Seminar - Bab I
Seminar - Bab I
Disusun oleh:
Hilda Prilianty 615170039
Yulia Andriani Nataraharja 615170044
Rahel Chrisdian 615170047
Kelas: DI-B
1
merupakan wilayah Pecinan di kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini juga
termasuk dalam daftar cagar budaya kota Bogor.
Vihara Dharmakaya terkenal akan tampilannya yang unik dan khas, yang
banyak dikatakan bahwa terlihat seperti perpaduan dari gaya arsitektur
Tionghoa dan Eropa. Namun, mengingat bahwa kedua bangsa tersebut
memiliki sejarah yang panjang di Indonesia, peneliti menduga ada pula
akulturasi gaya yang terjadi dengan arsitektur lokal. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini, peneliti ingin menganalisis dan menjelaskan bagaimana
sebetulnya gaya arsitektur pada Vihara Dharmakaya, serta membuktikan
apakah ada akulturasi gaya arsitektur Eropa dan Tionghoa dengan gaya
arsitektur lokal.
2
akulturasi gaya arsitektur Art Deco dan Tionghoa di wilayah Bogor maupun gaya
arsitektur Vihara Dharmakaya secara spesifik.
Bagi lembaga atau institusi, penelitian ini dapat menjadi masukan yang
membangun untuk meningkatkan penerapan akulturasi gaya arsitektur Art Deco
dan Tionghoa di wilayah Bogor maupun gaya arsitektur pada bangunan Vihara.
Bagi praktisi, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk profesi
desainer interior yang ingin menerapkan konsep akulturasi gaya arsitektur Art
Deco dan Tionghoa maupun untuk mendesain interior Vihara.
3
BAB V SIMPULAN
Bab ini berisikan hasil kesimpulan yang berkaitan dengan
hasil dan pembahasan akulturasi gaya arsitektur Vihara
Dharmakaya yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan masalah budaya, seperti
halnya masalah ekologis.
Pada level individu seseorang harus mempertimbangkan perubahan
psikologis yang terjadi dan pengaruh adaptasinya pada situasi yang baru. Dalam
mengidentifikasi perubahan tersebut dibutuhkan contoh dari suatu populasi dan
juga perlu mempelajari individu-individu yang terlibat dalam proses akulturasi.
Perubahan-perubahan tersebut dapat menjadi suatu rangkaian perubahan yang
dengan mudah dapat diselesaikan (seperti: cara berbicara, cara berpakaian,
ataupun cara makan), tetapi dapat juga menjadi suatu pola rangkaian yang
problematic sifatnya yang menghasilkan stress- akulturatif sebagaimana tampak
dalam bentuk ketidakpastian, kecemasan dan depresi. Proses adaptasi yang terjadi
dapat berbentuk adaptasi internal atau psikologis, tetapi dapat juga berbentuk
adaptasi sosio kultural.
Akulturasi budaya menunjuk pada perilaku individu atau kelompok individu
yang berinteraksi dengan budaya tertentu, sementara akulturasi psikologis
menunjuk pada dinamika intrapersonal dalam diri tiap individu yang
menghasilkan berbagai reaksi berbeda antara yang satu dengan yang lain,
meskipun mereka berada dalam wilayah akulturasi yang sama.
6
Kemudian dari 1368 – 1911, jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke
Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa
Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga banyak penduduk Tiongkok yang
bermigrasi untuk menghindari peperangan. Namun, memasuki tahun 1700-an
banyak orang Tionghoa yang datang untuk berdagang di Indonesia. Para perantau
kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan dan sedikitnya terdiri
dari delapan suku bangsa. Orang Cina di Indonesia sebagian berasal dari empat
suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Khek, Tiau-Chiu, dan orang kota Kanton
(Victor Purcell, 1987).
Sejarah awal mula datangnya orang Tionghoa ke Bogor tidak banyak data
yang ditemukan. Di sekitar Bogor dan Depok, keberadaan orang Tionghoa sudah
ada pada masa Kerajaan Pakuan Pajajaran. Mereka berada di sekitar sungai
Ciliwung dan Cisadane sebagai pusat ekonomi, dan mereka berdagang di sekitar
Lebak Pasar dan Pulo Geulis sekarang. Setelah itu, mereka menyebar ke daerah
Handelstraat, yang sekarang menjadi Jalan Suryakencana. Untuk memenuhi
kebutuhan rohani dan budaya peninggalan leluhur, maka komunitas Tionghoa
mendirikan tempat ibadah dan pusat budaya yang masih berdiri hingga saat ini.
Menurut dugaan, masuknya etnis Tionghoa ke Bogor tidak lepas dengan
keberadaan Vihara Mahabrahma (Klenteng Pan Kho Bio) di Pulo Geulis yang
7
diperkirakan dibangun dari tahun 1619 - 1743 dan merupakan tempat ibadah
tertua komunitas Tionghoa di Kota Bogor.
Pada waktu itu, antara dua kelompok ini tidak ada rasa saling pengertian
sehingga keduanya terpisahkan oleh perasaan permusuhan. Kaum Peranakan lebih
menghargai status sosial dan waktu senggang untuk keluarga. Di dunia
perdagangan mereka tidak terlalu berani spekulatif dibandingkan dengan yang
totok. Sebaliknya kaum totok merasa lebih superior terdapat kaum Peranakan.
Mereka lebih mementingkan harta daripada status sosial sehingga mereka bekerja
lebih keras, lebih percaya diri dan lebih spekulatif.
8
Arsitektur Cina diperkenalkan di Indonesia oleh para pedagang dan imigran
Tiongkok. Antara abad ke-5 dan ke-10, orang-orang Tiongkok singgah di pantai-
pantai sepanjang wilayah Nusantara dan setelah abad ke-10 mereka mulai
membangun pemukiman di pesisir pantai. Tetapi tidak banyak lagi sisa-sisa
pemukiman yang masih dapat dilihat, karena material yang digunakan tidak tahan
lama (Leshuis, 2014).
Arsitektur sebagai sebuah artefak yang didominasi dengan bentuk.
Arsitektur lokal Cina memiliki ciri khas berdasarkan enam lokasi dan bahan
bangunannya, yaitu rumah berhalaman bata segi empat (courtyard house) di
kawasan Cina Utara, arsitektur bawah tanah di kawasan Loess, arsitektur kayu dan
bata di kawasan Barat dan Barat Daya Cina, bangunan kayu di kawasan Timur
Cina, arsitektur tanah dan kayu di Hakka dan bangunan bata, kayu, batu di pesisir
Selatan Cina (Nas, 2009).
9
Bangunan persegi empat horizontal, merupakan tipe sederhana
yang banyak digunakan masyarakat pedesaan dan masyarakat bawah.
10
penutup. Si Heyuan banyak dipakai pada hunian bertipe halaman di
daerah Cina Selatan.
Gambar 2.2. Tipe San Heyuan (kiri) dan tipe Si Heyuan (kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
c. Tipe Gabungan
Tipe gabungan terdiri dari dua jenis, yaitu tipe gabungan San
Heyuan dan Si Heyuan serta tipe kompleks. Tipe pencampuran San
Heyuan dan Si Heyuan, merupakan gabungan dari kedua tipe San
Heyuan dan Si Heyuan yang memperluas halaman depan. Dilakukan
penambahan tiga buah bangunan dengan komposisi yang sama dengan
sanheyuan dan memiliki pintu pagar di tengah. Di tengah pusat kompleks
bangunan utama terdapat Altar leluhur. Orang kaya di bagian Cina
Selatan umumnya menggunakan tipe ini dengan menambah dan
memperluas bagian sisi kiri kanan dan belakangnya dengan kompleks
bangunan baru dan koridor-koridor yang besar dan rumit.
Tipe kompleks menggabungkan semua bangunan persegi
horizontal maupun vertikal dari denah diatas, yang dipisahkan koridor-
koridor (gang), jembatan- jembatan, sungai-sungai kecil atau danau kecil
buatan dan taman. Tipe ini sedikit kompleks dan rumit, banyak terdapat
di pegunungan dengan kontur tanah yang tidak rata dan berbukit.
11
Penataan hanya dapat ditaksir sebagai fungsi dari penataan posisi dan
hirarki simbolik dan aksis vertikal atas dasar kegunaan lahan.
Gambar 2.3. Tipe gabungan San Heyuan dan Si Heyuan (kiri) dan tipe Kompleks
(kanan).
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
Selain dari yang telah tersebut di atas, bangunan arsitektur Tionghoa yang
dijumpai di Indonesia memiliki karakteristik berupa pemisahan pemukiman
Tionghoa/ Pecinan yang jelas (karena hal ini diatur oleh Pemerintah Kolonial
Belanda), pemukiman masih solid dan masif yaitu dihuni oleh orang Tionghoa,
memiliki lingkungan dengan pola jalan yang teratur, yaitu dengan garis bangunan
ruko dan rumah yang lurus dan masih menjalankan pola hidup masyarakat
Tionghoa. Sementara untuk fisik bangunan Tionghoa di Indonesia biasanya
memiliki taman dalam (courtyard) yang bersifat privat, penekanan pada bentuk
konstruksi atap, elemen struktural yang terbuka, serta aplikasi warna yang khas.
12
memperoleh energi (Qi) dari elemen-elemen alam pada lansekap seperti
air, tanah, api, dan angin, serta elemen-elemen celestial seperti langit dan
matahari. Praktik Feng Shui sudah ada sejak sebelum ajaran Taoisme dan
hingga saat ini seringkali masih digunakan oleh beberapa kalangan
masyarakat Tionghoa sebagai manifestasi dari harmonisasi kehidupan
dengan kekuatan alam. Filosofi utama Feng Shui adalah keseimbangan
Yin dan Yang.
b. Konfusianisme
Pemikiran dari ajaran Konfusianisme diterapkan melalui
penggunaan courtyard (halaman) pada bangunan-bangunan Tionghoa.
Keberadaan halaman tersebut dapat membentuk suatu “dunia kecil”
sebagai ruang privat terbuka dan sejalan dengan prinsip Feng Shui dalam
mengupayakan masuknya energi (Qi) dari alam ke bagian dalam
bangunan. Agar energi (Qi) tersebut dapat menyebar secara merata ke
seluruh area bangunan, maka courtyard selalu diletakkan pada bagian
tengah bangunan pada sumbu membujur (Jin) utama.
Ruang-ruang yang mengelilingi halaman pun dikomposisikan
secara simetris terhadap halaman agar mampu menyerap energi alam (Qi)
secara optimal. Keberadaan halaman sendiri didasarkan pada prinsip
Konfusianisme bahwa manusia harus dekat dengan elemen tanah untuk
memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran hidup.
13
Rumah-rumah orang Tionghoa Indonesia yang ada di daerah
Pecinan jarang yang memiliki courtyard. Bangunan memiliki ciri khas
yaitu memiliki area kosong di tengah ruangan keluarga, atau seringkali
juga disatukan dengan kebun/taman. Jikalau ada, courtyard tersebut lebih
berfungsi untuk memasukkan cahaya alami pada siang hari, sebagai
ventilasi penghawaan alami atau untuk keperluan sembahyang. Dalam
14
arsitektur Cina umumnya landai. Ada lima macam tipe atap bangunan
berarsitektur Cina, yaitu:
1) Atap jurai (Wu Tien).
2) Atap pelana dengan tiang-tiang kayu (Hsuan Shan).
3) Atap pelana dengan dinding tembok (Ngang Shan).
4) Kombinasi atap jurai dengan atap pelana (Hsuan Shan).
5) Atap piramida (Tsuan Tsien).
15
Lengkung atap dan kuda-kuda pelana ditopang oleh jajaran tiang-
tiang yang terbuat dari balok padat, bundar dan persegi, membentuk
kuda-kuda atap. Lima tipe bubungan atap yaitu, tipe ujung lancip, tipe
geometri, tipe awan bergulung, tipe awan berombak, dan tipe awan
meliuk/ ujung meliuk.
16
Gambar 2.7. Tipe-tipe dinding samping atap pelana.
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
Dua jenis dinding pelana yang umum ialah motif ‘v’ terbalik dan
tipe kucing merayap. Biasanya motif yang membawa keberuntungan
seperti kupu-kupu (hu) dengan lonceng atau vas dan kelelawar (fu)
dibubuhkan pada puncak samping dinding pelana, mereka juga sebagai
lambang berkat dan perlindungan (Kohl, 1984: 101).
17
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
1) Merah
Warna merah merupakan warna api dan warna api dan
warna arah selatan. Warna merah merupakan lambang
keberuntungan dan kemakmuran, sekaligus melambangkan
kebenaran dan ketulusan hati. Warna merah seringkali dikaitkan
dengan sifat Yang dari matahari. Pada arsitektur Tionghoa,
warna merah sering terdapat pada kolom, dinding, dan ornamen-
ornamen bangunan.
2) Kuning
Warna kuning merupakan warna tanah. Dalam arsitektur
Tionghoa, dinding dan ornamen hias pada bangunan kelenteng
seringkali diberi warna kuning. Warna kuning merupakan
lambang kemakmuran dan sikap optimis, sekaligus lambing
umur panjang dan kekayaan. Dalam sejarah Tiongkok, pakaian
berwarna kuning hanya boleh dikenakan oleh Kaisar.
3) Biru
Warna biru merupakan warna dari elemen air dan
mewakili arah timur, sekaligus melambang kan kedudukan dan
18
jabatan. Warna biru seringkali digunakan pada bagian atap dan
dinding.
4) Hijau
Dalam arsitektur Tionghoa, warna hijau sering diterapkan
sebagai elemen dekorasi, balok, dan braket. Warna hijau
merupakan simbol kayu dan melambangkan keberuntungan
(rezeki yang melimpah).
e. Jin dan Lu
Jin dan Lu merupakan bagian unit dari tatanan massa bangunan
yang berbentuk segi empat. Pada umumnya Jin dan Lu berupa suatu
ruang yang diberi pembatas dinding atau hanya dibatasi oleh kolom-
kolom sehingga secara psikologis mampu menghasilkan kesan ruang. Jin
merupakan aksis longitudinal yang membujur sesuai dengan peletakkan
massa bangunan utama, sementara Lu merupakan aksis Lu longitudinal
yang melintang sesuai dengan peletakkan massa bangunan sekunder. Jin
dan Lu juga dapat ditumbuhkan untuk membentuk suatu ruang selasar
(hall) dengan menggunakan unit standar pada sepanjang aksis membujur
dan aksis melintang.
19
Gambar 2.10. Penerapan Jin dan Lu pada bangunan.
Sumber: Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya: Temples,
Kongsis and Houses.
f. Axial Planning
Ciri/karakteristik dari arsitektur bangunan Tionghoa adalah
penerapan bentuk simetris orthogonal pada bagian denah dan potongan
bangunan. Prinsip ini berasal dari kosmologi Tionghoa. Pada arsitektur
Tionghoa, bagian selasar (hall) dan courtyard ditempatkan secara sejajar
pada sepanjang aksis membujur (Jin) dengan susunan orthogonal.
Tatanan massa dalam bangunan arsitektur Tionghoa terletak saling
terpisah dengan adanya courtyard yang pada akhirnya dianggap sebagai
ruang utama dalam keseluruhan komposisi massa dan ruang bangunan
dengan prinsip penataan:
1) Sumbu membujur (Jin) merupakan sumbu utama dan sumbu
melintang (Lu) merupakan sumbu sekunder.
20
2) Terkadang suatu komposisi massa dan ruang hanya memiliki
satu sumbu, yakni sumbu membujur (Jin), atau tanpa sumbu
sama sekali.
21
dihubungkan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun mulai 1811 oleh
Daendels dan belakangan oleh jalur kereta api (Batavia-Buitenzorg) pada 1873.
Banyak artefak fisik kota yang dibangun pada masa kolonial ini, salah
satunya adalah istana Bogor (dulu bernama vila Buitenzorg) yang didirikan atas
prakarsa Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff. Bangunan ini juga sempat
berfungsi sebagai kantor resmi Gubernur Jenderal VOC maupun Gubernur
Jenderal Hindia Belanda hingga pada akhirnya dijadikan Istana Kepresidenan RI.
Halaman istana Buitenzorg tersebut dibangun menjadi Kebun Raya (Botanical
Garden) oleh seorang ahli Botani Jerman yaitu Prof.R.C.Reinwardt dan
diresmikan sebagai Kebun Raya Bogor pada tahun 1887. Dengan luas 87 Ha
Kebun Raya Bogor saat ini menjadi kebun raya terbesar di Asia Tenggara dan
merupakan artefak alam yang menjadi ciri khas kota Bogor.
22
menghuni ruko sewa dan rumah petak di balik ruko. Golongan elite cenderung
menghuni bagian selatan. Rumah mereka biasanya mencirikan gaya hidup yang
kebarat-baratan: menggunakan ragam bentukan bangunan Belanda dan menghuni
rumah tipe villa.
23
Gambar 2.12. Gevel
Sumber: Handinoto, 1996
24
f) Bouvenlicht (lubang ventilasi); bukaan pada bagian
wajah bangunan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan dan kenyamanan termal.
25
campuran antara kebudayaan Eropa, Indonesia dan sedikit kebudayaan
dari orang Cina peranakan.
26
Gambar 2. 15. Contoh bangunan dengan gaya arsitektur Indische Empire Style
Sumber: Handinoto, 1996
27
1900 atas gaya Empire Style. Arsitek Belanda yang berpendidikan
akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka mendapatkan
suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya arsitektur Empire
Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan sambutan di
Belanda.
28
6) Nieuwe Bouwen/International Style, dengan ciri-ciri penggunaan
warna putih yang dominan, atap datar dan menggunakan gevel
horizontal, dan volume bangunan berbentuk kubus.
29
Bimbisara dari Kerajaan Rajagaha. Suatu ketika Raja Bimbisara mendengarkan
ajaran Sang Buddha dan Mencapai Sottapati (tingkat kesucian pertama) maka
beliau memberikan persembahan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
31
perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif memiliki karakteristik alami
sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada
hasil. Analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisis
induktif dan makna makna merupakan hal yang esensial (Lexy Moleong, 2006:
04).
Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek yang alamiah atau natural
setting, sehingga penelitian ini sering disebut penelitian naturalistic. Objek yang
alami adalah objek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga
kondisi pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek dan keluar dari
objek relatif tidak berubah. Penelitian ini menggunakan Vihara Dharmakaya
sebagai objek penelitian.
Dalam penelitian kualitatif peneliti menjadi instrumen. Oleh karena itu
dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument.
Untuk menjadi instrumen peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang
luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, mendokumentasikan dan
mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi jelas dan bermakna. Kriteria data
dalam penelitian kualitatif adalah data yang pasti. Data yang pasti adalah data
yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekedar terlihat,
terucap, tetapi data yang mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap
tersebut (Sugiyono, 2008: 02).
32
a. Studi literatur, melalui pengumpulan data yang dipergunakan berupa
acuan dari buku, internet, dan majalah dalam bentuk tertulis maupun
gambar.
b. Observasi/ pengamatan, melakukan pengamatan kondisi lingkungan dan
bangunan serta perilaku penghuni bangunan untuk bangunan yang masih
dihuni.
c. Wawancara/ interview, dengan mengumpulkan data dengan cara
melakukan wawancara langsung kepada pemilik atau pengurus
bangunan.
d. Pengumpulan gambar, mengumpulkan data dokumentasi bangunan
selama proses penelitian berlangsung.
e. Pengarsipan data, dengan memisahkan data yang sudah dikumpulkan
berdasarkan tipologi bangunan.
33
dengan maksud menyisihkan data atau informasi yang tidak
relevan, kemudian data tersebut diverifikasi.
b. Penyajian data
Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi
tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif
disajikan dalam bentuk teks naratif, dengan tujuan dirancang guna
menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu
dan mudah dipahami.
c. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan akhir
penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan
melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran
kesimpulan yang disepakati oleh tempat penelitian itu
dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus
diuji kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya.
34
DAFTAR PUSTAKA
Asruroh, Yoyoh. 2008. Skripsi Makna dan Tata Cara Bhakti-Puja Dalam Ajaran
Buddha Maitreya: Studi Kasus di Vihara Maitreyawira Angke Jalambar
Jakarta Barat. Jakarta: Universitas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.
Dewi Sri Maryati Santoso. 2014. Pengaruh Gaya Desain Gotik dan Kolonial
Belanda Terhadap Efek Pencahayaan Alami pada Gereja Katolik Hati
Kudus Yesus di Surabaya: Jurnal Dimensi Interior. Surabaya: Universitas
Kristen Petra. Vol. 12, No. 1: 16-22.
Fariz, N., Agung Budi Sardjono, dan Titien Woro Murtini. 2017. Gevel Sebagai
Karakter Bangunan Kolonial Dengan Fungsi Rumah Tinggal Di Kota
Tegal: Jurnal Modul. Semarang: Universitas Diponegoro. Vol. 17, No. 1:
56-61.
35
Kohl, David.G. 1984. Chinese Architecture in The Straits Settlements and
Western Malaya: Temples, Kongsis and Houses. Kuala Lumpur:
Heinemann Asia.
Nas, P. J. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Redfield, R., Linton, R., & Herskovits, M.J. 1936. Memorandum on The Study of
Acculturation. American Anthropologist, 38, 149-152.
36
Tarore, L. T., Sangkertadi, dan Ivan R. B. Kaunang. 2016. Karakteristik Tipologi
Arsitektur Kolonial Belanda pada Rumah Tinggal di Kawasan Tikala:
Jurnal Arsitektur DASENG. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Vol. 5,
No. 2.
Tohjiwa, A. D., dkk. 2010. Kota Bogor dalam Tarik Menarik Kekuatan Lokal dan
Regional: Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP)
1, Humanisme, Arsitektur, dan Perencanaan. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50460/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=F2493B824DC3000D784521866F1E3758?sequence=3
37