PENDIDIKAN AGAMA
BAGAIMANA PANDANGAN ISLAM TENTANG PAJAK
DISUSUN OLEH :
1. Nabila Tiara Yossi (1111800178)
2. Arini Khamisatul A (1111800203)
3. Dimas Prasetyo (1211800184)
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas materi kuliah pendidikan
agama Islam, yang bertujuan untuk menambah wawasan dan pembelajaran bagi penulis
yang disajikan berdasarkan pengamatan dan kajian dari berbagai sumber.
Makalah ini penulis susun dengan segala keterbatasan, baik itu dalampenyusunan
kata, kalimat dan bahasa maupun dalam penyajiannya masih jauh darikesempurnaan
sebagaimana layaknya. Namun dengan penuh kesabaran dan terutamapertolongan dari
Tuhan akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DALAM ISLAM................................................................
ISLAM................................................................................
PAJAK................................................................................
3.1 KESIMPULAN.......................................................................
3.2 SARAN...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
ii
BAB I
Pendahuluan
Pembahasan tentang halal atau haramnya pajak menjadi sangat menarik, terutama di saat
pemerintahan saat ini yang tengah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak atau amnesti
pajak (tax amnesty) di tahun 2016. Pro dan kontra tentang adakah pajak menurut islam yang
sudah lama berseteru dimunculkan kembali oleh pihak yang tidak menerima pajak sebagai
sebuah kewajiban agama (melalui media sosial, facebook, twitter), maupun oleh pihak yang
sudah menerimanya sebagai sebuah hasil ijtihad ulama yang disahkan oleh ulil
amri/pemerintah sebagai sebuah kewajiban.
Perbedaan pendapat tentang adanya pajak menurut islam menjadi sangat seru karena
masing—masing pihak mampu mengemukakan dalil dari alqur’an, hadist, ijma’, dan qiyas
(sumber—sumber hukum islam) yang menyatakan menolak pajak atau dalil yang
membolehkannya. Pihak yang menolak pajak memiliki argumen yang tajam dan jelas bahwa
perintah memungut pajak tidak ditemukan dalam alqur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, malahan
yang ada mereka justru larangan memungutnya. Di sisi lain, pihak yang berpendapat bahwa
pajak itu dibolehkan juga punya sejumlah dalil yang kuat dan jelas untuk memperlihatkan
bahwa pajak itu adalah sebuah perintah Allah SWT dan ada dalam islam.
iii
Perdebatan tentang boleh atau tidaknya memungut pajak dengan “perang dalil” tidak
akan menghasilkan kesepakatan apa—apa jika tidak diawali dengan pemahaman yang sama
tentang apa saja sumber—sumber pendapatan Negara yang diperbolehkan dalam islam.
Untuk itulah, akan dijelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal yang
berkaitan dengan pajak tersebut, diantaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat
kepada pemerintah dalam masalah ini.
iv
BAB II
Pembahasan
”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
Jizyah (Pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. Kata ”Jizyah”
pada ayat tersebut diterjemahkan dengan “Pajak” (lihat kitab Al-Qur’an dan
terjemahannya oleh Departemen Agama RI terbitan PT Syaamil Bandung). Walau
demikian, tidak semua kitab Al-Qur’an menerjemahkan kata “Jizyah” menjadi
“Pajak” melainkan tetap Jizyah saja, misalnya Kitab Al-Qur’an dan terjemahannya
oleh Departemen Agama RI cetakan Kerajaan Saudi Arabia.
Padanan kata yang paling tepat untuk pajak menurut Sistem Ekonomi Islam
sebetulnya bukan Jizyah karena Jizyah artinya kehinaan. Menurut Khalifah Umar
bin Khattab sungguh tidak pantas kaum Muslim dipungut dengan kehinaan karena
segala aktifitas Muslim yang mengikuti perintah Allah SWT termasuk dalam nilai
ibadah yang berarti kemuliaan. Oleh sebab itu, Pajak bagi kaum Muslim tidak dapat
diartikan kehinaan, rendah, atau berkurang. Rasulullah SAW tidak pernah menyebut
apalagi mengenakan Jizyah untuk kaum Muslim. Jizyah lebih tepat diterjemahkan
dengan “upeti” (pajak kepala), yang dikenakan terhadap Ahli Kitab (Nasrani dan
Yahudi) dan Majusi (kaum penyembah api), sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Syafe’I dalam Kitab Al-Umm, Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha’, Sayyid Sabiq
dalam kitab Fiqhus Sunnah, Sa’id Hawwa dalam kitab Al-Islam, Ibnu Taimiyah
dalam kitab Majmu’atul Fatawa, dan Imam Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam al
Sulthaniya.
Padanan kata yang paling tepat untuk Pajak adalah Dhariibah ()الض ريبة, yang
artinya beban. Alasan mengapa disebut Dharibah (beban) adalah karena pajak
merupakan kewajiban tambahan (tathawwu’) bagi kaum Muslim setelah zakat,
sehingga dalam penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan
yang berat. Secara etimologi, Dharibah, yang berasal dari kata dasar dharaba,
v
yadhribu, dharban yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul,
menerangkan, atau membebankan, dan lain-lain. Ada juga ulama atau ekonom
Muslim dalam berbagai literatur menyebut pajak dengan padanan kata/istilah Kharaj
(pajak tanah) atau ‘Ushr (bea masuk) selain Jizyah (upeti), padahal sesungguhnya
ketiganya berbeda dengan Dharibah. Objek Pajak (Dharibah) adalah al-Maal
(harta/penghasilan), objek Jizyah adalah jiwa (an-Nafs), objek Kharaj adalah tanah
(status tanahnya) dan objek ‘Ushr adalah barang masuk (impor). Oleh karena
objeknya berbeda, maka jika dipakai istilah Kharaj, Jizyah, atau ‘Ushr untuk pajak
akan rancu dengan Dharibah. Untuk itu, biarkanlah Pajak atas tanah disebut dengan
Kharaj, sedangkan istilah yang tepat untuk pajak yang objeknya harta/penghasilan
adalah Dharibah.
Menurut imam Al-Ghazali dan imam Al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan
oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari
mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan negara dan masyarakat
secara umum, penting) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal. Adapun pajak
menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah)
berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum. Abdul Qadim berpendapat pajak adalah harta yang
diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan
dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul
mal tidak ada uang/harta. Dari berbagai definisi yang ada, nampak bahwa definisi
yang dikemukakan Abdul Qadim lebih dekat dan tepat dengan nilai-nilai Syariah,
karena di dalam definisi yang dikemukakannya terangkum lima unsur penting pajak
menurut Syariah, yaitu:
a) Diwajibkan oleh Allah SWT
b) Obyeknya harta
c) Subyeknya kaum muslim yang kaya
d) Tujuannya untuk membiayai kebutuhan mereka
e) Diberlakukan karena adanya kondisi darurat (khusus), yang harus segera
diatasi oleh Ulil Amri.
vi
1. Ghanimah
2. Fa’i
Sumber pendapatan kedua adalah Fa’i, yaitu harta rampasan yang diperoleh
kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran (Q.S. Al-Hasyr
[59]:6,“Dan harta rampasan fa’I dari mereka yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau unta untuk mendapatkannya,
tetapi AAllah memberikan kekuasaan kepada rasul-rasul-Nya terhadap siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”),
dibagikan untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, Anak Yatim, Orang Miskin dan
Ibnu Sabil. Karena diperoleh tanpa peperangan maka tidak ada hak tentara
vii
didalamnya. Fa’i pertama diperoleh Nabi SAW dari suku Bani Nadhir, suku
bangsa Yahudi yang melanggar Perjanjian Madinah.
3. Kharaj
Pendapatan negara ketiga bersumber dari Kharaj yaitu sewa tanah yang
dipungut dari non Muslim ketika Khaibar ditaklukan pada tahun ke-7 H. Pada
awalnya seluruh tanah yang ditaklukan pemerintah Islam dirampas dan dijadikan
milik negara. Namun kemudian, khalifah Umar bin Khattab RA berijtihad, tidak
lagi menjadikannya milik kaum Muslim, tapi tetap memberikan hak milik pada
non Muslim, namun mewajibkan mereka membayar sewa (Kharaj) atas tanah
yang diolah tersebut. Cara memungut kharaj terbagi menjadi dua macam :
b. Kharaj tetap (wazifah) adalah beban khusus pada tanah sebanyak hasil
alam atau uang persatuan lahan. Kharaj tetap menjadi wajib setelah
lampau satu tahun.
4. ‘Ushr
Sumber pendapatan negara keempat adalah ‘Ushr, yaitu bea masuk yang
dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara, yang wajib
dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya
lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5%
dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Ushr yang dibayar kaum Muslim tetap
tergolong sebagai Zakat.
5. Jizyah
Sumber pendapatan negara kelima adalah Jizyah (Upeti) atau Pajak kepala,
yaitu pajak yang dibayarkan oleh orang non Muslim khususnya ahli kitab, untuk
jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib
militer. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jadi Jizyah
juga adalah hukuman atas kekafiran mereka. Hal ini sesuai dengan perintah Allah
SWT dalam Q.S. At-Taubah [9]:29 “Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang
viii
telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan
kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk.” Adapun jizyah terdiri atas dua macam, yaitu sebagai
berikut:
Jumlah pembayaran jizyah telah diubah pada masa khalifah Umar, dengan
menaikkan menjadi satu dinar, melebihi dari yang sudah dilaksanakan sejak
periode Rasulullah saw. Jika seseorang tidak dapat membayar jizyah, dia tidak
akan dipaksa melunasinya, tetapi dengan syarat dia harus menjalani hukuman
penjara, bukan hukuman siksa, seperti menderanya menjemurnya di terik
matahari atau mengguyurnya dengan minyak. Pendapatan dari jizyah disetor
kepada kas Negara.
6. Zakat
ix
Salah satu hasil Ijtihad itu adalah Pajak (Dharibah). Ada beberapa kondisi yang
menyebabkan munculnya Pajak :
a) Pertama disebabkan Ghanimah dan Fa’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada masa
pemerintahan Rasulullah SAW dan Sahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena
dari pendapatan Ghanimah dan Fa’i sudah cukup untuk membiayai berbagai
pengeluaran umum negara. Namun setelah ekspansi Islam berkurang, maka
Ghanimah dan Fay’i juga berkurang, bahkan sekarang tidak ada lagi karena kaum
Muslim sudah jarang berperang. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fa’i tidak
ada lagi, padahal dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum
negara, seperti menggaji pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah
sakit, jalan raya, penerangan, irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru
dan gedung sekolah).
b) Kedua, munculnya Pajak (Dharibah) karena terbatasnya tujuan penggunaan Zakat.
Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya jumlah
kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum
seperti menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, apalagi untuk
non Muslim sebagaimana perintah Allah SWT pada Q.S. At-Taubah [9]:60,
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil
zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya,
untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.”
c) Ketiga, munculnya Pajak (Dharibah) karena mencari jalan pintas untuk
pertumbuhan ekonomi. Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan sumber
daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan lain-
lain. Namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal
kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA tidak diolah, maka negara-
negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para ekonom
Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk
membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut
dengan Pajak.
x
d) Keempat, sebab munculnya Pajak (Dharibah) adalah karena Imam (Khalifah)
berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi kondisi kas negara
(Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau
Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan
pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan
rakyat itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau
kemudharatan yang lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau
memungut Pajak (Dharibah).
xii
5. Pajak (Dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan
yang diperlukan, tidak boleh lebih. Menurut konvensional, pajak tetap
dipungut walaupun sudah melebihi keperluan.
6. Pajak (Dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut
pajak konvensional, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber
pendapatan.
“Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
hukumnya wajib”
Para ulama yang membolehkan pemerintahan islam memungut pajak dari kaum
muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu,
diantaranya:
xiii
2. Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan kemashlahatan
umum, seperti pembelian alat—alat perang untuk menjaga perbatasan
Negara.
3. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat,
jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak.
4. Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
5. Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari “orang kaya saja”, dan adil
dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat—tempat tertentu.
6. tetapi pada saat—saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting
atau ada kebutuhan mendesak saja.
7. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih—lebihan dan hanya
menghambur—hamburkan uang saja.
8. Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada
waktu tertentu.
xiv
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kata yang paling tepat untuk pajak adalah Dharibah, yang artinya beban. Karena pajak
merupakan kewajiban tambahan bagi kaum muslimin setelah zakat, sehingga penerapannya
dirasakan sebagai beban. Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada
kas Negara (Pemerintah) berdasar Undang—Undang (sehingga dapat dipaksakan). Pendapatan
Negara menurut Islam diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu, Ghanimah, Fa’i, dan
Shadaqah atau Zakat. Sedangkan Fa’i dibagi lagi menjadi Kharaj, ‘Usyr, dan Jizyah. Sebab—
sebab pajak dalam Islam:
1) Disebabkan berkurangnya Ghanimah dan Fa’i karena kaum muslim sudah jarang
berperang.
2) Munculnya pajak (Dharibah) Karena terbatasnya tujuan penggunaan Zakat.
3) Munculnya pajak (Dharibah) Karena mencari jalan pintas untuk pertumbuhan ekonomi.
4) Munculnya pajak (Dharibah) Karenan Imam (Khalifah) berkewajiban memenuhi
kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi kondisi kas Negara (baitul mal) kekurangan atau
kosong.
Pembahasan tentang pajak (Dharibah) dalam Al-Qur’an dan Hadist seperti berikut:
1) Pajak (Dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh dipungut ketika
di baitul mal tidak ada harta atau kosong.
2) Pajak (Dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban
bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan.
3) Pajak (Dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, Jizyah diambil dari kaum non-
muslim. Sedangkan pajak konvensional tidak membedakan muslim atau non-muslim.
4) Pajak (Dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya atau mampu, tidak
dipungut dari yang lain. Sedangkan pajak konvensional, juga dipungut atas orang miskin
atau orang tidak mampu, seperti PBB dan PPN.
xv
5) Pajak (Dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan,
tidak boleh lebih. Menurut konvensional, pajak tetap dipungut walaupun sudah melebihi
keperluan.
6) Pajak (Dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut pajak konvensional,
tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.
3.2 SARAN
Pajak dan Zakat merupakan suatu kewajiban utama kaum muslim atas harta mereka.
Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain Zakat, yang datang disaat kondisi darurat atau
kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Sesungguhnya, pajak
(Dharibah) dalam islam tidak ada apabila tidak dalam keadaan darurat. Namun, pajak (Dharibah)
diperbolehkan para Ulama, namun harus dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan Syari’at Islam.
Aturan pajak harus berpedoman kepada Al-Qur’an, Hadist, Ijma, dan Qiyas.
xvi
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/37562838/Makalah_Pajak_dalam_Perspektif_Hukum_Islam
xvii