Anda di halaman 1dari 18

Clinical Science Session

TRAUMA KIMIA PADA MATA

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata merupakan organ yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga
sering menyebabkan mata terkena dampak dari posisi anatominya tersebut. Mata sering terpapar
dengan keadaan lingkungan sekitar seperti udara, debu, benda asing dan suatu trauma yang dapat
langsung mengenai mata.
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan oftalmologi karena
dapat menyebabkan cedera pada mata yang membutuhkan evaluasi dan perawatan yang segera
dan intensif, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan penglihatan. Dari data WHO tahun
1998 trauma okular berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, sebagian besarnya
(84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi bervariasi trauma asam:basa antara 1:1 sampai
1:4. Secara internasional, 80% dari trauma kimiawi dikarenakan oleh pajanan karena pekerjaan.1
Mekanisme cedera antara trauma asam dan trauma basa sedikit berbeda. Trauma yang
disebabkan oleh bahan basa lebih cepat merusak dan menembus kornea dibandingkan bahan
asam. Dampak yang ditimbulkan dari trauma kimia pada mata sangat tergantung pada tingkat
pH, kecepatan, dan jumlah bahan kimia yang mencapai mata. Gejala sisa dari trauma kimia pada
mata dapat berupa komplikasi yang parah dan sangat sulit untuk ditangani. Komplikasi
cenderung terjadi dalam jangka panjang, namun diagnosis dan tatalaksana awal dapat
mempengaruhi prognosis dan mencegah komplikasi yang lebih berat. Walaupun demikian, setiap
bahan kimia yang masuk ke dalam mata perlu diwaspadai agar tidak meningkatkan morbiditas
dan mengganggu fungsi penglihatan dari organ ini. Trauma pada mata memerlukan penanganan
yang tepat untuk mencegah kerusakan yang lebih berat agar tidak berujung pada kebutaan.
1.2 Batasan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas mengenai anatomi dan fisiologi, definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, manifestasi klinis, tatalaksana,
prognosis dan komplikasi dari trauma kimia pada mata.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang
trauma kimia pada mata.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan merujuk ke
berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Kimia pada Mata
Trauma kimia adalah suatu keadaan rusaknya konjungtiva dan kornea yang diakibatkan
oleh paparan ocular surface dengan bahan kimia baik yang bersifat asam maupun basa, yang
merupakan suatu kegawatdaruratan okular dan membutuhkan penanganan segera. Trauma kimia
dapat menyebabkan kerusakan berat pada permukaan bola mata dan segmen anterior yang
kemudian dapat mengakibatkan gangguan visual bahkan kecacatan.4
2.2 Epidemiologi
Cedera kimia pada mata mewakili antara 11,5% -22,1% dari trauma okular. 5 Sekitar dua
pertiga dari cedera ini terjadi pada pria muda dan anak-anak usia 1-2 tahun sangat beresiko.
Sebagian besar cedera terjadi di tempat kerja sebagai akibat dari kecelakaan industri. Sebagian
kecil cedera terjadi di rumah atau sekunder karena kekerasan. Bahan alkali ditemukan lebih
umum pada bahan bangunan dan bahan pembersih dan terjadi lebih sering daripada cedera
asam.6

2.3 Etiologi
Bahan asam yang menyebabkan trauma adalah:2
a. Sulfuric acid (H2SO4)
= contohnya aki mobil, bahan pembersih (industri).
b. Sulfurous acid (H2SO3)
= contohnya pada pengawet sayur dan buah.
c. Hydrofluoric acid (HF)
= efeknya sama bahayanya dengan trauma alkali.
Ditemukan pada pembersih karat, pengilat aluminium, penggosok kaca.
d. Acetic acid (CH3COOH)

= contohnya cuka.
e. Hydrochloric acid (HCl) 31-38%,
= contohnya zat pembersih.
Bahan basa yang biasanya menyebabkan trauma kimia adalah:2

3
a. Ammonia (NH3), zat ini banyak ditemukan pada bahan pembersih rumah tangga, zat
pendingin, dan pupuk.

b. NaOH, sering ditemukan pada pembersih pipa.

c. Potassium hydroxide (KOH), seperti caustic potash.

d. Magnesium Hydroxide (Mg(OH)2) seperti pada kembang api.

e. Lime (Ca(OH)2), seperti pada perekat, mortar, semen dan kapur.

2.4 Patofisiologi
2.2.1 Trauma Asam
Ketika bahan asam mengenai mata, maka akan segera terjadi pengendapan ataupun
penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat
destruktif seperti trauma alkali. Koagulasi protein ini terbatas pada daerah kontak bahan asam
dengan jaringan. Biasanya trauma asam hanya akan mengakibatkan kerusakan pada bagian
superficial saja. Bahan asam dengan konsetrasi tinggi dapat bereaksi seperti terhadap trauma
basa, sehingga kerusakan yang diakibatkannya akan lebih dalam.1,2
Trauma asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion dalam
kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah pH, sementara anion
merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi dan koagulasi. Koagulasi protein umumnya
mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari zat asam, dan menyebabkan tampilan ground glass
dari stroma korneal yang mengikuti trauma akibat asam.Sehingga trauma pada mata yang
disebabkan oleh zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada trauma yang diakibatkan oleh
zat kimia basa. 1,2
Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi dan presipitasi
dengan jaringan protein disekitarnya, karena adanya daya buffer dari jaringan terhadap bahan
asam serta adanya presipitasi protein maka kerusakannya cenderung terlokalisir. Bahan asam
yang mengenai kornea juga mengadakan presipitasi sehingga terjadi koagulasi, kadang-kadang
seluruh epitel kornea terlepas. Bahan asam tidak menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di
kornea. Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya mirip dengan trauma basa. 1,2

4
Gambar 1.Trauma Asam
2.2.1 Trauma Basa
Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa
memiliki sifat lipofilik dan bisa mempenetrasi mebran. Basa terdisosiasi menjadi ion hidroksil
dan kation di permukaan bola mata. Ion hidroksil membuat reaksi saponifikasi pada membran sel
asam lemak, sedangkan kation berinteraksi dengan kolagen stroma dan glikosaminoglikan dan
mengabutkan stroma. Jaringan yang rusak ini menstimulasi respon inflamasi, yang merangsang
pelepasan enzim proteolitik, sehingga memperberat kerusakan jaringan. Interaksi ini
menyebabkan penetrasi lebih dalam melalui kornea dan segmen anterior. Hidrasi lanjut dari
glikosaminoglikan menyebabkan kekeruhan kornea, Kolagenase yang terbentuk akan menambah
kerusakan kolagen kornea.7,8

Hidrasi kolagen menyebabkan distorsi dan pemendekan fibril sehingga terjadi perubahan
pada jalinan trabekulum yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.

5
Mediator inflamasi yang dikeluarkan pada proses ini merangsang pelepasan prostaglandin yang
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Basa yang menembus dalam bola
mata akan dapat merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.8

Alkali yang kuat dapat mencapai ruang anterior dalam waktu kurang dari 15 detik,
menyebabkan kerusakan jaringan di kornea dan ruang anterior (termasuk meshwork trabecular,
lensa, dan badan silia) Proses yang terjadi disebut nekrosis liquefactive. Penetrasi dapat terus
terjadi lama setelah paparan awal terjadi.9

Kerusakan kimia langsung pada konjungtiva dapat menyebabkan jaringan parut,


pemendekan forniks, pembentukan simblefaron, dan ektropion atau entropion sikatrik.
Penghancuran sel goblet konjungtiva dapat menyebabkan mata kering seumur hidup. Luka bakar
yang parah pada sel punca limbal dapat menyebabkan defisiensi sel punca limbal, yang
mengakibatkan kekeruhan dan akhirnya neovaskularisasi kornea karena hilangnya sel progenitor
epitel kornea. Selain itu, glaukoma dapat timbul dari cedera pada trabecular meshwork,
kontraksi struktur anterior globe, dan kemungkinan kerusakan kimia dan inflamasi pada sel-sel
ganglion di segmen posterior mata.9

6
Gambar 2.Trauma basa12

Ketika pasien dengan luka bakar alkali grade III ini awalnya dievaluasi, (1) kerutan
kornea dan inflamasi intraokular yang kuat terbukti, (2) bersama dengan iskemia limbal. Pada
saat ini, penglihatan hanya sampai menghitung jari.

2.5 Manifestasi Klinis


 Mata akan menjadi berair
 Rasa nyeri
 Penurunan tajam penglihatan.
 Kebutaan dapat terjadi bila trauma menyerang kornea dengan derajat kerusakan
yang berat.
 Konjungtiva bulbi hiperemis
 Pupil yang melebar karena peningkatan tekanan intraocular
 Koagulasi protein yang berlaku pada mata akibat trauma asam
 Kekeruhan pada kornea, dimana yang nantinya akan cenderung untuk masuk ke
bilik depan mata dan bisa menimbulkan katarak

2.6 Klasifikasi
Dua skema klasifikasi utama untuk luka bakar kornea adalah klasifikasi Roper-Hall
(modifikasi Hughes)17,18 dan klasifikasi Dua.19 Klasifikasi Roper-Hall didasarkan pada tingkat
keterlibatan kornea dan iskemia limbal. Klasifikasi Dua didasarkan pada perkiraan keterlibatan
limbal (dalam jam jam) dan persentase keterlibatan konjungtiva. Dalam uji coba terkontrol acak
dari luka bakar akut, klasifikasi Dua ditemukan lebih unggul dari Roper-Hall dalam memprediksi
hasil pada luka bakar parah.15 Namun, kedua skema klasifikasi ini umumnya digunakan dalam
praktik sehari-hari.

7
Derajat beratnya trauma kimia (menurut Roper-Hall) dibagi atas : 4
Grade I     : kornea jernih, tidak terdapat iskemia limbus (prognosis sangat baik)
Grade II    : kornea hazy tetapi detail iris masih tampak, dengan iskemia
                   limbus < sepertiga (prognosis baik)
Grade III  :detail iris tidak terlihat, iskemia limbus antara sepertiga sampai
      setengah
Grade IV : kornea opak, dengan iskemia limbus lebih dari setengah (prognosis sangat buruk)
Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stem sel limbus (menurut kriteria Hughes), yang digunakan
di departemen mata RSCM yaitu :8
I. Iskemia limbus yang minimal atau tidak ada
II. Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
III. Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
IV. Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan epitel konjungtiva dan bilik mata
depan
Selain pembagian tersebut diatas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan
menurut Thoft menjadi :
Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea
Derajat 4 konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%1

8
Gambar 3.Klasifikasi Derajat Keparahan Trauma Kimia
(a) derajat 1 (b) derajat 2 (c) derajat 3 (d) derajat 412

2.7 Diagnosis
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui gejala klinis, anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak dilakukan dikarenakan trauma
kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat sehingga hanya diperlukan anamnesis singkat.1

a. Anamnesis
Tingkat keparahan cedera mata tergantung pada empat faktor: toksisitas bahan kimia,
berapa lama bahan kimia itu kontak dengan mata, kedalaman penetrasi, dan area keterlibatan.
Karena itu penting untuk anamnesis yang cermat untuk mendokumentasikan faktor-faktor ini.

9
Pasien harus ditanya kapan cedera terjadi, apakah mereka membilas mata mereka setelahnya dan
untuk berapa lama, mekanisme cedera (apakah bahan kimia di bawah tekanan tinggi?), Jenis
bahan kimia yang terciprat ke mata, dan apakah mereka mengenakan pelindung mata. Jika
tersedia, akan sangat membantu untuk mendapatkan kemasan bahan kimia tersebut. Seringkali
ada informasi produk pada kemasan ini termasuk komposisi kimia. Namun, irigasi ketika
dibutuhkan tidak boleh ditunda untuk memperoleh anamnesis ini.14
b. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi Awal
Perawatan awal dari setiap luka bakar kimia harus dimulai segera pada waktu dan tempat
cedera. Mata yang terkena harus diirigasi dengan banyak dengan cairan noncaustik yang tersedia
di lokasi cedera dan selama transportasi ke rumah sakit. Irigasi harus dilanjutkan di rumah sakit
sampai pH permukaan okular telah dinormalisasi ke kisaran antara 7,0 dan 7,2. Beberapa bukti
telah menunjukkan manfaat ketika buffer borat (Cederroth Eye Wash) digunakan untuk irigasi,
dibandingkan dengan saline atau air ledeng.3

pH harus diperiksa ulang dengan strip uji pH rentang sempit (antara 6 dan 8) pada
interval 15 hingga 30 menit setelah stabilisasi untuk memastikan bahwa tidak ada perubahan di
luar kisaran normal. Perubahan seperti itu dapat menandakan adanya partikel tersembunyi di
mata yang terus mengelusi bahan kimia ke permukaan mata. Lensa Morgan dapat digunakan
dengan anestesi topikal untuk memfasilitasi proses irigasi pada pasien yang tidak nyaman.3

Setelah irigasi, pemeriksaan mata menyeluruh dilakukan dengan perhatian khusus


diberikan pada kejelasan dan integritas kornea, derajat iskemia limbal, bersamaan benda asing
yang ditahan, trauma konjungtiva, trauma kelopak mata, dan TIO.2 Setelah pH dinetralkan secara
andal, pemeriksaan mata lengkap diperlukan untuk menentukan tingkat cedera dan
merencanakan perawatan lebih lanjut. Skrining awal harus mencakup sapuan menyeluruh dari
forniks dengan eversi kelopak mata untuk mendeteksi dan menghilangkan partikel kecil seperti
kapur dan plester.3

Seperti dibahas di atas, penting untuk menilai secara menyeluruh keberadaan dan derajat
iskemia limbal serta tingkat defek dan kekeruhan epitel kornea. Pada mata dengan kemosis, perlu
untuk menyingkirkan secara perlahan konjungtiva chemotic dari limbus dengan spons oftalmik
steril untuk mendapatkan akses yang baik ke limbus. Fluorescein harus digunakan untuk menilai

10
status epitel kornea dan konjungtiva, dengan pengetahuan bahwa pewarnaan fluorescein
mungkin sulit untuk dihargai dengan adanya cacat epitel lengkap. Tekanan intraokular (TIO)
harus diperiksa, karena luka bakar kimia serius dapat sangat meningkatkan atau menurunkan
tekanan. Pemeriksaan sisa mata harus dilakukan, walaupun pemeriksaan awal mungkin terbatas
karena pandangan melalui kornea dan ketidaknyamanan pasien. Akhirnya, bahkan dalam kasus
cedera kimia unilateral yang diakui, mata kontralateral masih harus diperiksa dengan cermat
(termasuk pemeriksaan pH) untuk memastikan bahwa kedua mata tidak terlibat.

Ketajaman visual menurun: Ketajaman visual awal dapat berkurang karena cacat epitel
kornea, kabut, peningkatan lakrimasi, atau ketidaknyamanan. Pada luka bakar kimia sedang
hingga parah yang terlihat segera setelah cedera, kabut kornea mungkin minimal pada presentasi
dengan penglihatan yang baik, tetapi dapat meningkat secara signifikan seiring waktu,
mengurangi penglihatan.3

Fisura palpebral harus diperiksa dan forniks harus disapu selama pemeriksaan awal. Baik
konjungtiva palpebral dan bulbar harus diperiksa dengan fluorescein di bawah cahaya biru
kobalt. Seperti di atas, partikel yang tertahan dapat menyebabkan kerusakan terus-menerus,
meskipun irigasi. Tekanan intraokular juga harus didokumentasikan, karena cedera alkali telah
ditemukan secara akut dan kronis menyebabkan peningkatan TIO.16
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah pemeriksaan pH bola
mata secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata harus dilakukan sampai tercapai pH
normal. Pemeriksaan bagian anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui
lokasi loka. Oftalmoskop direk dan indirek juga bisa dilakukan untuk menilai keseluruhan bagian
mata. Tonometri juga bisa dilakukan untuk mengetahui tekanan intraokulat mata tersebut.1

Diagnosis banding dari trauma kimia asam adalah trauma kimia basa. Perbedaannya
terdapat pada kerusakan yang ditimbulkan, kemampuan penetrasi pada organ mata, mekanisme
terjadinya kerusakan pada mata, derajat kerusakan dan prognosisnya. 6,8

11
d. Perbandingan Trauma Asam dengan Trauma Basa
Tabel 1. Perbandingan Trauma Asam dan Trauma Basa

N
Perbedaan Trauma Kimia Asam Trauma Kimia Basa
o
Kerusakan yang ditimbulkan Kerusakan yang ditimbulkan lebih
Kerusakan yang
1 lebih terbatas, batas tegas berat karena sudah mencapai bagian
ditimbulkan
dan bersifat tidak progresif yang lebih dalam yaitu stroma

Kemampuan
Penetrasi bisa terjadi lebih dalam
penetrasi pada Tidak sekuat trauma basa
2 hingga mencapai stroma
organ mata

Mekanisme -Saponifikasi dari selular barrier


Koagulasi pada permukaan
terjadinya -Denaturasi mukoid
3 protein yang akan
kerusakan pada -Pembengkakan kolagen
membentuk barier
mata -Disrupsi mukopolisakarida stroma
Lebih ringan karena hanya
4 Derajat kerusakan Lebih berat
di bagian permukaan
5 Prognosis Lebih baik Lebih buruk

2.8 Tatalaksana
Penanganan dengan air/larutan garam fisiologis 2000 ml dan netralisasi sampai pH air
mata kembali normal (7,3). Lima sampai sepuluh menit setelah irigasi dihentikan, ukurlah pH
dengan menggunakan kertas lakmus. Jika pH masih tetap tinggi, konjungtiva forniks diswab
dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau glass rod. Penggunaan desmarres
eyelid retractor dapat membantu dalam pembersihan partikel dari forniks dalam. Berikan EDTA
dan antibiotik. Debridemen dilakukan untuk mencegah infeksi sekunder. Untuk trauma kimia
asam bisa digunakan larutan natrium bikarbonat 3% untuk menetralisir zat yang ada. Biasanya
regenerasi epitel sempurna setelah 3-7 hari.2,3

12
Gambar 4. Irigasi
Grade I. Untuk cedera grade I, salep antibiotik topikal ringan seperti bacitracin atau
erythromycin biasanya diresepkan, bersama dengan artificial tears sesuai kebutuhan. Steroid
topikal seperti prednisolon asetat, diberikan empat kali sehari selama kurang lebih seminggu,
biasanya cukup untuk mengendalikan peradangan dan memfasilitasi epitelisasi ulang. Untuk
kenyamanan, agen sikoplegik topikal seperti cyclopentolate 1% tiga kali sehari sering cukup.
Pasien dengan cedera grade I harus diikuti setidaknya setiap hari sampai seluruh permukaan
okular sembuh; harus terus dipantau jangka panjang untuk menilai mata kering dan masalah
lainnya.3,4

Kelas II hingga IV. Untuk luka bakar yang lebih parah, kontrol peradangan pada fase
akut, terutama pada minggu pertama setelah cedera, sangat penting. Dianjurkan aplikasi
prednisolon asetat topikal 1% setiap jam saat pasien terjaga selama tujuh hingga 10 hari pertama.
Ini harus ditappering dengan cepat antara hari 10 dan 14 untuk meminimalkan risiko pencairan
kornea. 3,4

Sikloplegik jangka panjang seperti skopolamin hidroklorida atau atropin sulfat harus
digunakan untuk kenyamanan, bersama dengan obat nyeri mulut. Untuk mencegah suprainfeksi
pada kasus dengan kehilangan epitel lengkap, antibiotik spektrum luas topikal (seperti
fluoroquinolone) dapat diberikan empat kali sehari. Turunan tetrasiklin oral (seperti doksisiklin)
diberikan untuk mengurangi risiko lebur kornea melalui penghambatan matriks
metaloproteinase. Penting untuk mengontrol TIO, karena luka bakar yang lebih parah dapat
menyebabkan peningkatan tekanan yang signifikan. Penekan berair dapat digunakan. 3,4

13
Penggunaan membran amnion. Beberapa spesialis kornea menganjurkan penempatan dini
membran amnion (seperti Prokera) pada permukaan okular pada luka bakar tingkat II, III, atau
IV, dan risiko melakukannya rendah. Namun, biaya Prokera cukup besar, dan umur panjangnya
terbatas pada mata yang sangat meradang. 3,4

Follow-up awal. Awalnya, pasien dengan cedera kimia parah harus dilihat setiap hari
untuk menilai penyembuhan epitel, mengukur TIO, dan memantau pencairan kornea progresif.
Setelah penyembuhan epitel berjalan dengan memuaskan, interval tindak lanjut dapat
ditingkatkan, tetapi sering tindak lanjut sangat penting sampai epitel utuh, terutama jika pasien
tetap menggunakan kortikosteroid topikal. 3,4

Kortikosteroid topikal umumnya diturunkan setelah 7 sampai 10 hari pertama pasca


cedera, karena setelah periode ini mereka dapat mengurangi keseimbangan sintesis kolagen dan
kerusakan kolagen yang tidak menguntungkan. Jika diperlukan pengobatan antiinflamasi
tambahan, steroid progestasional topikal seperti medroksiprogesteron 1%, yang membawa risiko
yang jauh lebih rendah untuk menginduksi pencairan kornea, dapat digunakan. Jika, dalam 10
hari cedera, epitel gagal menyembuhkan, perawatan bedah dapat dipertimbangkan. 3,4

Debridemen dan operasi. Epitel kornea nekrotik dan / atau konjungtiva harus
didebridisasi dengan spons bedah atau dieksisi pada lampu celah di bawah anestesi topikal. Jika
penyembuhan epitel lengkap tidak terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah cedera,
membran amniotik harus diterapkan langsung pada kornea, menggunakan jahitan fiksasi tas-tali
di limbus.3 Perangkat Prokera juga dapat dipertimbangkan. 3,5

2.9 Komplikasi
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis
trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma kimia pada mata antara
lain: 9,10,11
1. Simblefaron adalah adhesi antara konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi. Dengan
gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga kornea dan penglihatan
terganggu.
2. Kornea keruh, edema, neovaskuler akibat adanya denaturasi protein dan kerusakan pada
struktur kornea akibat zat kimia.
3. Sindroma mata kering.

14
4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.
Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH aqueous humour dan
menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-
lahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi
katarak traumatik.
5. Glaukoma sudut tertutup yang terjadi akibat tebentuk sumbatan pada drainase cairan
aqueous humour.
6. Entropion dan ptisis bulbi. Keadaan ini terjadi akibat komplikasi jangka panjang pada
trauma kimia.

Gambar 5.Simblefaron12 Gambar 6. Ptisis Bulbi12


2.10 Prognosis
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma tersebut.
Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah satu indikator
keparahan trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada pembuluh darah
limbus dan konjungtiva memberikan prognosis yang buruk. Bentuk paling berat pada trauma
kimia ditunjukkan dengan gambaran cooked fish eye dimana prognosisnya adalah yang paling
buruk, dapat terjadi kebutaan. 11
Kebanyakan kasus dapat sembuh sempurna meskipun ada juga yang disertai komplikasi
seperti glaukoma, kerusakan kornea, dry eye syndrome dan beberapa kasus menimbulkan
kebutaaan. 1

15
BAB 3
KESIMPULAN
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan oftalmologi.
Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat
terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur
bola mata tersebut.1

Mekanisme cedera antara trauma asam dan trauma basa sedikit berbeda. Trauma
yang disebabkan oleh bahan basa lebih cepat merusak dan menembus kornea
dibandingkan bahan asam. Trauma basa biasanya memberikan dampak yang lebih berat
daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan
lipolifik dimana dapat masuk secara cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke
sudut mata depan, bahkan sampai retina. Sementara trauma asam akan menimbulkan
koagulasi protein permukaan, dimana merupakan suatu barier pelindung sehingga zat
asam tidak penetrasi lebih dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma mata
adalah epifora, blefarospasme dan nyeri yang hebat yang disertai dengan penurunan
fungsi penglihatan.5,6

Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata dengan
segera sampai pH mata kembali normal dan diikuti dengan pemberian obat terutama
antibiotik, multivitamin, antiglaukoma, dan lain-lain. Terapi pembedahan merupakan
pilihan terakhir pada kasus gawat darurat dan gagal dengan terapi non- operatif.9,10

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG; Taylor A ; Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta.


2000

2. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2008

3. Gerald,Lim, ; Lung-Kun, Yeh: Chiung, Lin. Sequels, Complications and


Management of A Chemical Burn Associated with Cement Splash.2006. Chang
Gung Med J Vol. 29 No. 4.p424-428

4. Singh P, Tyagi M, Kumar Y, Gupta KK, Sharma PP. Ocular Chemical Injuries
and Their Management. Oman Journal of Ophtalmology. 2013: Hlm 83-86.

5.  Clare, G., et al., Amniotic membrane transplantation for acute ocular burns.
Cochrane database of systematic reviews, 2012. 9: p. CD009379.
6.  Wagoner, M.D., Chemical injuries of the eye: current concepts in
pathophysiology and therapy. Survey of ophthalmology, 1997. 41(4): p. 275-
313.
7. Pfister RR, Pfister DA. Alkali injuries of the eye. Fundamentals of Cornea and
External Disease. Cornea. 2005. Vol 2: 1285-93.
8. Ventocilla M. Opthalmologic Approach to Chemical urns. Medscape. 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/1215950-overview#a5. Diakses pada:
Maret 2020
9. Houman D, Kathryn A. Colby. Treating Acute Chemical Injuries of the Cornea.
AAO. 2012.https://www.aao.org/eyenet/article/treating-acute-chemical-injuries-
of-cornea. Diakses pada: Maret 2020
10. Colby K. Focal Points. 2010;28(1):1-14.
11. Dohlman CH et al. Cornea. 2011;30(6):613-614.
12. Marchini G et al. Clin Experiment Ophthalmol. 2012;40(3):255-267.
13. Cade F et al. Cornea. 2011;30(12):1322-1327.

17
14. Trief D. Chodosh J. Colby K. Chang A. Chemical (Alkali and Acid) Injury of the
Conjunctiva and Cornea. AAO. 2020.
https://eyewiki.aao.org/Chemical_(Alkali_and_Acid)_Injury_of_the_Conjunctiv
a_and_Cornea Diakses pada: Maret 2020
15. Gupta, N., M. Kalaivani, and R. Tandon, Comparison of prognostic value of
Roper Hall and Dua classification systems in acute ocular burns. The British
journal of ophthalmology, 2011. 95(2): p. 194-8
16. Lin, M.P., et al., Glaucoma in patients with ocular chemical burns. American
journal of ophthalmology, 2012. 154(3): p. 481-485 e1.
17. Hughes, W., Alkali burns of the eye. I. Review of the literature and summary of
present knowledge. Archives of ophthalmology, 1946. 35: p. 423.
18. Roper-Hall, M.J., Thermal and chemical burns. Transactions of the
ophthalmological societies of the United Kingdom, 1965. 85: p. 631-53.
19.  Dua, H.S., A.J. King, and A. Joseph, A new classification of ocular surface
burns. The British journal of ophthalmology, 2001. 85(11): p. 1379-83.

18

Anda mungkin juga menyukai