Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mineral merupakan nutrisi atau zat yang sangat berperan penting bagi tubuh dan merupakan
salah satu indikator penentu kesehatan pada tubuh manusia. Mineral merupakan mikronutrien
yang berfungsi untuk proses pertumbuhan, pengaturan, dan perbaikan fungsi tubuh
(Almatsier, 2011).
Salah satu zat gizi yang dibutuhkan tubuh adalah mineral. Mineral memegang peranan
penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun
fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral juga berperan dalam berbagai tahap metabolisme
terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim. Kekurangan mineral dapat
menyebabkan gangguan kesehatan seperti anemia, gondok, osteoporosis dan osteomalasia.
Pemenuhan kebutuhan mineral pada manusia dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi
bahan pangan baik yang berasal dari tumbuhan (mineral nabati) maupun hewan (mineral
hewani) (Almatsier, 2006).
Mineral esensial adalah mineral yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk proses fisiologis,
dan dibagi ke dalam dua kelompok yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro
dibutuhkan tubuh dalam jumlah besar yang terdiri atas kalsium, klorin, magnesium, kalium,
fosforus, natrium, dan sulfur. Mineral mikro diperlukan tubuh dalam jumlah kecil, misalnya
kobalt, tembaga, iodine, besi, mangan, selenium, dan seng. Kekurangan mineral, baik pada
manusia maupun hewan, dapat menyebabkan penyakit. Sebaliknya pemberian mineral
esensial yang berlebihan dapat menimbulkan gejala keracunan (Arifin 2008).
Mineral makro dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Kelompok
mineral makro terdiri atas kalium, kalsium, magnesium, natrium, sulfur, klor, dan fosfor
(Winarno 2008).
Mineral mikro adalah unsur mineral pada tubuh manusia yang dibutuhkan dalam jumlah
sedikit. Mineral mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari. Kelompok
mineral mikro terdiri atas besi, tembaga, selenium, iodium, mangan, seng, kobalt, dan fluor
(Winarno 2008).
1.2 Rumusan Masalah

1. Definisi Anemia ?
2. Klasifikasi Anemia ?
3. Epidemiologi Anemia ?
4. Etiologi Anemia?
5. Patofisiologi Anemia ?
6. Pengelolaan Anemia ?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Anemia
2. Untuk mengetahui klasifikasi Anemia
3. Untuk mengetahui epidemiologi Anemia
4. Untuk mengetahui etiologi Anemia
5. Untuk mengetahui patofisiologi. Anemia
6. Untuk mengetahui pengelolaan Anemia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Anemia


Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal,
berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan kehamilan. Sebagian besar anemia
disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat, B12) yang
digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh
kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi cacing tambang.
2.2. Klasifikasi Anemia
Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang
dikandungnya.
1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin
tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu :
a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan gangguan
sintesis DNA.
b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan peningkatan luas
permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan
sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
3. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan kehilangan
darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-penyakit
hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
2.3 Epidemiologi Anemia
Prevalensi Anemia tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan
anak praremaja. Angka kejadian Anemia pada anak usia sekolah (5-8tahun) dikota sekitar
5,5%, anakperempuan 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6%
anak berusia 1–2 tahun diketahui kekurangan besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9%
gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada
anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas. Prevalensi Anemia
lebih tinggi pada anak kulit hitam disbanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan
dengan status social ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah. Berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan diindonesia prevalensi Anemia pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil
SKRT tahun 1992 prevalensi Anemia pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%. Hasil
survai rumah tangga tahun 1995ditemukan 40,5% anakbalita dan 47,2% anak usia sekolah

menderita Anemia.
2.4 Etiologi Anemia
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh:
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologisa.
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja
kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden Anemia meningkat.
Pada bayi umur 1 tahun ,berat badannya meningkat 3 kali dan massa haemoglobin
dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat disbanding saat lahir. Bayi premature dengan
pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali
dan masa haemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali disbanding saat lahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan
darah lewat menstruasi
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang
banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200mg besi
selama 1 tahun pertama (0,5mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI eksklusif jarang menderita kekurangan
besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung dalam ASI lebih
mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu formula. Diperkirakan
sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi
yang dapat diabsropsi. Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak
daripada ASI lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi.
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gastrektomiparsial atau total sering disertai Anemia walaupun penderita mendapat
makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung
dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan
besi heme dan non heme.
c. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya Anemia.
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah
1ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5–
2mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negative besi. Perdarahan dapat berupa
perdarahan saluran cerna, milkinducedenteropathy, ulkuspeptikum, karena obat-
obatan (asamasetilsalisilat, kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi
nonsteroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh
darah sub mukosa usus.
d. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan Anemia pada
akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
e. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-
rata1,8–7,8mg/hari.
f. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bias diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita Anemia
g. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat
dan berulang serta adanya infiltrate pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat
menyebabkan kadar Hb menurun drastic hingga 1,5–3g/dl dalam 24jam.
h. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40% remaja
perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar ferritin serumnya <10ug/dl. Perdarahan
saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus
selama latihan berat terjadi pada 50%pelari.
2.5 Patofisiologi Anemia
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga diperlukan oleh
berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan
untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan
oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik)
sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi.
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan
bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas
pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi,
berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi
heme, dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia
dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb (Gutrie, 186:303)
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi
feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi
dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang
tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi
dalam keadaan normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan
kadar feritin.
Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur kadar
Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam sel darah merah
(MCH) dengan batasan terendah 95% acuan (Dallman,1990)
2.6 Pengelolaan Anemia
 Terapi
a. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu
b. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
c. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastrointestinal
misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain
dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
 Tumbuh Kembang
a. Penimbangan berat badan setiap bulan
b. Perubahan tingkah laku
c. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi
ke ahli psikologi
d. Aktifitas motorik
2.8. Penentuan kadar hemoglobin
1. Metoda menentukan kadar HB Menurut WHO, nilai batas hemoglobin (Hb) yang
dikatakan anemia gizi besi untuk wanita remaja adalah < 12 gr/dl dengan nilai besi serum
< 50 mg/ml dan nilai feritin < 12 mg/ml. Nilai feritin merupakan refleksi dari cadangan
besi tubuh sehingga dapat memberikan gambaran status besi seseorang.
Untuk menentukan kadar Hb darah, salah satu cara yang digunakan adalah metoda
Cyanmethemoglobin. Cara ini cukup teliti dan dianjurkan oleh International Committee
for Standardization in Hemathology (ICSH). Menurut cara ini darah dicampurkan dengan
larutan drapkin untuk memecah hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin, daya serapnya
kemudian diukur pada 540 nm dalam kalorimeter fotoelekrit atau spektrofotometer.
Cara penentuan Hb yang banyak dipakai di Indonesia ialah Sahli. Cara ini untuk di
lapangan cukup sederhana tapi ketelitiannya perlu dibandingkan dengan cara standar
yang dianjurkan WHO.
Ada tiga uji laboratorium yang dipadukan dengan pemeriksaan kadar Hb agar hasil lebih
tepat untuk menentukan anemia gizi besi.
Untuk menentukan anemia gizi besi yaitu :
a. Serum Ferritin (SF) Ferritin diukur untuk mengetahui status besi di dalam hati. Bila
kadar SF < 12 mg/dl maka orang tersebut menderita anemia gizi besi.
b. Transferin Saturation (ST) Kadar besi dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) dalam
serum merupakan salah satu menentukan status besi. Pada saat kekurangan zat besi,
kadar besi menurun dan TIBC meningkat, rasionya yang disebut dengan TS. TS <
dari 16 % maka orang tersebut defisiensi zat besi.
c. Free Erythocyte Protophorph
Bila kadat zat besi dalam darah kurang maka sirkulasi FEB dalam darah meningkat.
Kadar normal FEB 35-50 mg/dl RBC. Secara ringkas untuk menentukan keadaan
anemia seseorang dapat dilihat pada tabel

2. Hemoglobin merupakan komponen utama eritrosit yang berfungsi membawa oksigen dan
karbondioksida. Warna merah pada darah disebabkan oleha kandungan hemoglobin (Hb)
yang merupakan susunan protein yang komplek yang terdiri dari protein, globulin dan
satu senyawa yang bukan protein yang disebut heme. Heme tesusun dari suatu senyawa
lingkar yang bernama porfirin yang bahagian pusatnya ditempati oleh logam besi (Fe).
Jadi heme adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan hemoglobin adalah senyawa
komplek antara globin dalam waktu yang relatif singkat. Di Indonesia pil besi yang
umum digunakan dalam suplementasi zat besi adalah frrous sulfat. Persentase dan jumlah
zat besi di dalam tablet Fe bisa dilihat pada tabel

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal, berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan kehamilan. Sebagian besar
anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat,
B12).
Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain kebutuhan yang
meningkat secara fisiologis, perdarahan, malabsorpsi zat besi, dll.
Pengelolaan anemia sendiri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi dan
melihat tumbuh kembang.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 2011
Ameliawati, MA.2013. KANDUNGAN MINERAL MAKRO-MIKRO DAN TOTAL
KAROTENOID TELUR KEONG MAS (Pomacea canaliculata) DARI KOLAM
BUDIDAYA FPIK
IPB.https://pdfs.semanticscholar.org/2f70/8c1adb250e82cdf7d76e72c907b5f06167c6.pdf
(Diakses pada Senin, 17 Februari 2020)
Ella Salamah, Sri Purwaningsih, Rika Kurnia.2012.Kandungan Mineral Remis (Corbicula
javanica) Akibat Proses Pengolahan.http://jurnal.unpad.ac.id/akuatika/article/view/483/573
(Diakses pada Senin, 17 Februari 2020)
J Fitriany. 2018. Anemia. https://ojs.unimal.ac.id/index.php/averrous/article/viewFile/1033/552.
(Diakses pada Minggu, 23 Februari 2020)
M Khaidir. 2007. Anemia Defisiensi Besi.
http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/announcement. (Diakses pada 23 Februari
2020)
GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN MINERAL
PATOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

DOSEN PEMBIMBING : dr. Ida

DISUSUN OLEH :
ANNISA AULIA RACHMAH
ARINIE RAMADHANTIE
RUSMA YULFAIDZAH

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANJARMASIN
PROGRAM SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA JURUSAN GIZI
TAHUN 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai