Anda di halaman 1dari 38

ANALISIS AKULTURASI GAYA ARSITEKTUR KOLONIAL DAN

TIONGHOA DENGAN BUDAYA LOKAL PADA VIHARA


DHARMAKAYA DI BOGOR

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Seminar
Dosen Utama: Ir. Nurhasanah, M.M

Disusun oleh:
Hilda Prilianty 615170039
Yulia Andriani Nataraharja 615170044
Rahel Chrisdian 615170047

Kelas: DI-B

Jurusan Desain Interior


Fakultas Seni Rupa dan Desain
Universitas Tarumanagara
Jakarta 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam sejarah, dicatat bahwa Indonesia banyak sekali didatangi oleh
negara asing, yang berminat untuk melakukan perdagangan, seperti negara
Eropa, Tionghoa, Arab, dll. Bukan hanya berdagang, kebanyakan dari bangsa
asing yang datang itu pun menetap di Indonesia dan, sengaja ataupun tidak,
menyebarkan kebudayaannya kepada masyarakat sekitar.
Bangsa Tionghoa sudah datang untuk berdagang di Indonesia sejak abad
ke-5, namun baru membuka pemukiman pada abad ke-10. Masyarakat
Tionghoa mulai menetap dan membangun rumah tinggal, rumah toko dan
juga tempat ibadah untuk sembahyang (Nas, 2009). Kemudian, pada abad ke-
14, beberapa bangsa Eropa seperti bangsa Spanyol, Portugis, atau Inggris,
datang ke Indonesia dengan tujuan awal untuk mencari rempah-rempah dan
sutera yang dapat dijual ke Eropa, namun yang paling lama menetap di
Indonesia adalah bangsa Belanda.
Kehadiran bangsa-bangsa asing tersebut di Indonesia menyebabkan
terjadinya akulturasi, yakni sebuah kondisi di mana dua kebudayaan yang
berbeda bertemu dan melebur menjadi satu sehingga menghasilkan sebuah
kebudayaan baru, tetapi tidak menghilangkan karakteristik-karakteristik
kebudayaan lama dalam kebudayaan yang baru. Akulturasi ini dapat terwujud
dalam berbagai macam bentuk, misalnya bahasa, busana, karya seni, kuliner,
atau arsitektur.
Arsitektur merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang
berkembang dalam waktu yang panjang dan tidak lepas dari perjalanan
sejarah. Akulturasi pada arsitektur dapat terjadi karena ada kebutuhan bagi
kebudayaan asing untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan dan kondisi
geografis lokal, serta mengikuti nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
setempat, seperti kepercayaan, agama, atau filosofi kehidupan tertentu.
Di Indonesia, salah satu bangunan yang memiliki akulturasi gaya
arsitektur ialah Vihara Dharmakaya yang terletak di Jl. Siliwangi, yang

1
merupakan wilayah Pecinan di kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini juga
termasuk dalam daftar cagar budaya kota Bogor.
Vihara Dharmakaya terkenal akan tampilannya yang unik dan khas, yang
banyak dikatakan bahwa terlihat seperti perpaduan dari gaya arsitektur
Tionghoa dan Eropa. Namun, mengingat bahwa kedua bangsa tersebut
memiliki sejarah yang panjang di Indonesia, peneliti menduga ada pula
akulturasi gaya yang terjadi dengan arsitektur lokal. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini, peneliti ingin menganalisis dan menjelaskan bagaimana
sebetulnya gaya arsitektur pada Vihara Dharmakaya, serta membuktikan
apakah ada akulturasi gaya arsitektur Eropa dan Tionghoa dengan gaya
arsitektur lokal.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana gaya arsitektur Vihara Dharmakaya berdasarkan bentuk,
struktur dan warna bangunan?
2. Adakah akulturasi gaya arsitektur Eropa dengan gaya arsitektur lokal pada
Vihara Dharmakaya?
3. Adakah akulturasi gaya arsitektur Tionghoa dengan gaya arsitektur lokal
pada Vihara Dharmakaya?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Untuk menjelaskan gaya arsitektur Vihara Dharmakaya berdasarkan
bentuk, struktur dan warna bangunan.
2. Untuk mengetahui akulturasi gaya arsitektur Eropa dengan gaya arsitektur
lokal pada Vihara Dharmakaya.
3. Untuk mengetahui akulturasi gaya arsitektur Tionghoa dengan gaya
arsitektur lokal pada Vihara Dharmakaya.

1.4. Manfaat Penelitian


Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini dapat memberikan landasan atau
referensi bagi penelitian lain di masa depan dengan objek penelitian berupa

2
akulturasi gaya arsitektur Art Deco dan Tionghoa di wilayah Bogor maupun gaya
arsitektur Vihara Dharmakaya secara spesifik.
Bagi lembaga atau institusi, penelitian ini dapat menjadi masukan yang
membangun untuk meningkatkan penerapan akulturasi gaya arsitektur Art Deco
dan Tionghoa di wilayah Bogor maupun gaya arsitektur pada bangunan Vihara.
Bagi praktisi, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk profesi
desainer interior yang ingin menerapkan konsep akulturasi gaya arsitektur Art
Deco dan Tionghoa maupun untuk mendesain interior Vihara.

1.5. Sistematika Penulisan


BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika
Penulisan.

BAB II KAJIAN TEORI


Bab ini berisi teori-teori berupa pengertian dan definisi yang
diambil dari kutipan buku atau jurnal yang berkaitan dengan
penyusunan laporan serta beberapa tinjauan pustaka yang
berhubungan dengan penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini berisi metode yang digunakan dalam menyusun
laporan penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


Bab ini berisi data-data hasil tinjauan lapangan, sejarah
Vihara Dharmakaya, serta pembahasan yang berkaitan
dengan topik penelitian.

3
BAB V SIMPULAN
Bab ini berisikan hasil kesimpulan yang berkaitan dengan
hasil dan pembahasan akulturasi gaya arsitektur Vihara
Dharmakaya yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Akulturasi


Akulturasi dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang
individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya dan praktek- praktek tertentu
dalam budaya baru (Diaz & Greiner, dalam Nugroho dan Suryaningtyas, 2010).
Menurut Redfield, Linton dan Herskovits (dalam S.J, 1984) akulturasi memahami
fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang
berbeda datang ke budaya lain kemudian terjadi kontak berkelanjutan dari
sentuhan yang pertama dengan perubahan berikutnya dalam pola kultur asli atau
salah satu dari kedua kelompok.
Berry (2005) mengatakan bahwa akulturasi adalah sebuah proses yang
merangkap dari perubahan budaya dan psikologis yang berlangsung sebagai hasil
kontak antara dua atau lebih kelompok budaya dan anggotanya. Pada level
kelompok akulturasi melibatkan perubahan dalam struktur sosial dan institusi.
Sedangkan pada level individu akulturasi melibatkan perubahan perilaku.
Berry mencatat dua pemahaman penting terkait dengan konsep akulturasi.
Pertama adalah konsep akulturasi yang mencoba memahami berbagai fenomena
yang dihasilkan oleh kelompok individu yang memiliki budaya berbeda manakala
kelompok individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga mengakibatkan
perubahan-perubahan pada pola budayanya yang asli. Dengan dasar konsep
tersebut, akulturasi dibedakan dari perubahan budaya dan juga juga dibedakan
dari asimilasi. Akulturasi dilihat sebagai bagian dari konsep yang lebih luas
mengenai masalah perubahan budaya.
Kedua adalah konsep akulturasi yang diawali dengan hubungan antara dua
atau lebih sistem budaya. Dalam konteks ini, perubahan akulturatif dipahami
sebagai konsekuensi dari perubahan budaya. Hal tersebut mungkin diakibatkan
oleh sebab-sebab yang tidak kultural, seperti halnya perubahan ekologis atau
demografis. Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi mencakup perubahan yang

5
mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan masalah budaya, seperti
halnya masalah ekologis.
Pada level individu seseorang harus mempertimbangkan perubahan
psikologis yang terjadi dan pengaruh adaptasinya pada situasi yang baru. Dalam
mengidentifikasi perubahan tersebut dibutuhkan contoh dari suatu populasi dan
juga perlu mempelajari individu-individu yang terlibat dalam proses akulturasi.
Perubahan-perubahan tersebut dapat menjadi suatu rangkaian perubahan yang
dengan mudah dapat diselesaikan (seperti: cara berbicara, cara berpakaian,
ataupun cara makan), tetapi dapat juga menjadi suatu pola rangkaian yang
problematic sifatnya yang menghasilkan stress- akulturatif sebagaimana tampak
dalam bentuk ketidakpastian, kecemasan dan depresi. Proses adaptasi yang terjadi
dapat berbentuk adaptasi internal atau psikologis, tetapi dapat juga berbentuk
adaptasi sosio kultural.
Akulturasi budaya menunjuk pada perilaku individu atau kelompok individu
yang berinteraksi dengan budaya tertentu, sementara akulturasi psikologis
menunjuk pada dinamika intrapersonal dalam diri tiap individu yang
menghasilkan berbagai reaksi berbeda antara yang satu dengan yang lain,
meskipun mereka berada dalam wilayah akulturasi yang sama.

2.2. Masuknya Etnis Tionghoa ke Bogor


Berdasarkan fakta sejarah, orang-orang Tionghoa diketahui telah lama
datang ke Indonesia. Kedatangan mereka tidak saja untuk keperluan berdagang
tetapi juga kepentingan - kepentingan lain seperti penyebarluasan agama Buddha
dan pengetahuan-pengetahuan lain seperti sastra dan lain sebagainya. Menurut
catatan sejarah, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke Indonesia dapat
ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada masa itu, Tiongkok
telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara yang ada di
kawasan Asia Tenggara, dan menurut catatan sudah ada orang Tionghoa yang
datang ke Pulau Jawa (Djawa Dwipa). Pada masa Dinasti Tang (618 – 907 M)
juga didapati orang-orang Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya.

6
Kemudian dari 1368 – 1911, jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke
Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa
Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga banyak penduduk Tiongkok yang
bermigrasi untuk menghindari peperangan. Namun, memasuki tahun 1700-an
banyak orang Tionghoa yang datang untuk berdagang di Indonesia. Para perantau
kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan dan sedikitnya terdiri
dari delapan suku bangsa. Orang Cina di Indonesia sebagian berasal dari empat
suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Khek, Tiau-Chiu, dan orang kota Kanton
(Victor Purcell, 1987).

Pertama-tama banyak etnis Tionghoa yang menetap di Batavia, sehingga


pada abad ke-18, orang Barat mengenal Batavia sebagai “kota orang Tionghoa”
dikarenakan besarnya jumlah peningkatan orang Tionghoa di kota tersebut.
Kehadiran orang Tionghoa sangat dibutuhkan untuk mengisi dan menghidupkan
kota Batavia, meski tidak semua orang Tionghoa diizinkan untuk tinggal di dalam
benteng. Hal ini karena wilayah sekitar Batavia juga dianggap perlu untuk
dikembangkan sehingga harus ada pembagian proporsi masyarakat Tionghoa di
dalam benteng maupun di luar benteng yang kemudian memunculkan terminologi,
”Cina Benteng”. Memasuki abad 20, orang Tionghoa mulai hidup menyebar dan
tidak selalu berada di Pecinan.

Sejarah awal mula datangnya orang Tionghoa ke Bogor tidak banyak data
yang ditemukan. Di sekitar Bogor dan Depok, keberadaan orang Tionghoa sudah
ada pada masa Kerajaan Pakuan Pajajaran. Mereka berada di sekitar sungai
Ciliwung dan Cisadane sebagai pusat ekonomi, dan mereka berdagang di sekitar
Lebak Pasar dan Pulo Geulis sekarang. Setelah itu, mereka menyebar ke daerah
Handelstraat, yang sekarang menjadi Jalan Suryakencana. Untuk memenuhi
kebutuhan rohani dan budaya peninggalan leluhur, maka komunitas Tionghoa
mendirikan tempat ibadah dan pusat budaya yang masih berdiri hingga saat ini.
Menurut dugaan, masuknya etnis Tionghoa ke Bogor tidak lepas dengan
keberadaan Vihara Mahabrahma (Klenteng Pan Kho Bio) di Pulo Geulis yang

7
diperkirakan dibangun dari tahun 1619 - 1743 dan merupakan tempat ibadah
tertua komunitas Tionghoa di Kota Bogor.

2.2. Orang Tionghoa Totok dan Peranakan


Migrasi orang Tionghoa yang terjadi pada dasawarsa yang berbeda
menyebabkan terbentuknya dua kelompok masyarakat Tionghoa di Jawa,
kelompok totok dan peranakan. Tionghoa totok adalah orang Tionghoa yang tiba
di Jawa pada awal abad ke-20 dan mereka terdiri dari beberapa kelompok Bahasa
Tionghoa. Mereka mendidik anaknya dalam kebudayaan dan kebiasaan hidup
Tionghoa termasuk juga penggunaan bahasa Tionghoa di rumah. Sebaliknya
kelompok peranakan adalah orang Tionghoa yang telah beberapa generasi tinggal
di Jawan. Bahasa ibu mereka bahasa Melayu dan Jawa, serta tidak dapat
berbahasa Tionghoa lagi. Mereka tumbuh dalam budaya yang bercampur antara
Tiongkok dan Jawa sehingga orientasi mereka terhadap leluhur tidak sekuat
mereka yang totok.

Pada waktu itu, antara dua kelompok ini tidak ada rasa saling pengertian
sehingga keduanya terpisahkan oleh perasaan permusuhan. Kaum Peranakan lebih
menghargai status sosial dan waktu senggang untuk keluarga. Di dunia
perdagangan mereka tidak terlalu berani spekulatif dibandingkan dengan yang
totok. Sebaliknya kaum totok merasa lebih superior terdapat kaum Peranakan.
Mereka lebih mementingkan harta daripada status sosial sehingga mereka bekerja
lebih keras, lebih percaya diri dan lebih spekulatif.

Pembagian dua kelompok orang Tionghoa ini berlangsung hingga zaman


Orde Baru. Setelah 1965, sebagai akibat gerakan anti-Tionghoa di zaman Orde
Baru, penggunaan bahasa Tionghoa dilarang. Konsekuensinya antara kelompok
totok dan Peranakan terasimilasi dan pembandingan ini sekarang tidak terlihat
lagi.

2.3. Arsitektur bangunan Tiongkok

8
Arsitektur Cina diperkenalkan di Indonesia oleh para pedagang dan imigran
Tiongkok. Antara abad ke-5 dan ke-10, orang-orang Tiongkok singgah di pantai-
pantai sepanjang wilayah Nusantara dan setelah abad ke-10 mereka mulai
membangun pemukiman di pesisir pantai. Tetapi tidak banyak lagi sisa-sisa
pemukiman yang masih dapat dilihat, karena material yang digunakan tidak tahan
lama (Leshuis, 2014).
Arsitektur sebagai sebuah artefak yang didominasi dengan bentuk.
Arsitektur lokal Cina memiliki ciri khas berdasarkan enam lokasi dan bahan
bangunannya, yaitu rumah berhalaman bata segi empat (courtyard house) di
kawasan Cina Utara, arsitektur bawah tanah di kawasan Loess, arsitektur kayu dan
bata di kawasan Barat dan Barat Daya Cina, bangunan kayu di kawasan Timur
Cina, arsitektur tanah dan kayu di Hakka dan bangunan bata, kayu, batu di pesisir
Selatan Cina (Nas, 2009).

2.3.1 Tipe-tipe Bangunan Tiongkok Secara Umum


Terdapat tiga tipe bangunan Tiongkok secara umum, yaitu:
a. Tipe Utama
Tipe utama merupakan bangunan berbentuk persegi empat dengan
dua variasi, yaitu vertikal dan horizontal. Bangunan berbentuk persegi
empat vertikal, adalah tipe sederhana dengan bagian airwell atau lubang
udara di tengahnya. Bangunan ini disebut demikian karena jarak antara
dinding utama dengan dinding belakang lebih panjang dibandingkan
dengan jarak dinding kanan dan kirinya. Tipe ini merupakan bentuk
paling umum di perkotaan urban yang sempit, dengan resolusi rumah
toko di bagian depannya (ruko Cina atau Chinese Shophouse).

9
Bangunan persegi empat horizontal, merupakan tipe sederhana
yang banyak digunakan masyarakat pedesaan dan masyarakat bawah.

Merupakan tipe bangunan yang didasarkan atas satu bangunan utama


dengan tiga buah dinding penutup dan sebuah dinding penghalang,
dengan dinding tempat pintu depan lebih panjang daripada jarak dinding
antara pintu depan dengan dinding di belakangnya.
Gambar 2.1. Tipe persegi empat vertikal (kiri) dan tipe persegi empat horizon (kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

b. Tipe halaman (courtyard)


Tipe halaman terdiri dari dua jenis penerapan penataan halaman,
yaitu tipe San Heyuan dan Si Heyuan. Tipe San Heyuan, merupakan tiga
buah bangunan dengan posisi seberang pintu pagar sebagai bangunan
utama dan dua buah mengapit sisi kiri dan kanannya. Bagian tengah
biasanya dibiarkan terbuka sebagai courtyard sebagai sarana berkumpul
dan sosial ekonomi sehari hari lainnya. Ciri utamanya tetap terletak pada
konsep simetris dan perancangan aksial sudut tetapi tidak mengikuti
sumbu utara-selatan dan tidak terdapat dinding penutup (Lip, 2009: 26).
Tipe Si Heyuan terdiri dari tiga bangunan dengan tipe dasar San
Heyuan dengan penambahan halaman di bagian depan, ditandai dengan
tambahan pintu pagar utama pada sisi kanan, di mana pada tipe San
Heyuan pagar ini berada di tengah. Konsep simetris dan perencanaan
sudut dipakai dengan adanya orientasi utara-selatan dan sebuah dinding

10
penutup. Si Heyuan banyak dipakai pada hunian bertipe halaman di
daerah Cina Selatan.

Gambar 2.2. Tipe San Heyuan (kiri) dan tipe Si Heyuan (kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

c. Tipe Gabungan
Tipe gabungan terdiri dari dua jenis, yaitu tipe gabungan San
Heyuan dan Si Heyuan serta tipe kompleks. Tipe pencampuran San
Heyuan dan Si Heyuan, merupakan gabungan dari kedua tipe San
Heyuan dan Si Heyuan yang memperluas halaman depan. Dilakukan
penambahan tiga buah bangunan dengan komposisi yang sama dengan
sanheyuan dan memiliki pintu pagar di tengah. Di tengah pusat kompleks
bangunan utama terdapat Altar leluhur. Orang kaya di bagian Cina
Selatan umumnya menggunakan tipe ini dengan menambah dan
memperluas bagian sisi kiri kanan dan belakangnya dengan kompleks
bangunan baru dan koridor-koridor yang besar dan rumit.
Tipe kompleks menggabungkan semua bangunan persegi
horizontal maupun vertikal dari denah diatas, yang dipisahkan koridor-
koridor (gang), jembatan- jembatan, sungai-sungai kecil atau danau kecil
buatan dan taman. Tipe ini sedikit kompleks dan rumit, banyak terdapat
di pegunungan dengan kontur tanah yang tidak rata dan berbukit.

11
Penataan hanya dapat ditaksir sebagai fungsi dari penataan posisi dan
hirarki simbolik dan aksis vertikal atas dasar kegunaan lahan.

Gambar 2.3. Tipe gabungan San Heyuan dan Si Heyuan (kiri) dan tipe Kompleks
(kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
Selain dari yang telah tersebut di atas, bangunan arsitektur Tionghoa yang
dijumpai di Indonesia memiliki karakteristik berupa pemisahan pemukiman
Tionghoa/ Pecinan yang jelas (karena hal ini diatur oleh Pemerintah Kolonial
Belanda), pemukiman masih solid dan masif yaitu dihuni oleh orang Tionghoa,
memiliki lingkungan dengan pola jalan yang teratur, yaitu dengan garis bangunan
ruko dan rumah yang lurus dan masih menjalankan pola hidup masyarakat
Tionghoa. Sementara untuk fisik bangunan Tionghoa di Indonesia biasanya
memiliki taman dalam (courtyard) yang bersifat privat, penekanan pada bentuk
konstruksi atap, elemen struktural yang terbuka, serta aplikasi warna yang khas.

2.3.2. Aspek Non-fisik pada Arsitektur Bangunan Ibadah Tiongkok


a. Feng Shui
Fengshui merupakan metode untuk menentukan arah serta orientasi
dari suatu kota, rumah, dan bangunanbangunan lain dengan tujuan

12
memperoleh energi (Qi) dari elemen-elemen alam pada lansekap seperti
air, tanah, api, dan angin, serta elemen-elemen celestial seperti langit dan
matahari. Praktik Feng Shui sudah ada sejak sebelum ajaran Taoisme dan
hingga saat ini seringkali masih digunakan oleh beberapa kalangan
masyarakat Tionghoa sebagai manifestasi dari harmonisasi kehidupan
dengan kekuatan alam. Filosofi utama Feng Shui adalah keseimbangan
Yin dan Yang.

b. Konfusianisme
Pemikiran dari ajaran Konfusianisme diterapkan melalui
penggunaan courtyard (halaman) pada bangunan-bangunan Tionghoa.
Keberadaan halaman tersebut dapat membentuk suatu “dunia kecil”
sebagai ruang privat terbuka dan sejalan dengan prinsip Feng Shui dalam
mengupayakan masuknya energi (Qi) dari alam ke bagian dalam
bangunan. Agar energi (Qi) tersebut dapat menyebar secara merata ke
seluruh area bangunan, maka courtyard selalu diletakkan pada bagian
tengah bangunan pada sumbu membujur (Jin) utama.
Ruang-ruang yang mengelilingi halaman pun dikomposisikan
secara simetris terhadap halaman agar mampu menyerap energi alam (Qi)
secara optimal. Keberadaan halaman sendiri didasarkan pada prinsip
Konfusianisme bahwa manusia harus dekat dengan elemen tanah untuk
memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran hidup.

2.3.3. Aspek Fisik pada Arsitektur Bangunan Ibadah Tiongkok


a. Courtyard / chhimcne
Courtyard merupakan ruang terbuka/taman yang bersifat privat.
Arsitektur dengan ciri utama memiliki courtyard banyak dijumpai di
Cina Utara, namun di daerah China Selatan, di mana banyak orang
Tionghoa Indonesia berasal, courtyard berukuran lebih sempit karena
lebar kavling tidak terlalu besar.

13
Rumah-rumah orang Tionghoa Indonesia yang ada di daerah
Pecinan jarang yang memiliki courtyard. Bangunan memiliki ciri khas
yaitu memiliki area kosong di tengah ruangan keluarga, atau seringkali
juga disatukan dengan kebun/taman. Jikalau ada, courtyard tersebut lebih
berfungsi untuk memasukkan cahaya alami pada siang hari, sebagai
ventilasi penghawaan alami atau untuk keperluan sembahyang. Dalam

bahasa Hokkian disebut juga chhimcne (dibaca cim-ce), yang berarti


sumur dalam, atau dalam bahasa mandarin tianjing, yang berarti sumur
langit. Courtyard pada arsitektur Tionghoa di Indonesia biasanya diganti
dengan teras-teras yang cukup lebar.
Gambar 2.4. Contoh penerapan courtyard pada bangunan Tiongkok.
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
b. Bentuk Atap
Sudut kemiringan atap Cina tidak lurus seperti bangunan-
bangunan barat yang dilakukan dengan mengubah jarak balok penunjang
atap untuk mencapai atap yang melengkung, di beberapa bangunan sudut
sudutnya melengkung ke atas. Selain untuk keindahan, hal ini
dimaksudkan untuk memperlambat aliran air hujan agar tidak jatuh
langsung ke halaman dan merusak tanah. Bentuk atap bangunan

14
arsitektur Cina umumnya landai. Ada lima macam tipe atap bangunan
berarsitektur Cina, yaitu:
1) Atap jurai (Wu Tien).
2) Atap pelana dengan tiang-tiang kayu (Hsuan Shan).
3) Atap pelana dengan dinding tembok (Ngang Shan).
4) Kombinasi atap jurai dengan atap pelana (Hsuan Shan).
5) Atap piramida (Tsuan Tsien).

Gambar 2.5. Tipe-tipe atap bangunan Tionghoa.


Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

15
Lengkung atap dan kuda-kuda pelana ditopang oleh jajaran tiang-
tiang yang terbuat dari balok padat, bundar dan persegi, membentuk
kuda-kuda atap. Lima tipe bubungan atap yaitu, tipe ujung lancip, tipe
geometri, tipe awan bergulung, tipe awan berombak, dan tipe awan
meliuk/ ujung meliuk.

Tipe Ujung Lancip Tipe Geometris Tipe Awan Bergulung


Tipe Awan Berombak Tipe Awan Meliuk/ Ujung Meliuk
Gambar 2.6. Tipe-tipe bubungan atap bangunan Tionghoa.
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
Khusus pada bangunan beratap pelana, memiliki jenis dinding
samping sebagai berikut, yang khususnya sering ditemukan pada
bangunan Cina di Selatan, yaitu: a) Tangga (Stepped Gable Wall); b)
Busur (Bow Shape); c) Lurus (Straight); d) Lima Puncak Surga (five
peaks adoring heaven); dan e) Kucing merayap (Crawling cat).

16
Gambar 2.7. Tipe-tipe dinding samping atap pelana.
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

Dua jenis dinding pelana yang umum ialah motif ‘v’ terbalik dan
tipe kucing merayap. Biasanya motif yang membawa keberuntungan
seperti kupu-kupu (hu) dengan lonceng atau vas dan kelelawar (fu)
dibubuhkan pada puncak samping dinding pelana, mereka juga sebagai
lambang berkat dan perlindungan (Kohl, 1984: 101).

Gambar 2.8. Tipe-tipe dinding samping atap pelana yang umum.


Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

c. Elemen Struktural yang Terbuka


Elemen struktur pada bangunan Tionghoa seringkali tampak
diekspos. Konstruksi tou-kung yaitu kuda-kuda kayu yang merupakan
pertemuan antara balok pada rangka atap dan tiang penyangga. Kayu
yang dibiarkan terbuka ini memiliki ukiran dengan detail yang rumit.

Gambar 2.9. Salah satu contoh kuda-kuda kayu atau tou-kung.

17
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

d. Penggunaan Warna yang Khas


Warna pada arsitektur Tionghoa memiliki arti/ makna simbolik.
Warna-warna tertentu pada umumnya diberikan pada elemen-elemen
tertentu pada bangunan karena warna merupakan salah satu penerapan
dari aspek religi/kepercayaan masyarakat Tionghoa. Setiap warna
memiliki arti/makna tertentu, antara lain:

1) Merah
Warna merah merupakan warna api dan warna api dan
warna arah selatan. Warna merah merupakan lambang
keberuntungan dan kemakmuran, sekaligus melambangkan
kebenaran dan ketulusan hati. Warna merah seringkali dikaitkan
dengan sifat Yang dari matahari. Pada arsitektur Tionghoa,
warna merah sering terdapat pada kolom, dinding, dan ornamen-
ornamen bangunan.

2) Kuning
Warna kuning merupakan warna tanah. Dalam arsitektur
Tionghoa, dinding dan ornamen hias pada bangunan kelenteng
seringkali diberi warna kuning. Warna kuning merupakan
lambang kemakmuran dan sikap optimis, sekaligus lambing
umur panjang dan kekayaan. Dalam sejarah Tiongkok, pakaian
berwarna kuning hanya boleh dikenakan oleh Kaisar.

3) Biru
Warna biru merupakan warna dari elemen air dan
mewakili arah timur, sekaligus melambang kan kedudukan dan

18
jabatan. Warna biru seringkali digunakan pada bagian atap dan
dinding.

4) Hijau
Dalam arsitektur Tionghoa, warna hijau sering diterapkan
sebagai elemen dekorasi, balok, dan braket. Warna hijau
merupakan simbol kayu dan melambangkan keberuntungan
(rezeki yang melimpah).

e. Jin dan Lu
Jin dan Lu merupakan bagian unit dari tatanan massa bangunan
yang berbentuk segi empat. Pada umumnya Jin dan Lu berupa suatu
ruang yang diberi pembatas dinding atau hanya dibatasi oleh kolom-
kolom sehingga secara psikologis mampu menghasilkan kesan ruang. Jin
merupakan aksis longitudinal yang membujur sesuai dengan peletakkan
massa bangunan utama, sementara Lu merupakan aksis Lu longitudinal
yang melintang sesuai dengan peletakkan massa bangunan sekunder. Jin
dan Lu juga dapat ditumbuhkan untuk membentuk suatu ruang selasar
(hall) dengan menggunakan unit standar pada sepanjang aksis membujur
dan aksis melintang.

19
Gambar 2.10. Penerapan Jin dan Lu pada bangunan.
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

f. Axial Planning
Ciri/karakteristik dari arsitektur bangunan Tionghoa adalah
penerapan bentuk simetris orthogonal pada bagian denah dan potongan
bangunan. Prinsip ini berasal dari kosmologi Tionghoa. Pada arsitektur
Tionghoa, bagian selasar (hall) dan courtyard ditempatkan secara sejajar
pada sepanjang aksis membujur (Jin) dengan susunan orthogonal.
Tatanan massa dalam bangunan arsitektur Tionghoa terletak saling
terpisah dengan adanya courtyard yang pada akhirnya dianggap sebagai
ruang utama dalam keseluruhan komposisi massa dan ruang bangunan
dengan prinsip penataan:
1) Sumbu membujur (Jin) merupakan sumbu utama dan sumbu
melintang (Lu) merupakan sumbu sekunder.

20
2) Terkadang suatu komposisi massa dan ruang hanya memiliki
satu sumbu, yakni sumbu membujur (Jin), atau tanpa sumbu
sama sekali.

Gambar 2.11. Penerapan axial planning pada bangunan.


Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.

Bentuk dasar dari arsitektur Tionghoa adalah persegi dan persegi


panjang sebagai bentuk denah ruang dengan ruang-ruang yang menyatu
dalam keseluruhannya. Arsitektur Tionghoa mengkomposisikan kan
bentuk-bentuk persegi dan persegi panjang dengan berbagai variasi
sesuai dengan fungsi dan kebutuhan ruang dalam bangunan.
Kombinasi unit-unit ruang dan massa bangunan dalam arsitektur
Tionghoa mematuhi prinsip keseimbangan dan simetri. Sumbu utama
tercipta melalui susunan struktur utama di bagian tengah, sementara
sumbu-sumbu sayap tercipta melalui struktur sekunder di bagian kiri dan
kanan yang mengelilingi ruang-ruang utama courtyard pada bangunan.

2.4. Masuknya Etnis Eropa ke Bogor


Bogor merupakan salah satu kota pedalaman terpenting di era kolonial,
mengingat Bogor (dahulu Buitenzorg) pernah berfungsi sebagai ibu kota
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, yaitu sejak Gubernur Jenderal Van Alting
(1780). Bogor mula-mula dibentuk dengan penguasaan dan pengelolaan lahan
perkebunan yang dikelola tuan tanah yang akhirnya berkembang setelah

21
dihubungkan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun mulai 1811 oleh
Daendels dan belakangan oleh jalur kereta api (Batavia-Buitenzorg) pada 1873.
Banyak artefak fisik kota yang dibangun pada masa kolonial ini, salah
satunya adalah istana Bogor (dulu bernama vila Buitenzorg) yang didirikan atas
prakarsa Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff. Bangunan ini juga sempat
berfungsi sebagai kantor resmi Gubernur Jenderal VOC maupun Gubernur
Jenderal Hindia Belanda hingga pada akhirnya dijadikan Istana Kepresidenan RI.
Halaman istana Buitenzorg tersebut dibangun menjadi Kebun Raya (Botanical
Garden) oleh seorang ahli Botani Jerman yaitu Prof.R.C.Reinwardt dan
diresmikan sebagai Kebun Raya Bogor pada tahun 1887. Dengan luas 87 Ha
Kebun Raya Bogor saat ini menjadi kebun raya terbesar di Asia Tenggara dan
merupakan artefak alam yang menjadi ciri khas kota Bogor.

Seperti kebanyakan kota kolonial, Kota Bogor tumbuh dari konsentrasi


tiga kawasan etnis yang ditentukan pemerintahan kolonial: Eropa, Cina, dan
pribumi. Tiap kawasan memiliki kekhasan dan karakter masing-masing. Zona
permukiman masyarakat Eropa ditandai dengan berbagai gedung pemerintahan
dan fasilitasnya (sebagai civic center), permukiman yang didominasi rumah vila
yang berpekarangan luas, dan berbagai fasilitas umum dan bangunan komersial
(kantor, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain). Meskipun memiliki jumlah
penduduk sangat kecil, zona Eropa menempati porsi lahan terbesar. Zona Eropa di
Bogor dapat kita tandai mulai di sekeliling Kebun Raya Bogor, gedung institusi
pemerintah di sepanjang Jalan Ir Juanda, Jalan A Yani (untuk fungsi perkantoran
dan pemerintahan), hingga daerah Ciwaringin (ke arah utara), dan daerah Taman
Kencana (timur).
Struktur kawasan pecinan Bogor terbentuk di sepanjang Jalan
Suryakencana (dulu dinamakan Handelstraat atau Jalan Perniagaan sesuai dengan
fungsinya sebagai sentra ekonomi kota) yang terletak tepat di antara dua sungai
(Ciliwung di timur dan Cipakancilan di barat). Masyarakat Cina yang terkotak-
kotak dalam kelas sosial menempati hunian sesuai kelas mereka. Golongan
pedagang berkumpul di sekitar Pasar Bogor, sedangkan golongan bawah

22
menghuni ruko sewa dan rumah petak di balik ruko. Golongan elite cenderung
menghuni bagian selatan. Rumah mereka biasanya mencirikan gaya hidup yang
kebarat-baratan: menggunakan ragam bentukan bangunan Belanda dan menghuni
rumah tipe villa.

2.5. Gaya Arsitektur Kolonial


Gaya arsitektur Kolonial menurut Wardani dalam Purnomo (2017) adalah
gaya desain yang cukup populer di Belanda pada tahun 1624-1820. Gaya desain
ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk menciptakan daerah
jajahan seperti negara asal mereka. Pada kenyataannya, desain tidak sesuai dengan
bentuk aslinya karena perbedaan iklim, kurangnya ketersediaan material dan
perbedaan teknik di negara jajahan. Akhirnya, diperoleh bentuk modifikasi yang
menyerupai desain di negara mereka.
a. Karakteristik
1) Bentuk: memiliki bentuk geometris (segitiga, segiempat, segilima,
dst.) dengan keseimbangan yang simetris; bukaan-bukaan biasanya
berbentuk persegi panjang atau persegi panjang dengan lengkung
pada bagian atas (arch).
2) Struktur: menurut Handinoto (2012), bangunan kolonial memiliki
bagian-bagian sebagai berikut:
a) Gable (gevel); terdapat pada bagian tampak

bangunan, berbentuk segitiga mengikuti bentuk


atap.

23
Gambar 2.12. Gevel
Sumber: Handinoto, 1996

b) Tower (menara); variasi bentuknya beragam, mulai


dari bulat, kotak atau segi empat ramping, segi
enam, atau bentuk-bentuk geometris lainnya.
c) Dormer; berfungsi untuk penghawaan dan
pencahayaan; di tempat asalnya, Belanda, dormer
biasanya menjulang tinggi dan digunakan sebagai
ruang atau cerobong asap untuk perapian.

Gambar 2.13. Dormer


Sumber: Handinoto, 1996

d) Tympanum (tadah angin); merupakan lambang masa


pra kristen yang diwujudkan dalam bentuk pohon
hayat, kepala kuda, atau roda matahari.
e) Balustrade; pagar yang biasanya terbuat dari beton
cor yang digunakan sebagai pagar pembatas balkon,
atau dek bangunan.

24
f) Bouvenlicht (lubang ventilasi); bukaan pada bagian
wajah bangunan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan dan kenyamanan termal.

Gambar 2. 14. Bagian-bagian lain pada arsitektur kolonial


Sumber: Handinoto, 1996

3) Warna: banyak menggunakan warna polos yang cerah pada


dinding, seperti putih atau putih gading.

2.6. Gaya Arsitektur Kolonial di Indonesia


Menurut Handinoto dalam Purnomo (2017), di Indonesia, gaya arsitektur
Kolonial mengalami perkembangan yang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Gaya Arsitektur Indische Empire style (Abad 18-19)


Gaya arsitektur Indische Empire style di Indonesia menurut
Handinoto (2012), diperkenalkan oleh Herman Willem Daendels saat
dia bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811).
Gaya ini pada mulanya muncul di daerah pinggiran kota Batavia
(Jakarta). Gaya tersebut muncul karena adanya kebudayaan Indische
yang berkembang di Hindia Belanda (Indonesia), yang merupakan

25
campuran antara kebudayaan Eropa, Indonesia dan sedikit kebudayaan
dari orang Cina peranakan.

Milano dalam Handinoto (2012) mengungkapkan ciri-ciri


arsitektur Indische Empire Style sebagai berikut:

1) Bentuk: fasad bangunan simetris, tidak bertingkat, atap berbentuk


perisai
2) Struktur: terdapat barisan kolom bergaya Yunani (Doric, Ionic,
Corinthian) pada teras rumah atau bangunan, terdapat round-roman
arch pada gerbang masuk atau koridor pengikat antar massa
bangunan, penggunaan lisplang batu bermotif klasik di sekitar atap
3) Warna: penggunaan warna putih dominan

26
Gambar 2. 15. Contoh bangunan dengan gaya arsitektur Indische Empire Style
Sumber: Handinoto, 1996

b. Gaya Arsitektur Transisi (1890-1915)


Menurut Handinoto (2012), arsitektur transisi di Indonesia
berlangsung sangat singkat, arsitektur transisi berlangsung pada akhir
abad 19 sampai awal abad 20 antara tahun 1890 sampai 1915. Peralihan
dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh perubahan
dalam masyarakatnya. Modernisasi dengan penemuan baru dalam
bidang teknologi dan perubahan sosial akibat dari kebijakan politik
pemerintah kolonial pada saat itu mengakibatkan perubahan bentuk dan
gaya dalam bidang arsitektur. Perubahan gaya arsitektur pada zaman
transisi atau peralihan (antara tahun 1890-1915) dari gaya arsitektur
Indische Empire menuju arsitektur Kolonial Modern sering terlupakan.

Karakteristik arsitektur transisi menurut Handinoto (2012), antara


lain:

1) Bentuk: bentuk atap pelana dan perisai dengan penutup genteng


dengan sudut kemiringan 45 – 60 derajat masih banyak dipakai,
penggunaan arch sudah mulai ditinggalkan
2) Struktur: penggunaan kolom ordo Yunani sudah mulai
ditinggalkan, ada usaha untuk membuat menara (tower) pada pintu
masuk utama seperti yang terdapat pada banyak gereja Calvinis di
Belanda, ada usaha untuk memakai konstruksi tambahan sebagai
ventilasi pada atap (dormer), gevel-gevel pada arsitektur Belanda
yang terletak di tepi sungai muncul kembali
3) Warna: penggunaan warna putih dominan

c. Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915- 1940)


Menurut Handinoto (1993), arsitektur modern merupakan sebuah
protes yang dilontarkan oleh arsitek-arsitek Belanda sesudah tahun

27
1900 atas gaya Empire Style. Arsitek Belanda yang berpendidikan
akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka mendapatkan
suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya arsitektur Empire
Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan sambutan di
Belanda.

Arsitektur Kolonial Modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


1) Bentuk: bentuk simetri banyak dihindari, fasad bangunan lebih
mencerminkan ‘form follows function’ atau ‘clean design’
(modern), bentuk atap masih didominasi oleh atap pelana atau
perisai dengan bahan penutup genteng atau sirap.
2) Struktur: teras keliling bangunan sudah tidak ada lagi, sebagai
gantinya, sering dipakai elemen penahan sinar (tritisan)
3) Warna: penggunaan warna putih dominan.

Sebagai tambahan, menurut Santoso (2014), terdapat karakteristik-


karakteristik dari gaya-gaya lain yang sedang berkembang, yang turut
mempengaruhi gaya arsitektur Kolonial di Indonesia sesudah tahun
1900-an. Gaya-gaya tersebut adalah:

1) Art and Craft, dengan ciri-ciri kejujuran bahan serta penonjolan


detail kerajinan yang berkualitas tinggi.
2) Art Nouveau, dengan ciri-ciri penggunaan ornamen dekorasi yang
didasarkan pada bentukan alam serta asimetris.
3) Art Deco, dengan ciri-ciri memperlihatkan aspek seni berbentuk
kubisme yang mengutamakan bentuk geometris.
4) Amsterdam School, dengan ciri-ciri penghargaan yang tinggi
terhadap orisinalitas perancang, “total work of art”, serta
pemakaian bahan-bahan alam.
5) De Stijl, dengan ciri-ciri penggunaan bentuk geometris serta
warna-warna primer, hitam, dan putih.

28
6) Nieuwe Bouwen/International Style, dengan ciri-ciri penggunaan
warna putih yang dominan, atap datar dan menggunakan gevel
horizontal, dan volume bangunan berbentuk kubus.

2.7. Pengertian Vihara


Menurut Subalaratano dan Samanera (tanpa tahun) dalam Yoyoh (2008)
bahwa Vihara atau asrama pertama dalam sejarah buddha terletak diatas tanah
yang dinamakan Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi.
Tempat yang sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting
bagi umat Buddha yang mungkin dilupakan.
Pengertian Vihara seperti yang diuraikan oleh Suwarno (1999) dalam
Yoyoh (2008) bahwa pada awalnya pengertian Vihara sangat sederhana, yaitu
pondok atau tempat tinggal atau tempat penginapan para bhikkhu atau bhikkhuni,
samanera, samaneri. Namun kini pengertian Vihara mulai berkembang, yaitu:
Vihara adalah tempat melakukan segala macam bentuk upacara keagamaan
menurut keyakinan, kepercayaan dan tradisi agama Buddha, serta tempat umat
awam melakukan ibadah atau sembahyang menurut keyakinan, kepercayaan dan
tradisi masing - masing baik secara perorangan maupun berkelompok. Di dalam
Vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk penempatan altar.

2.8. Sejarah Vihara


Suwarno T. (1999) mengatakan bahwa dulu sebelum dikenal Vihara,
tempat tinggal para bhikkhu adalah goa - goa di bawah pohon, di kuburan, diatas
bukit, ditumpukan jerami dan tempat penduduk yang menyediakan tempat untuk
menginap. Setelah banyak orang yang mendengar ajaran Sang Buddha dan
berlindung kepada Sang Tri Ratna, mereka bermaksud untuk menyediakan tempat
tinggal bagi para bhikkhu yang layak, Sang Buddha kemudian memperbolehkan
umat berada di Vihara.
Pada umumnya umat Buddha belum mempunyai Vihara secara khusus.
Gagasan untuk membangun sebuah Vihara pertama kali dilakukan oleh Raja

29
Bimbisara dari Kerajaan Rajagaha. Suatu ketika Raja Bimbisara mendengarkan
ajaran Sang Buddha dan Mencapai Sottapati (tingkat kesucian pertama) maka
beliau memberikan persembahan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.

Atas pemberian tersebut. Sang Buddha memberikan persyaratan sebagai


berikut:
a. Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan untuk lewat.
b. Tidak terlalu banyak suara di siang hari maupun malam hari.
c. Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik
matahari dan pohon menjalar.
d. Orang yang tinggal disana mudah mendapat jubah, makanan, tempat
tinggal, obat-obatan sebagai pengobatan bagi orang sakit.
e. Di Tempat tersebut ada bhikkhu yang lebih tua (senior) yang
mempunyai pengetahuan tentang kitab suci (Dhamma-Vinaya).

Sejak saat itu pengurusnya menerima Dana Vihara. dengan semakin


banyaknya penganut ajaran Sang Buddha, makan Vihara bukan hanya tempat
singgah para bhikkhu, tetapi juga digunakan oleh pasa upasaka dan upasika untuk
belajar Dhamma. Pada saat itu, umat Buddha terutama di Indonesia datang ke
Vihara untuk melakukan puja bakti bersama-sama pada hari yang telah mereka
tentukan. Selain puja bakti umat juga mengadakan berbagai kegiatan lain yang
sesuai dengan Dhamma dan Vihara.

30
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan
untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas,
karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena
yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006: 72). Penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat
yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi,
atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.
Furchan (2004: 447) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala
saat penelitian dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak
ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis
sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperimen.
Hasil dari penelitian ini akan memberikan penjabaran mengenai gaya
arsitektur Vihara Dharmakaya, berikut dengan penjelasan dan pemahaman
mengenai akulturasi gaya arsitektur yang terdapat pada vihara tersebut.

3.2. Desain Penelitian


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan

31
perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif memiliki karakteristik alami
sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada
hasil. Analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisis
induktif dan makna makna merupakan hal yang esensial (Lexy Moleong, 2006:
04).
Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek yang alamiah atau natural
setting, sehingga penelitian ini sering disebut penelitian naturalistic. Objek yang
alami adalah objek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga
kondisi pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek dan keluar dari
objek relatif tidak berubah. Penelitian ini menggunakan Vihara Dharmakaya
sebagai objek penelitian.
Dalam penelitian kualitatif peneliti menjadi instrumen. Oleh karena itu
dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument.
Untuk menjadi instrumen peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang
luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, mendokumentasikan dan
mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi jelas dan bermakna. Kriteria data
dalam penelitian kualitatif adalah data yang pasti. Data yang pasti adalah data
yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekedar terlihat,
terucap, tetapi data yang mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap
tersebut (Sugiyono, 2008: 02).

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian


Lokasi tempat penelitian ini dilaksanakan adalah Vihara Dharmakaya di
kota Bogor, Jawa Barat.
Penelitian ini dilaksanakan terhitung dari perencanaan penelitian,
pelaksanaan penelitian, sampai pembuatan laporan penelitian. Penelitian
dilaksanakan di bulan Februari 2020 sampai dengan bulan April 2020.

3.4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai
berikut:

32
a. Studi literatur, melalui pengumpulan data yang dipergunakan berupa
acuan dari buku, internet, dan majalah dalam bentuk tertulis maupun
gambar.
b. Observasi/ pengamatan, melakukan pengamatan kondisi lingkungan dan
bangunan serta perilaku penghuni bangunan untuk bangunan yang masih
dihuni.
c. Wawancara/ interview, dengan mengumpulkan data dengan cara
melakukan wawancara langsung kepada pemilik atau pengurus
bangunan.
d. Pengumpulan gambar, mengumpulkan data dokumentasi bangunan
selama proses penelitian berlangsung.
e. Pengarsipan data, dengan memisahkan data yang sudah dikumpulkan
berdasarkan tipologi bangunan.

3.4. Teknis Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitik, yang mendeskripsikan data yang dikumpulkan berupa kata-
kata, gambar, dan bukan angka. Data yang berasal dari naskah, wawancara,
catatan lapangan, dokumen, dan sebagainya, kemudian dideskripsikan sehingga
dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas (Sudarto, 1997: 66).
Analisis data ini dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan
dan setelah selesai di lapangan.
Menurut Miles dan Huberman dalam Usman dan Akbar (2009: 85-89),
terdapat tiga kegiatan dalam alur analisis data, yaitu:
a. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi
data “kasar” yang muncul dari catatan lapangan. Reduksi dilakukan
sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan,
mengkode, menelusuri tema, menulis memo, dan lain sebagainya,

33
dengan maksud menyisihkan data atau informasi yang tidak
relevan, kemudian data tersebut diverifikasi.
b. Penyajian data
Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi
tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif
disajikan dalam bentuk teks naratif, dengan tujuan dirancang guna
menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu
dan mudah dipahami.
c. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan akhir
penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan
melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran
kesimpulan yang disepakati oleh tempat penelitian itu
dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus
diuji kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Asruroh, Yoyoh. 2008. Skripsi Makna dan Tata Cara Bhakti-Puja Dalam Ajaran
Buddha Maitreya: Studi Kasus di Vihara Maitreyawira Angke Jalambar
Jakarta Barat. Jakarta: Universitas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.

Berry, John W. 2005. Acculturation: Living successfully in two cultures. Kanada:


International Journal Of Intercultural Relations. Vol. 29, No. 6:679-712.

Burhanudin, Dede. 2018. Vihara Dhanagun dan Komunikasi Budaya di Kota


Bogor, Jawa Barat: Jurnal Lektur Keagamaan. Jakarta: Jurnal Lektur
Keagamaan. Vol. 16, No. 1: 159 - 194.

Dewi Sri Maryati Santoso. 2014. Pengaruh Gaya Desain Gotik dan Kolonial
Belanda Terhadap Efek Pencahayaan Alami pada Gereja Katolik Hati
Kudus Yesus di Surabaya: Jurnal Dimensi Interior. Surabaya: Universitas
Kristen Petra. Vol. 12, No. 1: 16-22.

Fariz, N., Agung Budi Sardjono, dan Titien Woro Murtini. 2017. Gevel Sebagai
Karakter Bangunan Kolonial Dengan Fungsi Rumah Tinggal Di Kota
Tegal: Jurnal Modul. Semarang: Universitas Diponegoro. Vol. 17, No. 1:
56-61.

Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di


Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya
dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset.

35
Kohl, David.G. 1984. Chinese Architecture in The Straits Settlements and
Western Malaya: Temples, Kongsis and Houses. Kuala Lumpur:
Heinemann Asia.

Kurnadi, K. P. 2009. Studi Lanskap Bersejarah Kawasan Pecinan Suryakencana,


Bogor. Skripsi. Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Leushuis, E. 2014. Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta:


Ombak.

Lip, Evelyn. 2008. Feng Shui in Chinese Architecture. Bangkok: Marshall


Cavendish Corp/Ccb.

Nas, P. J. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Nugroho, Raden Arief & Suryaningtyas, Valentina Widya. 2010. Akulturasi


Antara Etnis Cina dan Jawa: Konvergensi atau Divergensi Ujaran Penutur
Bahasa Jawa. Semarang: Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa
Nusantara.

Rachmayanti Sri, Amarena Nediari, Nicholas Rafaelito. 2016. Bangunan


Bersejarah Tionghoa di Jakarta dan Bogor Dalam Upaya Konservasinya:
Aksen Journal of Design and Creative Industry. Surabaya: Universitas
Ciputra. Vol. 1, No. 2: 65-79.

Redfield, R., Linton, R., & Herskovits, M.J. 1936. Memorandum on The Study of
Acculturation. American Anthropologist, 38, 149-152.

Sudarto. 1997. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suwarno, T. 1999. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis agama Buddha


Indonesia.

36
Tarore, L. T., Sangkertadi, dan Ivan R. B. Kaunang. 2016. Karakteristik Tipologi
Arsitektur Kolonial Belanda pada Rumah Tinggal di Kawasan Tikala:
Jurnal Arsitektur DASENG. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Vol. 5,
No. 2.

Tohjiwa, A. D., dkk. 2010. Kota Bogor dalam Tarik Menarik Kekuatan Lokal dan
Regional: Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP)
1, Humanisme, Arsitektur, dan Perencanaan. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: PT Bumi Aksara.

Yudi, Prasetyo. 2014. Sejarah Komunitas Tionghoa Batavia: Genta. Sidoarjo:


STKIP PGRI, Vol 2, No.4

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50460/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=F2493B824DC3000D784521866F1E3758?sequence=3

37

Anda mungkin juga menyukai