Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengetahuan tentang khasiat dan keamanan tanaman obat di Indonesia

selama ini berdasarkan pengalaman empiris yang diwariskan secara turun temurun

dan belum teruji secara ilmiah. Penelitian tentang tanaman obat perlu dilakukan

sehingga dapat digunakan dengan aman dan efektif. Uji toksisitas akut merupakan

salah satu uji pra klinik untuk mengukur keamanan atau efek toksik suatu

senyawa yang terjadi dalam waktu singkat yaitu 24 jam setelah pemejanan dosis

tunggal. Tujuan utama dilakukan uji toksisitas akut adalah untuk mendapatkan

gambaran potensi toksisitas suatu zat beracun atau sediaan uji (Donatus, 2005).

Jahe merupakan salah satu tanaman obat di Indonesia yang memiliki nilai

ekonomis tinggi dan memiliki banyak khasiat. Jahe banyak digunakan dalam

industri kosmetik, farmasi dan makanan. Jahe memiliki efek sebagai

antiinflamasi, antipiretik, gastroprotective, cardiotonic, dan antihepatoksik

(Bhattarai dkk., 2001; Jolad dkk., 2004), antioksidan, antikanker, antiangiogeneis

dan antiartherosklerotik (Shukla dan Singh, 2007). PT. Dexa Medica inilah salah

satu industri yang memanfaatkan jahe untuk pengobatan.

Jahe mengandung komponen berupa minyak atsiri jahe dan komponen

kimia gingerol dan shogaol. Nilai LD50 berdasar penelitian Zhou dkk. (2005) pada

mencit sebesar 3,197 (2,907–3,515) g/kgBB. Penelitian toksisitas akut gingerol

dan shogaol dilakukan oleh Suekawa dkk. (1984) pada mencit dengan LD 50

gingerol sebesar 250,0 (215,2-290,4) mg/kg (per oral). LD50 shogaol sebesar

1
2

687,0 (528,1-893,7) mg/kg (per oral). Penelitian toksisitas akut pada tikus belum

pernah dilakukan. Selain itu senyawa gingerol dalam ekstrak etanolik rimpang

jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) lebih dapat memberikan efek toksik

dalam dosis tertentu daripada shogaol. Oleh karena itu perlu adanya penelitian

terhadap ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) pada

tikus untuk melihat adanya gejala klinis berupa efek toksik yang timbul karena

senyawa yang terkandung di dalamnya.

Ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) dari

PT. Dexa Medica dalam produk DLBS5447 akan dijadikan untuk pengobatan

baik dalam bentuk obat herbal terstandar maupun fitofarmaka. Berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) No.

761/MENKES/SK/IX/1992 tentang pedoman fitofarmaka bahwa pengujian

standar ekstrak tumbuhan sebagai fitofarmaka meliputi uji toksisitas, uji efek,

farmakologik, uji klinik, uji kualitas dan pengujian lain yang dipersyaratkan

(Anonim, 1992).

Uji toksisitas akut merupakan prasyarat formal keamanan calon

fitofarmaka (obat) untuk pemakaian pada manusia. Secara ideal uji toksisitas akut

dilakukan pada beberapa jenis hewan, sekurang-kurangnya jenis hewan pengerat

yang dalam hal ini menggunakan tikus sebagai hewan uji. Calon fitofarmaka yang

diuji toksisitas akut perlu diupayakan kesetaraan pemberiannya pada manusia.

Spektrum efek toksik yang perlu mendapat perhatian khusus adalah kemungkinan

adanya efek toksik pada sistem organ vital seperti kardiovaskuler, susunan saraf,

gastrointestinal, pernafasan, dan lain-lain (Anonim, 1992). Hasil dari uji toksisitas
3

akut yang berupa nilai LD50 cut off akan menjadi dasar dari penetapan dosis

pemberian sediaan uji yang tidak menimbulkan ketoksikan akut pada manusia.

Penelitian ini dilakukan menggunakan hewan uji tikus jantan galur Wistar

dengan paparan dosis bertingkat berdasar metode OECD Guideline 423 untuk uji

toksisitas akut senyawa kimia. Jika belum dilakukan penelitian mengenai

toksisitas maka dilakukan dengan dosis awal 300 mg/kgBB. Namun dalam hal ini

sudah dilakukan penelitian terhadap mencit dengan LD50 per oral hingga 687

mg/kgBB. Oleh karena itu berdasar OECD Guideline 423 dilakukan uji toksisitas

pada tikus dengan dosis awal di atas 687 mg/kgBB yakni dengan dosis 2000

mg/kgBB. Dosis awal 2000 mg/kgBB diprediksi dapat menyebabkan kematian

uji. Hasil penelitian ini berupa pengamatan gejala klinis pada 24 jam pertama

yang ditimbulkan secara fisik maupun yang timbul pada organ dalam setelah

pemejanan sediaan uji. Hasil penelitian ini juga dapat menentukan berapa besar

potensi ketoksikan akut dari sediaan uji ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar

(Zingiber majus Rumph) dalam produk DLBS5447.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut.

1. Berapa besarkah potensi ketoksikan akut (LD50 cut off) akibat pemberian

secara oral dari ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus

Rumph) pada tikus jantan galur Wistar?


4

2. Apa saja gejala klinis yang ditimbulkan akibat pemberian oral ekstrak

etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) pada tikus jantan

galur Wistar?

3. Apakah wujud efek toksik dilihat dari gambaran histopatologi organ hati,

pankreas, ginjal, dan lambung pada tikus jantan galur Wistar?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Potensi ketoksikan akut (LD50 cut off) akibat pemberian secara oral dari

ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) pada

tikus jantan galur Wistar.

2. Gejala toksik yang ditimbulkan akibat pemberian secara oral ekstrak etanolik

rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) pada tikus jantan galur

Wistar.

3. Pengaruh pemberian secara oral ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar

(Zingiber majus Rumph) terhadap gambaran histopatologi organ hati,

pankreas, ginjal, dan lambung.

D. Tinjauan Pustaka

1. Ekstrak Etanolik Rimpang Jahe Putih besar (Zingiber majus Rumph)

Ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph)

merupakan ekstrak yang dihasilkan dari Dexa Laboratories of Biomolecular

Sciences (DLBS) PT. Dexa Medica Indonesia dalam produk DLBS5447. Sifat
5

dan karakteristik serta identitas dari produk tersebut terdapat dalam

Certificate of Analysis dari PT. Dexa Medica.

a. Rimpang Zingiber majus Rumph

Berdasarkan Medicinal Herb Index in Indonesia, Zingiber majus

Rumph sama dengan Zingiber officinale (jahe) (Anonim, 1986). Menurut

Rumphius dalam bukunya Herbarium Amboinense, Zingiber officinale

Rosc. dibagi menjadi 2 jenis yaitu Zingiber majus (rimpang besar) dan

Zingiber minus (rimpang kecil) (Merril, 1917). Jahe (Zingiber officinale

Rosc.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam suku Zingiberaceae.

Officinale merupakan bahasa latin (officina) yang berarti digunakan dalam

farmasi atau pengobatan (Janson, 1981).

Di Indonesia dikenal 3 varietas jahe yakni jahe merah (Z. officinale

var. rubrum), jahe putih kecil (Z. officinale var. amarum), dan jahe putih

besar (Z. officinale var. officinale). Ketiga jenis jahe tersebut memiliki

perbedaan morfologi pada ukuran dan warna kulit rimpang (Rostiana

dkk.., 1991), akar, batang, kadar minyak atsiri, kadar pati dan kadar serat

(Bermawie, 2003). Jahe merah memiliki rimpang yang berwarna merah

dan lebih kecil daripada jahe putih kecil. Jahe putih kecil memiliki ruas

yang kecil sedang jahe putih besar rimpangnya lebih besar dan ruasnya

lebih menggembung daripada jahe putih kecil (Anonim, 1978).

Rimpang Zingiber majus dalam produk DLBS5447 menurut

Rumphius merupakan jahe putih besar. Menurut Materia Medika di antara

tiga jenis jahe di Indonesia yang memiliki rimpang besar adalah jenis jahe
6

putih besar (Anonim, 1978). Oleh karena itu dalam produk DLBS5447

adalah berupa ekstrak etanol 70% dari rimpang jahe putih besar (Zingiber

majus Rumph).

Kandungan kimia dari ekstrak etanol 70% dari jahe (Zingiber

officinale Rosc.) berdasarkan Monograph of Indonesian Medicinal Plant

Extracts adalah sebagian besar komponen volatile yaitu zingiberen dan

zingiberol. Kandungan lain berupa komponen non-volatile yaitu gingerol

dan shogaol (Anonim, 2004).

b. Sifat fisik dan kimia

Serbuk ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar berwarna kuning

pucat kecoklatan berbau khas dengan rasa pedas. Sedikit larut dalam air

dan etanol 96%. Susut pengeringan sebesar 1,99%. Total kadar abu

sebesar 5,11%. Identifikasi komponen pada ekstrak etanolik rimpang jahe

putih besar (Zingiber majus Rumph) dengan kromatografi lapis tipis

menunjukkan adanya bercak berwarna kecoklatan pada Rf ±0,30; 0,40;

0,50; dan 0,60 yang sama dengan larutan standarnya. Kandungan gingerol

sebanyak 1,01% dan shogaol sebesar 0,64%.

Gambar 1. Serbuk ekstrak etanolik jahe putih besar (Zingiber majus Rumph)
7

c. Kandungan mikroba

Kontaminasi bahan pangan maupun obat-obatan dapat terjadi akibat

adanya pertumbuhan mikroba bakteri, kapang, dan khamir yang dapat

menyebabkan kerusakan pada bahan. Hasil uji mikroba pada ekstrak

etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) menunjukkan

jumlah angka total mikroba aerob sebesar ≤104 cfu/g dan angka total yeast

dan jamur sebesar ≤103 cfu/g. Selain itu ekstrak etanolik rimpang jahe

putih besar (Zingiber majus Rumph) menunjukkan hasil negatif terhadap

bakteri Eschericia coli, Salmonella sp, Staphylococcus aureus,

Pseudomonas aeruginosa.

d. Uji residu kontaminan

Adanya residu kontaminan logam berat maupun pestisida dalam

tanaman atau ekstrak dapat menyebabkan toksik pada tanaman. Dalam

ekstrak etanolik rimpang rimpang jahe putih besar (Zingiber majus

Rumph) berdasarkan COA (Certificate of Analysis) menunjukkan tidak

adanya logam berat dan pestisida yang terkandung dalam ekstrak.

2. Toksikologi

a. Definisi toksikologi

Toksikologi memiliki definisi yang bermacam-macam. Menurut

Hodgson (2004), toksikologi didefinisikan sebagai cabang ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan racun. Racun sendiri dapat

didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat menimbulkan efek berbahaya


8

bagi organisme hidup apabila terpejani, baik secara sengaja atau tidak

sengaja.

Secara sederhana dan ringkas, toksikologi didefinisikan sebagai

kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan

terhadap makhluk hidup dan sistem biologiknya (Lu, 1995). Toksikologi

menurut Priyanto (2009) adalah suatu ilmu yang mempelajari efek

merugikan dari zat kimia, baik saat digunakan ataupun berada di

lingkungan, dan diutamakan dampaknya pada manusia, baik yang masuk

secara sengaja atau tidak sengaja.

Toksikologi juga didefinisikan sebagai ilmu tentang aksi

berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologi. Definisi ini

mengandung makna bahwa objek yang dipelajari dalam toksikologi

adalah antaraksi suatu senyawa kimia atau senyawa kimia atau senyawa

asing dengan suatu sistem biologi atau makhluk hidup. Adapun pusat

perhatiannya ada pada pengaruh berbahaya racun atas kehidupan

makhluk hidup (Priyanto, 2009).

b. Asas umum toksikologi

Asas umum toksikologi merupakan faktor-faktor yang

mempengaruhi timbulnya efek toksik. Peristiwa timbulnya pengaruh

berbahaya atau efek toksik racun terhadap makhluk hidup melalui

beberapa proses. Setelah mengalami pemejanan dengan racun kemudian

akan mengalami absorpsi dari tempat pemejanannya dan akan


9

terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada

dalam diri makhluk hidup (Donatus, 2005).

Adanya alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat

asas utama yang menjadi asas umum toksikologi dan perlu dipahami

dalam mempelajari toksikologi. Empat asas umum toksikologi tersebut

meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi,

wujud, dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus,

2005). Asas umum toksikologi ini bertujuan untuk mengevaluasi

keberbahayaan suatu zat, untuk menentukan dan memperkirakan batas

keamanan suatu zat bila mengenai manusia serta cara-cara

menggunakannya supaya tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto,

2009).

Menurut Donatus (2001), pemahaman mengenai kondisi

pemejanan dan kondisi makhluk hidup akan mempermudah dalam

menghayati aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan

suatu senyawa. Pemahaman mengenai mekanisme aksi akan

mempermudah dalam menghayati penyebab timbulnya efek toksik.

Pemahaman mengenai wujud dan sifat efek toksik mempermudah dalam

menghayati respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa dan tolok

ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif toksisitas suatu senyawa dapat

dengan mudah dihayati dengan memahami kekerabatan (hubungan erat)

antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik.


10

1) Kondisi efek toksik dan kondisi makhluk hidup

Kondisi efek toksik merupakan keadaan atau faktor yang

mempengaruhi efektivitas absorpsi, distribusi, dan eliminasi suatu

senyawa di dalam tubuh, sehingga akan menentukan keberadaan zat

kimia utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran atau keefektifannya

dengan sel sasaran (Priyanto, 2009).

Menurut Donatus (2001) kondisi paparan zat kimia meliputi

jenis, jalur, lama dan kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Ada dua

jenis pemejanan yaitu akut dan kronis yang berkaitan erat dengan

lama dan kekerapan pemejanan, yang merupakan batas kurun waktu

pemejanan terhadap makhluk hidup. Keduanya dapat mempengaruhi

wujud dan toksisitas racun.

Kondisi makhluk hidup merupakan keadaan fisiologi dan

patologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun pada sel

sasaran dan keefektifan antaraksi antara kedua ubahan tersebut

(Donatus, 2005).

2) Mekanisme efek toksik

Pengetahuan mengenai mekanisme efek toksik berfungsi untuk

mengetahui penyebab timbulnya keracunan, yang dikaitkan dengan

keberadaan wujud dan sifat efek toksik. Mekanisme efek toksik terdiri

dari: a) mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian yang terdiri

atas mekanisme luka intrasel (langsung) dan luka ekstrasel (tidak

langsung), b) mekanisme berdasarkan interaksi racun dan tempat


11

aksinya yang terbagi ke dalam interaksi terbalikkan dan tak

terbalikkan, dan c) mekanisme berdasarkan risiko penumpukan dalam

gudang penyimpanan (sekuestrasi fisik) (Donatus, 2005).

Sekuestrasi fisik digambarkan berupa penumpukan senyawa

yang sangat lipofil dan sulit melakukan metabolisme oleh tubuh di

dalam gudang penyimpanan kompartemen lemak. Peristiwa

penumpukan seperti ini relatif tidak berbahaya, karena senyawa

tersebut dalam keadaan tidak aktif di dalam gudang penyimpanan.

Namun perlahan-lahan senyawa bisa terlepas ke sirkulasi dan

meningkatkan kadarnya yang ada di dalam cairan tubuh. Jika kadar

tersebut melebihi KTM (Kadar Toksik Minimal) tentunya akan timbul

efek toksik yang tidak diinginkan. Mekanisme aksi toksik ini disebut

resiko penumpukan suatu senyawa. Gudang-gudang tempat

penyimpanan dalam tubuh meliputi protein plasma, lemak, hati, ginjal,

dan tulang (Donatus, 2005).

Mekanisme luka intrasel yaitu luka sel yang diawali oleh aksi

racun pada tempat aksinya di dalam sel. Suatu zat kimia induk atau

metabolitnya dapat berinteraksi dengan sasaran molekuler baik secara

khas maupun tak khas melalui salah satu dari beberapa mekanisme

reaksi kimia yang memungkinkan seperti reaksi pendesakan, ikatan

kovalen, peroksidasi, substitusi dan sebagainya (Donatus, 2005).

Mekanisme luka ekstrasel yaitu mekanisme suatu zat kimia

induk ataupun metabolitnya yang beraksi di lingkungan luar sel


12

sehingga mampu mengganggu atau mengacaukan sistem pemenuhan

kebutuhan metabolik dasar dan pengaturan sel. Manifestasi dari

mekanisme yang timbul adalah seperti gangguan pasokan oksigen,

suplai makanan, suplai cairan ke sel dan dapat menyebabkan

gangguan sistem pengaturan saraf, endokrin, maupun kekebalan atau

sistem imun (Donatus, 2005).

Sel akan merespon dengan adaptasi untuk melakukan

perbaikan ketika sel mengalami gangguan akibat berinteraksi dengan

senyawa toksik yang disebut respon pertahanan. Jika respon

pertahanan tidak mampu meminimalkan gangguan yang ada, maka

akan timbul efek toksik. Dampak (wujud) efek toksik dapat berupa

perubahan atau kekacauan biokimiawi, fungsional, dan struktural yang

bersifat reversible ataupun irreversible (Priyanto, 2009).

3) Wujud efek toksik

Wujud efek toksik dapat berwujud perubahan fisiologi

(fungsional), biokimia, dan struktural. Perubahan ini memiliki sifat

khas terbalikkan dan tak terbalikkan (Donatus, 2005). Respon

perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun dengan

reseptor atau tempat aktif enzim yang terbalikkan sehingga

mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2005). Respon

perubahan fungsional ini antara lain berupa anoreksia, gangguan

pernapasan, gangguan sistem saraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper

atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit,


13

hiper atau hipotermi, dan perubahan kontraksi atau relaksasi otot

(Priyanto, 2009).

Respon perubahan biokimia merupakan perubahan biokimia

terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang

terbalikkan. Contoh dari perubahan biokimia ini antara lain

penghambatan respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan

elektrolit, serta gangguan pasokan energi (Priyanto, 2009).

Respon perubahan struktural ditandai dengan adanya tahap

awal yang berupa perubahan fungsional atau biokimiawi (Priyanto,

2009). Respon perubahan ini meliputi degenerasi, proliferasi, dan

inflamasi. Perubahan degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel

(sering dijumpai berupa penumpukan air dan lemak), serta nekrosis.

Perubahan berupa proliferasi meliputi hiperplasia, metaplasia, dan

displasia. Perubahan inflamasi berupa inflamasi (peradangan) dan

perbaikan (Donatus, 2005).

4) Sifat efek toksik

Sifat efek toksik dibedakan menjadi terbalikkan (reversible)

dan tak terbalikkan (irreversible). Efek toksik yang terbalikkan adalah

apabila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu

telah habis maka reseptor akan kembali kepada keadaan semula, efek

toksik yang ditimbulkan akan kembali kepada kondisi normal,

toksisitas racun tergantung pada takaran serta kecepatan absorpsi,

distribusi dan eliminasi racun (Priyanto, 2009).


14

Efek toksik yang tak terbalikkan adalah apabila kerusakan

yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan

menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga menimbulkan

terjadinya penumpukan efek toksik sehingga efek yang ditimbulkan

antara pemejanan dengan takaran kecil jangka panjang sebanding

dengan pemejanan dosis besar jangka pendek. Zat atau racun yang

dapat menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang

terakumulasi atau sangat sulit dieliminasi (Priyanto, 2009).

c. Uji toksisitas

Uji toksisitas atau uji toksikologi sangat penting dalam

pengembangan suatu obat baru untuk memastikan keamanannya

sehingga aman dikonsumsi manusia. Selain uji keamanan juga dilakukan

uji efektivitas dan mutu dari zat atau obat baru yang akan

deikembangkan. Uji yang dilakukan berupa skrining guna mencari

senyawa aktifnya, dilanjutkan uji efektivitas dan mekanisme kerja pada

hewan coba maupun mikroba. Setelah dinyatakan mempunyai aktifitas

farmakologi tertentu, zat yang dimaksud akan menjalani serangkaian tes

keamanan pada hewan coba (Priyanto, 2009).

Uji toksisitas inilah yang merupakan salah satu bagian dari uji pra

klinik yang dilakukan pada hewan uji untuk tes keamanan suatu obat

baru yang akan dikembangkan. Penelitian toksikologi menggunakan

hewan uji ini merupakan sumber data utama bagi evaluasi toksikologi

karena mengungkapkan serangkaian efek akibat pemejanan zat toksik


15

pada berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi serta

menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh, atau toksisitas

khusus yang muncul (Lu, 1995).

Tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan

dosis suatu sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala

toksik pada organ atau jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif

antara dosis yang diberikan dengan terjadinya perubahan fisiologis, dan

morfologi suatu organisme, serta melakukan monitoring terkait variasi

hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji (Donatus, 2005).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hewan uji saat uji toksikologi

adalah sebagai berikut dalam tabel I.

Tabel I. Faktor-faktor yang mempengaruhi hewan uji (Hurni, 1970)


Aspek Faktor Jenis
Genotip Status Fisiologi Umur, kematangan, daur estrus,
bunting, laktasi
Lingkungan Musim, suhu, kelembaban, tekanan
barometrik, kandungan udara, sirkulasi
udara, muatan listrik, intensitas
cahaya, spektrum cahaya, daur cahaya,
makanan (komposisi, kuantitas, cara
pemberian), kandang (ukuran, bahan,
bentuk), alas (sumber, kuantitas,
kekerapan, penggantian), penanganan
(kontak fisik, kegaduhan personel)
Kesehatan Defisiensi, kekebalan spontan, dan
buatan
Fenotip Pre-perlakuan Pemindahan, pengelompokan ulang,
adaptasi, recovery
Dramatip Pre-uji dan lain-
lain

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas khas dan tak khas

(Donatus, 2005). Uji toksisitas khas bertujuan untuk mengevaluasi secara

rinci efek yang khas dari suatu zat beracun pada aneka ragam hewan uji.
16

Termasuk dalam uji toksisitas khas adalah uji potensiasi, uji

karsinogenesis, uji mutagenesis, uji teratogenik, reproduksi, kulit dan

mata, serta perilaku (Donatus, 2005).

Uji toksisitas tak khas bertujuan untuk mengevaluasi keseluruhan

efek toksik suatu zat beracun pada aneka ragam hewan uji. Termasuk

dalam uji toksisitas tak khas adalah uji toksisitas kronis, sub kronis, dan

akut (Priyanto, 2009).

Uji toksisitas akut yaitu uji toksisitas yang dirancang untuk

mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi

oleh hewan uji yang hasilnya diekstrapolasi pada manusia. Pengamatan

dilakukan selama 24 jam kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari.

Uji toksisitas subkronis atau disebut juga subakut yaitu uji toksisitas

senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu.

Pengamatan dilakukan dengan 3 dosis selama 4 minggu-3 bulan dan

dengan 2 spesies yang berbeda. Uji toksisitas kronis menggunakan

hewan rodent dan non rodent selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan

dengan uji toksisitas subkronis terletak pada lamanya pemberian atau

pemejanan takaran dosis sediaan uji, masa pengamatan dan

pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji toksisitas kronis diperlukan jika

obat nantinya akan digunakan dalam waktu yang cukup panjang

(Priyanto, 2009).
17

3. Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut termasuk dalam uji toksisitas tak khas yang

dikerjakan dengan pemberian dosis tunggal sediaan uji pada satu atau lebih

hewan uji tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Kasus tertentu

pengamatannya dapat dilakukan selama 7-14 hari (Donatus, 2005). Tujuan

utama dilakukan uji toksisitas akut adalah untuk mendapatkan gambaran

potensi toksisitas suatu zat beracun (sediaan uji) dalam suatu hubungan

korelasi antara dosis dan respon (Donatus, 2005). Tolok ukur yang dipakai

dalam uji ini adalah tolok ukur kualitatif dan kuantitatif. Tolok ukur kualitatif

meliputi gambaran klinis, wujud, dan mekanisme efek toksik. Gambaran dari

tolok ukur kualitatif yang dapat diamati misalnya berat badan, nafsu makan,

keadaan mata dan bulu, tingkah laku, dan sebagainya. Tolok ukur kuantitatif

berupa jumlah kematian hewan uji yang akan digunakan untuk menghitung

besarnya dosis letal (LD50) dan dosis toksik tengah (TD50) (Donatus, 2005).

Secara umum ada tiga metode tradisional untuk menentukan TD50

yaitu metode grafik Lithfield dan Wilcoxon, metode kertas grafik probit

logaritma Tainter-Miller, dan metode rata-rata bergerak Thompson-Weil yang

berdasarkan pada hubungan peringkat dosis dan persen respon. Ketiga

metode tersebut menekankan pada adanya kematian hewan uji sebagai titik

akhir dalam menentukan LD50 (Barile, 2008).

Metode yang dikembangkan saat ini adalah metode OECD Guideline

for Testing of Chemicals 423. Prosedur OECD ini reproducible dan

menggunakan hewan uji yang sangat sedikit dan juga bertahap. Setiap
18

langkah digunakan 3 hewan uji dan rata-rata diperlukan 2 sampai 4 langkah

untuk mempertimbangkan toksisitas akut dari zat kimia bahan uji tergantung

pada kematian dan atau keadaan hewan uji yang hampir mati (Anonim,

2001).

Perhitungan dari metode ini berupa suatu nilai perkiraan (cut off)

karena tidak memungkinkan perhitungan dari LD50 yang tepat. Dalam

penentuan LD50 perlu dipilih setidaknya 2 kelompok dosis yang mampu

menyebabkan kematian lebih tinggi dari 0% dan lebih rendah dari 100%.

Penggunaan jumlah hewan uji dan dosis sudah ditetapkan dalam metode

OECD. Metode ini tidak hanya memperhatikan jumlah kematian hewan uji

tetapi juga memperhatikan gejala-gejala klinis keracunan yang terjadi pada

hewan uji. Metode ini menggunakan suatu tingkat dosis tetap untuk

mengklasifikasikan tingkat toksisitas suatu senyawa. Tingkat dosis awal

dipilih berdasarkan studi pengamatan sebagai dosis yang diharapkan dapat

menimbulkan kematian pada beberapa hewan uji (Anonim, 2001).

Pemejanan sediaan uji diupayakan diberikan dalam single dose tetapi

jika tidak memungkinkan dapat dilakukan pemejanan berulang dalam waktu

24 jam dengan tetap memperhatikan volume maksimal yang dapat diberikan

kepada hewan uji. Selanjutnya dilakukan pengamatan secara intensif terhadap

hewan uji selama 3-4 jam awal setelah pemejanan dan dilakukan pengamatan

setiap hari selama 14 hari (Anonim, 2001).

Pengamatan gejala toksik secara kualitatif yang mungkin muncul

dilakukan secara intensif selama 4 jam pertama setelah pemberian sediaan uji,
19

dilanjutkan selama 14 hari pada tikus yang tidak mengalami kematian pada

24 jam pertama setelah pemberian sediaan uji. Pengamatan secara

mikroskopis dilihat dari kerusakan terhadap fungsi organ vital hewan uji yang

disebabkan oleh pemberian sediaan uji. Kerusakan terhadap organ vital

hewan uji dapat diketahui dari hasil pengamatan histopatologi masing-masing

organ.

Pengujian toksisitas akut oral metode OECD Guideline 423 dilakukan

dengan memejankan sediaan uji dengan tingkatan dosis tertentu (starting

dose) pada sekelompok hewan uji yang terdiri atas tiga ekor hewan uji dari

galur dan jenis kelamin yang sama. Apabila selama masa pengujian terdapat

dua atau tiga kematian hewan uji dalam satu kelompok, maka pengujian

dilanjutkan dengan penurunan tingkatan dosis pemejanan pada sekelompok

hewan uji yang baru. Namun apabila terjadi satu atau tidak ada kematian

hewan uji, maka pengujian dilanjutkan dengan melakukan pemejanan pada

tingkatan dosis yang sama kepada kelompok hewan uji yang baru

(pengulangan tingkatan dosis). Apabila pada pengulangan terjadi satu atau

tidak terjadi kematian hewan uji, maka pengujian dilanjutkan dengan

menaikkan tingkatan dosis pada sekelompok hewan uji baru dan seterusnya.

Gambaran secara skematis cara pengujian toksisitas akut oral metode OECD

Guideline 423 dapat dilihat pada lampiran 11.

Berdasarkan jumlah kematian hewan uji tiap kelompok, OECD

Guideline 423 mengklasifikasikan suatu senyawa ke dalam kategori sebagai

berikut:
20

a. Kategori 1, yaitu senyawa yang memiliki nilai LD50 pada kisaran >0-5

mg/kgBB hewan uji.

b. Kategori 2, yaitu senyawa yang memiliki nilai LD50 pada kisaran >25-50

mg/kgBB hewan uji.

c. Kategori 3, yaitu senyawa yang memiliki nilai LD 50 ada kisaran >200-300

mg/kgBB hewan uji.

d. Kategori 4, yaitu senyawa yang memiliki nilai LD50 pada kisaran >500-

2000 mg/kgBB hewan uji.

e. Kategori 5, yaitu senyawa yang memiliki nilai LD50 pada kisaran >2500-

5000 mg/kgBB hewan uji.

f. Kategori 5 atau tidak terklasifikasi, yaitu senyawa yang memiliki nilai

LD50 >5000 mg/kgBB hewan uji.

Nilai LD50 dapat dihubungkan dengan nilai ED50 (dosis yang dapat

memberikan efek terapetik pada 50% populasi) untuk menentukan IT (Indeks

Terapi). Indeks Terapi yaitu perbandingan antara dosis yang dapat

menimbulkan kematian dengan dosis yang dapat memberikan efek terapi.

Jika rasionya besar, obat dianggap relatif aman. Selain itu LD50 memiliki

kegunaan untuk mengetahui hubungan antara dosis dengan timbulnya efek

seperti perilaku dan kematian, mengetahui gejala-gejala toksisitas akut yang

bermanfaat dalam diagnosis adanya keracunan, memenuhi persyaratan

regulasi jika zat uji akan dikembangkan menjadi obat (Priyanto, 2009).

Uji toksisitas akut memberikan informasi tentang pengaruh umur,

jenis kelamin, cara pemberian, dan faktor lingkungan terhadap toksisitas


21

suatu obat, mengetahui variasi respon antar spesies dan antar strain (hewan,

mikroba) serta adanya reaktivitas suatu populasi hewan (Priyanto, 2009).

Selama uji toksisitas akut dilakukan pengamatan terhadap hewan uji meliputi

pengamatan fisik, perubahan berat badan, dan kondisi patologi. Pengamatan

fisik mencakup perubahan pada kulit dan bulu, mata dan selaput lendir,

pernafasan, peredaran darah, sistem saraf otonom dan pusat, dan aktivitas

somatomotor, dan pola perilaku. Di akhir uji, hewan yang hidup dikorbankan

secara lazim kemudian dilakukan pemeriksaan makroskopik dan bila perlu

pemeriksaan mikroskopik organ (histopatologi) terhadap organ-organ vital

(Anonim, 2001).

4. Anatomi dan Fisiologi Organ

a. Hati

Hati merupakan kelenjar tubuh paling besar dan khas karena

memiliki multi fungsi kompleks, misalnya ekskresi (metabolit), sekresi

(empedu), penyimpanan (glikogen, Vitamin A & D), sintesis protein,

detoksifikasi dan mengatur penyimpanan serta distribusi asam lemak dan

trigliserida (Widmann, 1989).

Hati berperan pada hampir setiap metabolisme tubuh sehingga

berfungsi untuk mempertahankan hidup. Ada empat macam fungsi utama

hati yaitu: a. fungsi metabolik, b. pembentukan dan ekskresi empedu, c.

fungsi vaskuler, dan d. fungsi pertahanan tubuh. Salah satu faktor

penyebab kerusakan hati antara lain adanya senyawa asing yang bersifat

toksik, mikroorganisme, hepatoksin, maupun kondisi patologis tertentu.


22

Beberapa jenis kerusakan hati yang disebabkan oleh senyawa toksik

antara lain:

1) Sitotoksik

Sitotoksik berkaitan dengan kerusakan parenkim hati. Wujud

dari kerusakan ini berupa steatosis (degenerasi melemak) dan

nekrosis. Steatosis merupakan penimbunan lemak dalam sel yang

biasanya memetabolisme lemak. Steatosis terjadi bila hati

mengandung lipid lebih dari 5% karena disebabkan terhambatnya

transfer lipid keluar dari hati (Zimmerman, 1978).

Jika sel-sel hati terisi oleh banyak butiran lemak sangat kecil

sampai mendesak inti sel maka disebut degenerasi melemak

mikrovaskular. Namun apabila sel hati terisi oleh butiran lemak

berukuran besar sehingga mendesak inti sel ke daerah perifer, maka

disebut degenerasi melemak makrovaskuler. Steatosis bersifat

terbalikkan (Lu, 1995).

2) Kolestatik

Kolestatik berkaitan dengan hambatan aliran empedu baik karena

luka pada hepatokanalikuler maupun saluran empedu dan dapat pula

tanpa adanya luka kanalikuler. Hal ini menyebabkan berkurangnya

aktifitas ekskresi empedu pada membran kanalikulus (Lu, 1995).

3) Degenerasi hidropik atau degenerasi vakuoler

Degenerasi hidropik merupakan perubahan seluler akibat adanya

gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia.


23

Perubahan ini bersifat reversible meskipun dapat pula berubah

menjadi irreversible apabila penyebab cederanya menetap

(Underwood, 2000).

4) Nekrosis hati

Nekrosis hati merupakan kematian hepatosit. Nekrosis

merupakan kerusakan akut dan bersifat irreversible. Perubahan inti

pada nekrosis dapat berupa kromatin menjadi pucat (kariolisis), inti

menjadi kisut, inti tampak lebih padat dan warnanya gelap hitam

(piknosis), inti piknosis atau sebagian yang piknosis mengalami

fragmentasi (karioreksis) (Kumar dkk., 2007). Nekrosis hati

merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu

kritis karena hati mempunyai kapasitas regenerasi yang luar biasa (Lu,

1995).

5) Sirosis

Sirosis ditandai dengan adanya penumpukan septa kolagen yang

tersebar di sebagian besar hati. Sirosis dalam sebagian besar kasus

berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme

perbaikan sel. Hal ini menyebabkan aktifitas fibroblastik dan

pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati

mungkin menjadi faktor pendukung terjadinya sirosis (Lu, 1995).

Sirosis hati dapat juga dikatakan pengerasan pada hati. Sirosis

hati dicirikan dengan permukaan nodular, granular dan irregular,

konsistensinya keras dan terjadi fibrosis difus. Pada umumnya bahan-


24

bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang,

1984).

b. Ginjal

Ginjal termasuk organ target dari efek toksik suatu zat kimia karena

sejumlah besar cairan ditransfer bersamaan dengan eliminasi dari produk

buangan, xenobiotik dan cairan tubuh, elektrolit, dan homeostasis asam

basa (Glaister, 1986). Sementara itu banyak agen terapetik dan diagnostik

yang digunakan pada manusia yang menjadi penyebab potensial

kerusakan ginjal. Perubahan pada ginjal kemungkinan terjadi karena

pemejanan dosis tinggi suatu obat dan kenyataannya bahwa ginjal

berperan dalam mengeliminasi banyak obat dan metabolitnya (Greaves,

2000). Ginjal berfungsi mengekresikan sisa metabolisme normal dan

xenobiotik serta metabolitnya (Lu, 1995).

Pada tikus dewasa, ginjal berbentuk seperti kacang dan beratnya

sekitar 0,51-1,08% dari berat badan, tergantung dari umur dan jenis

kelamin (Haschek dan Rousseauk, 1991). Gambaran mikroskopik ginjal

merupatan potongan memanjang yang memberi gambaran dua daerah

cukup jelas yaitu korteks dan medula. Korteks merupakan daerah perifer

yang gelap dan medula merupakan daerah yang agak cerah (Dellman dan

Brown, 1989). Dalam korteks terdapat glomerulus, tubulus proksimalis,

dan tubulus distalis. Sedangkan pada medula terdapat tubulus yang

sangat kecil, lengkung Henle, dan duktus kolektivus (Underwood, 2000).


25

c. Pankreas

Kelenjar pankreas merupakan organ pensekresi yang di dalamnya

tersebar kelompok sel berbentuk pulau yang disebut sel-sel pulau

Langerhans yang mensekresi ke dalam bagian eksokrin pankreas yang

mampu mensekresi enzim pencernaan (Mutschler, 1999). Pankreas

merupakan organ penghasil hormon insulin yang mengatur kebutuhan

glukosa dalam darah.

Pulau-pulau Langerhans adalah sekumpulan sel berbentuk ovoid,

berukuran 76 x 175 μm tersebar di seluruh pankreas, walaupun lebih

banyak ditemukan di kauda (ekor) daripada kaput (kepala) dan korpus

(badan) pankreas. Pulau-pulau ini menyusun sekitar 2% volume kelenjar,

sedangkan bagian eksokrin pankreas membentuk 80%, dan duktus dan

pembuluh darah membentuk sisanya. Pada manusia, terdapat 1-2 juta

pulau. Masing-masing memiliki pasokan darah yang besar; dan darah

dari pulau Langerhans seperti darah dari saluran cerna tetapi tidak seperti

darah dari organ endokrin lain, mengalir ke vena porta hepatika (Ganong,

2001).

d. Lambung

Organ lambung merupakan bagian melebar dari sistem pencernaan

yang kerap menjadi organ sasaran toksisitas sediaan uji. Hal ini

dikarenakan obat atau senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh

sebagian besar melalui rute oral sehingga organ lambung dapat terpapar

senyawa toksik pada awal pemejanan.


26

Lambung tikus berbeda dengan lambung manusia. Pada lambung

tikus terdapat forestomach yang terletak dua per tiga lambung atas yang

dilapisi oleh epitel skuamus kompleks dan mengalami kornifikasi,

sedangkan pada manusia tidak terdapat forestomach. Perubahan atau

kerusakan yang terjadi pada tikus tidak bisa disamakan dengan manusia

apabila telah diberikan suatu senyawa kimia atau obat. Secara histologi,

bagian lambung berkelenjar tikus tidak terdapat perbedaan dengan

lambung manusia (Greaves, 2000; Haschek dan Rousseaux, 1991).

Saluran cerna merupakan tempat utama diabsorpsinya racun atau

senyawa yang diberikan secara oral. Senyawa tersebut tidak akan bersifat

sebagai racun apabila belum diabsorpsi oleh saluran cerna, kecuali

apabila senyawa tersebut bersifat iritatif terhadap saluran cerna (Donatus,

2005). Salah satu contoh gangguan pada saluran cerna adalah gastritis.

Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambun yang dapat

bersifat akut, kronik, difus, dan lokal (Price dan Wilson, 2002).

5. Histopatologi Organ

Pemeriksaan histopatologi merupakan upaya menemukan dan

mendiagnosis suatu penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan jaringan.

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan makroskopik jaringan

disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan mikroskopik. Mayoritas

diagnosis histopatologi berasal dari potongan jaringan yang dibuat blok

parafin dengan pewarnaan hemaktosilin dan eosin. Jaringan berasal dari

biopsi atau eksisi bedah yang dimasukkan dalam larutan fiksasi (sebagian
27

besarr formaldehid) dan dikirim ke laboratorium histopatologi (Underwood,

1999). Pemeriksaan histopatologi memberikan informasi tentang organ

sasaran senyawa kimia yang mengalami kerusakan. Organ yang biasa diamati

dalam pemeriksaan histopatologi pada hewan uji setelah pemberian sediaan

uji di antaranya yaitu hati, ginjal, pankreas, jantung, lambung, dan paru-paru

(Lu, 1995).

Preparasi spesimen atau jaringan dilakukan dengan dua metode yaitu

fiksasi kimiawi dan fiksasi potongan beku. Metode kimiawi dilakukan dengan

merendam jaringan pada larutan etanol untuk mengeluarkan cairan dari

jaringan, kemudian direndam menggunakan larutan toluene atau xylem

dilanutkan direndam menggunakan parafin. Blok parafin yang terbentuk diiris

tipis dengan pisau mikrotom kemudian hasil irisan diletakkan dalam gelas

obyek untuk dilakukan pewarnaan. Metode fiksasi potongan beku dilakukan

dengan memotong jaringan yang sebelumnya telah dibuat menggunakan alat

pendingin khusus cryostat dengan pisau mikrotom. Hasil irisan diletakkan ada

gelas obyek untuk dilakukan pewarnaan (Abbad, 2011).

Pewarnaan umumnya menggunakan pewarna kombinasi hemaktosilin

dan eosin. Hematoksilin berfungsi untuk memberikan warna biru pada bagian

nukleus sel dan eosin berfungsi untuk memberikan warna merah muda pada

bagian sitoplasma serta bagian jaringan penghubung ekstraseluler (Abbad,

2011).
28

E. LANDASAN TEORI

Menurut COA, ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus

Rumph) mengandung gingerol dan shogaol. Penelitian mengenai ketoksikan akut

(LD50) dari gingerol dan shogaol dilakukan oleh Suekawa dkk. (1984). Hasil

penelitian pada populasi mencit yang diberikan melalui intraperitoneal LD 50

melalui per oral sebesar 250 mg/kgBB. LD50 shogaol sebesar 687 mg/kg (per

oral). Selain itu kandungan yang lebih banyak adalah [6]-gingerol sebesar 1,01%

yang lebih berpotensi menyebabkan ketoksikan akut pada dosis tertentu.

F. HIPOTESIS

Ekstrak etanolik rimpang jahe putih besar (Zingiber majus Rumph) yang

mengandung gingerol secara oral pada tikus jantan galur Wistar tidak

menimbulkan gejala klinis berupa efek toksik dan kematian pada hewan uji serta

kerusakan pada organ hati, ginjal, lambung, dan pankreas.

Anda mungkin juga menyukai