mas terdapat lubang mulut  (moncong) yang dapat ditarik ke
belekeng. Pada moncong  terdapat tulang premaksila yang letaknya paling depan,
maksila  yang letaknya pada bagian belakang moncong, adimaksila yang  letaknya pada
bagian dorsal dan dentale yang merupakan tulang  yang menyokong rahang bawah.
Terdapat pula lekuk hidung  yang letaknya disebelah atas di belakang mulut yang
berfungsi sebagai indra penciuman. Mata yang terletak disebelah belakang  lekuk hidung
agak ke atas dan tidak mempunyai kelopak mata.  Tutup insang yang tersusun dari empat
potongan tulang yaitu operkulum (berupa tulang yang paling besar dan letaknya paling
dorsal), preoperkulum (berupa tulang sempit yang melengkung  seperti sabit dan terletak di
bagian depan), interoperkulum  (merupakan tulang sempit yang terletak diantara
operkulum dan  preoperkulum), serta tulang keempat yang dinamakan suboperkulum.
Terdapat pula membrana brankhiostegi yaitu berupa selaput tipis yang melekat pada
pinggiran tulang tutup
insang sebelah belakang (Djunanda, 1982)

 III.  METODE PRAKTEK


3.1   Waktu dan Tempat
Pelaksanaan praktikum Fisiologi Biota Air tentang Toleransi Terhadap Salinitas
dilaksanakan pada hari Senin tanggal 25 April 2011, dimulai dari pukul 13.30 WITA
sampai dengan selesai. Bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,
Universitas Tadulako, Palu.
3.2    Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum Fisiologi Biota Air tentang Toleransi
Terhadap Salinitas yaitu Akuarium, bak plastik, timbangan duduk, timbangan Neraca (o-
hauss), penghitung waktu (stopwatch) dan alat tulis menulis. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah Ikan mas (Cyprinus carpio), garam dapur (Nacl) dan air.
3.3        Prosedur Kerja
1.         Menyediakan garam dapur sebanyak 200 gram masing-masing dibagi
menjadi 9 bagian.
2.         Pada perlakuan pertama memasukkan ikan mas kedalam akuarium tanpa
menambahkan garam terlebih dahulu (dalam keadaan normal) lalu
menghitung dan mencatat jumlah pernapasannya dalam selang waktu 3
menit.
3.         Perlakuan kedua menaikkan salinitas dengan cara menambahkan garam
sebanyak 200 gram kemudian mengaduk sampai garam larut dalam air
sehingga mendapatkan salinitas yang diperlukan dan mengamati ikan
seperti perlakuan yang sebelumnya.
4.         Perlakuan selanjutnya seperti yang telah dilakukan sebelumnya secara
berulang-ulang dengan cara menambahkan 200 gram garam disetiap
perlakuan dengan mencatat jumlah frekuensi membuka dan
menutupnyaoperculum selama 3 menit sampai ikan mati.
IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1    Hasil
         Berdasarkan pada pengamatan maka di dapatkan hasil sebagai berikut 
Grafik 1. Hubungan Salinitas dan Jumlah Respirasi Ikan

Tabel. Kadar garam, salinitas serta jumlah respirasi ikan


Garam Salinitas Jumlah Respirasi
(gram) (%o) Ikan
0 0 360

200 10 343

400 15 314
600 20 400

800 25 264
1000 30 121
1200 35 3

1400 40 -

1600 45 -
1800 50 -

Tabel 2. Berat Ikan


Berat Ikan
Sebelum Perlakuan 11,1 gram
Sesudah Perlakuan 10,4 gram

4.2 Pembahasan
       Pada hasil praktikum yang dilakukan, perlakuan pertama ikan dalam keadaan
normal, pergerakannya masih sangat lincah dan pernapasannya stabil. Hal ini sesuai
pernyataan Bachtiar (2004), ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar
yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras dan dapat hidup baik di
daerah dengan ketinggian 150-600 meter dibawah permukaan laut (dpl) dan pada suhu 25-
300 C yang bersalinitas 25-30 %.
KISARAN TOLERANSI DAN
FAKTOR PEMBATAS

Disusun oleh :

1. Triwulan Puspitasari
2. Amelia Anggita
3. Januar Try santosa
4. Deika Trioktavia

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2012

Anda mungkin juga menyukai