Anda di halaman 1dari 4

MENYIAPKAN DAN MEMOTIVASI PENGURUS LINGKUNGAN

Salah satu kekhasan Gereja Katolik Indonesia adalah adanya sistem lingkungan/ kring/stasi
dalam pelayanan pastoral parokial-teritorial yang memungkinkan semakin banyak kaum
beriman awam terlibat dalam pengembangan Gereja seperti yang diharapkan oleh Konsili
Vatikan II (lih. AA 10, AA 24, AG 21). Dan yang menarik, cikal-bakal lingkungan ini ternyata
sudah ada jauh sebelum Konsili Vatikan II, bahkan sebelum Perang Dunia II. Pada masa itu
para imam Jawa, yakni Rm. Hardjosuwondo SJ dan Rm. Sugiyopranoto,SJ, merintis sistem
kring di paroki-paroki Wedi-Klaten, Ganjuran, dan Bintaran. Bahkan para pamong kring ini
berperan sebagai gembala bagi umat kringnya, dimana mereka dipercaya untuk memimpin
ibadat-ibadat, mengajar calon baptis, juga membimbing umat yang mengalami kesulitan.
Dalam perkembangan waktu, sistem “bapak pamong kring” ini kemudian berkembang menjadi
sistem lingkungan yang kemudian juga dimasukkan dalam struktur dewan pastoral paroki.
Dalam semangat kepemimpinan partisipatoris, “salib pelayanan” umat di lingkungan tidak lagi
“dibebankan” pada pundak ketua lingkungan  saja, tetapi menjadi tanggung jawab para
pengurus lingkungan. Keterlibatan para pengurus lingkungan sungguh membantu dan
melipatgandakan tenaga dan perhatian pastoral Pastor Paroki. Dan menarik untuk dicermati,
“sekolah pelayanan dan kerjasama” para pengurus lingkungan ini sekaligus merupakan salah
satu wahana dan peluang untuk mempersiapkan kader-kader pengurus Dewan pastoral paroki.

Menjaring Kader Pengurus Lingkungan


Namun, yang menjadi kendala di lapangan, ternyata tidaklah mudah mencari kader pengurus
lingkungan. Ada kecenderungan di antara umat untuk “mengabadikan” para pengurus
lingkungan. Kesulitan mencari pengurus lingkungan semakin nyata tatkala lingkungan hendak
dimekarkan. Menurut saya, kesulitannya bukan lantaran tidak adanya orang yang mau dan
mampu, melainkan karena belum adanya sistem yang mempersiapkan para kader pengurus
lingkungan. Selama ini pembekalan dan penyegaran (ketua) pengurus lingkungan ditujukan
kepada mereka yang baru atau sudah ditunjuk menjadi pengurus. Maka bila bermaksud
menjaring “wajah baru” dalam kepengurusan lingkungan, terlebih demi regenerasi pelayanan
umat di lingkungan, kesulitan yang sama terulang: mereka yang akan dipilih dan ditunjuk
merasa belum siap lantaran pelbagai dalih dan alasan. Di lain pihak wacana dan literature
pelayanan untuk para pengurus lingkungan juga belum tersedia. Selama ini yang ada baru buku
panduan untuk misdinar, lektor, prodiakon, dewan paroki, dsb.
Menanggapi keprihatinan pastoral ini, pada liburan musim panas 2008 lalu saya
menyempatkan dan memberanikan diri menulis buku “Siap Menjadi Pengurus
Lingkungan” yang saya akui sebenarnya hanyalah “tiada rotan akar pun jadi”. Saya berharap,
setidaknya wacana dalam buku ini bisa menjadi titik tolak untuk mempersiapkan dan
memotivasi (kader) pengurus lingkungan secara lebih serius. Maka dalam tulisan singkat ini,
perkenankan saya menyampaikan beberapa hal yang saya bahas dalam buku kecil itu.

Menghidupi Pancatugas Gereja dalam dan bersama Lingkungan


Mengapa kita perlu mewujudkan panca tugas ini? Sebab Tuhan Yesus sendiri telah memberi
perintah kepada kita, para pengikut-Nya, untuk saling mengasihi (Yoh 13:34) dan saling
melayani (lih. Yoh 13:14-15). Amanat Kristus ini secara konkret dan terus-menerus perlu kita
wujud-nyatakan bersama orang-orang terdekat, yakni keluarga kita dan umat lingkungan
terdekat. Dengan jumlah umat paroki yang sedemikian besar, bahkan tidak jarang kita selisih
jalan saat merayakan Misa hari Minggu, mewujudkan semangat kasih dan pelayanan dalam
lingkup keluarga dan lingkungan terdekat adalah pilihan yang paling realistis.
Memang ada sebagian umat yang merasa masih ”belum butuh lingkungan”, termasuk mereka
yang sudah menjadi aktivis di aneka kelompok kategorial. Namun, menurut saya bergabung
dalam persekutuan umat di lingkungan-teritorial ini patut diupayakan karena lingkungan
merupakan salah satu wahana mewujudkan amanat Kristus tadi. Selain itu, persekutuan umat
di lingkungan lebih menampilkan ”wajah Katolik”, dimana umat dari pelbagai latar belakang
etnis, budaya, sosial-ekonomi, juga selera dan tingkat rohani, berhimpun dan bersekutu
berdasarkan iman akan Kristus (dan tentu saja juga berdasarkan pembagian administrarif-
teritorial paroki). Memang pelayanan rohani ”umum-teritorial” di lingkungan ini masih perlu
dilengkapi dengan pelayanan aneka kelompok kategorial yang lebih menjawabi kebutuhan dan
selera rohani masing-masing pribadi yang berbeda. Demikian pula, dalih betapa sibuknya
anggota keluarga sampai tidak ada waktu untuk kegiatan lingkungan, bisa disiasati dengan
keterlibatan ”wakil keluarga” sedemikian sehingga komunikasi antara keluarga dan umat
lingkungan tidak terputus. Untuk memahami lebih baik bagaimana mewujudkan panca-tugas
gereja dalam dan bersama lingkungan, pembaca diajak merenungkan cara hidup Gereja
Perdana dalam Kis 2:41-47. Dari sini selanjutnya pembaca diajak menggagas lebih lanjut
bagaimana secara konkret panca tugas tersebut dapat diwujudkan dalam dan bersama
lingkungannya.

Belajar dari ide Gereja Diaspora Romo Mangun


Seperti diingatkan oleh Romo Mangun, kita perlu menyadari bahwa saat ini umat Katolik
Indonesia dihadapkan pada situasi diaspora, maka pelayanan teritorial-tradisional perlulah
dilengkapi dengan pelayanan khusus bagi umat yang terdiaspora. Karena itu, para pengurus
lingkungan hendaknya juga memahami dan memaklumi, seandainya ada umat yang tidak bisa
aktif dalam aneka kegiatan lingkungan lantaran “kediasporaan”-nya. Di lain pihak, para
pengurus lingkungan sebagai pribadi kiranya juga perlu mempersiapkan diri menjadi “gembala
diaspora” bagi sahabat-kenalan dari lain lingkungan dan paroki. Namun, Romo Mangun
berkeyakinan bahwa pelayanan teritorial-tradisional (termasuk lingkungan) ini tetaplah perlu
karena hal ini justru menggambarkan kesatuan umat yang beragam dan juga memang ada
beberapa sektor yang tetap membutuhkan pelayanan teritorial, seperti anak-anak dan remaja,
dunia sekolah, mereka yang sakit, cacat, dan jompo. Dalam buku Gereja Diaspora Romo
Mangun ‘menggugat’ komitmen dan perhatian Gereja pada kaum miskin dan papa-menderita.
Beliau berharap “Mudah-mudahan kejuaraan kita dalam 1001 acara doa, novena, lomba kor
gereja, kolasi, rekoleksi, retret, membangun gedung-gedung gereja raksasa maupun kapel
molek, dan yang terpenting, membanjiri tempat ziarah sambil berpiknik dan berekspresi
kesalehan lain yang indah itu seimbang dengan karya-karya nyata yang meringankan pahit-
pedih manusia lain yang menderita dalam segala bentuk. Sesuai dengan apa yang dicontohkan
oleh Yesus dan Gereja di zaman para rasul”. Maka pertanyaannya, bagaimana secara konkret
hal ini bisa diwujudnyatakan dalam hidup menggereja di lingkungan.  Demikian pula
penekanan beliau akan pentingnya keluarga sebagai “benteng Gereja Diaspora”, hendaknya
menjadi catatan dalam pengaturan aneka kegiatan lingkungan. Dan tidak kalah menariknya
adalah menyimak “anjuran Romo Mangun” tentang kriteria pengurus lingkungan dan dewan
paroki yang sebaiknya kita pilih dan tunjuk.

Menjadikan Lingkungan Sebagai KBG


Dalam SAGKI 2000, Gereja Katolik Indonesia mencanangkan Komunitas Basis Gerejani (KBG)
sebagai cara baru hidup menggereja agar kehadiran Gereja sungguh memberi arti dan
sumbangan bagi masyarakat sekitar (termasuk di kala masyarakat kita menderita akibat aneka
bencana alam, “bencana lapindo”, kenaikan BBM, dsb). Memang masih ada perdebatan, apakah
lingkungan itu sudah merupakan komunitas basis gerejawi? Daripada mempersoalkan “istilah”,
akan lebih baik bila kita mengupayakan agar lingkungan/kring/stasi kita menjadi suatu
komunitas basis gerejani. Maka sebagai suatu komunitas basis gerejani, kiranya pembicaraan
bersama dengan diterangi Kitab Suci perlu dikembangkan agar umat lingkungan senantiasa
menemukan bentuk-bentuk diakonia dan martiria yang relevan untuk situasi-kondisi setempat.
Motivasi dan Spiritualitas Pengurus Lingkungan
Apa yang menjadi motivasi seseorang mau dipilih dan ditunjuk menjadi pengurus lingkungan?
Ada empat motivasi menerima tanggung jawab pelayanan di lingkungan ini (tentu dengan
menimba inspirasi dari Kitab Suci dan Ajaran Gereja):
1. Merealisasikan tugas perutusan yang telah diemban sejak menerima Sakramen Krisma,
khususnya tugas sebagai gembala.
2. Sebagai perwujudan cinta kepada Tuhan Yesus dan Gereja,
3. Mempersembahkan talenta untuk “pembangunan jemaat”
4. Ajakan untuk terus memurnikan motivasi pelayanan
Sementara berkaitan dengan Spiritualitas yang patut dihidupi oleh para pengurus lingkungan
adalah sebagai berikut:
1. Mengemban pelayanan murah hati seperti diilustrasikan dalam cover buku (saling
membasuh kaki).
2. Semangat misioner, yakni siap sedia diutus, tidak harus pergi ke luar negeri, tetapi berani
keluar dari kepentingan diri dan mulai terarah pada orang lain. Maka bagaimana secara
konkret semangat 2D2K: Doa-Derma-Korban-Kesaksian, dapat diwujudnyatakan oleh para
pengurus lingkungan.
3. Makna bekerjasama sebagai satu tim, seperti halnya Kristus mengutus para murid-Nya pergi
berdua-dua.

Menanggapi Dalih Tidak Mau Melayani


Ada banyak dalih dan alasan bisa disebut yang membuat para kader pengurus lingkungan
merasa diri belum siap, seperti tidak layak dan tidak pantas, tidak mampu, tidak ada waktu, dst.
Motivasi yang perlu dihidupi berdasarkan alasan-alasan praktis tersebut adalah: asalkan ada
kemauan, kemampuan dan ketrampilan bisa diupayakan dan ditingkatkan. Asalkan ada
kemauan, akan berusaha menyempatkan waktu. Namun, untuk para “aktivis Gereja” yang
sudah sibuk dengan aneka pelayanan dan tanggung jawab, sebaiknya membatasi diri menerima
“jabatan” pelayanan ini agar tidak mengecewakan umat ataupun menelantarkan keluarga.

Persoalan Klasik di Lingkungan


Ada beberapa persoalan klasik yang sering dijumpai dalam dinamika kehidupan lingkungan:
1. "Jemput bola" gembala proaktif kepada: warga pindahan baru, katekumen, calon penerima
sakramen, yang terbaring sakit, yang kurang aktif, dan yang miskin dan berkekurangan.
2. Pelayanan bagi yang berduka: penerimaan Sakramen Perminyakan, pelayanan bagi warga
yang meninggal, dukungan bagi keluarga yang berkabung, dan pelayanan doa-misa arwah.
3. Pemberdayaan potensi umat
4. Transparansi keuangan lingkungan
5. Managemen Konflik dan Perbedaan
6. Guyon Berlebihan
7. Managemen Gossip
8. Alokasi Waktu dan Jam Karet
9. Koq Sedikit yang ikut Pendalaman Iman?
10. Melibatkan Generasi Muda
11. Lingkungan Vs Ekumene
12. Penyakit: Post Power Sindrom.

Tiada Rotan Akar Pun Jadi


Sebagaimana saya singgung di awal tulisan ini, buku Siap Menjadi Pengurus Lingkungan
sungguh saya sadari dan akui sekedar ”tiada rotan akar pun jadi” mengingat keterbatasan
pengalaman pastoral parokial saya dan saya tidak studi khusus bidang ini. Namun, saya
menyadari akan ”bagian saya” (bdk. 1 Kor 12:18)) untuk merumuskan aneka pengalaman
pendampingan para rekan pastor paroki (tentu sejauh yang saya amati dan alami) kepada para
pengurus lingkungan dengan harapan buku kecil ini bisa menjadi titik tolak pembicaraan
bersama untuk mempersiapkan dan memotivasi para pengurus lingkungan. Dan tentunya saya
tidak berpretensi untuk menyelesaikan semua persoalan pelayanan di lingkungan, tetapi
berharap bahwa lontaran ide dan wacana ini dibicarakan lebih lanjut oleh para pengurus
lingkungan dan pastor paroki agar semakin relevan dan aplikatif di lapangan. Akhirnya, selamat
mempersiapkan kader pengurus lingkungan demi pengembangan Gereja Katolik Indonesia di
masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai