Anda di halaman 1dari 5

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian filsafat

Lahirnya filsafat sebagai satu sistem pemikiran tersendiri yang khas tidak bisa
lepas dari apa yang terjadi di Yunani pada 600 SM, yakni awal ditinggalkannya
pemikiran mitologis yang digantikan dengan cara pemikiran yang lebih rasional dan
argumentatif. Filsafat berasal dari kata Yunani: philos (cinta) dan Sophos
(pengetahuan atau kebijaksanaan). Filsafat merupakan sebuah usaha berpikir secara
rasional (bernalar), sistematik (runtut), radikal (mendalam), komprehensif
(menyeluruh), dan universal (objektif/ intersubjektif) tentang segala sesuatu. Berbeda
dengan pemikiran mitologis yang cenderung irasional, kontradiktif, terfragmentasi
dan subjektif. Filsafat bersifat rasional, artinya didasarkan atas penalaran
danargumentasi yang bertumpu pada akal sehat. Penjelasan yang dikeluarkan
terbuka bagi perdebatan dan boleh diuji oleh siapa pun guna menemukan kebenaran
yang mungkin sebelumnya tidak tampak. Sistematik, artinya didasarkan atas
keruntutan dalam satu alur pola pikir tertentu, merupakan sebuah kebulatan sistem
pikir yang di dalamnya dihindari adanya kontradiksi internal. Radikal artinya
berpikir sampai sedalam-dalamnya, sampai kepada akar-akarnya (radix: akar),
sampai pada penjelasan yang tidak memerlukan penjelasanlagi.Komprehensif artinya
meninjau secara menyeluruh, dari berbagai sudut pandang, dan dari berbagai sisi.
Universal, artinya berlaku umum, terbebas dari ruang dan waktu

Filsafat sebagai sistem berpikir yang tersendiri biasa disebut sebagai


“mother of science”, ibu dari segala ilmu. Perkembangan pengertian tentang
filsafat dapat dirunut dari penjelasan yang dikemukakan oleh beberapafilsuf atau
kelompok filsuf sebagai berikut (Lechte, 2001).

1. Pythagoras (580-500 SM) Orang pertama kali yang mengemukakan istilah


“filsafat”. Sebagai orang yang memiliki kecerdasan matematik luar biasa,
Pythagoras hanya mengaku sebagai “pencinta pengetahuan” (philos=cinta,
shopia=pengetahuan).
2. Socrates (468-399 SM) Socrates memandang pengetahuan tidak semata-mata
bersifat subjektif dan relatif, melainkan sebetulnya ada pengetahuan yang objektif
dan tetap, bila kita dapat menemukannya. Filsafat membantu manusia untuk
menemukan pengetahuan yang objektif dan tetap.
3. Aristoteles (384-322 SM) Aristoteles dikenal sebagai Bapak Logika. Berfilsafat
menurutnya adalah menemukan pengetahuan yang benar dengan berpijak pada
pengamatan terhadap alam ini, bukan berpijak pada ‘alam lain’ sebagaimana halnya
Plato. Dengan filsafat, seseorang dapat membedakan pengetahuan yang mendasar
(substansial, pokok) dengan yang hanya berupa penampakan (aksidensial, hanya
kebetulan).

Pada umumnya terdapat dua pengertian filsafat yaitu filsafat dalam arti proses
dan filsafat dalam arti produk.

1.             Filsafat dalam arti proses


Fisafat di artikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses
pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu
yang sesuai objeknya.
2.             Filsafat dalam arti produk
Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi manusia. Sehingga manusia
mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan yang bersumber dari akal
manusia, dan sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, dan pemikiran dari para filsuf
misalnya rasionalisme, materialisme, pragmatisme.
Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan
memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya atau berfikir sedalam-
dalamnya (merenung) terhadap sesuatu secra metodik, sistematik, menyeluruh atau
universal untuk mencari hakikat sesuatu. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang
paling umum yang mengandung usaha dalam mempelajari dengan sungguh-sungguh
kebijaksanaan dan cinta akan kebijakan/ hakikat kebenaran segala sesuatu.
Pancasila digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, filsafat sebagai
pandangan hidup, dan filsafat dala arti praktis. Hal ini berarti Pancasila mempunyai
fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan
perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
bagi bangsa Indonesia dimanapun mereka berada.

2.4 Hakikat sila-sila dari Pancasila

Kata ‘hakikat’ dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala
sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu,
sehingga terpisah dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Ditunjukkan oleh
Notonagoro (1975: 58), hakikat segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak dari
unsur-unsur yang menyusun atau membentuknya.
Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata ‘hakikat’ dapat dipahami
dalam tiga kategori, yaitu:

1. Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat umum
yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah. Hakikat
abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata: ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya, Pancasila terdiri atas
kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil yang dibubuhi awalan
dan akhiran, berupa ke dan an (sila I, II, IV, dan V), sedangkan yang satu
berupa per dan an (sila III)
2. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila
89 yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai agama,
nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang melekat pada bangsa Indonesia
sehingga membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia.
3. Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya.
Hakikat kongkrit Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar
filsafat negara.

Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam


hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis
piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila
lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan hubungan
kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hirarkis
piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling
mengisi dan saling mengkualifikasi.
a) Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b) Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c) Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
d) Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, 92 adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesi.
e) Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
DAFTAR PUSTAKA

Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer, alih bahasa: A Gunawan Admiranto,


Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Notonagoro, 1967, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila; Pengertian Inti-Isi


Mutlak Daripada Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pokok Pangkal
Pelaksanaan Secara Murni Dan Konsekuen, Cetakan Kedua, Pancuran Tudjuh,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai