Anda di halaman 1dari 1

HOME PETA SITUS CONTACT

DALAM !DINDING
" + $ %
KELASKU
Blog tentang pengetahuan umum,
anak sekolahan, artikel-artikel,
motivasi dan cerpen.
Menu Daftar Isi

Home / hukum / Hukum Adat / Hukum Islam / Ilmu


Hukum / Pengantar Hukum / Sistem Hukum Adat, Islam,
dan Hukum Barat

Sistem Hukum Adat, Islam, dan


Hukum Barat

Ada ungkapan yang mengatakan “Ubi societas


ibis lus” yang artinya di mana ada masyarakat di
sana ada hukum, dengan kata lain hukum itu
tercipta karena adanya sutu masyarakat yang
memiliki kepentingan yang berbeda satu sama
lain, sehingga perlu adanya suatu aturan agar
hak-hak dan kepentingan didalam kehidpan
bermasyarakat dapat terjamin. Akan tetapi dengan
cakupan hukum yang begitu luas dan menyentuh
semua warga dunia, sehingga menimbulkan
perbedaan-perbedaan yang sangat signifikan,
dengan kata lain setiap negara-negara bahkan
setiap daerah mempunyai sistem hukum yang
berbeda.

Didalam setiap negara memiliki sistem hukum dan


bentuk hukum yang berbeda satu sama lain, hal
ini dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan yang
ada disetiap negara tersebut. Didalam masyarakat
dunia, tidak dipungkiri bahwa kiblat dalam
menjalankan kehidupan hukum berkiblat hsistem
hukum yang berada di wilayah barat, atau yang
sering kita sebut dengan hukum barat. Hukum
barat ini banyak diadopsi oleh banyak negar tak
terkecuali indonesia yang memang banyak
menyerap sistem hukum barat. Akan tetapi tidak
sedikit pula negara-negara yang berkiblat pada
hukum islam islam dan menjadikan acuan sebagai
tatanan hukum dinegaranya. Indonesia sendiri
selain mengadopsi hukum barat juga mengadopsi
hukum-hukum islam, hal ini tidak dipungkiri
dengan penduduk indonesia yang mayoritas
beragama islam, sehingga hukum islam ini sangat
perlu untuk diadopsi. Selain hukum barat dan
hukum islam, indonesia sendiri dalam pembuatan
hukumnya tidak sedikt pula mengacu pada
hukum-hukum adat yang berlaku dimasyarakat,
akantetapi hukum-hukum adat yang sangat
beranekaragam dan berbeda disetiap daerah
menyebabkan tidak semua hukum adat adijadikan
hukum tertulis, hal ini disebabkan perbedaan
kultur dan budaya yang beraneka ragam disetiap
daerah masing-masing. Hukum barat, hukum
islam dan hukum adat tentunya memiliki cirinya
masing-masing dan memiliki sistem hukum yang
saling berbeda satu sama lain, sehingga dalam
makalah ini kami mencoba untuk menguraikannya
sehingga kita dapat memahami apa itu hukum
islam, hukum barat dan hukum adat itu sendiri.

1.Hukum Adat

Pengertian Hukum Adat

1. Hukum Adat

Hukum adat sering kita kenal dimasyakat dengan


sebutan kebiasaan, hukum adat yang ada di
Indonesia sangatlah beragam mengingat daerah
indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya
dan agama yang saling berbeda. Hukum adat
pertamakali diperkenalkan oleh C Snouck
Hurgronje di Indonesia dari bahasa belanda yaitu
“adatrecth” yang selanjutnya dipakai oleh Van
Vollenhoven dengan istilah teknis yuridis. Istilah
hukum adat baru muncul dalam perundang-
undangan pada tahun 1980, yaitu dalam undang-
undang belanda mengenai perguruan tinggi di
negeri Belanda. Hukum adat mulai diperkanalkan
sejak zaman belanda, hal ini terbukti dengan
adanya pengendalian masyarakat aceh dengan
hukum adat. Hal ini diperjelas dengan sebuah
buku yang berjudul De Atjehers yang dikarang
oleh Snouck. Hukum adat adalah hukum non
statutair dimana sebagian besar adalah hukum
kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam.
Hukum adat memang tidak diberlakukan secara
tertulis seperti halnya undang-undang, namun
keberadaab hukum adat sendiri memang diakui
sebagi suatu aturan yang berlaku didalam sebuah
masyarakat tertentu dan dilindungi keberadaannya
oleh undang-undang[1]. Hukum adat ditemukan
pertamakali oleh tiga orang yang berkebangsaan
belanda yang dikenal dengan trio penemu hukum
adat yaitu

1. Penemu hukum adat yang pertama

Ialah Wilken datang di Indonesia sebagai pegawai


pangreh praja belanda mula-mula diburu,
kemudian di Gorontalo dan minahasa barat,
selanjutnya di sipirok dan mandailing. Di semua
daerah itu ia membukukan segala sesuatu yang
dilihatnya, seperti tentang hak hutan diburu,
tentang hak tanah hakullah di sipirok. Pada wilken
hukum adat itu merupakan suatu bahan mandiri,
meskipun ia tetap memelihara hubunganya
dengan kebiasaan dan religi rakyat. Karena
Wilken memberi tempat tersendiri kepada hukum
adat itu, maka ia tidak mencampur adukkan
hukum agama dengan hukum penduduk asli yang
di sana-sini menunjukkan penyimpangan karena
unsur-unsur agama islam atau agama hindu.

2. Penemu hukum adat yang kedua

Ialah Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan


Hukum sebagai pegawai Pangreh Praja Belanda
di Indonesia .Seperti halnya dengan Wilken,maka
Liefrinck-pun memberi tempat tersendiri kepada
Hukum Adat.Namun berbeda dengan
Wilken,maka Liefrinck membatasi penyelidikannya
hanya pada satu lingkungan Hukum Adat,yaitu
Bali dan Lombok. Pada tahun 1927 tulisan-tulisan
terpenting dari Liefrinck di kumpulkan oleh van
Earde di dalam sebuah himpunan “Bali dan
Lombok” dengan sub judul: “GESCHRIFTEN”.

3. Penemu hukum adat yang ketiga

Ialah Snouck Hurgronje seorang sarjana sastra


yang menjadi politkus. Pada tahun 1884-1885 ia
mengembara di tanah Arab sebagai mahasiswa,di
Mekkah ia bertemu dengan orang Indonesia (Aceh
dan Jawa) sehingga ia mengenal hukum
adat.Tahun 1891 ia dikirim ke Indonesia untuk
mempelajari lembaga Isalam,selama di Indonesia
ia menulis beberapa buku: tentang lembaga-
lembaga kebudayaan di Sumatera bagian
utara,”De Atjehers”,dan “Het Gajoland”.Karyanya
itu mengagumkan dunia Ilmu,karena ia
mengarangnya berdasarkan percakapan belaka
dengan orang-orang yang berada di
pedalaman,sedang daerah itu belum atau tidak di
kunjunginya. Karya utamanya “De Atjhers” dan
“Het Hajoland”,terkonsentrasi pada satu
lingkungan hukum atau bagian dan tidak bersifat
perbandingan untuk seluruh Nusantara[2].

B. Sejarah Politik Hukum Adat

Perhatian terhadap hukum adat bermanifestasi ke


dalam :

1) Lahirnya suatu ilmu hukum adat

2) Pelaksanaan suatu politik hukum adat

Sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi atas 7


periode yaitu :

A. Masa Kompeni ( V.O.C ., 1596 – 1808 )

B. Masa Pemerintahan Deandels ( 1808 – 1811 )

C. Masa Pemerintahan Rafles ( 1811 – 1816 )

D. Masa 1816 – 1848

E. Masa 1848 – 1928

F. Masa 1928 – 1945

G. Masa 1945 sampai sekarang[3]

C. Beberapa jenis – jenis hukum adat

1. Hukum Perkawinan

Menurut Hukumadat, perkawinan bisa merupakan


urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat,
bisa merupakan urusan pribadi, bergantung
kepada tata-susunan masyarakat yang
bersangkutan.

Bagi kelompok-kelompok wangsa yang


menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan,
sebagai persekutuan-persekutuan hukum, (bagian
clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya
(pria, wanita atau kedua-duanya) adalah sarana
untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara
tertib dan teratur, sarana untuk dapat melahirkan
generasi baru yang melanjutkan garis hidup
kelompoknya.

1. Langka perintis

Dengan menghidangkan sekapursirih, pihak yang


satu biasanya pihak pria mengajak pihak lainya
menjalin ikatan perkawinan tertentu.-4Pinangan
demikian itu hampir selalu disampaikan oleh
seoarang utusan, seorang wakil. Jika lamaranya
diterima, biasanya diadakan pertunangan
terlebihdahulu.

2. Nama dan Funksi Hadiah Pertunangan

Hadiah itu jatuh ketangan kelompok kerabat,


orang tuanya atau calon istri sendiri. Kadang-
kadang perhiasan yang diserahkan kepada orang
tua sigadis harus dikembalikan sesudah upacara
perkawinan; namanya ialah “petaruh pertunangan”
(kerinci).

3. Motif dan Pendorong kearah Pertunangan

Motif pertunangandapatberbedah-bedah:

a. Orang hendak segera mendapat kepastian


tentang perkawinan yang dihasratkan.

b. Orang kadang-kadang mendapat pertolongan


dari calon menantu pria.

c. Dimana pergaulan muda-mudi sebelum


pertunangan adalah bebas, orang selekas-
lekasnya ingin melepaskan sigadis dari pengaruh
pergaulan tersebut.

d. Pertimbangan-pertimbangan sejenis itu yang


berhubungan keadaan social.

Sementara dilingkungan hokum, para yang


berkepentingan dapat menekan
pengaruh/wibawahnya dengan cara khusus, yaitu
dengan mengajukan “pinanganpaksa” sehingga
sebenarnya sukar disebur lamaran lagi.

4. Larangan dan kecenderungan kawin

a. Larangan kawin dalam lingkungan (bagian)


clanyasendiri (exogami).

b. Larangan hubungan kawin timbale-balik.

c. Derajat derajat perkawinan antar-wangsa


terdekat yang terlarang.

d. Larangan kawin dengan istri yang sudah


bercerai dari sesame warga clan.

e. Kecenderunagn kawin dengan anak gadis dari


saudara laki-laki ibunya.

f. Desakan untuk kawin dengan pemudi dari


desanya sendiri.

5. Akibat Pertunangan

Akibat pertunangan ialah :

a. Orang terikat untuk kawin dengan pihak lainya,


namun jarang sekali terdapat paksaan langsung
untuk kawin.

b. Lahirnya kewajiban memberikan hadiah-hadiah


dengan pengertian, pertunangan itu putus bila
hadiah tersebut tidak diberikan.

c. Perlindungan si pemudi terhadap kebebasan


hubungan seksuil sepertihalnya terhadap wanita
bersuami (akan tetapi hubungan kelamin dengan
gadis yang sudah bertunangan itu tidak selalu
disamamakan dengan zina).

d. Timbulnya (kadang-kadang )hubungan yang


diliputi rasa segan antara menantu pria dengan
mertuanya atau kewajiban bekerja bagi menantu
tersebut tuntuk kepentingan mertuanya.

6. Pemutusan pertunangan

Pemutusan pertunangan berdasarkan


musyawarah adalah urusan kerabat dan pihak
keluarga. Pihak yang bersalah kehilangan tanda
pengikatnya, harus mengembalikannya dua kali
lipat atau harus membayar denda delik lainya.
jumlah uang denda itu ditetapkan pula pada saat
pertunangan.

7. Pelangsungan perkawinan

Upacara perkawinan dilangsungkan pada hari


yang telah ditentukan. Namun di lingkungan
hokum manapun tidak dapat ditunjukkan dengan
tegas saat terjalinya ikatan perkawinan menurut
hukum adat itu.[4]

2. HUKUM WARIS
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian
dengan proses penerus/pengoperan dan
peralihan/perpindahan harta-kekayaan materiil
dan non-materiil dari generasi kegenerasi. Hukum
waris arti yang luas yaitu penyelenggaraan
pemindah-tangankan dan peralihan harta
kekayaan kepada generasi berikutnya.
Pengaruhaturan-aturan hukum lainya atas
lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai
berikut :

1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum


adat yang bersangkutan membatasi pewarisan
tanah.

2. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus


dilanjutkan oleh para ahli waris.

3. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-


perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah
sipelaku semula meninggal.

4. Struktur pengelompokan wangsa/sanak,


demikian pula bentuk perkawinan turut
menentukan bentuk dan isi pewarisan.
5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi,
perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal
berumahtangga kepada pengantin wanita, dapat
pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan
hukum waris.

Pembagian harta peninggalan

Bila seorang pewaris semasa hidupnya tidak


mewariskan seluruh hartanya dengan jalan
pembekalan, dan jika sesudah dipotong utang-
utang masih terdapat kelebihan, maka harta
peninggalan tersebut dapat dibiarkan untuk
takterbagi atau pundi bagi-bagi pada waktunya
pembagian ini merupakan perbuatan dari para ahli
waris bersama, dan biasanya tidak dicekam oleh
peraturan yang tegar-kaku dan tuntutan yang
keras tajam, melainkan dijiwai oleh semangat
kekeluargaan, toleransi dan keikhlasan
memberikan tambahan kepada para warga yang
paling buruk nasibnya.

Ahli Waris

Pada umumnya yang menjadi ahli waris ialah para


warga yang palin karip di dalam generasi
berikutnya, ialah anak-anak yang dibesarkan
didalam keluarga/biyatdipewaris. Yang pertama-
tama mewaris ialah anak-anak kandung.[5]

3. HUKUM KEKERABATAN

Ø Hubungan anak dengan orang tuanya

1. Pembeda antara hubungan kekerabatan


sebagai pengertian umum dan hubungan anak
dengan oranng tuanya sebagai hubungan khusus.
Hal ini perlu karena :

a. Di dalam struktur patrilineal: wangsa-wangsa


ibu mempunyai arti yang lain bagi sang anak
daripada ibunya sendiri.

b. Di dalam struktur matrilinial: wanngsa-wangsa


bapak mempunyai arti yang lain bagi sang anak
daripada ayahnya sendiri.

c. Berbagai hubungan terjalin dengan ibu selaku


ibu, ayah selaku ayah, tidak selaku warga-warga
terdekat.

2. Anak yang lahir di dalam perkawinan, beribu


wanita yang melahirkannya dan berayah pria
suami ibunya, penyebab kelahiran dia. Di dalam
perumusan itu tersimpul penyimpangan yanng
mungkin terjadi dikeadaan normal, contohnya:
disementara lingkungan hukum, anak luar kawin
beribu wanita tak kawin melahirkannya, sama
halnya dengan anak yang beribu wanita yang
melahirkannya di dalam perkawinan sah
(Minahasa, Ambon, Timor, Mentawai).

3. Baik dahulu maupun sekarang orang mengenal


lenbaga yang bermaksut melepaskan ibu dan
anaknya dari nasip yang malang, contohnya:
kawin darurat adalah kawinnya sembaranng pria (
misalnya kepala desa ) dengan seorang wanita
hamil, supaya kelahiran bayinya nanti terjadi
didalam ikatan perkawinan sah ( Jawa “nikah
tambelan”, Bugis “pattongkoh sirik”, “penetup
malu”).

4. Karena sekarang ekskomunikasi dengan


kekerasan itu sudah tidak lagi atau jarang terjadi
(Nias), maka ibu dan anak itu ditoleransikan;
namun si anak tetap dikenal dengan nama ejekan:
“anak tak sah”,”astra” (Bali), “haram jadah” (Jawa),
kecuali karena alasan tertentu dapat dilakukan
perbuatan pengesahannya (Bali). Kadang-kadang
diperlukan pembayaran adat agar dapat tetap
tinggal dalam persekutuan hukum. Hubungan
anak dengan ibunya yang tak kawin itu sama
dengan hubungan anak sah dengan ibunya. Di
Bali anak-anak yang lahir didalam satu periode
hidup berkumpul sebelum perkawinan adalah sah.

5. Di Minahasa, hubungan anak dengan pria tak


kawin yang menurunkannya adalah serupa
dengan hubungan anak dengan ayahnya. Bila si
ayah hendak menghilanngkannya kesangsian
mengenai hubunngan itu, maka ia memberikan
hadiah (lilikur) kepada ibu anaknya (dalam hal
mereka tidak berdiam serumah).

6. Bila seorang anak selama ikatan perkawinan


diturunkan oleh pria lain daripada yanng telah
nikah dengan ibunya, maka ayah anak tersebut
menurut hukum adat ialah pria yanng nikah sah
dengan ibunya kecuali jika suami sah ini
menyangkal kebapaannya berdasarkan alasan
yang diterima; hal ini dimungkinkan di Jawa.

7. Menurut hukum adat rupanya tidak relevan,


anak itu lahir berapa lama sesudak perlangsungan
pernikahan. Hukum Islam menentukan: anak yang
sah dilahirkan lebih dari enam bulan sesudah
akad nikah. Ketentuan ini barang kali disana sini
berpengaruh terhadap hukum adat yang pasti
ialah bahwa ketentuan tersebut tidak mengubah
lembaga kawin paksa dan kawin darurat.

8. Anak yang lahir sesudah perkawinan putus,


berayah suami dalam perkawinan tersebut, bila ia
dilahirkan selama masa hamil. Waktu empat tahun
yang ditetapkan oleh hukum Islam tidak di oper
oleh hukum adat.

9. Anak-anak keturunan selir dikebelakangkan


terhadap anak-anak istri utama dalam hak atas
warisan dan hak atas derajat/martabat ayahnya.

10. Akibat hukum dari hubungan anak-ayah dan


anak-ibu salah satunya adalah larangan kawin
antara ayah dan anaknya perempuan, antara ibu
dan anaknya laki-laki di semua wilayah.

11. Penghapusan, penanggalan hubungn hukum


antara orangn tua dan anak dengan suatu
perbuatan hukum, demikian pula pengusiran anak
laki-laki oleh ayahnya, kesemuanya itu formal
mungkin diberbagai lingkungan hukum: Angkola
“mangaliplip”, Bali “pegat mapianak”.

12. Menitipkan seorang anak kepada orang untuk


dipelihara sebagai anak piara, adalah suatu cara
yang semua wilayah boleh dijalankan oleh orang
tua untuk melaksanakan kewajibannya memberi
nafkah kepada anaknya. Perbuatan ini berlainan
sama sekali dengan penyerahan didalam adopsi
meskipun nyatanya kadang-kadang sukar untuk
membedakan kedua perbuatan itu. Anak yang
dititipkan, setiap waktu dapat diambil kembali oleh
orang tua kandungnya dengan penggantian biaya
pemeliharaan.

Ø Hubungan anak dengan kelompok


kerabat/wangsanya

1. Yang masih memerlukan penyelidikan


mendalam ialah persoalan: pakah seorang anak
luar kawin yang didalam lingkungan hidupnya
tetap dinilai rendah sebagai “haram jadah”, karena
ibu tak nikah bersama anaknya hampir-hampir
tidak ditoleransikan didalan paguyuban hidup itu,
derajad hubungannya dengan kelompok wangsa
ibunya seperti anak sah,di dalam wilayah Jawa
nampaknya hal ini tidak ada pembeda antara anak
sah dan anak di luar kawin,bila orang lain
mengakui hubungan antara anak luar kawin
dengan ayahnya,maka hal ini berlaku pula
terhadap kelompok wangsanya.

2. Di dalam sementara lingkungan hukum,hukum


antara kelompok wangsa ayah dan anak adalah
sama belaka dengan hubungan wangsa kelompok
ibu dengan anak yang bersangkutan; ini terdapat
di dalam susunan/atau tertib parental. Larangan
dan kecenderungan kawin, hak waris,kewajiban
memberi nafkah,semua hubungan itu berintensitas
sama.

3. Di Kalimantan dan Sulawesi tampak adanya


peralihan dari susuna parental yang terikat dalam
kerangka persekutuan suku,kaum/bagia suku dan
kerabat kearah tertib parental dengan keluarga-
keluarga selaku satu-satunya kesatuan sosial.

Ø PEMELIHARAAN ANAK YATIM (-PIATU)

1. Bila di dalam suatu keluarga orangtuanya


tinggal seorang,sedang di situ masih ada anak-
anak yanag belum dewasa,maka yang selanjutnya
melakukan kekuasaan orangtua di dalam suatu
wilayah yang bertata-kewangsaan parental ialah
orangtua yang masuh tingggal itu,kecuali jika
anak-anak tadi diserahkan kepada kelompok
kerabat si mati,sepertihalnya di kalangan orang
Dayak-Ngaju kalau suaminya itu orang luar/asing.

2. Jika di dalam wilayah bertata-kwangsaan


parental demikian itu kedua orangtuanya tidak ada
lagi, maka yanag wajib mengurus dan memelihara
yatim piatu ialah kerabatnya terdekat diantara
kedua belah kelompok yang berkemampuan
terbaik pula. Yang justru penting sekali dalam hal
ini adalah:di dalam lingkungan manak anak itu di
dididk pada waktu kedua orangtuanya masih
hidup. Soal pembayaran di waktu perkawinan
orang tuanya dahulupun dapat berpengaruh atas
masalah pemeliharaan yatim-piatu tersebut
(Beberapa suku Dayak, Kalimantan ).

Anak-anak yang sudah besar menetapkan


sendirimenurut pilihannya pribadi.

3. Kalau kedua orangtuanya meninggal,maka


kekuasaan atas anak-anak-pemeliharaan
darimana harta bendanya-di dalam
tatakwangsaan berkonsekuensi unilateral jatuh
(menetap) di tanagan Kepala-kepala atau
Pengetua-pengetua kerabat yang sudah
menguasai seleruh keluaraga (berhubungan
dengan perkawinan orangtuanaya).

Ø PENGAMBILAN / PENGANGKATAN ANAK

Berdasarkan keadaan sosial,dengan suatu


perbuatan hukum,orang dapat mempengaruhi
eksistensi hubungan-hubungan yang berlaku
sebagai ikatan-ikatan kwangsaan biologi.

hal itu terlihat pada perkawinan ambil anak.


Didalam tatakwangsaan patrilineal , dengan
kepala kerabat yang menguasai dan akan di
ganatikan oleh wargaa kerabat yang berwangsa
dengannya menurut garis keturunan laki-laki,
maka dengan suatu perkawinanaa tanpa jujur ,
kewangsaan biologis itu lewat si ibu dapat di beri
kekeuatan berlakau sosial, sehingga anak-
anaknya nanti termasuk dalam kerabat (patrilineal)
ibunya.[6]

C. Hukum Barat

Tidak dapat dipungkiri, bahwa perjalanan hukum


indonesia tidak lepas dari perjalanan panjang
bangsa indonesia. Berbicara tentang sejarah
bangsa berarti berbicara tentang kemerdekaan
bangsa itu sendiri dari penjajah.

Negara indonesia lebih dari 3 abad dijajah oleh


negara barat, sepert : Spanyol, Portugis, Inggris
dan Belanda. Bahkan belanda menduduki
indonesia selama 350 tahun. Sebuah kurun waktu
yang sangat panjang yang melahirkan beberapa
generasi dan diikuti munculnya perundang-
undangan yang mengatur tata kehidupan kawasan
jajahan. Melihat kenyataan itu, tidak pelak lagi
kalau hukum kolonial masih begitu banyak yang
terdapat didalam perundang-undangan di negara
kita.[7]

HUKUM BARAT (BELANDA)

Hukum barat pertama kali dibawa oleh belanda


pada saat jaman penjajahan, mereka
mengenalkan hukum barat kepada penduduk
indonesia dengan cara menerapkan hukum barat
tersebut untuk memerintah daerah penjajahannya.
Hukum barat sendiri bersumber dari hukum
belanda. Dan Belanda dalam menjajah Indonesia
menerpakan aturan-aturan hukum barat.

1. Perbandingan KUHP Belanda dan Indonesia

1. KUHP belanda ( NED. WVS ) dibandingkan


dengan KUHP Indonesia

KUHP Belanda ( NED. NVS ) paling penting


dipelajari dalam hukum pidana di Indonesia,
karena KUHP bersumber dari situ. Jikapun nanti
rancangan KUHP yang sedang diproses
didepartment kehakiman menjelma menjadi KUHP
baru, hal ini masih relevan karena pada umunya
asas dan rumusan delik didalam RKUHP itu masih
dengan KUHP ( WVS )”[8].

A. Pemberdayaan Sejak Semula ( pada saat


berlakunya WvSI Tahun 1918 )

Sejak semula telah terdapat perbedaan antara


KUHP Indonesia karena situasi dan kondisi antara
Indonesia ( Hindia- Belanda ) dan belanda
berbeda.

Hawai perbedaan itu ( yang dikemukakan yang


penting ) antara lain :

1) Perbedaan rumusan berlakunya hukum pidana


( Pasal 2 dan seterusnya ) kedua KUHP ( Ned.
Wvs dan WvSI ).

2) Jenis pidana berbeda yang tercantum di dalam


Pasal 9 Ned. WvS dan Pasal 10 WvSI ( sekarang
KUHP ). Didalam KUHP Indonesia tercantum
pidana mati, sedangkan di Belanda sejak tahun
1870 sudah dihapus karena keadaan di Indonesia
berbeda dengan Belanda.

3) Beberapa delik lebih berat pidana penjaranya


dalam WvSI ( KUHP ) disbanding dengan dalam
Ned. WvS. Misalnya pencurian, di dalam Pasal
310 Ned. WvS maksimum 4tahun penjara,
sedangkan di dalam Pasal 362 WvSI ( KUHP )
maksimum 5tahun penjara. Demikian pula dengan
delik penadahan, di dalam pasal 416 ayat ( 1 )
Ned. WvS pidana penjara untuk delik penadahan
yang dilakukan dengan sengajar, ialah maksimum
3 tahun penjara, sedangkan dalam pasal 480
WvSI ( KUHP ) penadahan baik yang disengaja
maupun culpa ( patut harus menduga ) maksimum
4tahun penjara.

4) Ketentuan tentang pidana bersyarat yang


tercantum didalam Pasal 14 a s/d 14 f WvSI (
KUHP ) baru diciptakan dalam tahun 1926 dengan
Stbld. Ada perbedaan – perbedaan tertentu antara
ketentuan pidana bersyarat didalam Ned. WvS
dan WvSI ( KUHP ).

5) Perbedaan tentang pelaksanaan pidana.


Misalnya Pasal 20 Ned. WvS menentukan, bahwa
terpidana kurungan dapat memilih bekerja
ataukah tidak, yang dalam pasal 19 WvSI ( KUHP
) mmerupakan kewajiban untuk bekerja.

6) Minimun pidana denda lebih rendah di dalam


WvSI ( KUHP ), yaitu f 0,25 sedangkan di dalam
Ned. WvS f 0,50. Sekarang ini minimum denda di
Indonesia ialah Rp 250,-

7) Ketentuan tentang psychopaten dalam pasal 44


WvSI ( KUHP ), berbeda karena di Nederland ada
beberapa undang – undang mengenai hal itu.

8) Perbedaan Rumusan ketentuan pembelaan


terpaksa ( noodweer )

Menurut W. L. G. Lemaire, perbedaan ini terjadi


karena para pakar penyusun WvSI ( KUHP ) di
Indonesia ( Hindia Belanda ) berfikir, bahwa
ancaman sekejap itu terlalu sempit, perlu di
tambah ( untuk Indonesia ) dengan ancaman
segera.

9) Dalam perumusan delik pun di dalam buku II


terdapat beberapa perbedaan antara Ned. WvS
dan WvSI ( KUHP ), disebabkan karena situasi
dan kondisi antara kedua negeri berbeda

10) Didalam Ned. WvS ada jenis pencurian yang


tidak ada padanannya di dalam WvSI ( KUHP ),
yaitu yang disebut stroperij ( penyamun ), rumput
daun kering, tanah, pasir dan sebagainya yang
dipandang tidak relevan diatur Indonesia.

B. Perbedaan kemudian ( sekarang ini )

Perbedaan antara Ned. WvS dan WvSI ( KUHP )


sekarang ini bertambah besar. Ned. WvS terus
menerus diubah sesuai dengan tuntutan kemajuan
tekhnologi. Disamping itu jika ditinjau secara teliti
ketentuan pidana di Belanda bertambah lunak.

Sekarang ini sistem denda di Belanda didasarkan


kepada kategori, dari kategori satu sampai dengan
enam. Dalam daftar kategori itu dicantumkan
maksimum denda.

Daftar kategori sebagai berikut :

Kategori 1, Lima ratus gulden

Kategori 2, Lima ribu gulden

Kategori 3, Sepuluh ribu gulden

Kategori 4, Dua puluh lima ribu gulden

Kategori 5, Seratus ribu gulden

Kategori 6, Satu juta gulden

Anda mungkin juga menyukai