Anda di halaman 1dari 25

Diagnosis dan Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

pada Orang Dewasa

102013258 SIGIT DESWANTO, 102014155 ISALIN SILVANNY HOMER, 102016011


OTNIEL GEOFANO DWIPUTERA, 102016027 YULIA SILVI RAHMATIKA, 102016098
JENITA SALSABILA, 102016122 DANIEL ESTRADA, 102016167 BINTANG EVELIN
LORENZA SINAGA, 102016234 GLORIA VRISCILA

Alamat korespondensi: Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Pendahuluan

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik


peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi dan
secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Insulin merupakan suatu
hormon yang diproduksi pankreas yang berfungsi mengendalikan kadar glukosa dalam darah
dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Secara klinis terdapat dua tipe DM yaitu
DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan karena kurangnya insulin secara absolut
akibat proses autoimun sedangkan DM tipe 2 merupakan kasus terbanyak. DM tipe 2
berlangsung lambat dan progresif, sehingga tidak terdeteksi karena gejala yang dialami
pasien sering bersifat ringan. Komplikasi kronik biasanya terjadi dalam jangka waktu 5-10
tahun setelah diagnosa ditegakkan. Komplikasi kronik terjadi pada semua organ tubuh
dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat penyakit
gagal ginjal. Selain itu, sebanyak 30% penderita diabetes mengalami kebutaan akibat
retinopati dan 10% menjalani amputasi tungkai kaki. 1
Mengingat jumlah penderita DM yang terus meningkat dan besarnya biaya perawatan
pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang
paling baik adalah melakukan pencegahan. Menurut American Diabetes Association (2004),
komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda dan diperlambat dengan mengendalikan kadar
glukosa darah. Pengelolaan diabetes yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa
darah dalam rentang normal dapat dilakukan secara nonfarmakologis dan farmakologis.

1
Pengelolaan nonfarmakologis meliputi pengendalian berat badan, olah raga/latihan jasmani
dan diet. Terapi farmakologis meliputi pemberian insulin dan/atau obat hiperglikemia oral.

Anatomi Pankreas
Pankreas merupakan organ retroperitoneal yang terletak dibagian posterior dari
dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa, didepan aorta abdominalis dan
arteri sera vena mesenterica superior. Organ ini konsistensinya padat, panjangnya 11,5c m
beratnya 150 gram. Pankreas terdiri dari kepala/caput yang terletak di sebelah kanan, diikuti
corpus ditengah, dan cauda di sebelah kiri. Ada sebagian kecil dari pankreas yang berada di
bagian belakang arteri mesenterica superior yang disebut dengan prosessus uncinatus.
Jaringan penyusun pankreas terdiri dari jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang
berentuk seperti anggur yang disebut sebagai asinus yang merupkaan jaringan yang
menghasilkan enzim pencernaan ke duodenum dan jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-
pulau langerhans yang tersebar di seluruh jaringan pankreas, yang menghasilkan insuilin dan
glukagon kedalam darah. Pulau langerhans terdiri dari beberapa sel 1) sel alfa sekitar 20%
menghasilkan hormon glukagon, 2) se B dengan jumlah sekitar 70% menghasilkan hormon
insuilin, hormon sekitar 5-10% menghasilkan banya k somatostatin. Sel F atau PP (paling
jarang), menghasilkan polipeptida pankreas.
Masuknya glukosa ke dalam sel otot di pengaruhi oleh 2 keadaan. Pertama ketika sel
otot melakukan kerja yang lebih berat, sel otot akan lebih permeabel terhadap glukosa.
Kedua, ketika beberapa jam setelah makan, glukosa darah akan meningkat dan pankreas akan
mengeluarkan insuilin yang banyak. Insuilin yang meningkat tersebut menyebabkan
peningkatan transport glukosa ke dalam sel.
Insuilin dihasilkan didarah dalam bentuk bebas dengan waktu paruh plasma 6 menit,
bila tidak berikatan dengan reseptor sel target, maka akan didegradasi enzim insuilinase yang
dihasilkan terutama di hati dalam waktu 10-15 menit. 1,2

Anamnesis

Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan dimana kadar glukosa di dalam darah
tinggi. Ada beberapa gejala klinis yang dapat timbul pada penderita diabetes yang
membawanya memeriksakan diri kepada dokter. Oleh karena itulah, perlu ditanyakan

2
beberapa pertanyaan berikut pada anamnesis yang dapat mengarahkan diagnosis kepada
diabetes mellitus, yaitu: 1

1. Identitas pasien
2. Keluhan yang dialami pasien:
a. Gejala polidipsi, polifagia, dan poliuria
b. Penurunan berat badan
c. Rasa baal pada ekstremitas
d. Luka yang lama masa penyembuhannya
e. Terjadi disfungsi ereksi pada pria / keputihan pada wanita
f. Lemas
g. Gangguan penglihatan
h. Hipertensi
i. Napas cepat dan dalam, takikardia, dehidrasi
3. Riwayat penyakit dahulu:
a. Riwayat terdiagnosa sebagai penderita diabetes
b. Riwayat pernah dirawat inap di rumah sakit dan sebabnya
c. Riwayat pemeriksaan glukosa darah, HbA1C, glukosa urin
d. Riwayat penyakit vascular perifer, neuropati perifer, penyakit jantung,
retinopati
4. Riwayat penyakit keluarga dan pengobatan:
a. Riwayat diabetes mellitus di dalam keluarga
b. Pernah menjalani / sedang menjalani terapi untuk diabetes
c. Alergi terhadap obat tertentu
5. Riwayat sosial:
a. Pola makan dan olahraga sehari-hari
b. Kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol

Hal-hal diatas jika ditanyakan dengan benar dapat mengarahkan kepada diagnosis diabetes
beserta dengan beberapa komplikasinya.1

Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan umum dan fisik sering didapat keterangan – keterangan yang
menuju ke arah tertentu dalam usaha membuat diagnosis. Pemeriksaan fisik dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya adalah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

3
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran, tanda-
tanda vital (TTV) yaitu tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi, dan frekuensi
pernapasan.Pemeriksaan mulai dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak yaitu
kaki. Inspeksi didahului pada daerah tungkai bawah yaitut melihat apakah terdapat luka
ataupun ulkus, atrofi kulit, adanya kontur pada tulang akibat adanya luka lalu dilanjutkan
inspeksi keseluruhan bagian tubuh untuk melihat apakah ada tanda-tanda dehidrasi akibat
hiperglikemia. Perhatikan juga apakah terdapat tanda takpnea atau pernapasan kussmaul.
Selain itu pemeriksaan juga dilakukan pada mata yaitu pemeriksaan ketajaman penglihatan
dan respon pupil. Pada pemeriksaan fisik pada tungkai bawah juga penting untuk mendeteksi
apakah terdapat neuropati dengan tes raba halus menggunakan monofilament dan test refleks
fisiologis. Palapasi juga dapat dilakukan pulsasi raba , suhu raba, pulasasi arteri dorsalis pedis
dan tibialis posterior. Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa hal berikut:
 Keadaan umum pasien baik
 TTV: TD 120/ 80, nadi 80/ menit, suhu 36,5 C, RR 20x/ menit
 Inspeksi: hiperpigmentasi pada daerah leher dan ketiak (merupakan salah satu
ciri khas dari resisten insulin).1

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Glukosa Darah

Pemeriksaan penunjang laboratorium dapat berfungsi sebagai pemeriksaan penyaring,


menegakkan diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian diabetes mellitus.
Pemeriksan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak mempunyai
gejala DM tetapi mempunyai risiko DM. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok
dengan salah satu risiko DM, yaitu:

1. Usia > 45 tahun


2. Aktivitas fisik kurang
3. Termausk kelompok etnik risiko tinggi (African American, latin, native American,
asia American, pacific islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000gram atau riwayat
diabetes gestasional saat masa kehamilan
5. BB > 110% BB ideal atau IMT 23 kg/m2

4
6. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) atau sedang dalam terapi obat hipertensi
7. Riwayat DM pada garis keturunan (first degree atau keturunan pertama)
8. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat // BB lahir bayi > 4000 gram
9. Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan / kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL
10. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
11. Riwayat glukosa tergangu atau glukosa darah puasa terganggu
12. Keadaan yang berhubungan dengan resistensi insuilin (obesitas, akatosis nigrikans)
dan riwayat kardiovascular.

Pada penapisan dapat dilakukan melalui pemeriksaan glukosa darah puasa atau glukosa darah
sewaktu kemudian dapat diikuti oleh TTGO standar. Bagi kelompok risiko dengan
pemeriksaan penyaring yang negative maka diperlukan untuk mengulang pemeriksaan setiap
tahunnya. Sedangkan bagi mereka yang berusia lebih dari 45 tahun dengan hasil pemeriksaan
penyaring yang negative maka pemeriksaan dapat diulang setiap 3 tahun atu lebih cepat
tergantung dari klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan penyaring berguna untuk
menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa
terganggu, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT
dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM Berikut adalah nilai rujukan hasil
pemeriksaan penyaring DM :2

1. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS.)


a. Bukan DM: < 110 mg/dL
b. Belum pasti DM: 110-199 mg/dL
c. DM: ≥ 200 mg/dL
2. Kadar glukosa darah puasa (GDP)
a. Bukan DM: < 110 mg/dL
b. Belum pasti DM: 110-125 mg/dL
c. DM: ≥ 126 mg/dL

Diagnosis diabetes mellitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik (glucose-
oxidase & hexokinase) dengan bahan darah plasma vena. Namun pada kondisi tertentu
dimana sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah utuh (whole blood) vena atau
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai dengan
pembakuan oleh WHO. Hasil pemeriksaan glukosa darah dengan menggunakan darah vena

5
dapat berbeda dengan darah kapiler disebabkan kadar glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-
10% daripada kadar glukosa darah vena. Pemeriksaan dengan menggunakan serum sama
baiknya dengan plasma bila serum dipisahkan dari darah lengkap dalam waktu kurang dari 1
jam. Glukosa dalam serum atau plasma yang disimpan pada suhu 4°C dapat bertahan sampai
48 jam. Bila pemeriksaan dilakukan setelah 48 jam, akan diperoleh kadar glukosa yang lebih
rendah secara bermakna. Hal ini dikarenakan glukosa tersebut digunakan untuk metabolisme
sel-sel darah dan juga kuman. Oleh karena itulah jika pemeriksaan terpaksa ditunda maka
darah utuh harus diberikan pengawet NaF sebanyak 2 mg/mL. Dengan penambahan NaF,
pemeriksaan dapat ditunda sampai 48 jam. Nilai rujukan kadar glukosa darah dengan
menggunakan plasma vena pengambilan sewaktu (gula darah sewaktu) dan pada
pengambilan setelah 8 jam berpuasa (gula darah puasa) adalah < 110 mg/dL. Pemeriksaan
gula darah 2 jam setelah makan (post prandial) juga dapat dilakukan namun lebih sulit karena
harus distandarisasi berdasarkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi harus
distandarisasi terlebih dahulu. Walaupun begitu pemeriksaan ini masih dapat digunakan
untuk memantau hasil pengobatan dan pengendalian DM.

Bila berdasarkan pemeriksaan gula darah sewaktu maupun puasa belum dapat
dipastikan diabetes mellitus maka dilakukanlah pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2
tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Penilaian
hasil pemeriksaan jam ke-2 TTGo adalah sebagai berikut:

- Kadar glukosa darah < 140 mg/dL: TTGO normal


- Kadar glukosa darah 140-199 mg/dL: Toleransi glukosa terganggu
- Kadar glkosa darah > 200 mg/dL: Diabetes mellitus

Selain pada penderita DM kelainan pemeriksaan TTGO dapat pula dijumpai pada penyakit
lain seperti hipertiroidisme dan renal glukosuria.2,3

Uji Toleransi Glukosa Tergangu

Test ini tidak digunakan untuk penapisan, namun dapat membantu menentukan diagnosisi
pasti pada DM apabila test penapisan tidak menunjukan hasil yang pasti.

Cara TTGO (WHO, 1994)

6
 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-
hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakuan kegiatan
jasmani seperti biasa
 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari)sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (ana-
anak), diurutan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengendalian sampel darah untuk pemeriksaan
2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok2

Pemeriksaan HbA1C

HbA1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai gliko-


hemoglobin yang terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin
dan glukosa. Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang mur eritrosit
sehingga eritrosit uta mengandung A1C lebih banyak daripada eritrosit muda. Proses
glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi oleh kadar glukosa di dalam darah. Berdasarkan
waktu paruhnya yaitu sekitar setengah dari usia eritrosit maka pemeriksaan kadar A1C
digunakan untuk memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lalu. Nilai
normal kadar A1C adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pemeriksaan A1C digunakan untuk
menilai efek pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai
hasil pengobatan jangka pedek. Pemeriksaan ini dianjurkan sedikitnya dilakukan 2 kali dalam
setahun.2

Pemeriksaan Glukosa Urin

Pemeriksaan ini dianggap kurang akurat karena peningkatan kadar glukosa di dalam
darah belum tentu diikuti dengan terjadi glukosuria. Oleh karena itu pemeriksaan ini hanya
dilakukan pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa
darahnya.2

Pemeriksaan Benda Keton

7
Pemeriksaan benda keton darah maupun urin sangat penting untuk dilakukan terutama
pada penderita DM tipe 2 yang terkendali buruk, misalnya kadar glukosa darahnya >
300mg/dL, DM dengan penyulit akut, serta terdapat gejala ketoasidosis diabetic (KAD)
seperti mual, muntah, atau nyeri abdomen. Selain itu pemeriksaan ini juga penting dilakukan
pada penderita DM tipe 2 yang sedang hamil. Pemeriksaan benda keton urin dapat dilakukan
dengan cara Rothera, Gerhardt, dan carik celup. Dengan metode Rothera dapat mendeteksi
adanya asam aseto-asetat dan aseton, sedangkan dengan metode Gerhardt hanya data
mendetksi asam aseto-asetat. Pada pemeriksaan carik celup yang dapat terdeteksi kuat adalah
asam aseto-asetat dan bereaksi lemah dengan aseton tetapi tidak dapat mendeteksi asam
hidroksi butirat. Kadar benda keton di dalam darah normal adalah < 0.6 mmol/L, dianggap
ketosis jika kadarnya > 1mmol/L, dan indikasi adanya KAD jika kadarnya > 3mmol/L.2

Working Diagnosis

Homeostasis glukosa yang normal diatur secara ketat oleh tiga proses yang saling
berhubungan yaitu produksi glukosa dalam hati, pengambilan serta penggunaan glukosa oleh
jaringan perifer, dan kerja insulin serta hormone-hormone kontraregulatornya. Kadar glukosa
darah dalam keadaan normal dipertahankan pada kisaran yang sempit, yaitu antara 70-120
mg/dL. Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah. Apabila terdapat gejala khas DM dengan pemeriksaan glukosa
darah yang abnormal 1 kali sudah cukup untuk diagnosis diabetes mellitus. Sedangkan jika
tidak ditemukan gejala khas diabetes maka diperlukan lebih dari 1 kali pemeriksaan glukosa
darah yang abnormal hasilnya. Diagnosis terhadap DM dapat ditegakkan dengan kriteria
berikut :3,4

1. Gejala khas DM + glukosa darah sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaar pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir. atau
2. Gejala khas DM + glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa artinya pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam setelah makan dengn TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

8
TTGO dilakukan denga standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75gram glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air

Diagnosis Diferensial

Diabetes Melitus Tipe I

Diabetes tipe 1 secara tradisional dianggap terjadi primer pada usia di bawah 18 tahun
tetapi kini diketahui bahwa diabetes tipe 1 dapat terjadi pada segala usia. Pada 1 hingga 2
tahun pertama sesudah manifestasi klinis yang nyata, maka kebutuhan insulin eksogen
mungkin minimal atau belum dibutuhkan karena sekresi insulin endogen masih terjadi
(keadaan ini disebut periode bulan madu). Namun setelah itu setiap cadangan sel ß akan
kelelahan dan kebutuhan insulin meningkat secara drastic. Diabetes tipe 1 didominasi oleh
tanda-tanda berubahnya metabolisme yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Meskipun
selera makan meningkat, efek katabolic terus terjadi sehingga timbul penurunan berat badan
dan kelemahan otot. Tanda-tanda kimiawinya meliputi ketoasidosis, insulin plasma yang
rendah atau tidka ada, dan kenaikan kadar glukosa plasma. Gangguan metabolisme dan
kebutuhan akan insulin berhubungan langsung dengan stress fisiologik yang meliputi
penyimpangan dari pola asupan makanan yang normal, peningkatan aktivitas fisik, infeksi,
dan pembedahan.4Insiden tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi
dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakaan sel-sel beta;
dan (b) idiopatik tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Penederita
diabetes melitus tipe 1 (diabetes yang tergantung kepada insuilin) menghasillkan sedikit
insuilin atau sama sekali tidak menghasilkan insuilin4,5.

Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)

Maturity Onset of Diabetes of the Young (MODY) adalah sebuah bentuk diabetes
yang disebabkan oleh mutasi genetic.MODY merupakan sebuah bentuk diabetes
monogenic.Setiap gen yang bermutasi menyebabkan sedikit tipe diabetes yang
berbeda.Bentuk yang paling sering ditemukan adalah MODY3 dan MODY2 karena
mutasi pada genetic HNF1A dan GCK.Biasanya MODY didiagnosa pada akhir masa
anak2, remaja, ataupun tahap awal dewasa.Namun sekarang lebih sering berkembang
pada orang dewasa mulai umur 50-an.Banyak orang dengan MODY salah didiagnosa
menjadi memiliki diabetes tipe 1 atau tipe 2.Namun, hasil diagnose MODY dapat

9
menyebabkan pemberian perawatan yag berbeda dan dapat membantu menemukan
apabila ada anggota keluarga yang juga terkena MODY.
Orang yang menderita MODY sering memiliki gejala atau hasil lab yang tidak
biasa untuk diabetes tipe 1 dan tipe 2. Contohnya MODY bisa terdapat pada:
o Pasien diabetes tipe1 yang memiliki hasil tes darah terhadap antibody negatif, yang
biasanya dilakukan pada saat diagnose diabetes.
o Pasien diabetes tipe 1 yang menghasilkan sejumlah insulin yang signifikan beberapa
tahun setelah diagnosis. (detectable blood levels of c-peptide, proinsulin, and/ or
insulin)
o Pasien diabetes tipe 2 yang memiliki berat badan normal atau tidak terlalu kelebihan
berat badan dan tidak menunjukkan tanda kekebalan insulin
o Pasien diabetes yang merupakan anggota keluarga dari 3 generasi sederet atau lebih
yang telah didiagnosa memiliki diabetes.
o Pasien diabetes yang memiliki gula darah yang stabil cenderung agak meningkat
dimana secara tiba-tiba sering ditemukan MODY dengan gejala yang sering mengarah
ke diabetes tipe 1 atau tipe 2 .4,6
Presentasi klinis pasien dengan MODY termasuk fitur berikut:

➢ Riwayat keluarga yang kuat tentang diabetes jenis apa pun


➢ Independensi insulin
➢ Tidak adanya autoantibodi untuk antigen pankreas dan bukti insulin endogen
produksi
➢ Kekurangan ketoasidosis saat insulin dihilangkan di luar periode bulan madu (biasanya 5
tahun mengikuti diagnosis diabetes. Diagnosis pasien yang secara genetik terbukti pada
awalnya diagnosis diabetes melitus tipe 1 atu diabetes tipe 2. Diagnosis MODDY sangat
penting agar pasien mendapatkan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu sangat penting
untuk mengetahui perbedaan tiga jenis diabetes melitus melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti glukosa acak, glukosa 2 jam post
prandial, test toleransi glukosa oral (TTGO), Hba1C, C-peptide, dan urinalisa mengingat
pemeriksaan molekular genetik tidak selalu tersedia.

Latent Autoimmune Diabetes of the Adult (LADA)

10
LADA adalah sebuah konsep yang diperkenalkan pada tahun 1993 untuk
menggambarkan onset lambat dari diabetes tipe 1 autoimun pada orang dewasa. Orang
dewasa denganLADAsering awalnya salah didiagnosis sebagai diabetes tipe2 berdasarkan
usia mereka, bukan etiologi.Diperkirakan bahwa lebih dari 50% orang didiagnosis
diabetesnon-obesitas yang berhubungan dengan DM tipe 2 sebenarnya mungkin menderita
LADA. Asaglutamat dekarboksilase auto antibodi (GADA), selislet auto antibodi (ICA),
insulinomaterkait (IA-2) auto antibody, dan sengtransporter auto antibodi (ZnT8) harus
diperiksakan pada semua orang dewasa yang tidak obesitas yang didiagnosis dengan diabetes.
Tidak semua orang yang memiliki LADA kurus, namun ada individu kelebihan berat badan
dengan LADA tetapi salah didiagnosis karena berat badan mereka. Selain itu,sekarang
menjadi jelas bahwa diabetes autoimun mungkin sangat kurang terdiagnosis pada banyak
individu yang memiliki diabetes, dan bahwa indeks massa tubuh mungkin memiliki
penggunaan agak terbatas dalam hubungan dengan diabetes autoimunlaten. LADA tidak
membutuhkan insulin karena dapat dikelola dengan perubahan gaya hidup dalam tahap awal
seperti olahraga dan pola makan yang tepat. Awalnya, orang dengan LADA dapat merespon
obat diabetesoral, pola makan yang tepat dan perubahan gaya hidup, meskipun sel beta terus
dihancurkan dan pasien LADA harus dimonitor secara seksama. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penggunaan sulfonil urea dan metformin obatsensitisasi insulin, dapat
meningkatkan risiko gangguan metabolik berat pada orang dengan LADA. Ketika glukosa
darah tidak lagi dapat dikelola melalui gaya hidup dan obat-obatan, suntikan insulin setiap
hariakan diperlukan.4,7

Manifestasi Klinis

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi diagnosis DM menjadi


2 bagian besar berdasarkan ada dan tidaknya tanda / gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri
dari:

1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Polifagia
4. berat badan yang menurun tanpa sebab yang jelas

Sedangkan gejala yang tidak khas DM adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulva pada wanita.3

11
Patofisiologi

Pada diabetas melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi
jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini
dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah
lubang kuncinya yang kurang, hinga walaupun anak kunci (insulin) banyak, tetapi karena
lubang kunci (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan
demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 di
samping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi dan normal. Keadaan ini disebut
resistensi insulin.
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor
yang berperan antara lain:
 Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
 Kurang gerak badan
 Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
 Faktor keturunan (herediter)

Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Yang
menyolok adalah peningkatan jumlah jaringan amilois pada sel beta yang disebut amilin.
Baik pada DM tipe 1 ataupun tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu
melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin.
Kekurangan glukosa sebagai sumber energi pada sel menyebabkan berbagai macam
akibat diantaranya muncul dari tingginya kadar glukosa dalam darah disebabkan adanya
resistensi insulin atau sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin. Pada sebagian
besar pasien DM tipe 2 mengalami hiperinsulinemia pada awalnya sebagai bentuk
kompensasi terhadap kurangnya glukosa yang masuk ke dalam sel, konsekuensi terjadinya
hiperinsulinemia berkepanjangan adalah terjadinya defiensi insulin yang dalam keadaan ini
relatif.
Sel kekurangan sumber enegi dan menimbulkan respon glikogenesis,
glukoneogenesis, dan lipolisis unutk menghasilkan glukosa unutk energi. Hal ini
memperparah hiperglikemia. Penghancuran protein dan lemak tubuh menyebabkan
penurunan berat badan. Glukosa disekresi di urin dalam bentuk diuresis yang selanjutnya

12
dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh. Pasien menjadi dehidrasi, selalu
merasa haus dan minum air dalam jumlah banyak (polidipsia).
Sekresi insulin residual berarti bahwa seseorang dengan Diabetes melitus tipe 2 tidak
mengalami ketoasidosis diabetik, namun orang tersebut dapat mengalami koma hiperosmolar
non-ketotik (HONK) yang diinduksi oleh hiperglikemia berkepanjangan serta dehidrasi dan
hipernatremia.
Efek dari menderita diabetes melitus dapat bermanifestasi mempengaruhi banyak
sistem dalam tubuh seperti pada mata, ginjal dan pada persarafan (neuropati diabetik). Pada
neuropatik diabetik proses kejadiannya berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang
berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur dipol, sintesis advance glycosilation end
products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan akttivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi
berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun bersama dengan rendahnya mioinositol dalam sel yang terjadi karena efek
hiperglikemia (sorbitol da fruktoda) yang merusak sel saraf. Manifestasi neuropati diabetik
sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan yang terdeteksi dengan pemeriksaan
elektrofisologis, hingga keluhan nyeri hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati
lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.
Rasa yang dikeluhkan pasien karena neuropati diabetik bervariasi mulai dari kesemutan,
kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti ditusuk, disobek, ditikam. 8,9

Epidemiologi

Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun,
10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa
selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus
yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada
golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita

13
DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan
kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari. 4

Penatalaksanaan pada DM tipe 2

Pilar Penatalaksanaan DM

1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis

Penatalaksanaan Non-Medikamentosa

Terapi gizi merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi ini pada prinsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita diabetes dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah
terbukti dari terapi gizi medis antara lain:

1. Menurunkan berat badan


2. Menurunkan tekanan darah
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6. Memperbaiki koagulasi darah

Sebagai sumber energy, karbohidrat yang diberikan tidak boleh melebihi dari 55-65% dari
total kebutuh energy sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar
10-15% dari total kalori per hari. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh
dengan jumlah maksimal 10% dari kebutuhan kalori per hari. Beberapa faktor yang harus
diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan diabetisi antara lain tinggi badan,
berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik sehari—hari, faktor usia, dan masa
kehamilan.

14
Latihan fisik juga penting dilakukan untuk para penderita diabetes. Pada diabetisi
yang gula darahnya tidak terkontrol maka latihan fisik akan menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar glukosa darah dan benda keton yang dapat berakibat fatal. Pada diabetes
mellitus tipe 2, latihan fisik dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh, terbukti
dengan penurunan kadar HbA1C yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan risiko
komplikasi diabetes dan kematian. Selain mengurangi risiko, latihan fisik dapat memberikan
pengaruh yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteri, sensitivitas barorefleks,
vasodilatasi, pembuluh darah yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit, hasil
perbandingan denyut jantung dan tekanan darah (saat istirahat maupun aktif),
hipertrigliseridemi dan fibrinolisis. Frekuensi latihan fisik sebaiknya dilakukan 3-5 kali per
minggu dengan intensitas ringan sampai sedang (60-70% maximum heart rate). Durasi
latihan yang dianjurkan adlaah 30-60 menit dengan jenis latihan seperti jalan, jogging,
berenang dan bersepeda yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi.10

Penatalaksanaan Medikamentosa 10-12

Golongan insulin sensitizing

Biguanid

Dari golongan ini yang banyak dipakai adalah metformin yang dapat diberikan 2-3
kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat
absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makanan. Selain itu juga dapat menstimulasi
produksi glucagon like peptide (GLP-1) dari gastrointestinal yang dapat menekan fngsi sel
alfa pancreas sehingga menurunkan produksi glucagon serum dan mengurangi hiperglikemia
saat puasa. Metformin juga berpengaruh pada lipid, tekanan darah, dan juga pada
plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel
beta pakreas sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Biasanya dapat digunakan sebagai
monoterapi mauppun dalma bentuk kombinasi dengan sulfonil urea, repaglinid, nateglinid,
penghambat alfa glukosidase dan glitazone. Pemakaian monoterapi metformin menjadi
pilihan utama pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan
resistensi insulin berat. Kombinasi metformin dan insulin juga data dipertimbangkan pada
pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Pemakaian metformin
dikontraindikasikan pada penderita gangguan fungsi hati, infeksi berat, penggunaan alcohol
berlebihan serta penyandang gagal jantung yang memerlukan terapi.

15
Glitazone

Thiazolidinediones merupakan agonis peroksisom proliferator activated receptors


gamma (PPAR-ɣ) yang sangat selektif dan poten. Glitazone menurunkan konsentrasi insulin
lebih besar daripada metformin dan meningkatkan efesiensi dan respon sel beta pancreas
dengan menurunkan lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Rosiglitazon meningkatkan kolesterol
LDL dan HDL namun tidak pada trigliserida. Sedangkan pioglitazone menurunkan
trigliserida dan meningkatkan HDL. Glitazon sendiri dapat sedikit menurunkan tekanan
darah, meningkatkan fibrinolisis dan memperbaiki fungsi endotel. Rosiglitazon dan
pioglitazon dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan
metformin dan sekretagok insulin. Pemakaian bersama insulin tidak disarankan karena dapat
mengakibatkan peningkatan berat badan yang berlebih dan retensi cairan. Dosis rosiglitazon
4 dan 8 mg sehari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2x sehari). Pemakaian glitazone
dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati lebih dari 3 kali batas atas normal.
Pemakaiannya juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit hati, gagal jantung
kelas 3 dan 4 dan pada edema.

Golongan sekretagok insulin

Sulfonilurea

Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes,
terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin.
Sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta
pancreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan sehingga hanya bermanfaat pada pasien
yang masih mampu mensekresi insulin. Pembagian SU menjadi 3 generasi, yaitu:

- Generasi I: acetohexamide, tolbutamide, klorpropamide


- Generasi II: glibenklamide, glipizide, gliclazide
- Generasi III: glimepiride

Pemakaian SU umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari


kemungkinan hipoglikemia. Dosis permulaan SU tergantung apda beratnya hiperglikemia.
Bila GDP < 200mg/dL sebaiknya SU diberikan dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi
secara bertahap setelah 1-2 minggu. Sedangkan bila GDP > 200mg/dL dapat diberikan dosis
awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan karena dapat

16
diabsorpsi lebih baik. Jika pemberiannya 1 kali sehari sebaiknya diberikan pada pagi hari atau
pada saat makan makanan porsi terbesar.

Glinid

Glinid memiliki lama kerja yang pendek maka digunakan sebagai obat prandial.
Repaglinid dan nateglinid diberikan 2-3 kali sehari dimana repaglinid dapat menurunkan
GDP karena masa tinggalnya pada reseptor SUR lebih lama dibandingkan dengan nateglinid.
Keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa post-prandial dengan
efek hipoglikemia yang minimal.

Penghambat Alfa Glukosidase

Acarbose berkerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di


dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia post-prandial. Obat ini bekerja pada lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Acarbose
memperlambat pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim
alfa glukosidase yang terdapat pada dinding eritrosit yang terletak pada bagian proksimal
usus halus. Dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin,
metformin, glitazone, atau SU. Untuk mendapat efek maksimal obat ini harus segera
diberikan pada saat makanan utama.

Incretin

Terdapat hormone incretin yang dikeluarkan oleh saluran cerna yaitu glucose
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon like peptide-1 (GLP-1). KEduanya
dikeluarkan sebagai respon terhadap asupan makanan sehingga meningkatkan sekresi insulin.
Selain membantu meningkatkan respn sekresi insulin oleh makanan, GLP-1 jug amenekan sel
alfa pancreas dalam mensekresi glucagon, memperlambat pengosongan lambung dan
memiliki efek anoreksia sentral sehingga menurunkan hiperglikemia.

Penghambat Dipeptydil Peptidase IV (DPP-4)

Penghambatan enzim DPP-4 diharapkan dapat memperpanjang masa kerja GLP-1


sehingga membantu menurunkan hiperglikemia. Ada dua macam penghambat DPP-4 saat ini
yaitu sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal dapat menurunkan HbA1C dan memiliki
efek pada glukosa puasa dan post prandial. Dapat juga digunakan sebagai terapi alternative

17
bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. DPP-4 tidak
mengakibatkan hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan
adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala.

Komplikasi5

Ketoasidosis metabolic

Terjadi peningkatan absolute atau relative kadar glucagon yang menyebabkan


pelepasan asam-asam lemak bebas yang berlebihan dari jaringan adipose dan oksidasi hepatic
yang menghasilkan benda keton. Ketonemia dan ketonuria dengan dehidrasi dapat
menimbulkan ketoasidosis metabolic sistemik yang dapat berakibat pada kematian.

Koma hiperosmolar nonketotik

Biasanya terjadi dalam keadaan dehidrasi berat yang dikarenakan dieresis


hiperglikemik yang terus-menerus dan ketidakmampuan untuk minum air yang cukup.

Penyakit mikrovaskular diabetic

Aterosklerotik dipercepat pada aorta dan pembuluh arteri berukuran besar serta
sedang, meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, stroke serebri, aneurisma aorta dan
gangrene pada ekstremitas bawah.

Mikroangiopati diabetic

Diabetes mellitus menyebabkan penebalan difus membrane basalis. Penebalan ini


terlihat nyata pada pembuluh kapiler dalam kulit, otot skeletal, retina, glomerulus ginjal, dan
medulla ginjal. Keadaan tersebut dapat mengenai struktur non-vaskuler seperti tubulus ginjal,
kapsula Bowman, saraf perifer dan plasenta. Walaupun terjadi penebalan pada membrane
basalis, namun pada pasien DM pembuluh kapilernya lebih permeable (mudah bocor)
terhadap protein plasma dibandingkan dengan pembuluh kapiler orang normal.
Mikroangiopati mendasar terjadinya nefropati diabetic dan beberapa bentuk neuropati
lainnya.

Nefropati diabetic

Ginjal merupakan organ yang mengalami kerusakan paling berat pada pasien DM dan
salah satu penyebab kematian diabetes yang utama adalah gagal ginjal. Dimana terjadi

18
kelainan pada glomerulusnya (sklerosis mesangial yang difus, glomerulosklerosis noduler
yang disebut lesi Kimmerlstiel-Wilson, lesi eksudatif yang mengakibatkan proteinuria
progresif dan gagal ginjal kronik.

Komplikasi Okular Diabetik

Retinopati nonproliferatif terdiri dari perdarahan intra-retina serta pre-retina, eksudasi,


edema, penebalan kapiler retina dan mikroaneurisma. Retinopati proliferative merupakan
proses neovaskularisasi dan fibrosis pada retina dengan kecenderungan yang tinggi untuk
menimbulkan kebutaan.

Neuropati Diabetik

Neuropati perifer simetrik yang mengenai saraf motorik dan sensorik ekstremitas
bawah disebabkan oleh jejas sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson saraf.
Neuropati otonom dapat menimbulkan impotensi seksual dan disfungsi usus serta kandung
kemih. Kelainan neurologic yang bersifat fokal (mononeuropati diabetic) paling besar
kemungkinannya disebabkan oleh mikroangiopati.

Prognosis

Sasaran pengelolaan diabetes mellitus bukan hanya glukosa darah saja tetapi juga
profil lipid, berat badan, tekanan darah, dan sebagainya seperti dibawah ini yang telah
ditetapkan oleh PERKENI:

1. DM Terkendali Baik
a. GDP 80-100 mg/dL
b. GD2jPP 80-144 mg/dL
c. HbA1C < 6.5%
d. Kolesterol Total < 200 mg/dL
e. K-LDL < 100 mg/dL
f. K-HDL > 45 mg/dL
g. Trigliserida < 150 mg/dL
h. IMT 18.5-23 kg/m2
i. Tekanan darah ≤ 130/80 mmHg
2. DM Terkendali Sedang
a. GDP 100-125 mg/dL

19
b. GD2jPP 145-179 mg/dL
c. HbA1C < 6.5-8%
d. Kolesterol Total 200-239 mg/dL
e. K-LDL 100-129 mg/dL
f. Trigliserida 150-199 mg/dL
g. IMT 23-25 kg/m2
h. Tekanan darah 130-140/80-90 mmHg
3. DM Terkendali Buruk
a. GDP ≥ 126 mg/dL
b. GD2jPP ≥ 180 mg/dL
c. HbA1C ≥ 8%
d. Kolesterol Total ≥ 240 mg/dL
e. K-LDL ≥ 130 mg/dL
f. Trigliserida ≥ 200 mg/dL
g. IMT > 25 kg/m2
h. Tekanan darah > 140/90 mmHg

Tentu saja yang diharapkan dengan penatalaksanaan non-farmakologis seperti diet dan
latihan fisik yang dipatuhi dan dijalankan secara teratur, serta patuh mengkonsumsi obat yang
telah diberikan oleh dokter maka status DM pasien haruslah terkendali baik.3

Pencegahan

Pencegahan primer memiliki sasaran yaitu masyarakat yang masih sehat. Semua
pihak di dalam masyarakat harus mengembangkan dan membudayakan pola hidup sehat dan
menghindari pola hidup yang meningkatkan risiko DM. Mengkampanyekan makanan sehat
yang mengandung lemak dengan kadar yang rendah atau pola makan seimbang harus
ditanamkan sejak usia dini. Juga menganjurkan olahraga agar tetap dapat menjaga berat
badan agak tidak berlebihan. Pencegahan sekunder adalah ditujukan kepada para penderita
Dm untuk mencegah terjadinya komplikasi dengan mengingatkan pentingnya kepatuhan
minum obat dan latihan fisik secara teratur serta menjaga pola makan. Penyuluhan tentang
diabetes dan cara mencegah komplikasinya perlu diberikan bagi para penderita DM dan
keluarga ataupun kerabat dekatnya. Terakhir pencegahan tersier dengan sasaran pada
penderita DM yang sudha maupun belum mengalami komplikasi dengan tujuan mencegah
terjadinya komplikasi ataupun kecacatan yang diakibatkannya. Upaya ini terdiri dari 3 tahap5

20
1. Pencegahan komplikasi diabetes yang pada consensus dimasukkan sebagai
pencegahan sekunder
2. Mencegah berlanjutnya progresi komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit
organ
3. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ tubuh atau
jaringan.

Makroskopis Pankreas

Gambar 1. Makroskopik pankreas15

Pangkreas merupakan organ retroperitoneal yang terletak kira-kira sepanjang bidang


transpilorik.15 (lihat gambar 1) Dimana pankreas memiliki struktur yaitu caput pankreatis
terletak didalam suatu cekungan berbentuk huruf C duodenum. Processus uncinatus
terbentang dari bagian bawah caput pankreas, yang melintas di posteriordari vasa mesentrica
superior.15 Collum pankreatis terletak di anterior vasa mesentrica superior. Corpus pankretis
memanjang dan terbentang dari collum hingga cauda pancreatis dan cauda pankreatis
melintas di antara lapisan - lapisan ligamentum splenorenale. Duktus pancreaticus (wirsungi)
dimulai dari cauda pancreatis. Duktus ini melintas ke kanan melewati corpus pancreatis dan,
setelah memasuki caput pancreatis, berbelok ke inferior.15 Pada bagian bawah caput pankreas,
duktus pancreasticus bergabung dengan duktus choledochus. Gabungan dari kedua struktur
ini membentuk ampulla hepatopancreatica (ampulla vaterii), yang masuk ke pars descendens
duodeni pada papilla duodeni major. Di sekelilingnya ampulla terdapat sphincter ampulla

21
(sphincter oddii), yang merupakan kumpulan otot polos. Duktus pancreaticus accessorius
(santorini) bermuara ke duodenum tepat di atas papilla duodeni major yaitu pada papilla
duodeni minor.15 Ductus pancreaticus accessorius mengalirkan sekresi pankreas dari
processus unsinata pancreas, ia memiliki pintu agak di proxsimal ampula ke bagian kedua
duodenum. Pada pembuluh nadi adalah oleh Arteri lienalis, Arteri pancreaticoduodenale
superior dan Inferior. Aliran balik vena pancreas sesuai dengan arterinya mengalirkan darah
ke sistem porta. Kelenjar limfe terletak di sepanjang arteri yang mendarahi kelenjar.
Pembuluh eferen akhirnya mengalirkan cairan limfe ke nl. Coeliacus dan mesentrica
superiores. Persarafannya berasal dari serabut saraf simpatik dan parasimpatis (vagus). 15
Pankreas merupakan struktur berlobus yang memiliki fungsi eksokrin dan endokrin. Kelenjar
eksokrin mengeluarkan cairan pankreas menuju duktus pankreastikus, dan akhirnya
duodenum. Sekresi ini penting untuk pencernaan dan absorpsi protein, lemak, dan
karbohidrat. Endokrin pankreas bertanggung jawab untuk produksi serta sekresi glukagon
dan insulin, yang terjadi dalm sel-sel khusus di pulau langerhans.16

Mikroskopik Pankreas

Kelenjar pancreas bersifat serosa murni. Ditemukan sentroductular yang merupakan


saluran keluar pertama. Pulau Langerhans adalah massa sel endokrin berbentuk bulat dengan
berbagai ukuran, yang dipisahkan dari jaringan asini eksokrin di sekelilingnya oleh selapis
serat retikular halus. Pulau Langerhans biasanya lebih besar dari asini dan tampak sebagai
kelompok padat sel-sel epitelial yang ditembus oleh banyak kapiler.13 (lihat gambar 2)

Gambar 2. Mikroskopik Pankreas 14

Ada dua jaringan utama yang menyusun pankreas, yaitu: jaringan asini dan pulau
Langerhans. Jaringan asini berfungsi untuk mensekresi getah pecernaan dalam duodenum.
Sedangkan pulau Langerhans adalah kumpulan sel berbentuk ovoid, berukuran 76×175 mm
dan berdiameter 20 sampai 300 mikron tersebar di seluruh pankreas, walaupun lebih banyak
ditemukan di ekor daripada kepala dan badan pankreas. Pulau-pulau ini menyusun 1-2%
berat pankreas. Pada manusia terdapat 1-2 juta pulau. Masing-masing memiliki pasokan

22
darah yang besar; dan darah dari pulau Langerhans, seperti darah dari saluran cerna tetapi
tidak seperti darah dari organ endokrin lain, mengalir ke vena hepatika.13

Gambar 3. Sel-Sel Pulau Langerhans 14

Sel-sel dalam pulau dapat dibagi menjadi beberapa jenis bergantung pada sifat
pewarnaan dan morfologinya.13 Pada manusia paling sedikit terdapat empat jenis sel: sel A
(alfa), B (beta), D (delta), dan F. Sel A mensekresikan glukagon, sel B mensekresikan insulin,
sel D mensekresikan somastostatin, dan sel F mensekresikan polipeptida pankreas. Sel B
yang merupakan sel terbanyak dan membentuk 60-70% sel dalam pulau, umumnya terletak di
bagian tengah pulau. Sel-sel ini cenderung dikelilingi oleh sel A yang membentuk 20% dari
sel total, serta sel D dan F yang lebih jarang ditemukan. Pulau-pulau yang kaya akan sel A
secara embriologis berasal dari tonjolan pankreas dorsal, dan pulau yang kaya akan sel F
berasal dari tonjolan pankreas ventral. Kedua tonjolan ini berasal dari tempat yang berbeda di
duodenum.15 Granula sel B adalah paket-paket insulin dalam sitoplasma sel. Di dalam sel B
molekul insulin membentuk polimer dan juga berikatan dengan seng. Perbedaan dalam
bentuk paket mungkin disebabkan perbedaan ukuran agregat seng atau polimer insulin.
Granula A yang mengandung glukagon berbentuk relatif seragam dari spesies ke spesies. Sel
D juga mengandung banyak granula yang relatif homogen.13 (lihat gambar 3) Sel beta yang
ada di pulau langerhans memproduksi hormon insulin yang berperan dalam menurunkan
kadar glukosa darah dan secara fisiologi memiliki peranan yang berlawanan dengan glukosa.
Insulin menurunkan kadar gula darah dengan beberapa cara. Insulin mempercepat
transportasi glukosa dari darah ke dalam sel, khususnya serabut otot rangka glukosa masuk ke
dalam sel tergantung dari keberadaan reseptor insulin yang ada di permukaan sel target.
Insulin juga mempercepat perubahan glukosa menjadi glikogen, menurunkan glycogenolysis
dan gluconeogenesis, menstimulasi perubahan glukosa atau zat gizi lainnya ke dalam asam
lemak (lipogenesis), dan membantu menstimulasi sintesis protein.14 Pengaturan sekresi insulin

23
seperti sekresi glukagon yaitu langsung ditentukan oleh kadar gula dalam darah dan
berdasarkan dari mekanisme umpan balik (feed back negative system).

Kesimpulan

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karateristik


hiperglikemia yang tejadi karena kelainan seksresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Prognosis baik dengan regulasi kadar glukosa darah yang baik dan kepatuhan pasien dengan
regimen perawatan diri, serta pendidikan pasien diabetes penting dalam perbaikan prognosis
jangka panjang.

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;


2007.h.138-9.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit
dalam jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1880-3.
3. Mitchell RN. Buku saku dasar patologis penyakit Robbin & Cotran. Edisi ketujuh.
Jakarta: RGC; 2009.h.669-78.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit
dalam jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1874-6.
5. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen penyakit dalam UI;2008.h.1873-95
6. Diunduh dari :http://monogenicdiabetes.uchicago.edu/what-is-monogenic-
diabetes/mody-maturity-onset-diabetes-of-the-young/, 27 November 2018.
7. Medscape Journal. Latent Autoimmune Diabetes of The Adult. Diunduh
dari :http://www.medscape.com/viewarticle/764562, 27 November 2018.
8. Medscape Journal. Type 2 Diabetes Mellitus. Diunduh
dari :http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview, 27 November 2018.
9. Schteingart DE. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit dalam: Pankreas
: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Edisi VI. Vol. II. Jakarta: EGC.
h.1259-74.
10. Sidartawan S, Ahmad R, Asman M, Imam S, Agung P, Putu M.A,dkk. Konsensus
pengelolaan dan pecegahan diabetes mellitus tipe II. Jakarta: Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia ;2008.h.1-41.

24
11. Sulistia GG, Rianto S, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Ed5. Jakarta;
Departemen Farmakologi Universitas Indonesia.2008. h.481-95.
12. Suherman SK. Insulin dan antidiabetika oral. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi
kelima. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2011.h.481-95.
13. Gartner LP, Hiatt JL. Atlas berwarna histologi. Ed. 5. Jakarta: Binarupa Aksara; 2012.
H. 351.
14. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Moore: Clinically oriented anatomy. 7th ed.
15. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2006. H. 83-4; 99-118.
16. Pearce, Evelyn. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia; 2009. Hal
30-35.

25

Anda mungkin juga menyukai