Anda di halaman 1dari 4

Tugas Utilitas Bangunan Yulia Andriani N.

/ 615170044

Dosen: Joko Proyono S. Ir., M. T. Kelas DI-B

Rangkuman Buku Postmodernisme

Karya I. Bambang Sugiharto

Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam berbagai bidang, sehingga maknanya


menjadi kabur. Yang menyebabkan kekaburan makna “postmodern” itu adalah penggunaan
akhiran “-isme” dan awalan “post”-nya. Akhiran “-isme” yang pertama merunjuk pada kritik-
kritik filosofis dan yang kedua merunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi.
Sedangkan awalan “post-“ sendiri banyak menimbulkan perdebatan, hingga belum mendapat
penjelasan sebenarnya. Istilah “postmodern” muncul pertama kali di wilayah seni kemudian di
bidang historigrafi.

Kemudian merambat ke tradisi hermeneutika, dengan membawa pemahaman baru atas


persoalaan “Ada”, “Keberadaan” dan “Filsafat” pada umumnya. Kemudian hermeneutika dapat
dimengerti sebagai refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk
ungkapan pemahaman itu. Hermeneutika adalah bagian sentral dari gelombang penolakan
postmodern atas filsafat tradisional yang tidak hanya hendak mengatasi objektivisme, melainkan
juga relativisme dan nihilisme. Tugas utama hermeneutika sebagai upaya kritis dan
emansipatriotis adalah juga terletak pada kecenderungannya merawat keterbukaan wacana
manusia.

Selanjutnya masuk ke persoalaan khusus dialami oleh para filsafat yang terbagi menjadi:
isu “berakhirnya filsafat”; pluralism; dan kematian epistemology. Isu tentang berakhirnya filsafat
berkaitan erat dengan istilah dekonstruksi. Dekonstruksi biasanya dirumuskan sebagai cara atau
metode membaca teks. Hal yang menjadi ciri utama pembacaan dekosntruksi adalah unsur
pertama yang dilacak bukanlah ikonsitensi logisnya, argumen lemahnya atau presmis yang tidak
meyakinkan, melainkan unsur yang menjadikan sebuah teks itu filosofis dan sangat menentukan.
Memang dalam hal ini filsafat dilihat sebagai tulisan.
Filsafat sudah berakhir kemudian rasional universal sudah tidak mungkin lagi, akhirnya
kini epistemilogi tidak dibutuhkan lagi. Hal ini menyangkut paradoks yang senantiasa
menjangkiti segala system filsafat, ketidakmungkinan sekaligus kebutuhan akan standar
rasionalitas universal. Kegagalan fondasionalisme dan representasionalisme dalam epistemology
modern.

Sering dikatakan bahwa filsafat sedang mengalami “pembalikan ke arah Bahasa”


(Linguistic Turn). Hal ini disebabkan segala perkara yang berhubungan dengan postmodern
memiliki akar yang sama, yaitu merunjuk persoalan bahasa. Karena segala pemahaman dan
argumentasi yang telah dijelaskan atau di ungkapkan sebelumnya memiliki permasalahan terkait
dengan perkara bahasa. Dari persoalan-persoalan yang muncul, secara ringkas dapat dikatakan
bahwa ketiga peroalan itu adalah persoalan “logika”, persoalan “bentuk kehidupan” dan
persoalan “metaphor”.

Ketiga persoalan postmodern ternyata bersesuain dengan ketiga tahap perkembangan


persoalan bahasa. Persesuaian ini serentak menunjukan bahwa jalan keluar bagi perkara
postmodern tampaknya memang terletak pada wilayah metaphor. Pertaama, persoalan
kontradiksi-diri dalam segala bentuk bahasa yang bersifat desktiptif-logis dan representasional-
ketat ternyata telah menggiring filsafat pada jalan keluar yang ditawarkan oleh perspektif
pragmatis-konteks-tual. Kedua, pluralitas permintaan bahasa pada akhirnya membawa implikasi
sulitnya menetapkan hubungan baku dan universal antarkonsep. Ketiga, penatikan metaphor
sebagai medan diskusi filsafat secara eksplisit.

Hal mengenai persoalan bahasa, terutama mengenaik keterbatasan bahasa, khususnya


keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Sebaiknya bahasa lebih dilihat fungsi transformatifnya
dibadingkan menitikberatkan fungsi deskriptifnya. Penekanan atas fungsi transformative bahasa
ini sekaligus merupakan tahapan penting untuk melihat kedudukan metaphor dalam
linguistikalitas manusia.

Metaphor memilki pengertian yang sempit dan luas. Makna semantic atau sempit
menurut penelitian Ricoeur, selama metaphor masih dilihat hanya dari suduk “kata” maka nilai
produktif dan inventifnya menjadi tidak terlihat. Hingga akhirnya menggerser metaphor sebagai
kata menjadi metaphor sebagai kalimat. Suatu kalimat adalag unit dari sebuah wacana. Bagi
Ricoeur, metaforadalah suatu bentuk wacana atau pun proses yang bersifat retorik yang
memungkinkan untuk mendapatkan kemampuan aneh untuk me-redeskripsi kenyataan; sebuah
kemampuan yang biasanya dimiliki oleh karya-karya fiksi.

Sedangkan pengertian luas metaphor merunjuk pada pemahaan bahwa metaphor


bukanlah hanya bentuk semantic tretentu, melainkan merupakan kondisi dasar antropologis
manusia. Dikarenakan perlunya perluasan konsep metamorfosistas kedalam wilayah antropologi
filosofis. Yang dimaksud dengan metamorfositas sebagai kondisi dasar antropologis manusia
adalah: pada dasarnya dalam ranggka memahami dirinya sendiri dan alam manusia tidak
mempunyai akses langsung secara murni dan rasionlitas, bukanlah sesuatu yang ada pada dirinya
sendiri memadai bagai cermin untuk memahami realitas.

Hasil dari kenyataan tersebut adalah manusia menggunakan metaphor untuk memahami
alam dan dirinya sendiri, dengan mempersamakan hal lain, yang lebih dimengertinya, tetapi
bukan dirinya sendiri. Didasarkan kenyataan bahwa manusia merupakan mahluk yang serba
tidak lengkap dan bahwa rasionalitas manusia itu, kendati canggih dan karena itu hal ini
bukanlah sarana yang serba mampu dan memadai. Pola bernalar yang sesuai dengan kondisi
dasar antropologis macam ini adalah retorika. Dengan ini semua kiranya menjadi jelas bahwa
metaphor adalah pusat bahasa atau kodrat linguistikalitas manusia, cara dasar kita bergaul
dengan realitas.

Hubungan antara metaphor dan filsafat berhubungan dengan kerterkaitan metamorf dan
bahasa literal. Dimana dituliskan sebgaia ungkapan pertama dalam rangka mencapai kejelasan
logis dan rasionalnya yang optimal, filsafat wajib menggunakan bahasa literal nonmetaforis. Di
sisi lain metaphor disisihkan, diremehkan dan dianggap illusoris. Selanjutnya pemikiran kedua
memiliki pemahaman yang berbeda, dimana filsafat yang dianggap “murni” adalah yang
memiliki unsur metaforis, bukan yang literal. Disini bahasa literal justru dianggap sebagai bahwa
yang tidak bertenaga, bahkan illusoris. Kemudian, pemikiran ketiga beranggapan bahwa baik
bahasa literal maupun metaforis memiliki fungsinya tersendiri yang unik dan meyakini bahwa
filsafat juga berkaitan dengan kedua-duanya secara unik.

Hubungan antara metaphor dan referensi juga menjadi pembahasan tersendiri, yaitu
apakah metaphor itu menunjuk pada suatu realitas atau tidak, apakah merunjuk pada kebenaran
tertentu atau tidak. Keberadana metaforis hanya dikenali secara penuh bila ia dirumuskan dalam
bentuk konvensi yang baru. Dengan kata lain hanya menajadi penuh jika manakala diakui public
seluas mungkin. Selain itu, terdapat hubungan anatara metaphor dan imajinasi, dimana imajinasi
dilihat sebagai sumber dari metaphor. Secara singkatnya, imajinasi yang bermetafor ini adalah
sarana memandang sesuatu secara baru.

Anda mungkin juga menyukai