PREEKLAMSIA
2.1 Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang
disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada
usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu
didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada
kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multisistem lain yang
menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien
tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi
dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada
wanita dengan kehamilan normal1.
2.2 Epidemologi
Menurut World Health Organization (WHO), hipertensi dalam
kehamilan masih merupakan salah satu dari lima penyebab utama kematian
ibu di dunia, yaitu berkisar 12%. Prevalensi hipertensi dalam kehamilan
bervariasi di berbagai tempat, yakni berkisar 2,6-7,3% dari seluruh
kehamilan1.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, angka kejadian preeklampsia
pada tahun 1998 sebesar 3,7% dari seluruh persalinan, sedangkan kematian
ibu akibat preeklampsia dan eklampsia sejak tahun 1987 sampai dengan 1990
sekitar 18%. Di Inggris pada tahun 1998 didapatkan kejadian hipertensi
dalam kehamilan sekitar 5% dan merupakan penyebab utama kematian
maternal serta menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas
perinatal1.
Di negara-negara berkembang insidensi preeklampsia sekitar 3 - 10%
dan eklampsia 0,3 - 0,7% kehamilan. Di Indonesia, preeklampsia menempati
urutan kedua sebagai penyebab kematian ibu setelah perdarahan. Angka
kejadian preeklampsia di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2010
adalah 11,86% dari 1973 persalinan dengan angka kematian maternal 2,1%1.
2.3 Etiologi
Zwifel tahun 1916 mengungkapkan istilah preeclampsia is a disease of
theories dan hingga sampai saat ini belum dapat diperoleh suatu kesepakatan
bersama tentang penyebab terjadinya preeklampsia. Para ahli mencoba
membeberkan beberapa teori yang diduga menjadi penyebab preeklampsia,
yaitu faktor imunologis, faktor inflamasi, faktor genetik, faktor nutrisi,
komponen vasoaktif dan faktor endotel1.
Redman et al melaporkan bahwa disfungsi endotel berhubungan dengan
preeklampsia yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan umum keadaan
normal dan adaptasi umum inflamasi intravaskular maternal terhadap
kehamilan. Hipotesis ini menjelaskan bahwa preeklampsia dianggap
merupakan suatu penyakit akibat status leukosit yang teraktivasi secara
berlebihan pada darah ibu. Desidua mengandung sel yang berlebih jika
teraktivasi dapat mengeluarkan agen yang berbahaya, kemudian agen ini
sebagai mediator memulai terjadinya kerusakan sel. Sitokin, TNF-α (Tumor
necrosis factor alpha) dan interleukin dapat berperan terhadap stres oksidatif
yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia1.
Meskipun sampai sekarang belum ada teori yang pasti berkaitan dengan
penyebab terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan
sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko
tersebut meliputi:
a. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat
pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih, baik pada primipara
maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia
secara bermakna. (Evidence II, 2004). Robillard, dkk melaporkan bahwa
risiko preeklampsia pada kehamilan kedua meningkat yang sebanding
dengan usia ibu yang juga meningkat ( 1,3 kali setiap 5 tahun pertambahan
umur )2.
b. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (Evidence
II, 2004)2.
c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor
risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang
memiliki paparan rendah terhadap sperma2.
d. Jarak antar kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau
lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara.
Robillard, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat
sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 kali setiap
5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua )2.
e. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor
resiko utama. Menurut Duckit resiko meningkat hingga 7 kali lipat.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia
onset dini, dan dampak perinatal yang buruk2.
f. Riwayat keluarga preeklampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3
kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko
sebanyak 3 - 6 kali lipat2.
g. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan
kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat. Analisa
lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali
lipat dibandingkan kehamilan duplet. Sibai dkk menyimpulkan bahwa
kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk menjadi
preeklampsia dibandingkan kehamilan normal2.
h. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor
embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer
penyebab preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek
protektif dari paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan
adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor
sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan
remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan terjadinya preeklampsia
pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang
lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit
pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada
kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami
preeklampsia. Namun, efek protektif dari multiparitas menurun apabila
berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan adanya peningkatan risiko
preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada wanita dengan pasangan yang
pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia2.
i. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
ANC
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar
dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan
resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia.
Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2, 47 kali lipat,
sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan
IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali lipat. Pada studi kohort
yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan pada 878.680 kehamilan,
ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan di populasi
wanita yang kurus (BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada
populasi wanita yang gemuk (BMI > 29,0)2.
j. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil (n = 56.968)2.
k. Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt bahwa risiko preeklampsia
meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan
penyakit ginjal2.
l. Sindrom antifosfolipid
Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya
antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau
keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat2.
m. Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir
setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan
keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk. Chappel juga
menyimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat dinilai secara dini
sebagai prediktor terjadinya preeklampsia superimposed pada wanita
hamil dengan hipertensi kronik yaitu seperti yang tertera pada tabel 1.2
2.6 Penatalaksanaan
Preeklampsia pada usia kehamilan aterm, kehamilan dapat segera
diakhiri. Sangat penting untuk mengetahui bahwa semua modalitas terapi
yang dilakukan hanyalah bersifat paliatif dan penyakit tersebut bersifat
progresif hingga saat persalinan terjadi. Pengelolaan obstetrik tergantung dari
umur kehamilan, berat ringannya penyakit, respon terhadap terapi dan
kemampuan perinatologi. Pada preeklampsia berat, harus mempertimbangkan
umur kehamilan, maturitas paru, respon terhadap pengobatan, kemampuan
perinatologi, serta komplikasi maternal1. Penatalaksanaan preeklampsia
bertujuan sebagai berikut:
a. Mencegah terjadinya kejang eklampsia
b. Persalinan pasien dalam waktu yang tepat
c. Mendeteksi dan menangani komplikasi yang menyertai preeklampsia
d. Menurunkan morbiditas dan mortalitas janin dan ibu
Keputusan untuk kapan mengkhiri kehamilan pada preeklampsia masih
menjadi suatu dilema. Persalinan adalah satu-satunya tindakan definitif.
Pengakhiran kehamilan dilakukan saat usia kandungan atau janin berumur 34
minggu. Apabila persalinan pada usia kehamilan yang lebih awal diperlukan,
terdapat peningkatan risiko luaran neonatal yang buruk. Luaran neonatal
bergantung pada penggunaan kortikosteroid untuk perbaikan maturitas paru
janin. Dengan adanya perkembangan hasil luaran neonatal setelah profilaksis
neonatus, persalinan ditunda hingga 48 jam untuk pemberian terapi
kortikosteroid. Apabila kondisi maternal mencapai stabilisasi maka
kehamilan dapat dilanjutkan. Pengelolaan ekspektatif dapat memperbaiki
hasil neonatal, tetapi dapat memperburuk kondisi maternal. Apabila terdapat
pemburukan kondisi ibu dan janin, hal tersebut dapat dijadikan indikasi untuk
melakukan persalinan. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat < 34
minggu usia kehamilan dapat memperbaiki hasil bayi baru lahir tetapi
memerlukan pengawasan yang ketat bagi ibu dan bayi di rumah sakit1.
Pengelolaan kehamilannya menurut HKFM (Himpunan Kedokteran
Fetomaternal):
Sikap terhadap kehamilan dibagi 2, yaitu:
1. Ekspektatif/konservatif
Bila umur kehamilan < 37 minggu, kehamilan dipertahankan selama
mungkin dengan memberikan terapi medikamentosa
2. Aktif/agresif
Bila umur kehamilan > 37 minggu, kehamilan diakhiri setelah mendapat
terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Indikasi:
a. Indikasi ibu:
1) Kegagalan terapi medikamentosa:
a) Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan darah yang persisten
b) Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan
medikamentosa terjadi kenaikan darah, desakan darah yang
persisten.
2) Gangguan fungsi hepar
3) Gangguan fungsi ginjal
4) Timbulnya ketuban pecah dini dan perdarahan
b. Indikasi janin:
1) Umur kehamilan > 37 minggu
2) IUGR (intrauterine growth restriction) berat berdasarkan
pemeriksaan USG
3) Timbulnya oligohidramnion
2.6.1 Menajemen aktif
Tujuan utama dari manajemen aktif dan ekspektatif adalah
untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas
neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan
ibu. Perjalanan klinis preeklampsia berat sering ditandai dengan
penurunan kondisi ibu dan janin yang progesif jika persalinan tidak
disegerakan. Dalam kepentingan ibu hamil dan janinnya, persalinan
direkomendasikan ketika usia kehamilan 34 minggu atau lebih. Selain
itu, persalinan segera merupakan pilihan yang paling aman bagi ibu
dan janinnya ketika terdapat bukti adanya edema paru, gagal ginjal,
abruptio plasenta, trombositopenia berat, gejala serebral persisten,
status kesejahteraan janin tidak terjamin atau kematian janin tanpa
memandang usia kehamilan pada ibu hamil dengan preeklampsia berat
yang usia kehamilannya kurang dari 34 minggu1.
Bagi ibu hamil dengan preeklampsia berat pada usia kehamilan
34 minggu atau lebih, dan dengan kondisi ibu-janin yang tidak stabil
tanpa memandang usia kehamilan, direkomendasikan untuk dilakukan
persalinan segera setelah stabilisai ibu1.
2.6.2 Menajemen ekspektatif
Manajemen ekspektatif adalah semua usaha menunda persalinan
untuk pemberian kortikosteroid antenatal bertujuan untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal
serta memperpanjang kehamilan tanpa membahayakan ibu. Perawatan
ekspektatif meliputi perawatan dalam rumah sakit dengan
kortikosteroid untuk pematangan paru janin, MgSO4, obat
antihipertensi serta pemantauan ketat ibu dan janin untuk
mengidentifikasi indikasi persalinan5.
Odendaal melakukan uji kontrol acak pada pasien dengan
preeklampsia berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji tersebut
didapatkan hasil tidak terdapat peningkatan komplikasi maternal,
sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, mengurangi
kebutuhan ventilator pada neonatus dan mengurangi komplikasi pada
neonatus1.
Uji kontrol acak yang dilakukan Sibai pada pasien preeklampsia
berat pada usia kehamilan 28-32 minggu juga mendapatkan hasil yang
kurang lebih sama. Pada uji tersebut tidak didapatkan peningkatan
komplikasi maternal, sebaliknya dapat memperpanjang usia
kehamilan, berkurangnya lama perawatan neonatus di perawatan
intensif dan mengurangi insiden sindrom gawat nafas pada kelompok
yang mendapat terapi ekspektatif1.
Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus
preeklampsia pada usia kehamilan 26-34 minggu yang bertujuan
untuk meningkatkan usia kehamilan saat melahirkan dan berat lahir,
serta mengurangi komplikasi neonatus. Pemberian kortikosteroid
berguna untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perinatal1.
Preeklampsia berat pada usia kehamilan 34 minggu dengan
kondisi ibu dan janin yang stabil, direkomendasikan agar upaya
mempertahankan kehamilan dilaksanakan hanya di fasilitas kesehatan
yang memiliki sarana perawatan instensif maternal dan neonatal yang
memadai1.
Adanya proteinuria berat pada ibu hamil dengan preeklampsia
berat yang menjalani penatalaksanaan ekspektatif tidak dikaitkan
dengan luaran yang lebih buruk. Pada sebuah penelitian yang
melibatkan 42 ibu hamil dengan proteinuria berat yang dikelola secara
ekspektatif (didefinisikan 5gr/24 jam atau lebih), terjadi perpanjangan
kehamilan yang signifikan dan terjadi perbaikan disfungsi ginjal pada
semua ibu hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan1.
Penelitian kedua mengelompokkan ibu hamil dengan
preeklampsia menurut derajat keparahan proteinuria menjadi ringan
(kurang dari 5 gr/24 jam), berat (5-9,9 gr/24 jam) atau masif (lebih
dari 10 gr/24 jam). Tidak terdapat perbedaan pada angka kejadian
eklampsia, abruptio plasenta, edema paru, sindrom HELLP, kematian
neonatal atau morbiditas neonatal yang ditemukan pada kedua
kelompok. Meskipun jumlah proteinuria meningkat seiring dengan
waktu pelaksanaan ekspektatif, perubahan ini tidak memprediksikan
perpanjangan kehamilan ataupun luaran perinatal. Bagi ibu hamil
dengan preeklampsia, dianjurklan agar dalam memutuskan persalinan
tidak berdasarkan jumlah proteinuria atau perubahan jumlah
proteinuria1.
a. Pemberian magnesium sulfat
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan
untuk eklampsia di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama
pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk
mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta
mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal.
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi
melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah
perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan
tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium
ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat
terjadi kejang1.
Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah
dipublikasi mengenai waktu yang optimal untuk memulai
magnesium sulfat, dosis (loading dan pemeliharaan), rute
administrasi (intramuskular atau intravena) serta lama terapi.
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium
sulfat 4 g selama 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau setelah
kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi
urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting
dilakukan saat memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2
g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang1.
Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek
samping minor yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing,
nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari
lokasi injeksi. Seperempat dari wanita yang mendapat magnesium
sulfat memiliki efek samping,dimana yang terbanyak adalah
flushing. untuk mengatasi terjadinya toksisitas, kalsium glukonas
1 g (10 ml) dapat diberikan perlahan selama 10 Menit1.
b. Pemberian obat antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada
hipertensi ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 –
109 mmHg), masih kontroversial. European Society of
Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan pemberian
antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional
(dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik superimposed,
hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan
organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan
lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan
darah ≥ 150/95 mmHg1.
Metaanalisis RCT yang dilakukan oleh Magee, dkk
menunjukkan pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan
menunjukkan penurunan insiden hipertensi berat dan kebutuhan
terapi antihipertensi tambahan Hipertensi akut yang berat
berhubungan dengan komplikasi organ vital seperti infark
miokard, stroke, gagal ginjal, insufisiensi uteroplasenta dan
solusio plasenta1.
Dari penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan
antihipertensi dapat mengurangi insiden pertumbuhan janin
terhambat, solusio plasenta, superimposed preeklampsia atau
memperbaiki luaran perinatal. Dari hasil metaanalisis
menunjukkan pemberian anti hipertensi meningkatkan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin terhambat sebanding
dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Hal ini menunjukkan
pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah
memberikan efek negatif pada perfusi uteroplasenta. Oleh karena
itu, indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan
adalah untuk keselamatan ibu dalam mencegah penyakit
serebrovaskular. Meskipun demikian, penurunan tekanan darah
dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25% penurunan dalam
waktu 1 jam1. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran
darah uteroplasenter (lihat tabel 2).
1. Calsium channel blocker
Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar
dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat
pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi
afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya
minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat
memberikan efek samping maternal, diantaranya takikardia,
palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek
lokal mikrovaskular serta retensi cairan1.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker
yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah
persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan
tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena,
kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain
berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan
bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin.
Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada
indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang
berguna pada preeklampsia berat Regimen yang
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 –
30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan
berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan
akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel
blocker1.
2. Beta blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja
pada reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama pada
digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan
atau diberikan pada trimester pertama, sehingga
penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti
hipertensi lainnya tidak efektif. Berdasarkan Cochrane
database penggunaan beta-blocker oral mengurangi risiko
hipertensi berat dan kebutuhan tambahan obat antihipertensi
lainnya. Beta-blocker berhubungan dengan meningkatnya
kejadian bayi kecil masa kehamilan1.
3. Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem
saraf pusat, adalah obat antihipertensi yang paling sering
digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja
terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan
darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah
ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara
lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi
postural, anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis."1
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per
oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari.
Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan
menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal.
Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-
500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk
krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah
tertentu dan disekresikan di ASI1.
(tabel 1. Obat hipertensi dalam kehamilan: Implementation of Clinical Risk Management for Fetal and
Maternal Practices to Improve Quality of Services )
2.7 Pencegahan
Terminologi umum ‘pencegahan’ dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: primer,
sekunder, tersier. Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya
penyakit. Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus
proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala
atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti
pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga
pencegahan ini juga merupakan tatalaksana, yang akan dibahas pada bab
selanjutnya1.
2.7.1 Pencegahan Primer
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi
gejala dan tanda, namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan
cepat. Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat
dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-
penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya
preeklampsia masih belum diketahui1.
Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat
digunakan untuk meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada
satu tes pun yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Butuh
serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar dapat meramalkan suatu
kejadian preeklampsia dengan lebih baik. Praktisi kesehatan diharapkan
dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya,
sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer. Dari beberapa
studi dikumpulkan ada 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko
preeklampsia1.
2.7.2 Pencegahan sekunder
1. Istirahat
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane,
istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko
preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Istirahat
dirumah 15 menit 2x/hari ditambah suplementasi nutrisi juga
menurunkan risiko preeklampsia, Dari 3 studi yang dilakukan telaah,
didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian eklampsia, kematian
perinatal , perawatan intensif , pada kelompok yang melakukan tirah
baring di rumah dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien
preeklampsia1.
2. Aspirin dosis rendah
Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek
penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg) dalam mencegah
terjadinya preeklampsia.5 Beberapa studi menunjukkan hasil
penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat
aspirin1.
Untuk mencegah atau memperlambat onset preeklampsia,
aspirin diberikan sebelum implantasi dan invasi trofoblas komplit.
Pada telaah ini, hanya sedikit bukti yang menunjukkan perbedaan
pemberian aspirin sebelum dan setelah 20 minggu. Aspirin dosis
yang lebih tinggi terbukti lebih efektif, namun risiko yang
ditimbulkan lebih tinggi, sehingga memerlukan evaluasi yang ketat1.
3. Pemberian suplementasi kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian
hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko
tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang memiliki diet asupan
rendah kalsium. Suplementasi ini tidak memberikan perbedaan yang
signifikan pada populasi yang memiliki diet kalsium yang adekuat.
Tidak ada efek samping yang tercatat dari suplementasi ini. Hasil
metaanalisis dari 13 uji klinis yang melibatkan 15.730 pasien
didapatkan rerata risiko peningkatan tekanan darah menurun dengan
suplementasi kalsium (1,5 – 2 g kalsium elemental / hari) bila
dibandingkan dengan plasebo. Terdapat juga penurunan pada rerata
risiko kejadian preeklampsia yang berkaitan dengan suplementasi
kalsium . Efek ini terlihat lebih besar pada wanita dengan asupan
kalsium yang rendah (<900 mg/hari) dan yang memiliki risiko
tinggi. Risio rerata untuk persalinan preterm juga turun pada
kelompok perlakuan yang mendapatkan kalsium dan pada wanita
yang berisiko tinggi mengalami preeklampsia. Suplementasi kalsium
minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan
asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah dan
suplemen kalsium (minimal 1g/hari) direkomendasikan sebagai
prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya
preeklampsia.
2.8 Komplikasi
Hipertensi gestasional dan preklampsia/eklampsia berhubungan dengan
risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada masa yang akan datang.
Pada tahun 1995, Nissel mendapatkan riwayat kehamilan dengan komplikasi
hipertensi dibandingkan dengan kelompok kontrol, berhubungan dengan
risiko hipertensi kronik 7 tahun setelahnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Jose, dkk menunjukkan kejadian hipertensi 10 tahun setelahnya terdapat pada
43,1% wanita dengan riwayat preeklampsia dibandingkan 17,2% pada
kelompok kontrol. Shammas dan Maayah menemukan mikroalbuminuria
yang nyata dan risiko penyakit kardiovaskular pada 23 % wanita dengan
preeklampsia dibandingkan 3% pada wanita dengan tekanan darah normal
selama kehamilan1.
2.9 Prognosis
Komplikasi pada ibu dengan preeklampsia dapat terjadi hingga 70 %
kasus, meliputi eklampsia, DIC, gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular,
ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti jantung paru, pneumonitis
aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan. Kerusakan
hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas
neurologi akan sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan
serebrovaskular akibat perdarahan atau iskemia akan mengakibatkan
kerusakan neurologi yang permanen1.
Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu
penelitian retrospektif terhadap 990 kasus eklampsia menemukan angka
kematian ibu secara keseluruhan adalah 13,9% (138/990). Risiko paling
tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita dengan eklampsia
pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan komplikasi
yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan
prenatal yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas
kesehatan tersier. Satu penelitian otopsi yang dilakukan segera setelah
kematian pada wanita eklampsia menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari
wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari akibat kejang pada otaknya
menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral. Perdarahan kortikal
petekie merupakan yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi lobus
occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif lebih jarang
dijumpai. Trombosis vena serebral sering dijumpai pada wanita dengan
eklampsia paska persalinan1.
Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan
berhubungan erat dengan usia kehamilan. Angka kematian perinatal pada satu
penelitian terhadap 54 parturien dengan eklampsia sebelum usia kehamilan
28 minggu adalah 93%; angka ini hanya sebesar 9% pada penelitian lain
dengan rata-rata usia kehamilan pada saat melahirkan 32 minggu. Kematian
perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan prematur, solusio plasenta dan
asfiksia intrauterin1.