KAJIAN PUSTAKA
2009) Sehingga emetropia dapat diartikan sebagai suatu kondisi optis dimana
mata tidak mengalami kelainan refraksi, sehingga pada saat tidak berakomodasi
berkas-berkas cahaya yang masuk sejajar dengan sumbu optis dapat membentuk
Di seluruh dunia diperkirakan 800 juta hingga 2,3 milyar orang mengalami
penderita kelainan refraksi sekitar 25% populasi dan merupakan kelainan mata
kelainan refraksi pada anak juga sudah dilakukan di berbagai negara. Berdasarkan
bahwa dari 3070 anak usia 6-15 tahun yang diteliti ditemukan bahwa 384
diantaranya mengalami hipermetropia, 422 anak mengalami miopia, dan 343 anak
7
8
sekitar 30,57% atau setara dengan 192 anak mengalami kelainan refraksi dari total
628 anak yang diteliti (Prema N., 2011). Sementara itu, pada tahun 2011 di
Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, diperoleh hasil 54 anak usia
1-10 tahun mengalami kelainan refraksi dari total 579 pasien (Handayani-
2.3.1 Miopia
berkas-berkas cahaya dari sebuah objek yang jauh difokuskan di sebelah anterior
retina pada kondisi mata tidak berakomodasi (Ilyas S dkk., 2008; Riordan-Eva,
2009). Kondisi ini dapat terjadi oleh karena beberapa hal. Apabila miopia
disebabkan oleh sumbu bola mata yang terlalu panjang, maka kondisi ini dapat
disebut dengan miopia aksial. Indeks bias media atau indeks refraksi kornea dan
lensa yang terlalu kuat juga dapat menimbulkan miopia, dimana kondisi ini
Gambar 2.1 Refraksi pada miopia aksial, dimana bayangan jatuh di depan retina
akibat panjang sumbu bola mata yang terlalu panjang (Anonym, 2010)
9
Miopia secara umum terbagi menjadi 3 tipe (Newell, 1996). Tipe yang
pertama adalah miopia fisiologis, yang merupakan tipe yang paling sering
dijumpai. Tipe ini terjadi karena adanya korelasi yang tidak adekuat antara indeks
refraktif kornea dan lensa dengan panjang sumbu bola mata. Biasanya pada tipe
ini tidak ditemui kelainan organik, namun pada beberapa kasus dapat ditemui
adanya kelainan fundus ringan atau yang lebih dikenal dengan istilah myopic
crescent (Ilyas S dkk., 2008). Onset miopia tipe ini dimulai pada usia 5 dan 10
tahun, akan tetapi manifestasinya baru muncul saat usia 25 tahun. Beratnya
kelainan refraktif ini biasanya tidak melebihi -6 dioptri (Ilyas S dkk., 2008;
Newell, 1996)
Tipe yang kedua adalah miopia patologis yang juga dikenal dengan istilah
miopia degeneratif, miopia maligna, dan miopia progresif (Ilyas S dkk., 2008).
Hal ini disebabkan oleh abnormalitas dimana sumbu aksial bola mata terlalu
bola mata yang terjadi bahkan saat ukuran bola mata semestinya sudah stabil saat
usia dewasa (Newell, 1996). Pada anak-anak, diagnosis ini sudah dapat dibuat jika
terdapat peningkatan derajat miopia dalam jangka waktu yang relative singkat.
Tipe yang ketiga adalah miopia lentikular yang tergolong miopia refraktif
(Newell, 1996). Miopia tipe ini disebabkan oleh adanya abnormalitas ukuran lensa
yang menyebabkan bayangan jatuh di depan retina. Miopia lentikular dapat terjadi
akibat peningkatan indeks refraksi pada lensa kristalina seperti pada katarak dan
Pada miopia pasien cenderung memiliki kesulitan saat melihat benda atau
objek di jarak yang cukup jauh. Namun bila digunakan untuk melihat benda pada
meliputi mata cepat lelah saat membaca sebagai akibat konvergensi yang tidak
sesuai dengan akomodasi dan saat melihat benda berukuran kecil harus dilakukan
dari jarak dekat dan hal ini dapat menimbulkan keluhan (astenovergen) (Ilyas S
dkk., 2008). Selain itu, pasien juga dapat mengalami sakit kepala dan
myopia ringan dimana kekuatan lensa yang digunakan kurang dari tiga dioptri,
myopia sedang dimana kekuatan lensa yang digunakan antara tiga hingga enam
dioptri, dan myopia berat dimana kekuatan lensa yang digunakan lebih dari enam
dioptri (AOA, 2006). Selain itu, myopia berat juga dapat didefinisikan dengan
panjang sumbu aksial mata yang melebihi 26mm (Kanski & Bowling, 2009)
(PERDAMI, 2006).
2.3.2 Hipermetropia
bayangan di belakang retina. Sama seperti miopia, hal ini disebabkan oleh karena
berkurangnya panjang sumbu bola mata yang disebut dengan hipermetropia aksial
dan menurunnya indeks refraksi seperti pada afakia yang disebut dengan
11
kornea dan bola mata biasanya lebih kecil daripada normal (Newell, 1996)
Gambar 2.2 Refraksi pada mata yang mengalami hipermetropia, dimana bayangan
dapat diatasi dengan akomodasi dan yang masih dapat direlaksasikan disebut
dengan hipermetropia manifes tipe fakultatif. Namun bila tidak dapat diatasi
dkk., 2008). Pada hipermetropia manifes tipe fakultatif pasien dapat diberikan
ini dapat disebut dengan hipermetropia laten (Ilyas S dkk, 2008). Pemeriksaan ini
perlu dilakukan pada pasien yang berusia muda yang mengalami kelelahan mata
2009). Akomodasi pada mata sangat berpengaruh pada konvergensi kedua mata,
sehingga bila terjadi peningkatan akomodasi maka mata akan semakin konvergen.
12
pusing, sakit kepala terutama di bagian frontal, dan sebagainya akibat pasien
maka ada kemungkina juga pasien akan mengalami strabismus konvergen atau
esotropia. Pada pasien dengan hipermetropia 3 dioptri atau lebih, pasien juga
dapat mengeluh adanya kabur atau buram saat melihat jauh terutama pada pasien
usia tua. Namun, penglihatan dekat pasien juga lebih cepat buram yang akan lebih
terasa pada saat kelelahan atau penerangan yang kurang. Hipermetropia dapat
ditangani dengan pemberian lensa positif dimana jika pasien juga mengalami
exophoria maka diberikan under koreksi. Namun jika pasien juga mengalami
strabismus konvergen koreksi yang dilakukan adalah koreksi total. (Ilyas S dkk.,
2.3.3 Astigmatisma
jatuh sebagai suatu focus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di
dua meridian utama dengan orientasi dan kekuatan konstan disepanjang lubang
13
pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Selanjutnya astigmatisma reguler dapat
dibagi lagi menjadi tiga tipe yaitu: astigmatism with the rule dimana daya bias
yang lebih besar terletak pada meridian vertikal, astigmatism against the rule
dimana daya bias yang lebih besar terletak di meridian horizontal, dan
utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal. Sementara itu,
Astigmatisma reguler dapat terbagi menjadi lima tipe, antara lain astigmatisma
miopikus kompleks (satu meridian utamanya emetropik dan satu meridian lainnya
dengan derajat yang berbeda), dan astigmatisma mikstus (satu meridian utamanya
Gambar 2.3 Tipe-tipe refraksi pada astigmatisma reguler yang disebabkan karena
2.4 Anisometropia
adalah kondisi penurunan tajam penglihatan (visus) yang tidak dapat dikoreksi
dengan lensa tanpa adanya defek anatomik pada mata (Riordan-Eva, 2009).
Ambliopia lebih rentan terjadi pada kondisi anisometropia hipermetopi jika salah
ambliopia pada anisometropia miopi dapat terjadi jika perbedaan kelainan refraksi
diatas 2 dioptri dan diatas 1,5 dioptri pada anisometropia astigmat (McCarthy,
2013)
2.5 Ambliopia
Ambliopia atau yang dikenal juga dengan istilah mata malas merupakan
penurunan ketajaman penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan lensa tanpa
defek anatomik yang nyata pada mata atau jaras penglihatan (Riordan-Eva, 2009).
Kondisi ini dapat mengenai salah satu atau kedua mata, meskipun lebih jarang
yakni gangguan total maupun parsial pada mata yang menyebabkan terbentuknya
bayangan yang kabur pada retina misalnya katarak kongenital (AAO, 2012; West
ditentukan oleh pengalaman visual pasca lahir hingga anak berusia delapan tahun.
Jika terdapat gangguan penglihatan pada periode tersebut maka akan menghambat
Ambliopia dapat dikoreksi bila terdeteksi sejak usia dini. Oleh karena itu,
sebab kedua hal tersebut merupakan syarat untuk penegakan diagnosis ambliopia
terapi oklusi mata yang normal selama beberapa jam per hari. Apabila terapi
oklusi tidak berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan penalisasi dengan
menggunakan atropin pada mata yang sehat setiap hari selama beberapa minggu.
Selama periode tersebut diperlukan monitoring dan kontrol rutin terhadap visus
chart, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji
Visual Acuity) diukur tanpa kacamata atau lensa kontak. Selanjutnya perlu dinilai
juga ketajaman penglihatan terkoreksi atau BCVA (Best Corrected Visual Acuity)
dengan alat bantu yang sudah disesuaikan, bila tidak terdapat kacamata,
berkas sinar terfokus ke pupil dan menghasilkan bayangan yang lebih tajam.
Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar dalam grafik Snellen (20/200
(counting finger). Jika masih tidak bias, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
lambaian tangan (hand motion), yang jika pemeriksaan ini gagal dapat dilanjutkan
cahaya maka mata dapat dianggap buta total (NLP atau no light perception).
b. Low vision: kategori ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Grup 1 atau visual
impairment dengan rentang nilai visus 6/18 hingga 6/60. Kategori selanjutnya
adalah Grup 2 atau severe visual impairment dengan visus <6/60 hingga 3/60.
c. Blindness atau kebutaan: merupakan kondisi dimana visus pasien <3/60 hingga
NLP (no light perception). Kategori ini terbagi lagi menjadi tiga kelompok
antara lain Grup 3 dengan visus < 3/60 hingga 1/60, Grup 4 dengan visus <1/60
hingga LP (light perception), dan Grup 5 dengan visus NLP (No Light
Perception).
normal dimana mata berubah dari kondisi ametropia menjadi emetropia. Hal ini
pengaruh dari luar (Yackle & Fitzgerald, 1999). Kelengkungan kornea yang
cukup curam pada saat lahir akan mendatar sampai mendekati kelengkungan
dewasa pada usia 1 tahun. Selain itu, kondisi lensa dan panjang sumbu bola mata
saat lahir juga akan berubah seiring pertumbuhan anak (Riordan-Eva, 2009)
18
adalah teori pasif dan teori aktif. Teori aktif menyatakan bahwa emetropisasi
terjadi dan diregulasi oleh bayangan yang terbentuk di retina. Mata akan
Sebaliknya, pada teori pasif dijelaskan bahwa emetropisasi merupakan hasil dari
faktor genetik dan faktor fisik terhadap pertumbuhan normal mata dimana terjadi
panjang aksial bola mata. Sehingga nantinya kedua mata yang sebelumnya
hipermetropia atau mungkin miopia akan berubah menjadi emetropia (Yackle &
Fitzgerald, 1999).
proses emetropisasi. Hal ini terjadi karena adanya penipisan dan pemipihan lensa
Faktor herediter juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan
penting dalam proses emetropisasi. Dimana pada suatu penelitian diperoleh bahwa
jika kedua orang tua dari seorang anak mengalami kelainan refraksi, maka risiko
19
anak tersebut untuk mengalami kelainan refraksi lebih besar ketimbang anak-anak
lain yang hanya memiliki satu orang tua dengan kelainan refraksi atau kedua
orang tuanya tidak memiliki kelainan refraksi. Faktor lainnya adalah aktivitas di
jarak pandang dekat dan tingginya tingkat pendidikan dapat meningkatkan risiko
sikloplegik (Mutti, 2010; Lowery et al., 2006). Dari faktor-faktor yang diduga
anak mengalami ametropia menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan anak-
anak yang proses emetropisasinya berjalan normal tanpa intervensi (Mutti, 2010;