Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KAJIAN ILMIAH PEMBERIAN ORAL

PENGARUH PRAPERLAKUAN PREDNISON TERHADAP


BIOAVAILABILITAS TEOFILIN PADA TIKUS WISTAR
JANTAN

NAMA KELOMPOK :

MATA KULIAH BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA


PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2018
I. TUJUAN PENELITIAN
I.1 Mengetahui pengaruh pra-perlakuan prednison terhadap profil
bioavailabilitas teofilin.

II. METODE PENELITIAN FARMAKOKINETIKA

II.1 Sampel yang dipergunakan :


- Prednison
- Teofilin murni standar farmasetis
- Asam trikloroasetat (TCA)10%
- Buffer asetat (asam asetat glasial, natrium asetat dan aquabidest)
- Asetonitril
- Heparin

II.2 Alat yang dipergunakan :


- Gelas beker
- Gelas uku
Tabung reaksi
- Labu taka
- Pipet tetes
- Pipet uku
- Pipet volume
- Propipet
- Mikropipet
- Batang pengaduk
- Spatul
- Neraca analitik
- Eppendrof
- Sentrifuge
- Spuit oral (ujung tumpul)
- Stopwatch
- Seperangkat alat HPLC.

II.3 Sampel yang digunakan


- Hewan uji yang dipergunakan adalah tikus putih jantan galur Wistar umur
2-3 bulan dengan berat 200-300 gr.

II.4 Penetapan kadar teofilin dalam darah


Penetapan kadar teofilin dalam darah menggunakan HPLC mengikuti metode
Wulandari (2011) dengan beberapa modifikasi dari peneliti. Modifikasi yang
dilakukan berupa :
- Perubahan fase gerak
- Perbandingan TCA-darah
- Kecepatan dan lama waktu sentrifugasi
- dan titik-titik pengambilan sampel.
A. Cara Penetapan Kadar Teofilin Dalam Darah :
Darah sebanyak 0,25 mL ditampung di tube yang telah diberi 3-4 tetes
heparin lalu dihomogenkan. Darah dipindahkan ke dalam tabung reaksi
dan ditambahkan 0,25 mL asam trikloroasetat kadar 10%, kemudian di-
vortex dan disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm dan
diambil beningannya sebanyak 240 μL untuk dimasukkan dalam vial
injektor dan diinjeksikan ke HPLC sebanyak 20 μL secara autoinjeksi.
Fase gerak yang digunakan adalah buffer asetat dan asetonitril (93:7)
dengan laju alir 1 mL/menit dan panjang gelombang 271 nm (Wulandari,
2011).

B. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum teofilin


Teofilin dilarutkan dalam fase gerak buffer asetat dan asetonitril (93:7)
dengan kadar 4 μg/mL kemudian dibaca pada spektrofotometer UV-Vis
pada batasan panjang gelombang 200-400 nm (Wulandari, 2011).

C. Penetapan waktu retensi dan selektivitas teofilin


Teofilin murni dilarutkan dalam fase gerak hingga konsentrasi 20 μg/mL.
Hasil larutan dimasukkan dalam vial injektor, diambil secara autoinjeksi
sebanyak 20 μl ke dalam HPLC dengan menggunakan kolom C18, fase
gerak buffer asetat dan asetonitril (93:7) pada laju alir 1 mL/menit dan
panjang gelombang maksimum yang sudah didapat sebelumnya,
kemudian ditetapkan waktu retensi dan selektivitas dari teofilin
(Wulandari, 2011).

D. Penetapan kurva baku kadar teofilin dalam darah


Dibuat larutan stok teofilin 400 μg/mL, 100 μg/mL, 50 μg/mL dan 10
μg/mL dalam aquabidest. Larutan stok 400 μg/mL dibuat dengan cara
menimbang 40 mg teofilin murni kemudian dilarutkan dalam aquabidest
sampai volume 100 mL. Larutan stok 100 μg/mL, 50 μg/mL dan 10
μg/mL dibuat dengan cara pengenceran dari stok 400 μg/mL. Diambil
sejumlah teofilin dari larutan stok kemudian ditambahkan dengan 0,25 mL
darah dan ditambahkan TCA 10% sejumlah 0,75 mL. Seri kadar teofilin
yang dibuat dalam darah adalah 0,5; 0,8; 1, 4, 6, 16, 20 dan 24 μg/mL.
Setelah itu, campuran di-vortex dan disentrifugasi selama 10 menit pada
kecepatan 2500 rpm, dan diambil larutan beningnya. Larutan bening
tersebut dimasukkan dalam vial injektor, diambil secara autoinjeksi
sebanyak 20 μl ke dalam HPLC dan diukur luas di bawah puncak
kromatogramnya, kemudian dibuat regresi linier antara kadar terhadap
luas di bawah puncak kromatogram teofilin (Wulandari, 2011).

E. Penetapan kriteria sensitivitas (LOD & LOQ)


Batas deteksi (Limit of Detection/LOD) adalah konsentrasi analit
terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan diidentifikasi
dengan tingkat kepastian tertentu, tapi belum tentu dapat dikuantitasi
(Anonim, 2009).
Batas kuantifikasi (Limit of Quantification/LOQ) adalah konsentrasi analit
terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi
yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang
digunakan.Batas deteksi dan batas kuantifikasi dapat dihitung melalui
persamaan regresi linier yang sudah didapat pada penetapan kurva baku.

F. Penetapan Kriteria Akurasi


Kadar teofilin dalam darah dibuat dengan konsentrasi 4,6, 16, 20, dan 24
μg/mL, kemudian diproses dengan menambahkan TCA 10%. Setelah
divortex dan di-sentrifuge selama 10 menit pada kecepatan 2500 rpm,
beningan diambil dan diinjeksikan sebanyak 20 μl pada HPLC,
direplikasikan sebanyak 3 kali. Akurasi adalah kedekatan yang dapat
diterima antara hasil sesungguhnya dan hasil aktual yang diperoleh.
Akurasi biasanya dievaluasi dengan menentukan nilai recovery atau
perolehan kembali (Ahuja, 2005) Perolehan kembali analit dalam
pengujian merupakan suatu respon detektor yang diperoleh dari jumlah
analit yang ditambahkan dan diekstraksi dari matriks, dibandingkan
dengan respon detektor terhadap konsentrasi sebenarnya dari standar
analit murni (Anonim, 2009).
Perolehan kembali dari suatu pengujian tidak harus mencapai 100%,
tetapi tingkat perolehan kembali harus konsisten untuk semua kadar yang
diujikan, presisi, dan reproducible, rentang penerimaan yang
diperbolehkan untuk metode HPLC adalah 100±15% (Anonim, 2009)

G. Penetapan Kriteria Presisi


Untuk mencari kesalahan acak, dari replikasi recovery sebanyak 3 kali
dicari rata-ratanya sebagai nilai simpangan baku.

H. Penetapan Stabilitas Teofilin Dalam Pelarut TCA


Dibuat kadar teofilin 18 μg/mL dalam darah dan ditambahkan TCA 10%,
kemudian di-vortex dan disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan
2500 rpm, diambil larutan beningnya. Larutan bening disimpan dalam
lemari pendingin selama 24, 48, dan 72 jam. Setelah itu, ditetapkan kadar
teofilin dengan HPLC pada jam ke-0, 24, dan 48. Hasil yang diperoleh
dinyatakan sebagai persen degradasi teofilin selama penyimpanan dalam
pelarut TCA.

I. Penetapan Dosis dan Waktu Sampling Teofilin


Dosis teofilin awal yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 mg/kg
BB (Wulandari, 2011). Setelah dilakukan optimasi waktu sampling
diketahui bahwa pada dosis tersebut konsentrasi teofilin dalam darah
pada jam ke 20 dan 24 berada di bawah nilai LLOQ, sehingga tidak
memenuhi batas sensitivitas metode. Oleh karena itu, dilakukan
peningkatan dosis menjadi 45 mg/kg BB tikus. Dosis Prednison yang
dipergunakan sebesar 3,6 mg/kg BB tikus yang merupakan hasil konversi
dari dosis manusia. Jadwal waktu pengambilan sampel darah dicuplik
dari vena lateralis ekor pada jam ke-0; 0,25; 0,5; 0,75; 1,0; 1,5; 2,0; 2,5;
3,0; 4,0; 6,0; 8,0; 10,0; 12,0, dan 24,0 (Wulandari, 2011)

J. Pengelompokkan Hewan Uji Menggunakan Tikus Putih Tantan Galur


Wistar, terdiri dari 2 kelompok, dipilih dengan mengikuti rancangan acak
lengkap pola searah, dan tiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus, untuk
kelompok I (kontrol) tikus diberikan rifampisin, sedangkan untuk
kelompok II (perlakuan) diberi pra perlakuan prednison selama 7 hari,
kemudian tersebut diberi perlakuan teofilin.
K. Uji Farmakokinetika
a. Kelompok kontrol Sebanyak 5 ekor tikus putih jantan diberi teofilin
secara oral dengan dosis 45 mg/kg BB. Pada jam ke-0, sebelum teofilin
dipejankan, dilakukan pencuplikan darah tikus terlebih dahulu
sebanyak 0,25 mL melalui vena lateralis ekor. Selanjutnya secara serial
sampel darah dicuplik pada jam ke-0,5; 0,75; 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; 6,0; 8,0;
10,0; 12,0; 15,0 dan 24,0. Sampel yang telah diolah kemudian disimpan
dalam lemari pendingin hingga dilakukan analisis kadar teofilin.
b. Kelompok perlakuan Sebanyak 5 ekor tikus putih jantan diberi
praperlakuan prednison dosis 3,6 mg/kg BB selama 7 hari kemudian
diberi teofilin dosis 45 mg/kg BB dan secara oral. Pada jam ke 0,
sebelum teofilin dipejankan, dilakukan pencuplikan darah tikus terlebih
dahulu sebanyak 0,25 mL melalui vena lateralis ekor. Selanjutnya
secara serial sampel darah dicuplik pada jam ke-0,5; 0,75; 1,0; 2,0; 3,0;
4,0; 6,0; 8,0; 10,0; 12,0; 15,0 dan 24,0. Sampel yang telah diolah
kemudian disimpan dalam lemari pendingin hingga dilakukan analisis
kadar teofilin.
III. KAJIAN MONOGRAFI OBAT
III.1 Teofilin
Teofilin merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit dan
mantap di udara. Teofilin mengandung tidak kurang dari 98,5 % dan tidak
lebih dari 101,5 % C7 H8N4O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan
(Anonim,1979).

Gambar 1. Struktur Kimia Teofilin (Anonim,1979)

Kelarutan dari teofilin yaitu : larut dalam lebih kurang 180 bagian air;lebih
mudah larut dalam air panas; larut dalam lebih kurang 120 bagian etanol
(95%) p, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam ammonia
encer P(Anonim, 1979).

Teofilin [(3,7-dihidro-1,3-di-metilpurin-2,6-(1H)-dion] atau 1,3-


dimetilxantinsalah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 8-15
mg/L darah. Potensi toksisitasnya telah diketahui berhubungan dengan
kadar teofilin utuh dalam darah yaitu >20 mg/L (Dollery, 1991). Rasio
ekstraksi hepatik teofilin termasuk rendah, yakni 0,09 (Shargel dan Yu,
2005), oleh karena itu, efek potensialnya ditentukan oleh keefektifan
sistem oksidasi sitokrom P450 di dalamhati (Dollery, 1991). Menurut
Rahmatini et al. (2004) teofilin dimetabolisme olehenzim mikrosom hepar
sitokrom P450 CYP 1A2.
Mekanisme kerja teofillin menghambat enzim nukleotida
siklikfosfodiesterase (PDE). PDE mengkatalisis pemecahan AMP siklik
menjadi 5’-AMP dan GMP siklik menjadi 5’GMP. Penghambatan PDE
menyebabkan penumpukan AMP siklik dan GMP siklik, sehingga
meningkatkan tranduksi sinyal melalui jalur ini. Teofilin merupakan
suatu antagonis kompetitif pada reseptor adenosin, kaitan khususnya
dengan asma adalah pengamatan bahwa adenosin dapat menyebabkan
bronkokonstriksi pada penderita asma dan memperkuat mediator yang
diinduksi secara imunologis dari sel must paru-paru (Goodman &
Gilman, 2007). Teofilin merupakan perangsang SSP yang
kuat,merelaksasi otot polos terutama bronkus ( Ganiswarna, 1995).

Dosis pemeliharaan untuk teofilin non-sustained release adalah 200-


300mg, 3-4 kali sehari atau 200-400mg, 2 kali sehari untuk sediaan
sustainedreleased. Kadar terapetik plasmanya adalah 5-20 mg/L.
Konsentrasi serum 10 –20 mcg/ml diperlukan untuk menghasilkan respon
bronkodilator optimum. Teofilin diabsorbsi dengan cepat dan lengkap,
sehingga kadar puncak serum dicapai kira-kira hanya 1 - 2 jam setelah
penggunaan oral. Volume distribusinya mencapai 0,5 L/kg dan mengikuti
model 2 kompartemen. Pada berat badan ideal, klirens teofilin rata-rata
0,04 L/kg/hari. Tetapi, sebenarnya angka ini sangatlah bervariasi karena
banyak hal yang dapat meningkatkannya, seperti kondisi obesitas,
merokok, diet dan penyakit hati. Begitu juga dengan t1/2 nya, dimana
pada pasien dewasa mencapai 8 jam (Winter, 2004). Dosis terapi teofilin
untukmanusia dalam sehari maksimal 300 mg (Dipiro, 2006)

Efek samping teofilin merupakan kelanjutan dari efek farmakologik.


Pada kadar serum sekitar 10 pg/ml yang merupakan efek terapi, pada
beberapa orang telah timbul efek samping ringan seperti mual, kadang-
kadang muntah atau sakit kepala. Pada kadar diatas 15 pg/ml efek
samping menjadi lebih berat, seperti takikardi. Sedangkan di atas 20
pg/ml dapat terjadi konvulsi (Sukasediati, 1988). Efek samping
terpenting berupa mual dan muntah, baik pada penggunaan oral maupun
rektal atau parenteral. Pada dosis berlebih terjadi efek-efek sentral
(gelisah, sukar tidur, tremor,dan konvulsi) dan gangguan pernafasan, juga
efekefek kardiovaskuler seperti takikardia, aritmia, dan hipotensi. Anak
kecil sangat peka terhadap efek samping teofilin. Dosis : oral 3-4 x sehari
125- 250 mg microfine (retard) (Tjay dan Raharja, 2007).

III.2 Prednison
Prednisolon merupakan serbuk hablur : putih atau hampir putih ;
tidak berbau; rasa pahit. Prednisolon mengandung tidak kurang dari
97,0% dan tidak lebih dari 102,0 % C 21H28O5. Sangat sukar larut dalam
air; agak sukar larut dalam etanol ( 95%) P dan dalam aseton P; sukar
larut dalam kloroform P ; larut dalam methanol P dan dalam dioksan P.

Gambar 2. Struktur Kimia Prednisolon (Anonim,1979)

Mekanisme Kerja : Deskripsi: Prednisolon menurunkan peradangan dengan menghambat


migrasi leukosit polimorfonuklear dan pembalikan peningkatan
permeabilitas kapiler. Ini menekan sistem kekebalan tubuh dengan
mengurangi aktivitas dan produksi limfosit dan eosinofil.
Farmakokinetik:
Absorpsi: Mudah diserap dari saluran pencernaan dengan
konsentrasi plasma puncak setelah 1-2 jam (oral); penyerapan awal
dipengaruhi oleh makanan.
Distribusi: Tidak aktif karena melintasi plasenta; memasuki ASI.
Protein-binding: Ekstensif.
Ekskresi: Melalui urin (sebagai metabolit bebas dan terkonjugasi); 1-2
jam (waktu paruh eliminasi).

Indikasi                                  : Insufisiensi adrenal, nefrotik sindrom,


penyakit kolagen, asma bronchial, penyakit jantung,
reumatik, leukemia limfositik, limfoma, edema
serebral, konjungt ifitis alergika,  otitis eksterna,
penyakit kulit.

Kontra indikasi                      : Infeksi jamur sistemik, hipersensitifitas,  hati-


hati pemberian pada penderita colitis  ulserasif,
insufisiensi ginjal, hipertensi, infeksi pirogenik

Interaksi obat                       : Fenitan, fenobarbital,  efedrin, rifampin,


meningkatkan bersihan obat ini. Merubah  respon
anti koagulan bila diberi bersama, kejadian 
hiperkakemia meningkat  bila diberi bersama
diuretika hemat kalsium.

Efek samping                         : Mual, penurun berat badan, jerawat, lemah,


menipisnya tulang, retensi cairan, ulkus
reptikum, bingung.

IV. HASIL INTERPRETASI PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT


Tabel 1. Data kadar teofilin dalam darah (μg/mL) pada kelompok kontrol dan
perlakuan (n=5)
IV.1Interpretasi Kadar maksimum dalam plasma (Cpmaks )
Cpmaks adalah konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi
obat maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Pada
konsentrasi maksimum, laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi. Pada
data di dapat hasil Cpmaks rata rata ± SE sebesar 24,428±2,013 untuk tikus
wistar jantan pada kelompok perlakuan, sedangkan untuk tikus wistar pada
kelompok control dengan rata rata ± SE sebesar 31,277±3,477. Hal ini
menunjukkan bahwa konsentrasi plasma puncak pada kelompok perlakuan
lebih besar daripada kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa praperlakuan prednison dosis 3,6 mg/70kg BB ternyata tidak
mempengaruhi Cpmaks dari teofilin jika dibandingkan dengan kontrol,
ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0,127 (p>0,05).
Cpmaks atau kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam
darah/serum/plasma. Nilai Cpmaksini umumnya juga digunakan sebagai tolok
ukur, apakah dosis yang diberikan cenderung memberikan efek toksik atau
tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi kadar
toksik minimal (KTM). Menurut hasil penelitian, Cpmaks pada pra perlakuan
pemberian prednison ternyata tidak berpengaruh pada Cpmaks teofilin. Sehingga
kombinasi kedua obat tersebut tergolong aman dan berada dibawah rentang
Kadar Toksik Minimal ( KTM )

IV.2 Interpretasi Waktu saat obat mencapai kadar maksimum dalam plasma
(tmax)
Menurut data pada jurnal,hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
praperlakuan prednison dosis 3,6 mg/kg BB ternyata mempengaruhi t max dari
teofilin jika dibandingkan dengan kontrol secara signifikan, ditunjukkan
dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 (p>0,05).
Hasil interpretasi data menurut hasil penelitian yakniberkaitan dengan
definisi dari tmaks adalah waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat
disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat
maksimum setelah pemberian obat. Menurut jurnal, terdapat pengaruh tmax
teofilin terhadap kontrol dan perlakuan. Penambahan prednison, ternyata
dapat mempercepat konsentrasi plasma mencapai puncak karena semakin
kecil waktu yang dibutuhkan bagi plasma untuk mencapai puncak. Hal ini
berkaitan dengan proses abrsopsi yang akan berlangsung jauh lebih cepat.
Nilai ini merupakan resultant dari kecepatan disolusi obat dari bentuk
sediaannya dari pelarutannya dalam lingkungan tempat absorpsi, proses
absorpsi itu sendiri, dan proses lebih jauh yang mungkin telah berlangsung,
yakni distribusi dan eliminasi. Semakin kecil tmax maka semakin sedikit waktu
dan hambatan yang dibutuhkan obat terabsorpsi dalam darah dan proses
eliminasi obat menjadi lebih cepat.

4.3 Interpretasi Area di bawah kurva (AUC)

Tabel 2. Kurva Kadar teofilin dalam darah tikus terhadap waktu pada kelompok
kontrol dan pra perlakuan prednisone

Area di bawah kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai


ukuran dari jumlah total obat utuh yang tidak berubah yang mencapai sirkulasi
sistemik dari t = 0 sampai t = ∞. Nilai AUC bergantung pada jumlah total obat
yang tersedia (FD0), tetapan laju eliminasi obat (K), klirens total dan volume
distribusi (Vd) (Shargel 2005) (Hakim 2011). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa nilai AUC0-∞ pada kelompok perlakuan lebih kecil
dibanding kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa praperlakuan
prednison dosis 3,6 mg/kg BB menurunkan nilai AUC0-∞ teofilin
dibandingkan dengan kontrol, tetapi secara tidak signifikan, ditunjukkan
dengan nilai probabilitas sebesar 0,016.
AUC merupakan parameter yang penting sebagai ukuran yang
menggambarkan jumlah obat di dalam tubuh, sehingga sering
dikaitkan  dengan efek farmakologi suatu obat. Dengan kata lain, setiap
perubahan  AUC dapat mencerminkan perubahan efek obat. Nilai ini
menggambarkan derajat absorpsi, yakni berapa banyak obat diabsorpsi dari
sejumlah dosis yang diberikan. Jadi pemberian prednison pada pra perlakuan
menurunkan nilai AUC sehingga derajat obat yang di absorpsi menjadi lebih
kecil. Hal ini disebabkan karena pengaruh tetapan kecepatan eliminasi yang
lebih cepat sehingga berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi kadar obat
yang mengakibatkan terjadi penurunan kadar obat yang terserap dalam darah.
Sehingga pemberian prednison terhadap kontrol perlakuan akan menurunkan
efek teofilin karena terjadinya penurunan kadar.

V. Model Interpreasi model farmakokinetika

Gambar 1. Grafik kurva baku AUC vs kadar teofilin dalam darah tikus Wistar secara in
vitro
Gambar 2. Kurva kadar teofilin dalam darah tikus terhadap waktu pada
kelompok kontrol dan praperlakuan prednisone

Dilihat dari data grafik kurva baku AUC vs kadar teofilin dalam darah tikus
Wistar secara in vitro dapat ditentukan farmakokinetiknyayaitu termasuk kedalam
model kompartemen 1 terbuka. Adapun persamaan kurva baku teofilin yang
diperoleh adalah y = 16515,81585 x – 5665,56072 ; dengan r = 0,999, dimana x
adalah kadar teofilin dalam darah dan y adalah luas area di bawah puncak
kromatogram (AUC) dari teofilin hasil pengukuran dengan HPLC. Sedangkan
setelah menggunakan panjang gelombang maksimum didapatkan grafik pada
gambar 2 yang menunjukan model kompartemen 2 terbuka karena pada grafik
tersebut terdapat dua fase yaitu fase distribusi dan fase eliminasi.
KESIMPULAN
Pada Jurnal Penelitian ini Pengaruh praperlakuan prednison terhadap
bioavailabilitasTeofillin pada tikus wistar jantan Praperlakuan prednison dosis
3,6 mg/kg BB secara oral dengan frekuensi 1 kali sehari selama 7 hari pada tikus
putih jantan galur Wistar dapat mempengaruhi tmaks teofilin secara bermakna,
yaitu mengalami penurunan sebesar 51,19% (p<0,05).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta.

Ahuja, S., Dong, M.W., 2005, Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC,


Elsevier Inc., London

Arronson, J.K., 2005, Meyler’s Side Effects of Drugs, Fifteenth Edition, Elsevier,
United Kingdom, 3361-3370

Bauer, L.A., 2008, Applied Clinical Pharmacokinetics, Second Edition, The


McGraw-Hill Companies Inc., New York
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition,
The McGraw-Hill Companies, Inc., USA

United Nations Publication, 2009 Guidance for the Validation of Analytical


Methodology and Calibration of Equipment used for Testing of Illicit
Drugs in Seized Materials and Biological Specimens, United Nations
Publication, New York

Hakim, L., 2011, Farmakokinetik, Bursa Ilmu, Yogyakarta

Shargel, L., Pong, S.W., Yu, A.B.C., 2004, Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics, Fifth Edition, McGraw Hill’s, New York

Rowe, Raymond C; Sheskey, Paul J; Quinn, Marian E. 2009. Handbook of


Pharmaceutical Exipient Sixth Edition. Pharmaceutical Press and
American Pharmacists Association. USA.

Anda mungkin juga menyukai