Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PREEKLAMSIA

2.1 Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang
disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada
usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu
didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada
kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multisistem lain yang
menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien
tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi
dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada
wanita dengan kehamilan normal1.

2.2 Epidemologi
Menurut World Health Organization (WHO), hipertensi dalam
kehamilan masih merupakan salah satu dari lima penyebab utama kematian
ibu di dunia, yaitu berkisar 12%. Prevalensi hipertensi dalam kehamilan
bervariasi di berbagai tempat, yakni berkisar 2,6-7,3% dari seluruh
kehamilan1.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, angka kejadian preeklampsia
pada tahun 1998 sebesar 3,7% dari seluruh persalinan, sedangkan kematian
ibu akibat preeklampsia dan eklampsia sejak tahun 1987 sampai dengan 1990
sekitar 18%. Di Inggris pada tahun 1998 didapatkan kejadian hipertensi
dalam kehamilan sekitar 5% dan merupakan penyebab utama kematian
maternal serta menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas
perinatal1.
Di negara-negara berkembang insidensi preeklampsia sekitar 3 - 10%
dan eklampsia 0,3 - 0,7% kehamilan. Di Indonesia, preeklampsia menempati
urutan kedua sebagai penyebab kematian ibu setelah perdarahan. Angka
kejadian preeklampsia di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2010
adalah 11,86% dari 1973 persalinan dengan angka kematian maternal 2,1%1.

2.3 Etiologi
Zwifel tahun 1916 mengungkapkan istilah preeclampsia is a disease of
theories dan hingga sampai saat ini belum dapat diperoleh suatu kesepakatan
bersama tentang penyebab terjadinya preeklampsia. Para ahli mencoba
membeberkan beberapa teori yang diduga menjadi penyebab preeklampsia,
yaitu faktor imunologis, faktor inflamasi, faktor genetik, faktor nutrisi,
komponen vasoaktif dan faktor endotel1.
Redman et al melaporkan bahwa disfungsi endotel berhubungan dengan
preeklampsia yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan umum keadaan
normal dan adaptasi umum inflamasi intravaskular maternal terhadap
kehamilan. Hipotesis ini menjelaskan bahwa preeklampsia dianggap
merupakan suatu penyakit akibat status leukosit yang teraktivasi secara
berlebihan pada darah ibu. Desidua mengandung sel yang berlebih jika
teraktivasi dapat mengeluarkan agen yang berbahaya, kemudian agen ini
sebagai mediator memulai terjadinya kerusakan sel. Sitokin, TNF-α (Tumor
necrosis factor alpha) dan interleukin dapat berperan terhadap stres oksidatif
yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia1.
Meskipun sampai sekarang belum ada teori yang pasti berkaitan dengan
penyebab terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan
sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko
tersebut meliputi:
a. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat
pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih, baik pada primipara
maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia
secara bermakna. (Evidence II, 2004). Robillard, dkk melaporkan bahwa
risiko preeklampsia pada kehamilan kedua meningkat yang sebanding
dengan usia ibu yang juga meningkat ( 1,3 kali setiap 5 tahun pertambahan
umur )2.
b. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (Evidence
II, 2004)2.
c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor
risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang
memiliki paparan rendah terhadap sperma2.
d. Jarak antar kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau
lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara.
Robillard, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat
sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 kali setiap
5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua )2.
e. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor
resiko utama. Menurut Duckit resiko meningkat hingga 7 kali lipat.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia
onset dini, dan dampak perinatal yang buruk2.
f. Riwayat keluarga preeklampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3
kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko
sebanyak 3 - 6 kali lipat2.
g. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan
kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat. Analisa
lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali
lipat dibandingkan kehamilan duplet. Sibai dkk menyimpulkan bahwa
kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk menjadi
preeklampsia dibandingkan kehamilan normal2.
h. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor
embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer
penyebab preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek
protektif dari paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan
adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor
sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan
remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan terjadinya preeklampsia
pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang
lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit
pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada
kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami
preeklampsia. Namun, efek protektif dari multiparitas menurun apabila
berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan adanya peningkatan risiko
preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada wanita dengan pasangan yang
pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia2.
i. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
ANC
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar
dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan
resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia.
Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2, 47 kali lipat,
sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan
IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali lipat. Pada studi kohort
yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan pada 878.680 kehamilan,
ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan di populasi
wanita yang kurus (BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada
populasi wanita yang gemuk (BMI > 29,0)2.
j. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil (n = 56.968)2.
k. Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt bahwa risiko preeklampsia
meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan
penyakit ginjal2.
l. Sindrom antifosfolipid
Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya
antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau
keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat2.
m. Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir
setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan
keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk. Chappel juga
menyimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat dinilai secara dini
sebagai prediktor terjadinya preeklampsia superimposed pada wanita
hamil dengan hipertensi kronik yaitu seperti yang tertera pada tabel 1.2

Tabel 1. Fakto risiko terjadinya preeklampsia superimposed


2.4 Patogenesis
Patogenesis, patofisiologi serta perubahan-perubahan patologi fungsi
organ-organ pada preeklampsia telah banyak dibicarakan, namun belum ada
yang memuaskan. Terdapat beberapa patogenesis yang menerangkan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan antara lain:
2.4.1 Kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran
darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua
pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri
arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri
basalis memberi cabang arteria spiralis3.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi
invasi trofoblas ke dalam Iapisan otot arteria spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi
arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri
spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan
tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran
darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin
cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
"remodeling arteri spiralis"3.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami
distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami
vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan "remodeling arteri spiralis",
sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK
selanjutnya3.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500
mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 2OO mikron. Pada
hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10
kali aliran darah ke utero plasenta3.
2.4.2 Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
1. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada
hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan "remodeling arteri
spiralis", dengan akibat plasenta mengalami iskemia4.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau
radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul
yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan4.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi
oksidan pada manusia adalah suatu proses norrnal, karena oksidan
memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal
hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan
toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam
kehamilan disebut "toxaemia"4.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga
akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan
(radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksik, selalu diimbangi
dengan produksi antioksidan4.
2. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar
oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan
antioksidan, misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan
menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak
yang relatif tinggi4.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat
toksis ini akan beredar di seluruh rubuh dalam aliran darah dan
akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih
mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena
letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak
jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan
berubah menjadi peroksida lemak4.
3. Disfungsi endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka
terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari
membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya
seluruh strukrur sel endotel. Keadaan ini disebut "disfungsi
endotel" (edothelial dysfuncion)3. Pada waktu terjadi kerusakan sel
endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan
terjadi:
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi
sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu
menurunnya produksi prostasiklin (PGE2): suatu vasodilatator
kuat4.
b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang
mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk
menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan
(TXA2) suatu vasokonstriktor kuat4.
c. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih
tinggi vasodilatator). Pada preeklampsia kadar tromboksan
lebih tinggi dari pada kadar prostasiklin sehingga terjadi
vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah3.
d. Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
(glomerular endotheliosis).
e. peningkatan permeabilitas kapilar4
f. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin
(vasokonstriktor) meningkat4.
g. peningkatan faktor koagulasi4.
2.4.3 Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut4.
a. Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi
dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.
b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko
lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
c. Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat
kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak
adanya "hasil konsepsi" yang bersifat asing. Hal ini disebabkan
adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan
penting dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak
hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat
meilindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping
untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G
di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam
desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi
lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri
spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitikon, sehingga
memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi
immune - maladaptation pada preeklampsia. Pada awal trimester
kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi
preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Sel Helper yang lebih
rendah dibanding pada normotensif4.
2.4.4 Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-
bahan vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka
terhadap rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar
vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons
vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh
darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya
sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini
dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan
hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang
menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian
hari ternyata adalah prostasiklin3.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh
darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Banyak
peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah
terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada
kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah
dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat
dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan3.
2.4.5 Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah
terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak
perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya
8 % anak menantu mengalami preeklampsia4.
2.4.6 Teori disfungsi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan
defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah
penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi
yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden
hipertensi dalam kehamilan3.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit,
dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah
mencoba melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan
atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah
preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini
berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian
aspirin3.
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium
pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia. Penelitian di Negara Equador Andes dengan
metode uji klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian
kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu
hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang mengalami
preeklampsia adalah 14 % sedang yang diberi glukosa 17 %3.
2.4.7 Teori stimulasi inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di
dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi.
Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris
trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas,
akibat reaksi stres oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian
merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal,
jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi
inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses
apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preeklampsia terjadi
peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan
nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas
plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi
stres oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris
trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban
reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding
reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih
besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbuikan gejala-gejala preeklampsia pada ibu3.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada
preeklampsia akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan
tersebut di atas, mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat tinggi"
pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai
"kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intravaskular pada
kehamilan" yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh4.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Penegakan diagnosis hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140
mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan
berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi
berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160
mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Tensimeter sebaiknya
menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat
menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang sudah
divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah
menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih
rendah1.
Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi
kesempatan duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan
pengukuran tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada
posisi duduk posisi manset setingkat dengan jantung, dan tekanan
diastolik diukur dengan mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya
bunyi). Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa
diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.
Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik
harus dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil
pemeriksaan yang tertinggi1.
Mengurangi kesalahan pemeriksaan tekanan darah:
a. Pemeriksaan dimulai ketika pasien dalam keadaan tenang.
b. Sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa atau yang setara,
yang sudah tervalidasi.
c. Posisi duduk dengan manset sesuai level jantung.
d. Gunakan ukuran manset yang sesuai. Gunakan bunyi korotkoff V
pada pengukuran tekanan darah diastolik
2.5.2 Penentuan Proteinuria
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300
mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin
dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam
memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel
urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin.
Kuo melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada
hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2
berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki
angka positif palsu yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Brown,
dengan tingkat positif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan
kontaminasi duh vagina, cairan pembersih, dan urin yang bersifat
basa. Konsensus Australian Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal
College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa
pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes
skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau
rasio protein banding kreatinin. Pada telaah sistematik yang dilakukan
Côte dkk disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding
kreatinin dapat memprediksi proteinuria dengan lebih baik1.
Mengurangi kesalahan penilaian proteinuria: Proteinuria
ditegakkan jika didapatkan secara kuantitatif produksi protein urin
lebih dari 300 mg per 24 jam, namun jika hal ini tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan dapat digantikan dengan pemeriksaan
semikuantitatif menggunakan dipstik urin > 1+1.
2.5.3 Penegakan diagnosis Preeklamsia
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia
didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan /
diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika
hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat
disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ
spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika
protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia1, yaitu:
a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan
atas abdomen
d. Edema Paru
e. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
f. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta :
g. Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)6 atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity
(ARDV)
2.5.4 Penegakan diagnosis Preeklamsia berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan
dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut
dengan preeklampsia berat1. Kriteria gejala dan kondisi yang
menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia
berat adalah salah satu dibawah ini :
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan
atas abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan
antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga
kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari
kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria
terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan,
dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya
dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
secara signifikan dalam waktu singkat1.

2.6 Penatalaksanaan
Preeklampsia pada usia kehamilan aterm, kehamilan dapat segera
diakhiri. Sangat penting untuk mengetahui bahwa semua modalitas terapi
yang dilakukan hanyalah bersifat paliatif dan penyakit tersebut bersifat
progresif hingga saat persalinan terjadi. Pengelolaan obstetrik tergantung dari
umur kehamilan, berat ringannya penyakit, respon terhadap terapi dan
kemampuan perinatologi. Pada preeklampsia berat, harus mempertimbangkan
umur kehamilan, maturitas paru, respon terhadap pengobatan, kemampuan
perinatologi, serta komplikasi maternal1. Penatalaksanaan preeklampsia
bertujuan sebagai berikut:
a. Mencegah terjadinya kejang eklampsia
b. Persalinan pasien dalam waktu yang tepat
c. Mendeteksi dan menangani komplikasi yang menyertai preeklampsia
d. Menurunkan morbiditas dan mortalitas janin dan ibu
Keputusan untuk kapan mengkhiri kehamilan pada preeklampsia masih
menjadi suatu dilema. Persalinan adalah satu-satunya tindakan definitif.
Pengakhiran kehamilan dilakukan saat usia kandungan atau janin berumur 34
minggu. Apabila persalinan pada usia kehamilan yang lebih awal diperlukan,
terdapat peningkatan risiko luaran neonatal yang buruk. Luaran neonatal
bergantung pada penggunaan kortikosteroid untuk perbaikan maturitas paru
janin. Dengan adanya perkembangan hasil luaran neonatal setelah profilaksis
neonatus, persalinan ditunda hingga 48 jam untuk pemberian terapi
kortikosteroid. Apabila kondisi maternal mencapai stabilisasi maka
kehamilan dapat dilanjutkan. Pengelolaan ekspektatif dapat memperbaiki
hasil neonatal, tetapi dapat memperburuk kondisi maternal. Apabila terdapat
pemburukan kondisi ibu dan janin, hal tersebut dapat dijadikan indikasi untuk
melakukan persalinan. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat < 34
minggu usia kehamilan dapat memperbaiki hasil bayi baru lahir tetapi
memerlukan pengawasan yang ketat bagi ibu dan bayi di rumah sakit1.
Pengelolaan kehamilannya menurut HKFM (Himpunan Kedokteran
Fetomaternal):
Sikap terhadap kehamilan dibagi 2, yaitu:
1. Ekspektatif/konservatif
Bila umur kehamilan < 37 minggu, kehamilan dipertahankan selama
mungkin dengan memberikan terapi medikamentosa
2. Aktif/agresif
Bila umur kehamilan > 37 minggu, kehamilan diakhiri setelah mendapat
terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Indikasi:
a. Indikasi ibu:
1) Kegagalan terapi medikamentosa:
a) Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan darah yang persisten
b) Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan
medikamentosa terjadi kenaikan darah, desakan darah yang
persisten.
2) Gangguan fungsi hepar
3) Gangguan fungsi ginjal
4) Timbulnya ketuban pecah dini dan perdarahan
b. Indikasi janin:
1) Umur kehamilan > 37 minggu
2) IUGR (intrauterine growth restriction) berat berdasarkan
pemeriksaan USG
3) Timbulnya oligohidramnion
2.6.1 Menajemen aktif
Tujuan utama dari manajemen aktif dan ekspektatif adalah
untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas
neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan
ibu. Perjalanan klinis preeklampsia berat sering ditandai dengan
penurunan kondisi ibu dan janin yang progesif jika persalinan tidak
disegerakan. Dalam kepentingan ibu hamil dan janinnya, persalinan
direkomendasikan ketika usia kehamilan 34 minggu atau lebih. Selain
itu, persalinan segera merupakan pilihan yang paling aman bagi ibu
dan janinnya ketika terdapat bukti adanya edema paru, gagal ginjal,
abruptio plasenta, trombositopenia berat, gejala serebral persisten,
status kesejahteraan janin tidak terjamin atau kematian janin tanpa
memandang usia kehamilan pada ibu hamil dengan preeklampsia berat
yang usia kehamilannya kurang dari 34 minggu1.
Bagi ibu hamil dengan preeklampsia berat pada usia kehamilan
34 minggu atau lebih, dan dengan kondisi ibu-janin yang tidak stabil
tanpa memandang usia kehamilan, direkomendasikan untuk dilakukan
persalinan segera setelah stabilisai ibu1.
2.6.2 Menajemen ekspektatif
Manajemen ekspektatif adalah semua usaha menunda persalinan
untuk pemberian kortikosteroid antenatal bertujuan untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal
serta memperpanjang kehamilan tanpa membahayakan ibu. Perawatan
ekspektatif meliputi perawatan dalam rumah sakit dengan
kortikosteroid untuk pematangan paru janin, MgSO4, obat
antihipertensi serta pemantauan ketat ibu dan janin untuk
mengidentifikasi indikasi persalinan5.
Odendaal melakukan uji kontrol acak pada pasien dengan
preeklampsia berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji tersebut
didapatkan hasil tidak terdapat peningkatan komplikasi maternal,
sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, mengurangi
kebutuhan ventilator pada neonatus dan mengurangi komplikasi pada
neonatus1.
Uji kontrol acak yang dilakukan Sibai pada pasien preeklampsia
berat pada usia kehamilan 28-32 minggu juga mendapatkan hasil yang
kurang lebih sama. Pada uji tersebut tidak didapatkan peningkatan
komplikasi maternal, sebaliknya dapat memperpanjang usia
kehamilan, berkurangnya lama perawatan neonatus di perawatan
intensif dan mengurangi insiden sindrom gawat nafas pada kelompok
yang mendapat terapi ekspektatif1.
Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus
preeklampsia pada usia kehamilan 26-34 minggu yang bertujuan
untuk meningkatkan usia kehamilan saat melahirkan dan berat lahir,
serta mengurangi komplikasi neonatus. Pemberian kortikosteroid
berguna untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perinatal1.
Preeklampsia berat pada usia kehamilan 34 minggu dengan
kondisi ibu dan janin yang stabil, direkomendasikan agar upaya
mempertahankan kehamilan dilaksanakan hanya di fasilitas kesehatan
yang memiliki sarana perawatan instensif maternal dan neonatal yang
memadai1.
Adanya proteinuria berat pada ibu hamil dengan preeklampsia
berat yang menjalani penatalaksanaan ekspektatif tidak dikaitkan
dengan luaran yang lebih buruk. Pada sebuah penelitian yang
melibatkan 42 ibu hamil dengan proteinuria berat yang dikelola secara
ekspektatif (didefinisikan 5gr/24 jam atau lebih), terjadi perpanjangan
kehamilan yang signifikan dan terjadi perbaikan disfungsi ginjal pada
semua ibu hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan1.
Penelitian kedua mengelompokkan ibu hamil dengan
preeklampsia menurut derajat keparahan proteinuria menjadi ringan
(kurang dari 5 gr/24 jam), berat (5-9,9 gr/24 jam) atau masif (lebih
dari 10 gr/24 jam). Tidak terdapat perbedaan pada angka kejadian
eklampsia, abruptio plasenta, edema paru, sindrom HELLP, kematian
neonatal atau morbiditas neonatal yang ditemukan pada kedua
kelompok. Meskipun jumlah proteinuria meningkat seiring dengan
waktu pelaksanaan ekspektatif, perubahan ini tidak memprediksikan
perpanjangan kehamilan ataupun luaran perinatal. Bagi ibu hamil
dengan preeklampsia, dianjurklan agar dalam memutuskan persalinan
tidak berdasarkan jumlah proteinuria atau perubahan jumlah
proteinuria1.
a. Pemberian magnesium sulfat
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan
untuk eklampsia di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama
pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk
mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta
mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal.
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi
melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah
perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan
tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium
ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat
terjadi kejang1.
Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah
dipublikasi mengenai waktu yang optimal untuk memulai
magnesium sulfat, dosis (loading dan pemeliharaan), rute
administrasi (intramuskular atau intravena) serta lama terapi.
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium
sulfat 4 g selama 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau setelah
kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi
urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting
dilakukan saat memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2
g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang1.
Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek
samping minor yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing,
nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari
lokasi injeksi. Seperempat dari wanita yang mendapat magnesium
sulfat memiliki efek samping,dimana yang terbanyak adalah
flushing. untuk mengatasi terjadinya toksisitas, kalsium glukonas
1 g (10 ml) dapat diberikan perlahan selama 10 Menit1.
b. Pemberian obat antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada
hipertensi ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 –
109 mmHg), masih kontroversial. European Society of
Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan pemberian
antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional
(dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik superimposed,
hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan
organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan
lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan
darah ≥ 150/95 mmHg1.
Metaanalisis RCT yang dilakukan oleh Magee, dkk
menunjukkan pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan
menunjukkan penurunan insiden hipertensi berat dan kebutuhan
terapi antihipertensi tambahan Hipertensi akut yang berat
berhubungan dengan komplikasi organ vital seperti infark
miokard, stroke, gagal ginjal, insufisiensi uteroplasenta dan
solusio plasenta1.
Dari penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan
antihipertensi dapat mengurangi insiden pertumbuhan janin
terhambat, solusio plasenta, superimposed preeklampsia atau
memperbaiki luaran perinatal. Dari hasil metaanalisis
menunjukkan pemberian anti hipertensi meningkatkan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin terhambat sebanding
dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Hal ini menunjukkan
pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah
memberikan efek negatif pada perfusi uteroplasenta. Oleh karena
itu, indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan
adalah untuk keselamatan ibu dalam mencegah penyakit
serebrovaskular. Meskipun demikian, penurunan tekanan darah
dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25% penurunan dalam
waktu 1 jam1. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran
darah uteroplasenter (lihat tabel 2).
1. Calsium channel blocker
Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar
dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat
pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi
afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya
minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat
memberikan efek samping maternal, diantaranya takikardia,
palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek
lokal mikrovaskular serta retensi cairan1.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker
yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah
persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan
tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena,
kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain
berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan
bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin.
Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada
indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang
berguna pada preeklampsia berat Regimen yang
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 –
30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan
berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan
akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel
blocker1.
2. Beta blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja
pada reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama pada
digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan
atau diberikan pada trimester pertama, sehingga
penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti
hipertensi lainnya tidak efektif. Berdasarkan Cochrane
database penggunaan beta-blocker oral mengurangi risiko
hipertensi berat dan kebutuhan tambahan obat antihipertensi
lainnya. Beta-blocker berhubungan dengan meningkatnya
kejadian bayi kecil masa kehamilan1.
3. Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem
saraf pusat, adalah obat antihipertensi yang paling sering
digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja
terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan
darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah
ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara
lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi
postural, anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis."1
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per
oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari.
Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan
menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal.
Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-
500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk
krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah
tertentu dan disekresikan di ASI1.

(tabel 1. Obat hipertensi dalam kehamilan: Implementation of Clinical Risk Management for Fetal and
Maternal Practices to Improve Quality of Services )
2.7 Pencegahan
Terminologi umum ‘pencegahan’ dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: primer,
sekunder, tersier. Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya
penyakit. Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus
proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala
atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti
pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga
pencegahan ini juga merupakan tatalaksana, yang akan dibahas pada bab
selanjutnya1.
2.7.1 Pencegahan Primer
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi
gejala dan tanda, namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan
cepat. Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat
dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-
penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya
preeklampsia masih belum diketahui1.
Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat
digunakan untuk meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada
satu tes pun yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Butuh
serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar dapat meramalkan suatu
kejadian preeklampsia dengan lebih baik. Praktisi kesehatan diharapkan
dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya,
sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer. Dari beberapa
studi dikumpulkan ada 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko
preeklampsia1.
2.7.2 Pencegahan sekunder
1. Istirahat
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane,
istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko
preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Istirahat
dirumah 15 menit 2x/hari ditambah suplementasi nutrisi juga
menurunkan risiko preeklampsia, Dari 3 studi yang dilakukan telaah,
didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian eklampsia, kematian
perinatal , perawatan intensif , pada kelompok yang melakukan tirah
baring di rumah dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien
preeklampsia1.
2. Aspirin dosis rendah
Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek
penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg) dalam mencegah
terjadinya preeklampsia.5 Beberapa studi menunjukkan hasil
penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat
aspirin1.
Untuk mencegah atau memperlambat onset preeklampsia,
aspirin diberikan sebelum implantasi dan invasi trofoblas komplit.
Pada telaah ini, hanya sedikit bukti yang menunjukkan perbedaan
pemberian aspirin sebelum dan setelah 20 minggu. Aspirin dosis
yang lebih tinggi terbukti lebih efektif, namun risiko yang
ditimbulkan lebih tinggi, sehingga memerlukan evaluasi yang ketat1.
3. Pemberian suplementasi kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian
hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko
tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang memiliki diet asupan
rendah kalsium. Suplementasi ini tidak memberikan perbedaan yang
signifikan pada populasi yang memiliki diet kalsium yang adekuat.
Tidak ada efek samping yang tercatat dari suplementasi ini. Hasil
metaanalisis dari 13 uji klinis yang melibatkan 15.730 pasien
didapatkan rerata risiko peningkatan tekanan darah menurun dengan
suplementasi kalsium (1,5 – 2 g kalsium elemental / hari) bila
dibandingkan dengan plasebo. Terdapat juga penurunan pada rerata
risiko kejadian preeklampsia yang berkaitan dengan suplementasi
kalsium . Efek ini terlihat lebih besar pada wanita dengan asupan
kalsium yang rendah (<900 mg/hari) dan yang memiliki risiko
tinggi. Risio rerata untuk persalinan preterm juga turun pada
kelompok perlakuan yang mendapatkan kalsium dan pada wanita
yang berisiko tinggi mengalami preeklampsia. Suplementasi kalsium
minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan
asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah dan
suplemen kalsium (minimal 1g/hari) direkomendasikan sebagai
prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya
preeklampsia.

2.8 Komplikasi
Hipertensi gestasional dan preklampsia/eklampsia berhubungan dengan
risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada masa yang akan datang.
Pada tahun 1995, Nissel mendapatkan riwayat kehamilan dengan komplikasi
hipertensi dibandingkan dengan kelompok kontrol, berhubungan dengan
risiko hipertensi kronik 7 tahun setelahnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Jose, dkk menunjukkan kejadian hipertensi 10 tahun setelahnya terdapat pada
43,1% wanita dengan riwayat preeklampsia dibandingkan 17,2% pada
kelompok kontrol. Shammas dan Maayah menemukan mikroalbuminuria
yang nyata dan risiko penyakit kardiovaskular pada 23 % wanita dengan
preeklampsia dibandingkan 3% pada wanita dengan tekanan darah normal
selama kehamilan1.

2.9 Prognosis
Komplikasi pada ibu dengan preeklampsia dapat terjadi hingga 70 %
kasus, meliputi eklampsia, DIC, gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular,
ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti jantung paru, pneumonitis
aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan. Kerusakan
hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas
neurologi akan sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan
serebrovaskular akibat perdarahan atau iskemia akan mengakibatkan
kerusakan neurologi yang permanen1.
Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu
penelitian retrospektif terhadap 990 kasus eklampsia menemukan angka
kematian ibu secara keseluruhan adalah 13,9% (138/990). Risiko paling
tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita dengan eklampsia
pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan komplikasi
yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan
prenatal yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas
kesehatan tersier. Satu penelitian otopsi yang dilakukan segera setelah
kematian pada wanita eklampsia menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari
wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari akibat kejang pada otaknya
menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral. Perdarahan kortikal
petekie merupakan yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi lobus
occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif lebih jarang
dijumpai. Trombosis vena serebral sering dijumpai pada wanita dengan
eklampsia paska persalinan1.
Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan
berhubungan erat dengan usia kehamilan. Angka kematian perinatal pada satu
penelitian terhadap 54 parturien dengan eklampsia sebelum usia kehamilan
28 minggu adalah 93%; angka ini hanya sebesar 9% pada penelitian lain
dengan rata-rata usia kehamilan pada saat melahirkan 32 minggu. Kematian
perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan prematur, solusio plasenta dan
asfiksia intrauterin1.

Anda mungkin juga menyukai