PENDAHULUAN
Menurut catatan sejarah, bangsa Indonesia sudah banyak didatangi oleh negara
asing dengan berbagai tujuan. Banyaknya interaksi yang dilakukan dengan bangsa asing
menyebabkan terjadinya penyebaran budaya mereka di Indonesia, baik secara langsung
ataupun tidak. Salah satunya adalah bangsa Tionghoa yang sudah datang berdagang ke
Indonesia sejak abad ke-5. Pada abad ke-10, masyarakat Tionghoa mulai menetap dan
membangun rumah tinggal, rumah toko dan juga tempat ibadah untuk sembahyang.
Pada abad ke-14, beberapa bangsa Eropa seperti bangsa Spanyol, Portugis, atau
Inggris, datang ke Indonesia dengan tujuan awal untuk mencari rempah-rempah dan
sutera yang dapat dijual ke Eropa, namun yang paling lama menetap di Indonesia adalah
bangsa Belanda.
Seiring dengan berjalannya waktu, akulturasi budaya Indonesia dengan budaya
asing terjadi dan menghasilkan sebuah kebudayaan baru, namun tidak menghulangkan
karakteristik-karakteristik kebudayaan lamanya. Hasil dari akulturasi ini dapat
ditermukan dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari, seperti bahasa, karya seni
hingga arsitektur.
Akulturasi pada arsitektur bisa terjadi karena terdapat beberapa penyesuaian
terhadap suatu kebudayaan untuk menyesuaikan dengan kebudayaan atau kondisi
geografis lokal, hingga mengikuti nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat, seperti
kepercayaan atau filosofi kehidupan tertentu.
Di Indonesia, salah satu bangunan yang memiliki akulturasi pada gaya arsitektur
ialah Vihara Dharmakaya yang terletak di Jl. Siliwangi, yang merupakan wilayah Pecinan
di kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini juga termasuk dalam daftar cagar budaya kota
Bogor. Vihara Dharmakaya dikena dengan tampilannya yang unik dan khas, serta banyak
dikatan memiliki perpaduan unsur arsitektur Tionghoa dan Eropa. Namun, panjangnya
perjalanan sejarah kedua bangsa tersebut di Indonesia, peneliti menduga terdapat juga
akulturasi dengan budaya local. Oleh karena itu, peneliti ingin menganalisis dan
menjelaskan bagaimana sebetulnya gaya arsitektur pada Vihara Dharmakaya, serta
membuktikan apakah ada akulturasi gaya arsitektur Eropa dan Tionghoa dengan gaya
arsitektur lokal.
1
1.2. Rumusan Masalah
Untuk bidang pengembangan ilmu, penelitian ini dapat dijadikan referensi atau
pengetahuan tambahan bagi peneliti lain di masa depan dengan objek penetilian berupa
akulturasi gaya arsitektur Eropa dan Tionghoa di wilayah Bogor maupun gaya arsitektur
Vihara Dharmakaya secara spesifik.
Untuk lembaga atau institusi, penelitian ini dapat dijadikan masukan yang
membangun guna meningkatkan studi pengkajian mengenai jejak akulturasi gaya
arsitektur Eropa dan Tionghoa dengan lokal maupun gaya arsitektur pada bangunan
vihara.
Untuk praktisi, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk profesi desainer
interior yang hendak menggunakan konsep akulturasi gaya arsitektur Eropa, Tionghoa
serta lokal dalam pekerjaan mereka atau mendesain interior Vihara secara khusus.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pertama adalah konsep akulturasi yang mencoba memahami berbagai fenomena yang
dihasilkan oleh kelompok individu yang memiliki budaya berbeda manakala kelompok
individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan
pada pola budayanya yang asli.
Kedua adalah konsep akulturasi yang diawali dengan hubungan antara dua atau lebih
sistem budaya. Dalam konteks ini, perubahan akulturatif dipahami sebagai konsekuensi dari
perubahan budaya. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak kultural,
seperti halnya perubahan ekologis atau demografis.
Arsitektur lokal Cina memiliki ciri khas berdasarkan enam lokasi dan bahan
bangunannya, yaitu rumah berhalaman bata segi empat (courtyard house) di kawasan Cina
Utara, arsitektur bawah tanah di kawasan Loess, arsitektur kayu dan bata di kawasan Barat
dan Barat Daya Cina, bangunan kayu di kawasan Timur Cina, arsitektur tanah dan kayu di
Hakka dan bangunan bata, kayu, batu di pesisir Selatan Cina (Nas, 2009).
3
Secara umum, terdapat tiga tipe bangunan Tiongkok secara umum, yaitu:
a. Tipe Utama, merupakan bentuk paling sedernaa yang berbentuk persegi empat
dengan dua variasi (vertical dan horizontal) dengan lubang udara ditengahnya.
Tipe ini umum dijumpai di daerah perkotaan yang padat dan banyak
digunakan masyarakat pedesaan/ masyarakat kebawah.
Gambar 2.1. Tipe persegi empat vertikal (kiri) dan tipe persegi empat horizon (kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
b. Tipe Halaman (Courtyard), memiliki dua jenis penataan halaman, yaitu tipe
San Heyuan dan Si Heyuan. Tipe San Heyuan memiliki halaman ditengah
bangunan sebagai sarana sosialisasi, sedangkan tipe Si Heyuan memiliki
tambhaan halaman pada bagian depan bangunan.
4
Gambar 2.2. Tipe San Heyuan (kiri) dan tipe Si Heyuan (kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
c. Tipe Gabungan, merupakan gabungan dari tipe San Heyuan dan Si Heyuan
dengan memperluas halaman depan. Tipe ini biasa digunakan oleh masyarakat
tingkat keatas di Tiongkok Selatan. Tipe ini juga bisa disebut tipe kompleks,
karena penataannya yang rumit dan besar.
Gambar 2.3. Tipe gabungan San Heyuan dan Si Heyuan (kiri) dan tipe Kompleks (kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
Kemudian terdapat aspek non-fisik pada arsitektur bangunan ibadah Tiongkok, berupa
Feng Shui dan Konfusianisme. Feng Shui merupakan metode menentukan arah serta orientasi
bangunan dengan filosofi utama keseimbangan Yin dan Yang. Konsep konfusianisme
diterapkan melalui penggunaan halaman pada bangunan, untuk memperoleh kesejahteraan
dan kemakmuran hidup.
Selain aspek non-fisik, terdapat aspek fisik pada arsitektur bangunan ibadah
Tiongkok, berupa halaman yang bersifat privat, bentuk atap dengan berbagi tipe yang
5
umumnya landai, elemen struktural yang terbuka, penggunaan warna simbolik yang khas, Jin
dan Lu, serta axial planning.
6
Gambar 2.7. Penerapan Jin dan Lu pada bangunan.
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples, Kongsis and
Houses.
Gaya arsitektur Kolonial menurut Wardani dalam Purnomo (2017) adalah gaya desain
yang cukup populer di Belanda pada tahun 1624-1820. Gaya desain ini timbul dari keinginan
dan usaha orang Eropa untuk menciptakan daerah jajahan seperti negara asal mereka. Pada
kenyataannya, desain tidak sesuai dengan bentuk aslinya karena perbedaan iklim, kurangnya
ketersediaan material dan perbedaan teknik di negara jajahan. Akhirnya, diperoleh bentuk
7
modifikasi yang menyerupai desain di negara mereka. Gaya arsitektur Kolonial memiliki
karakteristik berupa:
sebagai berikut:
1) Gable (Gevel), terdapat pada bagian tampak bangunan, berbentuk segitiga
mengikuti bentuk atap.
Gambar 2.9. Gevel
Sumber: Handinoto, 1996
8
Gambar 2.10. Dormer
Sumber: Handinoto, 1996
c. Penggunaan warna polos yang cerah pada dinding, seperti putih atau putih gading.
9
(2012), diperkenalkan oleh Herman Willem Daendels saat dia bertugas sebagai
Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811).
Milano dalam Handinoto (2012) mengungkapkan ciri-ciri arsitektur
Indische Empire Style sebagai berikut:
1) Bentuk fasad bangunan yang simetris, tidak bertingkat, dana tap
berbentuk perisai.
2) Memiliki struktur kolom bergaya Yunani (Doric, Ionic, Corinthian)
pada teras rumah/ bangunan, terdapat round-roman arch pada
gerbang masuk atau koridor pengikat antar massa bangunan, dan
penggunaan lisplang batu bermotif klasik di setiap atap.
3) Penggunaan warna putih yang dominan.
Gambar 2. 12. Contoh bangunan dengan gaya arsitektur Indische Empire Style
Sumber: Handinoto, 1996
10
Hindia Belanda dipenuhi oleh perubahan dalam masyarakatnya, terutama
dikarenakan modernisasi dengan penemuan baru.
Karakteristik arsitektur transisi menurut Handinoto (2012), antara lain:
1) Bentuk atap pelana dan perisai dengan penutup genteng dengan
sudut kemiringan 45 – 60 derajat dan penggunaan arch sudah
mulau ditinggalkan.
2) Penggunaan struktur kolom Yunani sudah mulai ditinggalkan,
terdapat usaha untuk membuat menara pada pintu masuk utama,
terdapat usaha untuk memakai konstruksi tambahan sebagai
ventilasi pada atap (dormer), dan gevel-gevel pada arsitektur
Belanda yang terletak di tepi sungai muncul kembali.
3) Penggunaan warna putih yang dominan.
a. Wujuan Ornamental
11
Motif-motif yang biasaya digunakan pada rumah tradisional Sunda atau
daerah lainnya di Jawa Barat adalah motif flora, fauna, alam, dan kaligrafi.
12
hidup menempel
pada tumbuhan
lain tanpa
merusaknya.
Ketentraman dan
kedamaian.
Ragam Hias Fauna
Gajah atau Liman Bentuk hewan Di rumah tinggal. Kekuatan.
gajah dengan
posisi bergerak.
Kerbau Bentuk kepala Kesuburan tanah
hewan kerbau dan usaha
dengan pertanian
tanduknya.
Cecak Hewan cicak atau Pada ukiran- Kewaspadaan.
cecak utuh ukiran kayu di
dengan ekor dinding gebyog,
membengkok. biasanya
menmpel pada
batang pohon.
Ular pucuk Hewan ular. Pada ukiran- Kesucian.
ukiran di dinding
gebyog.
Ragam Hias Alam
Wadasan Symbol Gunung Dinding, gerbang, Tempat tinggal
Meru, tempat pintu, dan hiasan. mendapat berkat
para Dewa. langsung dari
Tuhan.
Mega Sumirat Bentuk awan Dinding, gerbang, Lambing rezemi
pintu, dan hiasan. atau keberkahan
yang tiada
habisnya.
Megamendung Bentuk awan Dinding, gerbang, Lambing rezemi
pintu, dan hiasan. atau keberkahan
yang tiada
habisnya.
Tabel 1.1. Ragam Hias Sunda. Sumber: Destiarmand dkk., 2017
13
b. Wujud Pembagian Tiga
Masyarakat Sunda memiliki sistem kosmologi mengenai alam semesta. Di
dalam sistem tersebut terdapat pembagian tiga jenis dunia, yakni dunia atas, dunia
tengah, dan dunia bawah. Dunia atas atau sering disebut buana nyungcung atau
ambu luhur diartikan sebagai tempat tinggal Sanghyang, para dewa, batara, atau
leluhur yang sangat disucikan. Dunia tengah atau buana panca tengah atau ambu
tengah, adalah dunia tengah sebagai tempat tinggal manusia atau makhluk ciptaan
Sanghyang. Dunia bawah atau buana larang atau ambu handap, artinya dunia
bawah sebagai tempat kembalinya manusia ke asalnya yaitu tanah (kematian)
(Adhi & Ahdiat, 2014).
Rumah tradisional Sunda disusun berdasarkan kosmologi yang bersumber
dari tubuh manusia, karena dianggap perwujudan dari alam semesta. Susunan
rumah tradisional terdiri dari tiga bagian (Adhi & Ahdiat, 2014), yaitu kepala/
hulu (posisi paling agung, atap bangunan, biasnya pelana), badan/ awak (bagian
tengah, keseimbangan dan kehidupan, tempat tinggal manusia), dan kaki/ suku
(posisi paling bawah, tempat tinggal mahluk jahat, itu sebabnya lantai
ditinggikan).
Secara umum, masyarakat Sunda mengenal tiga jenis umpak, yaitu bentuk
utuh/ buleud (dari batu alam), bentuk lesung/ lisung (berbentuk balok dengan alas
yang lebih besar), dan bentuk kubus/ balok (bentuk kubus dengan besaran yang
sama).
c. Wujud Atap
Rumah tradisional Sunda memiliki berbagai macam bentuk atap. Menurut
Ilham (Ilham & Sotyan, 2012) terdapat beberapa tipologi rumah tradisional Sunda
dengan berbagai bentuk atapnya, yakni sebagai berikut:
1) Susuhan Jolopong (susuhan panjang), berarti tergolek lurus. Bentuk ini
merupakan bentuk paling sederhana.
2) Suhunan Julang Ngapak, memiliki bentuk yang melebar di kedua sisi
bidang atapnya.
3) Suhunan Buka Palayu, merupakan istilah yang memiliki arti
“menghadap ke bagian panjangnya”. Selain itu, nama palayu juga
sebagai letak pintu muka dari rumah yang menghadap ke arah salah
satu sisi dari bidang atapnya.
14
4) Suhunan Buka Pongpok, berbentuk menyerupai buka palayu.
Perbedaan terletak di pintunya yang berada pada sisi atap yang
Nampak bentuk segitiganya.
5) Suhunan Perahu Kumerep, memiliki empat bidang atap. Sepasang atap
yang berseberangan memiliki luas bidang yang sama.
6) Badak Heuay, memiliki bentuk menyerupai bentuk badak dengan
mulut yang menganga.
7) Togo Anjing/ Tagog Anjing, berbentuk menyerupai sikap anjing yang
sedang duduk.
d. Susunan Ruang
Berdasarkan fungsinya, susunan ruang pada rumah tradisional Sunda
dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu, untuk wanita (belakang dan dalam), laki-laki
(depan dan samping) dan ruang diantara keduanya (tengah). Sedangkan
berdasarkan tata letak ruanganya dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
1) Tepas imah. Merupakan bagian depan rumah yang terdiri dari,
halaman dan teras yang biasanya disediakan tempat duduk sementara
(amben), dan bangku panjang (dipan). Daerah ini berhubungan dengan
laki-laki, karena bersifat diluar, terlibat politik dan hubungan eksternal,
layaknya ruang kerja laki-laki bersifat di luar.
2) Tengah imah. Merupakan bagian tengah rumah yang teridiri dari,
ruang keluarga, tamu, dan kamar tidur untuk anak. Daerah ini bersifat
netral, terbuka untuk laki-laki dan perempuan, mereka dapat
berkumpul dengan keluarga atau tamu.
3) Pawon. Merupakan bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur dan
terdiri dari, goah (gudang), padaringan (penyimpanan beras), dan hawu
(tungku api). Daerah ini merupakan area khusus parempuan, karena
menjadi pusat aktifitas wanita seperti, memasak, mencuci, dan
sejenisnya.
15
2.5. Pengertian Vihara
Pengertian Vihara seperti yang diuraikan oleh Suwarno (1999) dalam Yoyoh
(2008) bahwa pada awalnya pengertian Vihara sangat sederhana, yaitu pondok atau
tempat tinggal atau tempat penginapan para bhikkhu atau bhikkhuni, samanera, samaneri.
Namun kini pengertian Vihara mulai berkembang, yaitu: Vihara adalah tempat
melakukan segala macam bentuk upacara keagamaan menurut keyakinan, kepercayaan
dan tradisi agama Buddha, serta tempat umat awam melakukan ibadah atau sembahyang
menurut keyakinan, kepercayaan dan tradisi masing - masing baik secara perorangan
maupun berkelompok. Di dalam Vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk
penempatan altar.
16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Variable yang terdapat dalam penelitian ini adalah, variable bebas dan terkait.
Variable bebas merupakan, pengaruh akulturasi budaya Tionghoa, Eropa dengan lokal di
Bogor. Sedangkan, variable terikat adalah elemen gaya arsitektur berupa bentuk, struktur dan
warna dari bangunan. Objek penelitian berupa objek alami yang apa adanya, tidak
dimanipulasi oleh penulis dan tidak tidak mengalami perubahan selama berada di objek atau
keluar dari objek. Penelitian ini menggunakan Vihara Dharmakaya sebagai objek penelitian.
a. Studi literatur (pengumpulan data yang diperluakan dari berbagai sumber yang
relevan).
17
b. Observasi (pengamatan kondisi lingkungan fisik dan sosial bangunan).
c. Wawancara (pengumpulan data dari pemilik/ pengurus bangunan melalui
pertanyaan yang relevan).
d. Pengumpulan gambar (dokumentasi bangunan secara visual selama proses
penelitian).
e. Pengarsipan data (mengkategorikan data-data yang didapatkan berdasarkan
kategori tertentu).
Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif desktiptif, yang
mendeskripsikan data-data yang dikumpulakan dalam bentuk kata-kata dan dambar, bukan
melalui angka. Dekspripsi data dilakukan utnuk memberikan kejelasan terhadap kenyataan
atau realitas. Penelitian ini menggunakan tiga kegiatan dalam alur analisis data, yaitu:
18
DAFTAR PUSTAKA
Adhiwignyo, Dewobroto dan Bagus Handoko. 2015. Kajian Arsitektural dan Filosofis
budaya Tionghoa pada Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta: Jurnal Tinggat Sarjana
Bidang SEni Rupa dan Desain. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Anisa, Anggana Fitri Satwikasari dan M Sahril Adhi Saputra. 2019. Penerapan Konsep
Arsitektur Sunda Pada Desain Tapak Lanskap dan Bangunan Fasilitas Resort:
Seminar Nasional Sains dan Teknologi. Jakarta: Universitas Muhammadiyah.
Asruroh, Yoyoh. 2008. Skripsi Makna dan Tata Cara Bhakti-Puja Dalam Ajaran Buddha
Maitreya: Studi Kasus di Vihara Maitreyawira Angke Jalambar Jakarta Barat.
Jakarta: Universitas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.
Burhanudin, Dede. 2018. Vihara Dhanagun dan Komunikasi Budaya di Kota Bogor, Jawa
Barat: Jurnal Lektur Keagamaan. Jakarta: Jurnal Lektur Keagamaan. Vol. 16, No. 1:
159 - 194.
Dewi Sri Maryati Santoso. 2014. Pengaruh Gaya Desain Gotik dan Kolonial Belanda
Terhadap Efek Pencahayaan Alami pada Gereja Katolik Hati Kudus Yesus di
Surabaya: Jurnal Dimensi Interior. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Vol. 12, No.
1: 16-22.
Fariz, N., Agung Budi Sardjono, dan Titien Woro Murtini. 2017. Gevel Sebagai Karakter
Bangunan Kolonial Dengan Fungsi Rumah Tinggal Di Kota Tegal: Jurnal Modul.
Semarang: Universitas Diponegoro. Vol. 17, No. 1: 56-61.
Nas, P. J. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
19
Tohjiwa, A. D., dkk. 2010. Kota Bogor dalam Tarik Menarik Kekuatan Lokal dan Regional:
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1, Humanisme,
Arsitektur, dan Perencanaan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jurnal 1
Judul: Bangunan Bersejarah Tionghoa di Jakarta dan Bogor Dalam Upaya Konservasinya
Abstrak:
Bangunan bersejarah Tionghoa di Indonesia saat ini terancam punah, dan ini merupakan
salah satu dari peninggalan yang berharga. Pecinan di wilayah Jakarta dan Bogor seharusnya
menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi sekaligus potensial untuk menjadi tujuan bagi
turis mancanegara. Arsitektur dari bangunan Cina memiliki detil yang umumnya menunjukan
kepada masyarakat sekitar tentang status dari pemiliknya. Penelitian ini diselenggarakan oleh
Kecapi Batara – Komunitas Pecinta dan Pemerhati Bangunan Tua Nusantara dimana
mahasiswa Bina Nusantara University dari jurusan Desain Interior sebagai peserta program
magang terlibat sebagai peneliti junior. Salah satu misi Kecapi Batara adalah untuk
melestarikan bangunan peninggalan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengumpulkan data yang tersedia terkait dengan warisan bangunan Cina di Indonesia.
Penelitian dimulai dengan menggunakan studi literatur dan wawancara kepada keluarga
ataupun pemilik dari bangunan tua di wilayah Jakarta dan Bogor. Tulisan ini berisi data dari
beberapa bangunan tua Cina yang telah selesai diteliti didukung oleh sejarah terkait dengan
bangunan. Dengan terlibat dalam penelitian ini, mahasiswa mendapatkan pengalaman dalam
menerapkan metode penelitian, dan mendapatkan wawasan yang lebih, terkait dengan
bangunan Cina bersejarah khususnya di wilayah Jakarta dan Bogor.
20
Lampiran 2. Jurnal 2
Judul: Vihara Dhanagun dan Komunikasi Budaya di Kota Bogor, Jawa Barat
Abstrak:
Artikel ini membahas Vihara Dhanagun, salah satu rumah ibadah Konghucu di Bogor.
Melalui kajian rumah ibadah ini diangkat tema komuni¬kasi budaya, khususnya penganut
Konghucu dengan lingkungan sekitarnya, dengan mengungkap konteks latar sejarah
berdirinya, yang meliputi waktu, pendiri, serta kondisi masyarakat di sekitar saat itu, model
aristektur bangunan, dan benda-benda berikut makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
Selin itu, diungkap pula pemanfaatan rumah ibadah ini dalam konteks sosial budaya sejak
awal berdirinya sampai saat ini. Vihara Dhanagun memiliki karekteristik arsitektur Tionghoa.
Rangkanya menggunakan sistem struktur balok bertingkat dan sistem struktur ikatan balok.
Bentuk atapnya menonjol dengan sistem struktur rangka yang ter¬buat dari kayu. Vihara ini
dihiasi dengan ornamen yang dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu hewan
(fauna), tumbuhan (flora), nature (alam semesta seperti api, air, dan matahari), geometrik, dan
legenda, terutama tentang dewa-dewa. Dari hasil kajian ini diharapkan dapat menambah
khazanah keagamaan Nusantara, menggali nilai-nilai kearifan lokal dan mengkonservasi serta
melestarikan peninggalan bersejarah, termasuk rumah ibadah bersejarah.
21
Lampiran 3. Jurnal 3
Judul: Kajian Arsitektural dan Filosofis Budaya Tionghoa pada Kelenteng Jin De Yuan,
Jakarta
Abstrak:
Sebagai bangunan keagamaan sekaligus bangunan cagar budaya, Kelenteng Jin De Yuan,
Jakarta memiliki nilai strategis dan historis. Nilai strategis meliputi peranannya sebagai salah
satu bangunan pusat kebudayaan Tionghoa di Jakarta, sementara nilai historis meliputi
keberadaannya sebagai bangunan tua sekaligus kelenteng tertua di Jakarta; Kelenteng Jin De
Yuan menjadi salah satu elemen fisik utama pada perkembangan kawasan Pecinan paling tua
di Jakarta, yakni kawasan Pecinan Petak Sembilan, Kelurahan Glodok, Kecamatan
Tamansari, Jakarta Barat.Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta juga dikenal sebagai bangunan
kelenteng yang mengikuti gaya asli (vernakular) pencitraan desain dan arsitektur bangunan
keagamaan di Cina Selatan; sehingga juga memiliki elemen-elemen fisik dan non-fisik yang
secara umum memiliki kesamaan dengan ciri/karakteristik elemen-elemen fisik dan non-fisik
pada bangunan keagamaan di Cina SelatanTujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan memahami aspek fisik dan non-fisik yang terkandung pada
bangunan utama Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta berikut keterkaitan antara keduanya; serta
mengetahui dan memahami persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara desain
dan arsitektur bangunan utama Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta dengan ciri/karakteristik
desain dan arsitektur bangunan keagamaan di Cina Selatan.Teori-teori yang dikaji pada
penelitian ini berasal dari tinjauan studi literatur mengenai kebudayaan masyarakat Tionghoa
secara umum, baik di Cina Selatan maupun di Indonesia; serta mengenai ciri/karakteristik
desain dan arsitektur bangunan keagamaan di Cina Selatan, baik secara fisik maupun non-
fisik (filosofis).Penelitian ini memfokuskan pembahasan mengenai aspek fisik dan non-fisik
pada Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta. Aspek fisik dikaji melalui pendekatan desain dan
arsitektural, sementara aspek non-fisik dikaji melalui pendekatan filosofis. Aspek fisik pada
penelitian ini meliputi fasad bangunan, tata ruang, serta elemen-elemen arsitektur dan interior
di dalamnya; aspek non-fisik meliputi elemen-elemen filosofis berdasarkan kaidah-kaidah
22
religi dan fengshui. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjelasan deskriptif
secara kualitatif pada bangunan kelenteng, mulai dari halaman depan, bangunan utama, serta
bangunan pendukung di sebelah samping (sisi barat dan sisi timur) dan belakang (sisi utara).
Hasil dari penjelasan deskriptif tersebut kemudian dilanjutkan dengan
perbandingan/komparasi melalui analisis komparatif yang terdiri atas analisis umum menurut
kaidah-kaidah ciri/karakteristik desain dan arsitektural bangunan keagamaan di Cina Selatan;
serta analisis khusus menurut kaidah-kaidah religi dan fengshui. Hasil dari analisis
komparatif tersebut akan menjelaskan keberadaan Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta sebagai
bangunan keagamaan yang mengikuti gaya asli pencitraan desain dan arsitektur bangunan
keagamaan di Cina Selatan dengan berbagai persamaan dan perbedaannya.
23
Lampiran 4. Jurnal 4
Abstrak:
Sebagai kota yang berada di pesisir jawa bisa dikatakan Tegal telah mengalami beberapa
perkembangan dan perubahan pada masa kolonial sampai dengan sekarang, baik dari segi
manusianya, budaya ataupun peniggalannya. Kota tegal merupakan satu dari beberapa kota di
pesisir pantai utara yang dijajah atau dikuasai oleh pemerintah belanda pada masa penjajahan
dahulu. Bangunan peninggalan di tegal yang pertama yaitu gedung berau atau NIS Tegal
yang masih bertahan sampai sekarang, bangunan tersebut dirancang oleh arsitek belanda
yaitu Henricus Maclaine Pont, bukan gedung berau saja tetapi juga ada Stasiun Kereta Api
Tegal yang masih difungsikan sampai sekarang. Dari beberapa bangunan kolonial yang
dibangun pada masa itu banyak dari perumahan atau rumah rumah belanda yang meniru
bentuk dan motif bangunan kolonial yang sudah dibangun terlebih dahulu. Dari bangunan
yang ditiru yaitu bangunan DPRD Kota Tegal yang memiliki langam arsitektur eropa brgaya
romawi dengan ciri bentuk kolom yang besar dan mempunyai gevel pada bagian depan
bangunan. Dengan gevel yang semakin banyak digunakan pada bangunan di Kota Tegal tidak
lepas dari rumah rumah yang menggunakan gevel sebagai penanda bangunan yang sangat
manis pada masa itu. Gevel merupaka bagian dari atap dengan yang dibuat untuk menaungi
bagian teras pad bangunan gevel biasanya menyerupai bentuk segitiga dan bentuk persegi
atau bujur sangkart, gevel banyak digunakan pada rumah-rumah di kawasan cagar budaya
Kota Tegal yaitu di kelurahan mangkukusuman, kelurahan panggung, kelurahan tegalsari.
Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan mencari tahu
dilapangan rumah-rumah kolonial yang menggunakan gevel, sehingga bisa dkategorikan
gevel menjadi karakter dari kawasan tersebut. Hasil dari penelitian ini yaitu mengetahui
bahwa gevel menjadi bentuk karakter yang ada pada sepanjang jalan gajah mada Kota Tegal.
24
Lampiran 5. Jurnal 5
Abstrak:
Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengungkapkan karakteristik tipologi arsitektur kolonial
Belanda di kawasan Tikala dan mengidentifikasi perubahan fungsi ruang dalam pada rumah
berciri khas arsitektur kolonial Belanda.
Metodologi penelitian yang dipakai adalah metodologi penelitian rasionalisme dalam bentuk
kualitatif dengan pendekatan tipologi. Metode kualitatif untuk mengidentifikasi tipologi
bangunan kolonial Belanda yang berada di Kawasan Tikala. Kriteria pemilihan sampel
berdasarkan aspek keaslian fasade bangunan yang tidak memiliki perubahan pada fasade dan
kondisi dalam yang masih asli. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Melalui penelitian ini penulis dapat mengidentifikasi karakteristik tipologi arsitektur kolonial
Belanda pada rumah tinggal yang berada dikawasan Tikala dan bagaimana perubahan fungsi
ruang dalam pada bangunan rumah tinggal dengan menggunakan pendekatan tipologi dan
mengambil acuan dari beberapa teori seperti teori fungsi dan teori perubahan.
Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat yang mempunyai rumah yang masih berciri
khas arsitektur kolonial Belanda agar tetap mempertahankan keaslian fasade dan bentuk
bangunan dan untuk pemerintah agar bisa membuat peraturan daerah yang mengatur
perlindungan dan pelestarian bangunan-bangunan bersejarah dikota Manado.
25
PERAN DAN KENDALA MAHASISWA
a. Peran mahasiswa
1) Memberikan dua saran judul dan rumusan masalah ketika proses awal pemilihan
judul penulisan.
2) Membuat dokumen penulisan di google document supaya anggota lain dapat
mensunting, mendiskusikan dan mengomentari disaat yang bersamaan. Serta
memudahkan untuk membagian dokumen penulisan, karena google docs bersifat
daring dan dapat diakses dimanapun.
3) Membuat draft awal dari bab satu, bab dua, dan bab tiga.
4) Mencari tinjauan pustaka yang berhubungan dengan Tionghoa (Masukanya etnis
Tionghoa ke Bogor, orang Tionghoa totok dan Peranakan, serta arsitektur
bangunan Tiongkok).
5) Melakukan suntingan sebelum tulisan diserahan untuk pengumpulan tugas.
6) Mengingatkan anggota kelompok lain untuk mengerjakan bagian mereka, serta
memberikan bantuan berupa pendapat, referensi sumber, serta berdiskusi bersama-
sama.
7) Menacri jurnal mengenai arsitektur lokal (Sunda).
b. Kendala
1) Salah satu anggota jarang berperan aktif dalam menyusun dan mendiskusikan
penelitian ini, sehingga pekerjaan terasa hanya dikerjakan oleh dua orang.
2) Jurnal terkait materi penelitian akulturasi Vihara Dharmakaya tidak terlalu banyak
jumlahnya.
3) Cukup terkendala dalam menentukan akulturasi gaya arsitektur apa yang dimiliki
Vihara.
26