Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PSIKOLOGI INTERIOR

TERJEMAHAN BUKU ENVIRONMENTAL PSYCHOLOGY 2ND EDITION (FISHER BELL)

BAB 10 – PENERAPAN DESAIN PADA LINGKUNGAN TERTENTU

Nama & NIM:

Vania Dita (615170042)


Yulia Andriani (615170044)
Rahel Chrisdian (615170047)

Kelas: DI B

Dosen: Dra. Dr. Harsiti, M. Si.

PENDAHULUAN

Nafas pertamamu dihembuskan di ruang steril dalam lingkungan yang tertutup. Orang tuamu
membawamu “ke rumah”, dan menempatkanmu di tempat aneh dengan tiang-tiang pada kedua sisi
(tempat tidur anak), dan disekitar terdapat mainan, meja ganti dan kursi goyang. Waktu berjalan dan
kamu mulai menjelajahi rumah dan masih dipengaruhi oleh sekitar. Kemudian ketika bersekolah, kamu
takjub dengan jumlah meja yang banyak, penataan meja, dan lingkungan pendidikan secara keseluruhan.
Penataan tempat duduk dapat memberikan stimulasi, dalam arti lain dapat mempersempit perilaku
kamu, jika dibandingkan dengan berperilaku di rumah. Setelah menyelesaikan sekolah, kemudian tiba
saatnya untuk bekerja. Lingkungan bekerja memiliki beberapa sistem pengaturan menyerupai di
sekolah. Kamu bekerja di ruang “terbuka” yang besar dan meskipun memiliki akses yang mudah antar
rekan kerja, kmau juga merasa harus menjaga privasi. Kamu lebih menghargai libur tahunan dan
menikmati menghabiskan waktu di tempat rekreasi, jauh dari lingkungan kerja. Setiap kedudukan yang
lebih tinggi memiliki lingkingan bekerja yang berbeda, dan setiap tingkatan memiliki efek yang baik
maupun buruk untuk penggunanya dan rekan kerja sekitar. Setelah kamu pension, kamu tinggal di
komunitas pensiunan yang besar. Meskipun kamu menghargai keberadaan orang pensiun disekitar,
kamu terkadang merindukan lingkungan yang lebih heterogen (beragam) sebelumnya. Tapi, umumnya,
kamu memiliki perasaan positif tentang situasi kehidupanmu.

Di bab sebelumnya kita telah memeriksa bagaimana aspek lingkungan mempengaruhi perbuatan kita.
Pada bab 9 kita melihat bagaimana kita bias menggunakan ilmu hubungan lingkungan – perbuatan
untuk mendesain lingkungan yang akan memfasilitasi perilaku yang ingin terjadi. Pada bab ini dan
selanjutnya, kita akan melihat bagaimana prinsip ini diterapkan pada lingkungan tertentu. Kami akan
memilih latar yang penting dalam psikologi lingkungan dan menunjukan bagaimana lingkungan tersebut
akan mempengaruhi perilaku dan bagaimana desain lingkungan terssebut dapat diubah untuk mencapai
tujuan tertentu. Bab ini akan membahas riset psikologi lingkungan terdadap lingkungan tempat tinggal,
lingkungan pendidikan, lingkungan penyebrangan, rumah sakit dan fasilitas untuk orang tua. Bab
selanjutnya akan membahas topik yang sama dengan membahas lingkungan kerja, pengaturan untuk
waktu ulang dan lingkungan untuk masa depan.

PENGATURAN TEMPAT TINGGAL

Lingkungan tempat tinggal sudah disebutkan pada bab sebelumnya dan akan dijelaskan lebih rinci
pada bab ini. Bukan sebuah kejutan topik tempat tinggal untuk sering disebutkan – pengaturan
tempat tinggal adalah yang paling wajar dan penting untuk kita, sehingga banyak riset tentang desain
rumah tinggal dan perkembangannya.

Seperti yang diketahui, banyak jenis pengaturan rumah tinggal. Yang paling umum, berdasarkan
sejarah, adalah satu rumah terpisah yang biasa ditinggali. Pada pengaturan kota, barisan rumah atau 2-3
lantai gedung apartemen (townhouse) mungkin menjadi aturan, sedangkan di daerah pinggiran kota,
bangunan utamanya adalah townhouse. Juga, tentu saja bangunan tingkat tinggi. Setiap jenis lingkungan
ini berkaitan dengan gaya hidup yang berbeda, dan penelitian sudah mulai meneliti persamaan dan
perbedaan diantaranya.

Pilihan

Dengan berbagai bentuk rumah yang berbeda, faktor preferensi (pilihan) calon pemakai menjadi
sesuatu yang penting. Penelitian menyarankan orang-orang di Amerika Utara dan negara
Persemakmuran Inggris cenderung menjelaskan rumah keluarga sendiri yang terpisah sebagai rumah
“ideal” (Copper, 1972; Jandlin, 1972). Kecenderungan ini tidak dipengaruhii tingkat sosial ekonomi –
masyarakat kurang menyukai sistem pengaturan apartemen dan memilih rumah pinggiran tanpa
menghiraukan etnis atau latarbelakang sosial atau lingkungan perumahan yang mereka miliki (Dennis,
1966; Hinsaw & Allott, 1972; Ladd, 1972; Michelson, 1968).

Meskipun mungkin kamu sudah mencurigai banyak orang menginginkan “rumah kecil yang nyaman
di pinggir kota” alasan keterkaitan ini masih belum jelas. Alasan yang paling menarik adalah cara
pengaturan ini membentuk ruang. Michelson (1970), sebagai contoh, berargumen bahwa pengaturan
penyebaran ruang di area rumah keluarga terpisah memungkinkan interkasi intens antar tetangga. Pada
umumnya, area kota berkarakteristik dengan jarak tetangga yang dekat, keluarga besar, dan interaksi
sosial yang luas. Rumah keluarga terpisah mengijinkan pemilik untuk menghindari atau mengontrol
interaksi sosial di sekelilingnya. Michelson juga melaporkan rumah keluarga terorientasi sebagai
kekeluargaan. Maka dari itu, orang-orang menginginkan privasi keluarga yang dimiliki pengaturan ini.

Pemilihan rumah dipengaruhi kuat oleh faktor ekonomi, hal ini membuat beberapa keluarga muda
memiliki rumah sendiri dan beralih ke townhouse atau kondominium. Faktor kondisi lingkungan juga
mempengaruhi jenis hunian yang dipilih, namun tidak terlepas dari faktor ekonomi yang mempengaruhi
harga tanah dan bangunan. Pilihan bias anya ditentukan oleh lokasi dan jenis hunian. Suatu keluarga
mungkin bisa membeli rumah di daerah A, tapi hanya bisa membeli townhouse di daerah B.

Dengan kecenderungan untuk memiliki bangunan rumah tersendiri, mengapa suatu keluarga
mempertimbangakan townhouse di daerah lain? Status sosial mungkin menjadi penyebabnya, faktor
tinggi dan rendahnya tingkat gengsi di suatu daerah. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah keamanan
dan kejahatan, jarak tempuh, aksesibilitas, kualitas sekolah terdekat dan ketersediaan fasilitas publik.
Faktor pemilihan hunian cukup kompleks karena mempertimbangakn kondisi lingkungan sekitar
hunian.

Penggunaan Ruang di Rumah

Meskipun setiap orang memiliki cara menatara rumah mereka sendiri, namun terdapat pola
penyusunan yang konsisten. Black (1968), sebagai contoh, menemukan bahwa membaca santai
merupakan hal yang wajar di ruang tamu namun tidak di dappur atau ruang makan. Dapur bias any
menjadi pusat kegiatan keluarga (Mehrabian, 1976). Kamar tidur adalah area yang paling sering
digunakan di rumah (Parsons, 1972), dan mungkin menjadi area pribadi anggota keluarga.

Fungsi tertentu suatu ruangan dapat mempengaruhi desain ruangan dan penggunaannya. Kamar tidur,
biasanya dijadikan area pribadi, maka dipisahkan dengan area yang kurang bersifat pribadi. Kamar
mungkin terletak di bagian belakang rumah, terpisah dari ruang keluarga dan dapur, atau terletak di
lantai yang berbeda. Kamar tidur juga biasanya untuk tidur maka idealnya tidak berisik. Hanum,
menurut catatan Persons (1972), beberapa orang lebih memilih keadaan yang berisik. Preferensi pribadi
menjadi tantangan desainer yang ingin menyamaratakan desain pada jumlah hunian yang banyak.

Kamar mandi merupakan permasalahan desain yang menarik. Banyak fungsi dari kamar mandi (tabel
10–1), terutama jika kita mempertimbangakan semua kegiatan yang kita lakukan. Mulai dari fungsi
kebersihan fisik yang umum, kita bisa menambahkan fungsi sosial. Banyak orang menggunakan kamar
mandi sebagai “tempat pribadi”. Konvensi sosial mengatakan bahwa kamar mandi dijadiakan sebagai
tempat untuk menyendiri dan mencari ketenangan. Sehinggga, meskipun kamar mandi dapat ditetapkan
sebagai tempat bersama, ia bisa juga menjadi area dimana privasi sementara. Namun, hal ini tidak
berlaku untuk kamar mandi yang besar seperti di asrama. Disana, ruang kecil mungkin memiliki fungsi
privasi seperti kamar mandi rumah.

Tabel 10–1. Beberapa kegiatan yang dilakukan di kamar mandi rumah*

Kebersihan mulut Kebersihan lainnya Kebersihan medis

Menggosok gigi Muntahan Membersihkan luka

Mencuci mulut Menggunakan alat pembersih Merendam anggota tubuh

Berkumur Membersihkan kotoran kulit Menggunakan perban

Menggunakan benang gigi Membersihkan hidung Menggunakan obat


Membersihkan gusi Membersihkan telinga Mengkonsumsi obat internal

Membersihkan dan merendam Mandi Menghidup uap


gigi palsu (pengobatan/

perawatan)

Mencukur Menggunakan alat kontrasepsi

Buang air besar Menggunakan enema

Buang air kecil Membersihkan alat kelamin

Membersihkan kulit dan Membersihkan dan menggunakan


melakukan
kontak lensa
perawatan

*Kegiatan diatas bukan merupakan ketetapan khusus untuk mendesain kamar mandi (Diambil dari Kira,
1976)

Kira (1976) telah meneliti hubungan desain kamar mandi dan fungsinya. Hasilnya banyak
menyerankan berpusat pada meningkatkan kemudahan, termasuk dalam pengubahan desain wastafel
serta vanity, penempatan kenop shower, colokan, dll. Beberapa saran lainnya terkadang sangat berbeda
dibanding yang biasa digunakan pada umumnya. Kira (1976) mengusulkan pembuatan living room bath,
yang bisa digunakan untuk menghibur tamu. Ia melihat situasi tidak biasa sebagai respon logis dari
tekanan ekonomi. Seiring dengan pengurangan luas hunian karena energy dan ketersediaan lahan,
desainer biasanya menggabungkan fungsi ruangan. Karena kamar mandi tidak selalu digunakan, mereka
menjadi kandidat utama untuk penggabungan fungsi baru, dan Kira menyarankan penggunaan ruang
tamu sebagai area mandi

Kepuasan dengan Lingkungan Rumah

Seiring dengan keterbiasaan kita dengan pengaturan hunian tertentu, kita mengembangkan kepuasan
kemampuan kita untuk melakukan hal dasar. Semakin mudah fungsi ini dilakukan, tingkat kepuasan kita
juga meningkat. Steidl (1972) menemukan bahwa ukuran dan denah lantai ruangan sering disebut
sebagai masalah yang mempengaruhi performa pekerjaan. Tidak memiliki luas ruangan yang cukup,
terlalu banyak ruangan untuk dibersihkan, dan berada di area yang terlalu berisik adalah beberapa
masalahnya. Namun penelitian terbaru menyarankan beberapa orang kecil kemungkinan untuk
terpuaskan dengan hunian terlepas dari karakteristik mereka (Galster & Hesser 1981). Pemuda, ibu
rumah tangga, orang kulit hitam, pasangan menikah, dan pasangan dengan banyak anak, rata-rata
kurang puas dengan hunian mereka. Galster dan Hesser juga menemukan beberapa faktor fisik atau
lingkungan juga berpengaruh dengan ketidakpuasan. Pemipaan yang buruk, pemanas atau fasilitas dapur
sangat terkait dengan tingkat ketidakpuasan, sedangkan faktor karakteristik tetangga, seperti, tampilan
ras, kelembaban tinggi atau kondisi struktur area.

Hubungan sosial juga dapat menjadi faktor penting dalam menentukan kepuasan penghuni. Fried dan
Gleicher (1961) menemukan hal ini ditemukan pada daerah kumuh dibandingkan daerah kota biasanya.
Pada daerah kota, ikatan sosial menyumbangakn rasa kedekatan sekitar dan berbagi ruang outdoor.
Greenbaurn dan Green baum (1981), menemukan bahwa indentias grup di lingkungan berhubungan
dengan area personal dan interaksi sosial. Ketika orang-orang bisa membuat ikatan sosial dengan
sekitarnya, mereka lebih memperhatikan dekorasi luar rumahnya dan lingkungan sekitar memiliki aura
daerah kekuasaan grup tertentu.

Faktor sosial lainnya yang bisa menjadi sumber tertentu untuk kepuasan atau tidak untuk beberapa
orang. Seperti di bab 9, aturan privasi adalah pertimbangan penting dalam mendesain lingkungan.
Bagaimana sebuah hunian dirancang dapat mempengaruhi pencapaian privasi, perbedaan pribadi,
namun dengan jumlah privasi yang diinginkan. Privasi di rumah keluarga, menurut anggota laki-laki,
terbagi menjadi dua (Altman, Nelson & Lett, 1972). Pertama, keluarga mengendalikan kontrol tanpa
tindakan fisik, pada keluarga ini pintu kamar tidur jarang tertutup dan beberapa area rumah bisa menjadi
domain satu anggota keluarga. Kedua, keluarga yang menggunakan lingkungan untuk mengendalikan
privasi. Keluarga ini menjaga privasi dengan membagi ruang menjadi area milik pribadi.ntentu saja kita
tidak bisa mengharapkan satu rancangan hunian akan memuaskan setiap keluarga. Variasi rancangan
interior rumah membantu menerapkan unsur keluarga tersendiri.

Sebelum menyimpulkan, kita harus memahami bahwa tidak mungkin untuk membahas semua aspek
rancangan interior rumah dalam diskusi ini. Termasuk dalam konsep rumah sebagai tempat
perlindungan, prefernsi ikatan budaya, ekspresi dan bimbingan serta konsep pribadi rumah dan
kehangatan. Kita tahu orang-orang menggunakan ruangan di rumah mereka dengan cara yang berbeda
dan hal ini mencerminkan latar budaya penghuni atau gaya hidup yang dijalani (Weisner & weibel,
1981). Terlepas dari penggunaan umum (contoh, menyiapkan makanan di dapur), banyak variasi
penggunaan ruangan membuat tantangan untuk rancangan. Semakin fleksibel suatu ruangan, semakin
cocok untuk variasi kegiatan yang dilakukan, selama fungsi dasar ruangan tetap bisa digunakan.

Keakraban: Efek Kepemilikan Teritorial Sekitar

Sejauh ini kita memahami terdapat beberapa variable berkaitan dengan hunian. Faktor penting untuk
hunian lainnya adalah keakraban atau “kedekatan” antara ruang yang digunakan. Jarak kedekatan
dengan penghuni lain (rumah, asrama, kantor, dll) akan mempengaruhi hubungan sosial dengan mereka.

Terdapat dua jenis keakraban yang menghasilkan hubungan sosial yang baik. Pertama, menurut
penelitian semakin dekat jarak fisik dua subjek, semakin besar berkemungkinan untuk menjadi teman.

Pelelitian yang dilakukan oleh Festinger, Schachter dan Back (1950), melibatkan hubungan
pertemanan antar tetangga apartemen di Westgate West. Ketika penghuni (secara acak) ditanya “Siapa
tiga orang yang sering berhubungan sosial dengan kamu?” ditemukan bahwa penghuni merasa sangat
bersahabat dengan tetangga mereka. Faktanya, penghuni cenderung lebih ramah dengan tengangga
disebelah mereka dibanding dengan jarak yang lebih jauh. Selanjutnya, hasil ini diulangi dalam
penelitianan Ebbesen, Kjos dan Konecni (1976). Penelitian lainnya (Segal, 1974) memberikan bukti
yang menguatkan data untuk jarak objektif–pilihan pertemanan. Dalam penelitian ini, Segal
memperhatikan pemilihan pertemanan dalam taruna Akademi Polisi Maryland, yang diatur lokasi kamar
dan tempat duduk berdasarkan alphabet nama terakhir mereka. Hasilnya, pengaturan alphabet dapat
memanipulasi keakraban, dan ditemukan bahwa seseorang cenderung akrab dengan nama yang mirip
dengan mereka.

Jarak objektif fisik bukan hanya mempengaruhi ketertarikan, namun jarak fungsional juga, diartikan
sebagai kesamaan dua individual berinteraksi juga memprediksi kecenderungan untuk berteman atau
saling menyukai (Ebbsesn dkk, 1976; Festinger dkk, 1950). Jarang fungsional menjadi penentu yang
lebih akurat dibanding jarak objektif fisik ketika kondisi arsitektural bangunan yang membatasi interaksi
dengan individual yang berbeda hunian atau kantor. Contohnya, konsep jarak fungsional dengan baik
memprediksi ketertarikan dua individu yang terpisah lima lantai di gedung apartemen (jauh berdasarkan
jarak objektif), namun memiliki kedekatan kotak surat di lobi.

Mengapa keakraban mengarah ke pertemanan? Freedman, Carlsmith dan Sears (1974) menawarkan
beberapa penjelasan. Pertama, sulit untuk memulai persahabatan dengan orang tidak kita kenal
sebelumnya, dan dengan mereka yang dekat secara fisik atau fungsional memiliki akses kedekatan lebih
dengan kita. Kedua, karena kita akan terus berinteraksi dengan tetangga kita, mungkin kecenderungan
“melihat sisi baik” mereka muncul dan mendorong kita untuk “mengusahakannya”. Ketiga, interaksi
berkelanjutan dengan individu tertentu akan membentuk perasaan dapat memprediksi dan rasa aman,
sehingga dapat menciptakan pertemanan. Kemepat, kesamaan luar dan dalam juga berpengaruh seperti
dalam penelitian oleh Zajonc (1968). Namun, harus diingat bahwa kedekatan cenderung menimbulkan
ketertarikan dalam kondisi yang koperatif dimana terdapat keadilan antar individu, dibandingkan tidak
terdapat keadilan dalam kondidi yang sama. Sebagai tambahan, kondisi keadilan dan koperatif
mendukung perkembangan ketertarikan lebih efisien jika individu bersikap netral atau positif
dibandingkan bersifat negatif.

Satu usaha penting untuk mendorong keakraban, yang dapat mengarahkan kepada rasa suka, telah
melibatkan integrase orang kulit hitam dan putih di lingkungan tempat tinggal, sekolah dan tempat kerja
di Amerika. Sayangnya, dalam banyak kasus diamana keakraban terjadi diantara ras yang berbeda,
kondisi optimal yang positif sulit ditemukan. Faktanya, kondisi cenderung menjadi negative.
Contohnya, ketika desegregasi terjadi di sekolah, karena ketidaksamaan hak kulit hitam dan putih
dengan pendidikan yang kurang. Suasana biasanya menjadi menjadi kompetitif serta sikap orangtua dan
orang lain menjadi tidak natural. Sehingga, tidak mengherankan akan mempengaruhi review untuk
sekolah tersebut. Sementara penelitian yang hasilnya bukan berdasarkan penelitian dan banyak variable
tidak terkontrol, akan menghasilkan sesuatu yang cenderung sama (Stephan, 1978).

Penelian juga fokus pada efek keakraban satu ras di lingkungan tempat tinggal. Hal ini telah
melibakan penelitian dari integrasi mendadak perumahan public dan efek desegregasi (mengakhiri
kebiiakan pemisahan ras) di daerah “pinggiran”. Projek perumahan publik pemerintah memiliki harga
sewa rendah, dan “diperuntungkan” untuk berpenghasilan rendah. Hingga awal 1950-an, banyak proyek
prumahan publik yang di seregasi (pemisahan ras). Namun ketika tiba-tiba desegregasi terjadi,
penelitian telah membandingkan sikap orang kulit putih terhadap kulit hitam di lingkungan terintegrasi
dan seregasi. Hasil umumnya menunjukan bahwa keakraban mengarah kepada pengurangan penilaian
anti kulit hitam (contoh, Deutch & Collins, 1951; Ford, 1973). Masih terdapat sedikit penilaian yang
tertinggal, namun ditemukan bahwa kebanyakan persahabatan dengan yang berbeda (kulit putih dan
hitam) terjadi pada yang tinggal berdekatan, dan kecenderungan pertemanan dengan yang sama terjadi
dengan yang tinggal berjauhan. Sebagai dampaknya, keakraban mungkin menjadi faktor penting dalam
pertemanan berlatarbelakang berbeda, sementara dengan latarbelakang sama tidak memerlukan hal
tersebut (Nahemow & Lawton, 1975).

Integrasi lingkungan pinggiran kota akan muncul nanti dan banyak yang masih segerasi. Kemudian,
terdapat beberapa perbedaan antara perumahan publik dan kehidupan pinggiran kota yang dapat
mempengaruhi respon untuk keakraban (contoh, orang memiliki investasi besar di rumah mereka;
perbedaan status sosialekonomi). Apa yang terjadi ketika keluarga kulit hitam membeli rumah di
kawasan penghuni kulit putih? Penghuni area tersebut melaporkan “perbedaan suasana di lingkungan”,
dengan membicarakan kejadian ini menggunakan nada menyengkan dan mencoba mengumpulkan
sebanyak mungkin informasi mengenai penghuni baru. Mereka juga khawatir dengan harga properti.
Namun seiring waktu, perubahan positif terjadi (tabel 10–2). Dari tiga bulan hingga satu tahun keluarag
baru tersebut pindah, diskusi tentang mereka menjadi lebih positif. Keprihatinan tentang harga properti
mereda dan menunjukan penuruan sifat rasis (dengan kata lain orang di lingkungan terintregasi/
digabungkan memiliki sifat rasis yang lebih rendah) (Hamilton & Bishop, 1976). Maka, keakraban
lingkungan hunian dapat memiliki pengaruh baik dalam jangka waktu lama.

Tabel 10–2. Pembicaraan penghuni tentang keluaraga kulit hitam baru*

Waktu interview

Sesudah

Isi pembicaraan Sebelum pindah


Satu bulan Tiga bulan Satu tahun

Tidak ada 54 50 32 33

Negatif 27 25 29 8

Netral - 12 18 8
Positif - - 21 42

*Adaptasi dari Hamilton & Bishop (1976)

LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Pendidikan adalah komponen pusat sosialisasi anak muda dan menyediakan mereka untuk
masadepan. Karena itu, efek desain di lingkungan pendidikan dengan aktivitas didalamnya menjadi
topik penelitian yang menarik. Lingkungan ini memiliki jangkauan dari area belajar asrama kecil hingga
area belajar perpustakaan. Jika fitur desain menyebabkan masalah, hal ini harus diperbaiki untuk
mencapai tujuan pendidikan. Akan lebih baik jika perubahan desain dapat menaikan efektivitas
pembelajaran. Mari melihat beberapa faktor desain di berbagai lingkungan belajar.

Lingkungan Kelas

Perubahan di lingkungan kelas terus dilakukan semenjak berhenti menggunakan satu ruang kelas
besar bersama. Namun, sekarang kita tidak terikat dengan desain tradisional untuk alasan fisikal dan
penelitian menunjukan bahwa perubahan desain kelas dapat menghasilkan sikap siswa yang lebih positif
dan kegiatan partisipasi di kelas (Sommer & Olsen, 1980). Mari kita mempertimbangkan beberapa
inovasi berikut ini.

Kelas tanpa jendela. Satu inovasi, bangunan kelas tanpa jendela, telah terbukti berhasil. Awalnya di
desain untuk mengurangi pengalihan selama proses pembelajaran, dan mengurangi harga penghangat
ruangan, sekolah baru ini biasanya memiliki sedikit jendela. Penelitian menyarankan bahwa
pengurangan jendela di kelas tidak berdampak pada proses pembelajaran (beberapa berkembang,
beberapa tidak atau menurun), tapi hal ini mengurangi kepuasan suasana hati siswa (Architectural
Research Library, 1965; Karmel, 1965).

Konsep Kelas Terbuka. Desain kelas tradisional dengan denah kotak dan deretan meja belajar
digunakan sejak Abad Pertengahan di mana cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca menjadi
satu-satunya sumber cahaya yang ada. Bangunan modern tentunya tidak hanya mengandalkan cahaya
matahari sehingga memungkinkan untuk memakai desain yang lain. Kelas terbuka, sama halnya dengan
kantor terbuka, didesain untuk membebaskan siswa dari batasan-batasan tradisional, seperti tempat duduk
yang telah diatur. Dalam kondisi yang seperti ini, siswa memiliki kesempatan lebih besar untuk
mengeksplorasi lingkungan sekitar.

Riset yang mengevaluasi desain-desain ini menemukan bahwa bukan hanya lingkungan kelas yang
membedakan antara sekolah tradisional dan sekolah terbuka. Ternyata, filosofi pendidikan terbuka yang
membebaskan untuk siswa untuk bergerak dapat terjadi pada kelas yang didesain secara tradisional juga.
Rivlin dan Rothenberg (1976) menemukan bahwa perilaku dan kinerja dalam denah terbuka tidak selalu
sesuai dengan filosofi pendidikan terbuka. Dalam kelas terbuka, siswa berperilaku sama seperti dalam
kelas tradisional, dan para guru seringkali tidak menggunakan seluruh ruang yang tersedia. Sementara
dalam kelas tradisional, siswa menghabiskan banyak waktu dalam tugas individual seperti membaca atau
menulis (Rivlin dan Rothenberg, 1976); dapat dilihat pada Tabel 10-3. Namun, Gump (1974)
memerhatikan bahwa siswa kelas terbuka lebih sedikit melakukan kegiatan terfokus daripada siswa kelas
tradisional, dan grup dalam kelas terbuka lebih besar serta bervariasi. Fleksibilitas yang tinggi dalam
denah terbuka seringkali diikuti oleh aktivitas yang lebih besar juga.

Dua masalah penting yang ada pada denah terbuka adalah minimnya privasi dan kebisingan. (e.g.,
Brunetti, 1972; Rivlin dan Rothenberg, 1976). Keleluasaan yang disediakan denah ini dapat
menyebabkan masalah koordinasi, dan seringkali para guru tidak tahu cara memanfaatkan tempat saat
menata perabotan. Penyatuan aspek kelas tradisional dan terbuka bisa menjadi kunci bagi terciptanya
lingkungan belajar yang lebih baik. Namun, sekarang ini, bahasan soal desain tersebut masih terpecah
belah. Seperti yang akan kita lihat di bab berikutnya, konsep kantor terbuka juga menimbulkan pro dan
kontra.

Tabel 10—3. Contoh aktivitas dalam kelas terbuka berdasarkan behavior mapping.

Tipe aktivitas yang diobservasi Persentase total aktivitas yang diobservasi

Menulis 26,0

Kerajinan tangan 11,8

Berbicara 11,3

Membaca 6,3

Mengerjakan tugas 5,7

Mengajar 4,3

*Pengamat mencatat tipe dan lokasi setiap aktivitas. (Diadaptasi dari Rothenberg & Rivlin, 1975.)
Kerumitan dan Kekayaan Lingkungan. Seberapa besar kerumitan yang pantas ada dalam
lingkungan belajar? Riset mengindikasikan bahwa kerumitan suatu lingkungan dapat mempengaruhi
arousal dan kinerja dalam lingkungan tersebut (e.g., Evans, 1978). Terlalu banyak stimulus dapat
mengganggu siswa, menambah beban, atau meningkatkan keletihan. Namun, lingkungan yang terlalu
sederhana bisa jadi membosankan dan merusak kinerja.

Beberapa peneliti percaya bahwa kelas harus lebih kompleks daripada sederhana (Rosenzweig, 1966;
Thompson & Heron, 1954). Memiliki lebih banyak stimulus dan kesempatan untuk mengeksplorasi
sekitar menyediakan lingkungan yang kaya dan dapat memfasilitasi kegiatan belajar. Beberapa tidak
setuju, berpendapat bahwa lingkungan yang kompleks dapat mengacaukan konsentrasi siswa saat
belajar (Vernon & McGill, 1957, Wohlwill, 1966). Riset yang komparatif memang masih sedikit,
namun satu penelitian telah menelaah efek dari beberapa kerumitan lingkungan belajar (Porteus, 1972).
Riset ini menunjukkan kegiatan belajar yang lebih besar terjadi pada lingkungan yang sederhana,
dengan demikian mendukung pandangan bahwa ada beban dan gangguan berlebih pada lingkungan
yang kompleks.

Perpustakaan

Desainer perpustakaan memiliki beberapa masalah unik yang harus mereka tangani. Salah satu yang
paling umum adalah pola penggunaan ruang untuk belajar dan membaca yang terus-menerus berubah
dalam satu periode (Cziffra dkk., 1975). Karena ruang untuk belajar terkadang kurang dimanfaatkan,
maka desain alternatif untuk sebuah perpustakaan terkadang menjadikan perpustakaan eksklusif untuk
ruang penyimpanan buku, dan memisahkan ruang membaca atau belajar dari lingkungan tersebut. Bagi
banyak mahasiswa, hal itu dapat menyebabkan perubahan pada gaya belajar dan menimbulkan kesulitan.
Bagaimana pun juga, perpustakaan kampus adalah salah satu tempat di mana mahasiswa bisa
menyelesaikan tugas mereka!

Pada studi yang lain, Lipetz (1970) mengamati bagaimana cara 2.000 orang menggunakan katalog
kartu perpustakaan. Karena mayoritas pengguna memakai katalog setelah memasuki gedung, katalog
tersebut biasanya diletakkan di dekat pintu masuk. Lipetz sedikit terkejut mengetahui bahwa lebih banyak
mahasiswa yang memakai katalog tersebut dibandingkan pihak fakultas. Frekuensi kunjungan
perpustakaan juga bervariasi pada setiap periode akademik, yang mana paling tinggi setelah liburan
semester berakhir. Setelah menggunakan katalog kartu, pengunjung biasanya kesulitan untuk mencari rak
buku yang diperlukan, jadi Lipetz merekomendasikan bantuan orientasi yang lebih baik dari yang
biasanya ada.

Lingkungan museum

Museum termasuk lingkungan belajar, namun agak berbeda dari kelas. Karena kita lebih jarang ke
museum daripada ke kelas, lingkungan museum jadi lebih asing bagi kita. Museum juga lebih besar dan
tidak menyediakan meja pribadi seperti di kelas-kelas. Sebagai tambahan, aktivitas yang diutamakan di
museum adalah eksplorasi, yang terjadi saat kita melewati lorong dan ruang, dan melihat barang-barang
yang dipamerkan.

Kemampuan untuk menemukan sesuatu dalam museum berkaitan dengan wayfinding dalam
lingkungan apapun. Museum yang sulit atau membingungkan untuk dieksplor dapat membuat
pengunjung tidak puas dengan kunjungannya (Winkel dkk., 1976). Jika kamu melewatkan pameran yang
ingin kamu lihat, atau cuma berputar-putar di dalam, pengalamanmu akan terasa kurang menyenangkan
dibandingkan jika segalanya lebih sederhana. Namun, kerumitan lingkungan museum itu rupanya
penting—untuk satu tujuan, yaitu memamerkan sebanyak mungkin barang di dalamnya.

Salah satu cara untuk mengatasi kerumitan tersebut adalah menyediakan bantuan bagi pengunjung
untuk menemukan jalannya. Winkel dkk. (1976) menyiratkan bahwa orang lebih senang membaca papan
penunjuk atau map dibandingkan harus meminta bantuan pada pekerja museum. Map yang bisa
menggambarkan denah dan memberitahu lokasi pengunjung berada secara akurat dan mudah dapat sangat
membantu. Seperti map-map dengan tanda “You are here” yang menunjukkan lokasi pengunjung dan cara
untuk mencapai suatu tempat dari lokasi tersebut (Levine, 1982). Tidak mengejutkan, bantuan seperti map
atau papan penunjuk memang bisa meningkatkan kepuasan pengunjung terhadap suatu lingkungan
(Borun, 1977).

Rasa overload mungkin dapat menjelaskan mengapa bantuan tersebut sangat penting dalam museum.
Telah ditemukan bahwa museum yang paling popular adalah museum yang tingkat kerumitannya sedang.
(Lakota, 1975; Melton, 1972; O’Hare, 1974; Robinson, 1928). Kelelahan dalam museum bukan hanya
karena berjalan-jalan, namun juga dipengaruhi oleh stimulus yang diberikan oleh lingkungannya
(Robinson, 1928). Mungkin, museum dapat menyebabkan rasa letih berlebih apabila ia terlalu kompleks
atau menyulitkan untuk berjalan-jalan.

Riset juga menyebutkan beberapa cara orang mengeksplor museum. Contohnya, orang yang tidak kidal
biasanya berputar ke kanan setelah memasuki museum dan bergerak sesuai arah itu (Melton, 1933. 1936;
Robinson, 1928). Setelah berada dalam museum, orang biasanya berhenti pada beberapa pameran di awal,
lalu menjadi lebih selektif seiring mereka mengeksplor lebih jauh (Melton, 1933). Semakin tinggi
attraction gradient sebuah obyek, semakin tinggi pula kemungkinan orang untuk mengunjunginya. Pintu
keluar menuju ruangan lain juga penting karena orang cenderung menggunakan pintu keluar pertama
yang mereka lihat. Peneliti museum menyebutkan dorongan tersebut sebagai exit gradient. Oleh karena
attraction gradient dan exit gradient itulah, mayoritas orang hanya melihat setengah dari keseluruhan
ruang pameran sebelum beralih ke kegiatan selanjutnya (Parsons & Loomis, 1973).

Keletihan dalam Eksplorasi Museum. Seperti yang dapat diduga, pola pergerakan fisik dalam museum
menunjukkan tanda-tanda maladaptive. Berjalan dalam museum seharusnya bisa mendukung kegiatan
eksplorasi. Namun, seperti yang kita lihat, pengunjung seringkali malah bergerak terus tanpa banyak
berhenti atau melihat, sehingga melewatkan banyak pengalaman yang seharusnya bisa didapatkan dari
mengunjungi museum. Mengapa kegiatan eksplorasi itu tidak utuh? Salah satu penjelasannya adalah rasa
letih yang mengganggu.

Robinson (1928) pertama kali mempelajari kelelahan dalam museum bertahun-tahun yang lalu.
Meskipun studi tersebut sudah lama dilakukan, banyak hasil pengamatanya yang masih penting. Ia
menyimpulkan bahwa kelelahan bukan hanya disebabkan oleh hal-hal fisik, namun juga kelelahan karena
harus mempertahankan level focus yang tinggi. Robinson mencetuskan istilah “museum fatigue” untuk
menjelaskan fenomena tersebut.
Dalam riset lab yang cerdas, Robinson dapat mendemonstrasikan bahwa museum fatigue tidak
dipengaruhi oleh hal-hal fisik saja. Ia menyuruh orang-orang duduk di meja sambil melihat beberapa
lukisan dari sebuah galeri, yang dipajang dengan urutan yang sama seperti saat mereka digantung di galeri
itu sendiri. Lama waktu mereka memerhatikan lukisan itu dicatat dan dibandingkan dengan lama waktu
orang lain ketika memerhatikan lukisan di galerinya langsung. Ternyata, penurunan level fokus orang-
orang yang duduk terjadi di titik yang sama dengan orang-orang yang berjalan di galeri. Robinson
menyimpulkan bahwa museum fatigue terjadi juga karena efek psikologis atau rasa bosan. Ia juga berkata
bahwa setelah pengunjung berkonsentrasi pada beberapa obyek utama untuk waktu yang lama, mereka
merasa sangat puas dengan lingkungan museum sehingga obyek lainnya menjadi kurang menarik. Diskusi
soal information overload di Bab 3 menyatakan bahwa saat kita menerima stimulasi yang amat rumit dari
lingkungan museum, kita cenderung mengabaikan stimulasi lain yang kurang penting demi memerhatikan
stimulasi yang lebih penting. Fenomena inilah yang terjadi dalam museum fatigue: kita terpuaskan oleh
informasi yang kompleks, sehingga kita kurang memerhatikan detail pameran lainnya.

Museum fatigue dapat dikurangi dengan apa yang Robinson sebut sebagai diskontinuitas dalam desain.
Diskontinuitas merujuk pada perubahan stimulus yang ditunjukkan. Misalnya, deretan lukisan yang di
tengah-tengahnya diselipkan sebuah patung atau perabotan. Jumlah lukisan atau obyek yang dipamerkan
juga dapat dikurangi karena sebuah galeri memiliki koleksi besar yang cukup untuk menuntut perhatian
yang besar dari mayoritas pecinta seni. Mengurangi museum fatigue membantu pengunjung mendapatkan
kepuasan lebih dari kunjungannya ke museum.

LINGKUNGAN PEDESTRIAN: MALL, PLAZA, DAN PENYEBERANGAN

Hampir setiap lingkungan memiliki pola sirkulasi pejalan kaki yang khas. Orang-orang memilih jalan
dan menghindari rintangan secara teratur. Dengan memahami perkembangan pola-pola ini, kita dapat
memperoleh informasi penting tentang desain beberapa jenis lingkungan.

Penelitian telah mengungkapkan sejumlah prinsip pola pergerakan pejalan kaki. Satu aturan dasarnya
adalah bahwa orang memilih rute langsung yang sederhana, entah jalan setapak yang biasa atau secara
bebas melintasi halaman berumput (Preiser 1972). Halaman rumput yang memiliki bekas tapak kaki di
sebagian besar kampus, meskipun ada trotoar di dekatnya, menggambarkan prinsip ini. Pengamatan lain
tentang pola gerakan memperhatikan kecepatan orang berjalan. Umumnya, orang menyesuaikan
kecepatan mereka dengan orang-orang di sekitar mereka (Preiser, 1973). Kerumunan yang lebih besar
tampak bergerak lebih lambat, dan orang-orang berjalan lebih lambat di atas karpet daripada di lantai
yang belum di-finish. Bahkan, kadang pejalan kaki mencocokkan ritme mereka dengan irama musik latar.
Hal ini dan pola pergerakan dasar lainnya berlaku di beberapa lingkungan yang berbeda (e.g., Bovy,
1975).

Kami menyebutkan bahwa pola pergerakan juga harus mempertimbangkan efek dari hambatan, seperti
lalu lintas mobil. Seringkali, orang harus dihadapkan dengan lalu lintas saat berjalan menuju suatu
tempat. Mereka mungkin harus menyeberang jalan untuk sampai ke gedung kelas; atau melewati tempat
parkir yang ramai dalam perjalanan ke pusat perbelanjaan. Orang berjalan lebih lambat dalam situasi
seperti itu dan sering mengalami keraguan dalam memutuskan apakah akan menyeberang atau menunggu
(Henderson & Jenkins. 1974). Selain lalu lintas, gerombolan orang juga dapat menghambat gerakan kami
dan mengubah pola. Kehadiran gerombolan di jalan seseorang sering menyebabkan perubahan kecepatan
dan penyimpangan dari rute langsung yang bisa dilakukan. Misalnya, orang akan berjalan di sekitar
sekelompok kecil orang yang sedang berdiri dan berbicara daripada mengambil rute langsung yang harus
melalui gerombolan orang (Cheyne & Efran, 1972 Knowles dkk., 1976). Preiser (1973) telah
memasukkan semua pengaruh ini pada pergerakan pejalan kaki ke dalam model friction-conformity.
Yaitu, "friction" seperti yang disebutkan di atas menghambat aliran pejalan kaki, dan tekanan konformitas
(mis. kecepatan orang lain) memberikan pengaruh tambahan pada gerakan.

Knowles dan Bassett (1976) telah mempertimbangkan tanda sosial yang digunakan orang dalam
memutuskan apakah akan berhenti atau bergerak dalam lingkungan yang ramai. Persepsi mereka tentang
apakah kelompok itu adalah entitas yang berinteraksi atau sebatas kumpulan orang asing tampaknya
penting dalam menentukan perilaku. Ketika pejalan kaki bertemu sekelompok orang berbicara satu sama
lain, mereka pindah. Ketika mereka bertemu sekelompok orang biasa yang hanya berdiri dan melihat ke
atas, mereka kemungkinan besar akan berhenti untuk bergabung (Knowles & Bassett, 1976).

Terkadang kita suka melihat orang lain berjalan. "People watching" terjadi ketika orang mencari
bangku atau kursi di mana mereka dapat menontoni orang lain (Preiser, 1972). Snyder dan Ostrander
(1972) mengamati fenomena ini pada penghuni panti jompo yang sering menempatkan diri mereka di
daerah di mana mereka dapat mengawasi staf dan penghuni lainnya. Demikian pula, Zeisel dan Griffin
(1975) melaporkan bahwa penghuni tua sebuah kompleks apartemen lebih suka duduk di sepanjang area
trotoar sehingga mereka bisa menyaksikan orang lain lewat. Orang yang suka menontoni orang lain tentu
tidak terbatas pada orang tua. Misalnya, remaja yang menggunakan pusat perbelanjaan daerah sebagai
"tempat nongkrong" dapat duduk berjam-jam menontoni orang lewat, mencari teman, dan bahkan
mendatangi orang-orang yang mereka temukan.

Memahami pola pejalan kaki berguna untuk beberapa hal. Mengetahui bagaimana orang bergerak
melalui area perbelanjaan, misalnya, dapat membantu dalam mendesain mal dan mengatur toko sehingga
mereka ditempatkan secara optimal. Dalam pengaturan lain, hambatan dapat diminimalisir dan rute
langsung antar tempat dapat disediakan. Dengan melakukan hal-hal ini, kita dapat memfasilitasi
pergerakan yang nyaman melalui sejumlah pengaturan.

LINGKUNGAN RUMAH SAKIT

Banyak dari apa yang kita ketahui tentang desain lingkungan rumah sakit berasal dari penelitian
tentang perawatan akut dan lingkungan rumah sakit jiwa (Reizen-stein, 1982). Sebagian besar investigasi
berbasis data menggunakan sampel pasien psikiatri, mungkin karena ada aksesibilitas yang mudah untuk
menggunakan subyek tersebut. Apapun alasannya, fakta ini membatasi apa yang dapat kita simpulkan
tentang desain rumah sakit, karena tidak ada jaminan bahwa pasien rumah sakit akan merespons dengan
sama, terlepas dari alasan mereka menjadi pasien.

Selain itu, literatur tentang lingkungan rumah sakit dibatasi oleh metodologi—sebagian besar
didasarkan pada pendekatan deskriptif atau noninvestigatif. Dengan kata lain, banyak yang kita ketahui
tentang lingkungan ini didasarkan pada observasi dan opini daripada studi tentang perilaku di dalamnya,
meskipun ada beberapa pengecualian penting (misalnya, Canter, 1972; Noble & Dixon, 1972; Wolfe,
1975).
Salah satu aspek dari lingkungan rumah sakit yang banyak diperhatikan adalah kontrol yang rendah
atau "pilihan yang rendah” yang dipaksakan pada pasien dan pengunjung (Olsen, 1978; Taylor, 1979).
Rumah sakit biasanya memiliki sejumlah peraturan dan memungkinkan pasien hanya memiliki sedikit
kontrol minimal atas ruang-ruang yang mereka bisa gunakan. Olsen telah menunjukkan bahwa desain
rumah sakit dapat mengkomunikasikan pesan ini—bahwa orang-orang "sakit dan tergantung dan harus
berperilaku dengan cara yang sesuai pasif ..." (Olsen, 1978, hal. 7). Menyediakan kerumitan ruang yang
lebih besar atau memberikan lebih banyak pilihan atau variasi dalam desain dapat memperbaiki situasi
dan menghasilkan respons emosional yang lebih positif (Olsen, 1978).

Ronco (1972) mengamati bahwa rumah sakit biasanya lebih dirancang untuk staf daripada kebutuhan
pasien. Misalnya, bangsal yang didesain untuk memfasilitasi fungsi staf, dapat menyebabkan pasien
merasakan kehilangan kontrol dan privasi yang luar biasa. Perasaan seperti itu dapat menyebabkan pasien
menjadi sangat tergantung pada rumah sakit dan menarik diri dari kegiatan normal. Pertimbangan ini dan
beberapa hal lainnya telah mendorong para peneliti untuk mencari alternatif desain yang bisa mengurangi
efek negatif rawat inap, mempercepat proses penyembuhan, serta memfasilitasi kebutuhan staf.

Apakah beberapa desain dan lokasi stasiun perawat mempromosikan perawatan yang lebih efisien
(mis., Menjadi fasilitasi havioral), seperti yang disarankan beberapa orang (lih. Lippert, 1971)? Untuk
menjawab pertanyaan ini, Trites dkk. (1970) meneliti efisiensi perawat dan kepuasan staf dengan tiga
desain bangsal rumah sakit yang berbeda. Secara umum, desain bangsal radial (koridor tunggal atau
ganda), merupakan desain yang paling diinginkan, baik untuk menghemat waktu perjalanan atau
meningkatkan waktu dengan pasien. Selain itu, anggota staf keperawatan lebih memilih untuk ditugaskan
ke bangsal radial. Fakta bahwa staf perawat di unit radial memiliki lebih banyak waktu luang ditafsirkan
sebagai indikasi bahwa lebih banyak pasien yang dapat ditempatkan dalam bangsal. Namun, dalam
penelitian bangsal lain, Lippert (1971) menemukan tidak ada satu desain bangsal yang lebih unggul dari
yang lain. Meski begitu, jelas bahwa desain rumah sakit dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan
pasien dan staf.

Masalah lain yang telah mendapat perhatian adalah sejauh mana desain yang berbeda mempengaruhi
interaksi sosial di antara pasien. Beckman (1974) mengemukakan bahwa desain yang tepat adalah desain
yang mendorong pasien untuk meninggalkan kamar mereka dan mencari pasien lain, dan yang
mendukung interaksi sosial. Tujuan desain ini adalah untuk menimbulkan pemahaman dan kepedulian
terhadap jenis masalah yang sama yang ada dalam studi lingkungan perumahan—pengakuan bahwa
pengaturan ruang dapat memengaruhi frekuensi dan kualitas kontak sosial (Baum & Valins, 1977).

Kami mencatat dalam bab sebelumnya bahwa beberapa jenis pengaturan furnitur (yaitu, sosiopetal vs
sosiofugal) bisa memfasilitasi interaksi pasien lebih dari yang lain. Selain itu, mengurangi jumlah tempat
tidur di bangsal juga meningkatkan interaksi sosial dan mengurangi penutupan diri (Ittelson dkk., 1970).
Kekhawatiran interaksi sosial meluas ke hubungan lain juga. Pill (1967), misalnya, membahas bagaimana
desain yang menempatkan staf perawat di dekat pasien tidak memungkinkan perawat untuk memenuhi
kebutuhan privasi mereka Bentuk interaksi penting lainnya, pengungkapan antara pasien dan dokter,
difasilitasi oleh pengaturan kelembagaan yang dirancang dengan menyenangkan (Reizenstein, 1976).
Penelitian lain menunjukkan bahwa unit perawatan intensif tanpa jendela memiliki efek negatif lebih
tinggi pada pasien pascaoperasi, mulai dari hasil psikologis negatif hingga komplikasi fisiologis (Wilson,
1972), dan bahwa kebisingan yang tidak terkendali meningkatkan rasa sakit yang dialami dan
meningkatkan penggunaan obat painkiller untuk pasien (Minckley, 1968).

Serangkaian penelitian oleh Wolfe dan Rivlin (Rivlin & Wolfe, 1972; Wolfe, 1975) telah meneliti
sejumlah variabel desain dan pengaruhnya terhadap perilaku di rumah sakit jiwa anak-anak. Salah satu
variabel penting ternyata ukuran kamar dan hunian. Ittelson dkk. (1970), misalnya, menemukan bahwa
semakin banyak pasien di suatu ruangan, semakin sedikit jenis perilaku yang bisa diamati. Wolfe (1975)
juga melaporkan bahwa elemen desain yang meningkatkan jumlah anak yang ditugaskan di ruang rumah
sakit mengurangi penggunaannya dan memiliki efek menghambat pada perilaku pasien.

Desain ruang bermain di fasilitas psikiatrik untuk anak-anak juga mendapat perhatian (Rivlin, Wolfe,
& Beyda, 1973). Secara umum, pertimbangan untuk perbedaan tingkat usia dalam perencanaan ruang
bermain di fasilitas ini hanya sedikit. Anak-anak yang lebih muda, tampaknya mengalami kesulitan dalam
beradaptasi dengan ruang bangsal rumah sakit yang sangat terkontrol. Rivlin dan rekan-rekannya
menyatakan bahwa perilaku yang ditunjukkan anak-anak kecil dalam menangani disorientasi mereka pada
lingkungan sekitar malah ditafsirkan oleh anggota staf sebagai bagian dari gangguan mereka. Pada
kenyataannya, anak yang lebih muda mungkin bereaksi seperti anak usia berapa pun terhadap pembatasan
bermain karena ruangan tidak memadai. Akibatnya, fasilitas perawatan khusus harus dirancang tidak
hanya untuk mengobati penyakit tetapi juga untuk mendorong aktivitas normal kelompok usia tertentu.

HUKUM/PENJARA DESAIN & PERILAKU

Bahkan selama masa sulit ekonomi 1980-an. satu hal yang tampaknya sedang dibangun masyarakat
adalah lebih banyak penjara. Mengingat bahwa tahanan dibatasi untuk jangka waktu yang lama,
tampaknya desain penjara dapat memiliki konsekuensi penting. penelitian oleh Paulus dan rekan-
rekannya telah menghasilkan beberapa kesimpulan penting yang menghambat efek perilaku dari desain
penjara. Di antara hal-hal lain, mereka menemukan bahwa tata letak arsitektural yang berbeda dari
tempat tinggal di penjara memengaruhi perilaku dan kesehatan. Mengelompokkan tahanan dalam jumlah
besar kurang sehat daripada mengelompokkan mereka dalam jumlah yang lebih kecil (Cox et al. 1982).
Sel hunian tunggal atau ganda lebih baik (mis. Dinilai kurang ramai) dibandingkan sel yang
mengelompokkan tahanan dalam jumlah kecil. Pengelompokan kecil, pada gilirannya. tampak lebih baik
daripada pengelompokan besar. Selanjutnya, jika kelompok besar "dipecah" oleh partisi atau segmentasi
ruang (sehingga kelompok besar menjadi beberapa yang lebih kecil). kesehatan psikologis dan fisik
ditingkatkan. Temuan ini memberikan bukti kuat bahwa desain penjara memengaruhi perilaku akhir
suasana hati napi. Pada satu tingkat, ini tidak mengejutkan. Penjara biasanya dirancang berdasarkan
kriteria fungsional dan tidak dibangun untuk alasan estetika. Ruang dirancang untuk memfasilitasi
ketertiban dan resimentasi. Batang dan dinding adalah upaya yang disengaja untuk membatasi perilaku,
dan ekonomi biasanya merupakan faktor penting dalam menentukan penggunaan ruang. Namun, juga
jelas bahwa desain penjara bisa saja tidak disengaja. efek demoralisasi. dan penjara baru semakin
dirancang untuk menghindari beberapa konsekuensi ini (Luxenberg. 1977). Ini telah terjadi meskipun
ada keberatan yang didasarkan pada filosofi pénal yang berbeda dan peningkatan biaya. Etika yang
memandu desain penjara tradisional berkembang dari konsep abad 19 tentang kegiatan pemasyarakatan.
Perawatan dipandang sebagai yang terbaik dicapai dengan isolasi dari masyarakat, baik secara fisik
maupun simbolis. Sampai batas tertentu. penjara jelas pemisahan dari masyarakat dapat dilacak ke etika
ini. Di tingkat lain adalah pertimbangan ekonomi yang telah kami sebutkan. Kebanyakan orang melihat
tahanan sebagai elemen masyarakat yang tidak produktif, jadi kami memberikan penekanan khusus pada
ekonomi. Sebagai akibat dari tekanan ini, penjara biasanya besar, terletak di daerah terpencil dan
dikelilingi oleh dinding eksterior yang tinggi yang menghalangi akses narapidana ke dunia luar. Desain
orison “baru” biasanya berusaha melakukan beberapa hal. Pertama, mereka berusaha menyediakan
lingkungan yang lebih "manusiawi". mengganti menara senjata dengan penghalang alami, menambahkan
warna dan pencahayaan ke pengaturan menjemukan secara otomatis, dan meningkatkan kesempatan
untuk privasi dengan menyediakan lebih banyak sel hunian tunggal (gambar 10-8A dan B). ada juga
upaya untuk membangun lebih banyak sel ke dinding luar sehingga narapidana dapat memiliki
pandangan dunia luar. Kontrol terhadap lingkungan juga meningkat di beberapa penjara, dengan
narapidana mendapatkan kontrol atas pemanasan. pencahayaan, dan sebagainya, di sel mereka sendiri.
Perbaikan ini telah dilakukan sehubungan dengan Mengubah filosofi dalam berurusan dengan orang
yang melanggar hukum. Kegunaan mereka masih harus diuji.

Gambar 10-8A dan B.

Gambar diatas menampilkan menara senjata penjara tradisional dan dinding pengaman. Gambar
bawah adalah gambar arsitek dari pnson yang diusulkan di Stillwater, Minnesoa. Perhatikan tidak
adanya menara senjata. Keamanan disediakan oleh medan alami dari tanah yang membentuk dinding
yang tidak dapat ditembus di sekitar lokasi. Amati juga penampilan yang menyebar yang menyebabkan
sang anak terlihat lebih seperti kampus industri atau pendidikan. (Bottom print coutesy dari Winsor ancy
Architects. St. Paul. Minn: Gruzen & Rekan. Konsultan.)

APAKAH KANTOR PSIKOTERAPI BAGIAN DARI TERAPI?

Psikoterapi sudah lama menyadari bahwa aktor yang tidak terkait langsung dengan terapi kadang-
kadang dapat mempengaruhi kemajuan klien. Baru-baru ini ada ketertarikan pada salah satu faktor ini
yaitu jenis lingkungan kantor seorang terapis. dalam studi eksperimental. bloom, Weigel, dan Traut
(1977) memanipulasi jenis kantor di mana klien menerima terapi. Satu kantor didirikan dalam
pengaturan "medis" standar, dengan perabotan formal di sebuah ruangan dan diploma mengesankan di
dinding. Kantor kedua (yang oleh para peneliti disebut sebagai pengaturan "humanistik") adalah
furnishec secara informal dan memiliki poster dinding bukan diploma. Klien diminta untuk
mengkarakterisasi terapis pria dan wanita hanya berdasarkan kantor mereka. secara umum, klien
memandang terapis di kantor "medis" sebagai lebih berkualitas secara profesional, tetapi hasil lebih
lanjut mengungkapkan hubungan yang menarik antara jenis kelamin terapis dan jenis kantor. Klien
merasa bahwa terapis wanita yang memiliki kantor "humanistik" kurang kredibel daripada terapis
wanita yang memiliki kantor "medis". Justru sebaliknya berlaku untuk terapis laki-laki, yang ditipu lebih
kredibel di kantor humanistik. Para peneliti menyimpulkan bahwa karena perbedaan ini dalam penilaian
tentang terapis, faktor desain kantor mungkin mempengaruhi proses terapi.

ke ruang rumah sakit menurun penggunaannya dan memiliki efek penghambatan pada perilaku pasien.
(Untuk diskusi tentang efek dari desain kantor psikiater, lihat kotak di atas.) Desain ruang bermain di
fasilitas psikiatris untuk anak-anak juga mendapat perhatian (Riviin, Wolfe, & Beyda, 1973). Secara
umum, sedikit pertimbangan diberikan untuk perbedaan tingkat usia dalam perencanaan ruang bermain
di fasilitas ini. Anak-anak yang lebih muda, khususnya, tampaknya mengalami kesulitan dalam
beradaptasi dengan ruang bangsal rumah sakit yang sangat terkontrol. Rivlin dan rekan-rekannya
menyarankan bahwa perilaku yang ditunjukkan anak-anak kecil dalam menangani disorientasi mereka
ke ruang lingkungan dapat ditafsirkan oleh anggota staf sebagai bagian dari gangguan mereka. pada
kenyataannya, anak yang lebih muda mungkin bereaksi seperti anak mana pun terhadap pembatasan
bermain yang disebabkan oleh ruang yang tidak memadai. akibatnya, fasilitas perawatan khusus harus
dirancang tidak patuh untuk mengobati penyakit tetapi juga untuk mendorong aktivitas normal
kelompok usia tertentu. keragaman populasi usia adalah kenyataan bahwa ruang yang memadai.
Akibatnya, fasilitas perawatan khusus harus dirancang tidak hanya untuk mengobati penyakit tetapi juga
untuk mendorong aktivitas normal kelompok usia tertentu.

FASILITAS PERAWATAN PERUMAHAN UNTUK LANJUT USIA.

Semakin banyak populasi kita yang menua. menyediakan fasilitas perawatan rumah jangka pendek
dan jangka panjang khusus untuk orang-orang ini menjadi penting. karakteristik tertentu dari populasi
lansia harus selalu diingat ketika merancang lingkungan seperti itu. yang paling penting, lansia adalah
banyak yang heterogen. terlalu sering desainer berasumsi bahwa orang tua adalah kelompok yang
homogen, padahal sebenarnya hanya memiliki usia dan masalah kesehatan tertentu yang sama. pada
kenyataannya, mungkin tidak ada segmen lain dari populasi dengan beragam masalah dan kebutuhan
individu. beberapa warga lanjut usia mengalami kesulitan pendengaran, yang lain mengalami kesulitan
penglihatan, dan yang lain memiliki masalah dengan penggerak. banyak yang tidak memiliki cacat fisik
sama sekali. beberapa orang lansia menderita kesulitan psikologis (mis. penarikan, proses pemikiran
yang menyimpang) sementara yang lain tidak. Sumber lain dari keragaman dalam populasi berusia
adalah fakta bahwa individu telah membentuk pola perilaku jangka panjang dan ini sangat berbeda di
antara orang-orang. semua pertimbangan ini berargumen untuk fleksibilitas “perancangan” dalam
fasilitas perawatan di perumahan untuk lansia. bagaimana seharusnya para perancang melakukan
pendekatan tugas perencanaan fasilitas perawatan perumahan untuk populasi ini? mereka harus berusaha
untuk memberikan kompensasi sebanyak mungkin untuk kesulitan fisik dan psikologis yang dialami
beberapa individu usia, tanpa terlalu membatasi kehidupan orang-orang yang tidak memiliki masalah
khusus.

Berbagai pilihan lingkungan harus disediakan, sehingga orang dapat terus terlibat dalam kegiatan
yang sama seperti yang mereka lakukan sebelum pelembagaan. Juga, penting bagi perancang untuk
mencoba melihat sesuatu dari perspektif penghuni yang sudah lanjut usia, yang mungkin berbeda dari
kebutuhan dan ide staf fasilitas atau perancang itu sendiri. Terlalu sering fasilitas untuk lansia dirancang
sesuai dengan visi arsitek (yang mungkin tidak cukup diketahui tentang lansia), atau direncanakan
sehingga memudahkan hidup bagi perawat, petugas kebersihan, atau staf pelaksana lembaga (mis.
Fontaine 1982). Sejumlah atau fitur desain tampaknya akan berguna untuk dimasukkan dalam fasilitas
perawatan perumahan jangka pendek atau jangka panjang untuk lansia.

Pertama, penting bagi lingkungan untuk menyediakan keamanan dan kenyamanan. Untuk
mempromosikan keamanan, fasilitas harus mengizinkan pengawasan staf yang memadai untuk
mencegah kecelakaan atau mendeteksi mereka ketika itu terjadi, sementara tidak menimbulkan perasaan
bahwa tidak ada privasi. Selain itu, fitur desain khusus harus disertakan untuk mencegah kecelakaan
(mis., Pegangan tangan di aula, permukaan nenslip '), dan aspek desain tentunya tidak boleh
menyebabkan kecelakaan. Juga, elemen harus dimasukkan yang memungkinkan klien untuk memberi
tahu staf jika mereka memiliki Masalah di area pribadi (mis. Tombol panggilan di kamar mandi). Desain
harus meningkatkan kenyamanan dengan menyediakan alat bantu orientasi (mis. Lantai berkode warna,
isyarat untuk membedakan ruang) . juga dengan memberikan kenyamanan (mis., pintu masuk utama
harus terlindung dari matahari dan hujan). Kenyamanan juga dipupuk sejauh pengaturan itu "bebas
hambatan," dan memungkinkan sebagian besar populasi untuk bergerak secara mandiri. akhirnya
fasilitas penting (mis. kamar mandi, arcas komunal) harus mudah diakses dari kamar. Dalam banyak hal,
fasilitas yang sesuai dengan kriteria di atas akan meningkatkan perasaan kontrol pribadi, mencegah
ketidakberdayaan dan menimbulkan efek positif pada penghuni. (Untuk ulasan tentang konsep kontrol
dan ketakberdayaan kegiatan, lihat bab 3)

Desain fasilitas perawatan di perumahan untuk lansia juga harus menumbuhkan pilihan (dan dengan
melakukan itu perasaan terkendali). Lokasi fasilitas harus cukup dekat dengan komunitas untuk
memungkinkan penduduk memilih di antara beragam layanan yang tersedia (mis., Toko kelontong,
bioskop). Pilihan juga difasilitasi ketika desain berisi berbagai jenis ruang yang dapat digunakan untuk
tujuan khusus (mis. Rekreasi, privasi, diad sebagai lawan dari komunikasi kelompok besar). Area
rekreasi harus dirancang untuk memperoleh komunikasi (mis., Harus sosiopetal), tetapi beberapa area
harus memiliki privasi (mis., Harus sosiofugal). Sangat penting bahwa ada berbagai pilihan sosial dan
rekreasi yang tersedia untuk setiap penduduk (Lawton, 1979). Selain itu, setiap penghuni harus memiliki
akses ke bathtub dan shower, dan lebih baik bagi setiap kamar untuk memiliki kontrol pemanas individu.
Tanpa tingkat pilihan yang memadai dipromosikan oleh desain fisik, lingkungan dapat mempromosikan
hilangnya kontrol yang dirasakan dan ketidakberdayaan.

Selain memberikan pilihan, kondisi fisik objektif dari fasilitas harus memadai dan sesuai, Kamar
harus memiliki ukuran yang memadai, harus ada ruang rekreasi yang cukup untuk populasi penduduk,
dan konstruksi harus memiliki kualitas yang wajar. Kondisi fisik objektif mempengaruhi perilaku pasien
dalam banyak hal. Ketika area tempat duduk yang luas dihuni oleh relatif sedikit penduduk, tampaknya
ada tingkat rendah atau interaksi. Desain termasuk koridor panjang tampaknya menghambat mobilitas
penduduk, Ketika pengaturan fisik menyebabkan penduduk dikelompokkan dalam area yang mudah
diakses oleh staf, beberapa hasil positif terjadi (misalnya, staf memiliki lebih banyak pengawasan
terhadap kecelakaan dan bahaya). Namun, beberapa hasil negatif juga terjadi dalam keadaan ini
(misalnya staf dapat berperilaku dengan cara yang mendorong ketergantungan pasien) (Harris, Lipman,
& Slater, 1977). Penting juga bagi pasien untuk memiliki fasilitas dapur sendiri, atau warga cenderung
bergantung pada anggota staf bahkan untuk mendapatkan secangkir kopi (Lipman & Slater, 1979).
Situasi ini mendorong ketidakberdayaan. Selain lingkungan fisik, lingkungan sosial sangat penting untuk
kesejahteraan lansia yang dilembagakan. Banyak penelitian baru-baru ini telah menemukan bahwa
ketika lingkungan sosial memupuk persepsi yang dirasakan dan kontrol pribadi.
Kesejahteraan populasi lanjut usia ditingkatkan. Sayangnya, baik kondisi sosial di mana banyak orang
tiba di institusi dan kehidupan institusional itu sendiri secara resmi mempromosikan hilangnya kontrol.
Penduduk baru itu sering dilucuti dari hubungan dan kepuasannya yang sudah biasa, dan harus
melepaskan properti pribadinya yang berfungsi sebagai sarana identifikasi diri. Juga, orang sering datang
ke fasilitas perawatan residen setelah mengalami masalah dengan kesehatan, kesulitan keuangan, dan
kesulitan keluarga, yang semuanya menumbuhkan kehilangan kendali. Seringkali keluarga memutuskan
bahwa orang tersebut tidak dapat tinggal di rumah lebih lama dan ke lembaga mana orang tersebut akan
pergi (Fontaine, 1982), Karakter kehidupan institusional (misalnya, seseorang harus tunduk pada
peraturan dan perundangan, kepada otoritas, kepada yang terstandarisasi " jadwal dan prosedur)
menambah kehilangan kontrol seseorang (Wack & Rodin, 197). Respons seseorang untuk dipindahkan
dan memasuki fasilitas perawatan jangka panjang lebih positif jika ia diberikan tingkat kontrol atas
proses tersebut. lebih menguntungkan ketika orang tersebut memilih untuk dilembagakan, telah memilih
fasilitas tertentu tempat ia akan tinggal, dan ketika perbedaan kontrol antara lingkungan sebelum dan
sesudah relokasi tidak terlalu besar (ferrari, 1960: Schulz & Brenner, 1977) Selain memberikan kontrol,
salah satu cara untuk meningkatkan prediktabilitas (dan karenanya kesejahteraan penduduk) adalah
dengan memberi orang informasi persiapan tentang langkah mereka yang akan datang, yang sebenarnya
menurunkan angka kematian relokasi (pastalan, 1976 Zweig: Csank, 1975)

Satu masalah bagi penduduk adalah bahwa dengan keputusan kesehatan (atau perbaikan) selanjutnya,
relokasi lebih lanjut mungkin diperlukan. Untuk meminimalkan efek negatif dari gerakan ini, fasilitas
bertingkat yang menawarkan banyak tingkat perawatan dan pengawasan di satu tempat menjadi populer.
Ini bermanfaat karena meminimalkan efek relokasi dengan berpindah dari satu bagian fasilitas ke bagian
lainnya. daripada dari satu fasilitas ke fasilitas lain, orang masih dapat memiliki akses ke teman-teman
mereka dan dapat dipindahkan dengan mudah jika kondisinya kembali membaik atau memburuk.
sementara ada manfaat untuk jenis desain ini. ada kritik juga. beberapa mengatakan bahwa kehadiran
orang dalam kondisi kesehatan yang memburuk dapat merusak moral dan menciptakan ketergantungan
(sakit perut) pada penduduk yang relatif lebih sehat (gutman.1978) putusan tetap tidak pada desain
bertingkat dan penelitian lebih lanjut diperlukan. (gambar 0-9A dan B). begitu seseorang pindah dan
tinggal di sebuah lembaga untuk orang lanjut usia, aspek-aspek lingkungan kelembagaan (baik fisik dan
sosial) dapat menumbuhkan rasa kehilangan kontrol. sebagai contoh. lebih banyak yang dilakukan oleh
penghuni lembaga usia tua daripada di lingkungan mereka sebelumnya. apa yang bisa kita lakukan untuk
membalikkan kehilangan kendali ini, yang pada akhirnya bisa mengakibatkan ketidakberdayaan? salah
satu elemen penting dalam menyelesaikan masalah adalah agar penduduk didorong untuk melakukan
lebih banyak hal untuk diri mereka sendiri. dalam bab 3 kami mencatat sebuah studi oleh langer dan
rodin (1976) di mana satu kelompok lansia dilembagakan diperlakukan dengan cara yang dirancang
untuk meningkatkan rasa kontrol. dalam kelompok di mana kontrol dipupuk, penduduk lebih bahagia,
kondisi mereka agak membaik setelah beberapa bulan. dan mereka melayangkan lebih banyak aktivitas
(mis. lebih cenderung menghadiri film, dan berpartisipasi dalam kontes) daripada dalam kondisi di mana
kontrol tidak didorong. hasil yang serupa dilaporkan oleh mercer dan kane (1979) dan secara umum,
tampaknya bahwa peningkatan kontrol secara konsisten mengarah pada efek fisik dan psikososial positif
yang penting tidak hanya meningkatkan fungsi individu, tetapi meningkatkan suasana keseluruhan
lembaga (fontaine. 1982). apakah efek dari intervensi peningkatan kontrol tetap ada? di sini, buktinya
beragam: beberapa penelitian (mis. rodin & langer, 1977) menunjukkan efek jangka panjang, sementara
yang lain (mis. schulz & hanusa, 1978) tidak.
RESIDENSI NON INSTITUSI UNTUK LANJUT USIA.

Meskipun pada beberapa titik menjadi penting bagi banyak lansia untuk masuk ke suatu lembaga, hal
ini tidak terjadi secara seragam. dalam banyak hal, mungkin menyediakan beberapa tingkat perawatan
di fasilitas untuk orang lanjut usia dapat meminimalkan kesulitan yang terkait dengan relokasi, tetapi
juga dapat mengurangi moral pasien yang lebih sehat.

FASILITAS PERAWATANRESIDENTIAL IDEAL UNTUK LANJUT USIA:


MENINGKATKAN KONTROL LINGKUNGAN DAN SOSIAL

Kami telah menyarankan bahwa aspek lingkungan fisik dan sosial yang mampu mengendalikan akan
memiliki efek yang menguntungkan pada penduduk lanjut usia di fasilitas perawatan institusional.
Sementara beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kontrol di lembaga-lembaga semacam
itu, ada banyak lagi langkah yang bisa diambil. Salah satu kendala adalah bahwa dalam jangka pendek,
memberikan kontrol kepada penghuni dapat dianggap oleh staf sebagai menyebabkan lebih banyak
pekerjaan bagi mereka, atau mengambil otoritas mereka. Tetapi seperti yang telah kita lihat, dalam
jangka panjang hal itu dapat mengarah pada penghuni yang berfungsi lebih baik yang jauh lebih mampu
merawat diri mereka sendiri, daripada bergantung pada anggota staf. Akan seperti apa fasilitas
perawatan perumahan yang ideal bagi lansia? dalam esai spekulatif yang menarik berdasarkan penelitian
masa lalu tentang efek kontrol dalam pengaturan kelembagaan untuk orang tua. Fontaine (1982)
mengemukakan beberapa elemen penting. Fasilitas yang ideal akan relatif kecil yang akan memberi
penduduk kontrol lebih besar dalam berurusan dengan staf, lingkungan, dan penghuni lainnya. Orang
akan diberikan pilihan kamar tunggal atau ganda yang besar. Semua kamar akan berisi furnitur yang
dapat diatur ulang sehingga orang-orang dapat mengendalikan lingkungan terdekat mereka dan setiap
kamar memiliki kamar mandi pribadi. Penduduk akan didorong untuk membawa gambar furnitur mereka
sendiri, dan barang-barang tertentu lainnya dengan mereka. ini penting untuk menjaga citra diri
seseorang dan rasa kontinuitas dalam kehidupan. Kamar ganda akan memiliki partisi yang dapat diatur
penghuni sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini akan menjadi pekerjaan penghuni di mana
memungkinkan untuk memelihara dan membersihkan kamar mereka, sekali lagi memberikan kendali
atas lingkungan terdekat akan ada toko di lokasi di mana penghuni dapat membeli barang-barang pribadi
dan barang-barang sekali pakai mereka sendiri, sehingga meningkatkan kontrol dan mengurangi
ketergantungan pada staf dan anggota keluarga.
Melengkapi dapur institusional akan menjadi dapur untuk orang-orang yang tidak ingin makan apa
yang orang lain makan pada hari tertentu, atau yang ingin menyiapkan makanan untuk tamu atau teman.
(Setiap pasien akan memiliki lemari penyimpanan makanan dan ruang lemari es.) Fasilitas yang ideal
juga akan memungkinkan penduduk banyak pilihan dalam perencanaan makanan institusional, dan
mungkin ada pilihan hidangan apa yang akan disajikan pada makanan tertentu. Pilihan juga akan sangat
dimasukkan ke dalam penawaran rekreasi. Perangkat televisi akan tersedia untuk digunakan di kamar
berdasarkan permintaan, serta di salah satu kamar sehari. Semua jenis tempat rekreasi akan tersedia,
beberapa membina kelompok besar, dan lainnya mempromosikan kegiatan individu dan kelompok kecil.
Di luar akan ada halaman besar di mana penduduk bisa menanam bunga (yang bisa mereka berikan
sebagai hadiah atau digunakan untuk menghias rcom), dan sayuran (yang bisa mereka makan). (peran
berkebun sebagai kegiatan rekreasi disorot dalam kotak di halaman 328). Pilihan juga akan dimasukkan
ke dalam rutinitas sehari-hari. Dengan alasan tertentu, penghuni akan diizinkan untuk bangun dari
tempat tidur dan dicuci kapan saja mereka mau. Mereka akan membantu memilih kegiatan sehari-hari,
yang akan memastikan bahwa mereka memiliki hal-hal menarik untuk dilakukan. Setiap keluhan akan
ditangani secara demokratis, memberikan warga kontrol atas cara fasilitas itu dijalankan. sementara cara
di atas untuk menetapkan kontrol lingkungan bagi penghuninya terdengar bagus, ada beberapa
peringatan. Fontaine mencatat bahwa jumlah kontrol yang dapat ditangani tergantung pada kondisi fisik
dan psikoiogis seseorang. Memiliki lebih banyak kontrol daripada yang bisa berolahraga bisa jadi buruk,
daripada bagus untuk orang. Namun, hampir semua orang dapat melakukan beberapa tingkat kontrol
(mis., Sisi mana untuk berbaring di tempat tidur, apa yang ingin mereka makan). Dan bahkan mereka
yang tidak dapat melakukan banyak kontrol dapat mengambil manfaat dari informasi tentang apa yang
akan terjadi di lembaga, yang menumbuhkan perasaan bahwa peristiwa dapat diprediksi, jika tidak
sepenuhnya dapat dikontrol. Lebih baik jika seseorang dapat tinggal di rumah atau dalam lingkungan
yang relatif "seperti rumah" tanpa harus menanggung masalah tertentu yang hampir tak terhindarkan
terkait dengan lingkungan kelembagaan, Dengan demikian, fasilitas perumahan khusus untuk lansia
telah direncanakan dan dibangun. Juga, banyak layanan (mis. Meals on Wheels, "asuhan keperawatan di
rumah) sekarang tersedia untuk warga lanjut usia yang tinggal di rumah. Jenis perumahan perumahan
seperti apa yang tampaknya paling baik? Berbagai elemen (misalnya, tinggi dan kenaikan harga sewa
untuk orang-orang dengan pendapatan tetap, tempat tinggal jangka panjang yang diubah menjadi
kondominium) dapat menyulitkan lansia untuk menemukan tempat yang layak untuk hidup dengan
harga yang wajar.Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa menyediakan perumahan yang
direncanakan khusus untuk orang tua adalah lebih unggul daripada meninggalkan mereka untuk
menemukan tempat tinggal di "pasar terbuka" (misalnya Carp, 1966, Lawton & Cohen, 1974). Apakah
yang terbaik bagi orang lanjut usia untuk hidup di "usia-terpisah" atau di lingkungan yang heterogen?
Sementara argumen bisa menjadi membuat mengutip biaya dan manfaat dari setiap pengaturan
lingkungan.pembuktian menunjukkan bahwa lansia lebih suka usia perumahan terpisah, Hidup dengan
orang lain usia sendiri dikaitkan dengan kepuasan perumahan, mobilitas lingkungan, dan moral positif
(Grant, 1 970) Kenapa begitu? Mungkin itu karena yang lain lebih mirip berada di dekat ketika
lingkungan itu "dipisahkan berdasarkan usia" dan keduanya kesamaan dan kedekatan mendatangkan
daya tarik (byrne, 1971). selain itu, pemisahan usia mungkin menghasilkan lebih banyak kegiatan yang
sesuai untuk populasi lansia. ada kemungkinan lain juga, seperti penyediaan lebih banyak layanan medis
dan layanan lain yang dibutuhkan oleh lansia di rangkaian yang terpisah usia.

Apa faktor lain yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan tempat tinggal non-institusional
untuk lansia? Salah satu elemen penting dalam kehidupan perumahan untuk populasi usia lanjut adalah
ansportasi yang memadai. Terlalu sering, transportasi tidak dapat diakses secara memadai oleh lansia di
masyarakat. Perencana harus yakin ada rute bus yang melintasi daerah-daerah dengan banyak warga
lanjut usia, dan ini harus mencakup pemberhentian di tempat-tempat di mana orang-orang ini harus pergi
(mis. Kompleks medis, area perbelanjaan). bus juga harus dapat diakses oleh warga lanjut usia (dan
lainnya) dengan cacat. selain membuat sistem transportasi tersedia secara fisik bagi para lansia,
perancang harus mengeksplorasi cara membuat aspek-aspek lain dari komunitas juga dapat diakses.
banyak elemen di lingkungan (mis. tangga eksterior, pintu non-otomatis) mungkin mengecewakan dan
berbahaya bagi populasi lansia.

Perpustakaan memiliki masalah berlebihan dan fasilitas yang kurang digunakan secara berkala. Satu
proposal akan memisahkan fungsi perpustakaan "normal" dari fungsi studi yang sering dilayaninya.

Selain itu, bukti menunjukkan bantuan orientasi tambahan akan membantu banyak perpustakaan.
Orientasi juga merupakan masalah di museum, dengan beberapa bukti yang menunjukkan orientasi yang
ditingkatkan meningkatkan kepuasan. Eksplorasi sangat dipengaruhi oleh gradien seni pameran.
Kelelahan museum dapat disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan, dan dapat dikurangi dengan
merancang diskontinuitas pameran inio. Gerakan pejalan kaki juga cenderung sistematis, dengan orang-
orang lebih memilih rute terpendek. Kerumunan memperlambat gerakan pejalan kaki, seperti halnya
karpet. Orang-orang cenderung untuk mencocokkan berjalan berjalan mereka dengan aliran kerumunan
dan musik latar belakang. Model konformitas gesekan telah diusulkan untuk menjelaskan reiatiopships
ini. Rumah sakit sering berorientasi pada suasana kontrol tinggi, pilihan rendah untuk memfasilitasi
berfungsinya staf. kecenderungan ini, bagaimanapun, mengurangi kontrol yang dirasakan pada bagian
dari pasien, serta privasi. desain yang mengembalikan kontrol dan menumbuhkan interaksi sosial dapat
membantu dalam hal ini, dan juga dapat memfasilitasi pemulihan pasien. desain radial bangsal di sekitar
stasiun perawatan dapat meningkatkan efisiensi staf dan meningkatkan jumlah waktu yang dihabiskan
staf dengan pasien. fasilitas perawatan untuk lansia perlu mempertimbangkan fakta bahwa karakteristik
dan kebutuhan lansia sangat bervariasi, sehingga desain harus memungkinkan fleksibilitas, keselamatan
dan kenyamanan, pilihan dan kontrol, dan kondisi fisik merupakan pertimbangan penting. area tempat
duduk yang luas dapat menghambat interaksi sosial. koridor yang panjang dapat menghambat mobilitas.
sedangkan kedekatan warga dengan pengawasan fasilitas staf, juga dapat mendorong ketergantungan.
walaupun menyediakan beberapa tingkat perawatan di satu fasilitas meminimalkan efek negatif dari
relokasi, moral warga yang lebih sehat dapat menderita dari terlalu banyak interaksi dengan kondisi
kesehatan yang tidak memburuk. jelas, memberikan kontrol yang dirasakan adalah salah satu strategi
intervensi yang paling efektif untuk lansia yang dilembagakan. bagi mereka yang berada di luar institusi,
perumahan yang direncanakan di daerah yang dipisahkan oleh usia tampaknya meningkatkan kepuasan
dan moral, dan transportasi serta belanja yang memadai juga penting.

Proyek yang Disarankan.

1. Cobalah untuk mengunjungi ruang kelas terbuka dan ruang kelas konvensional di daerah Anda.
Yang tampaknya memiliki aktivitas paling banyak? Yang sepertinya lebih berisik?

2. Kunjungi museum lokal Anda dan catat pola eksplorasi pengunjung. Bisakah Anda
mengidentifikasi gradien dan diskontinuitas tarik-menarik? Apakah pengunjung cenderung
menggunakan rute yang sama melalui tampilan?

3. Kunjungi panti jompo atau rumah jompo dan catat lokasi area lounge. mencari area lounge
yang memiliki banyak interaksi, dan mereka dengan sedikit interaksi. Faktor-faktor apa yang
menyebabkan perbedaan?

Anda mungkin juga menyukai