Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan suatu defek optis yang

mencegah berkas-berkas cahaya membentuk sebuah fokus di retina. Kondisi

dimana tidak ditemukannya kelainan refraksi disebut emetropia. (Riordan-Eva,

2009) Sehingga emetropia dapat diartikan sebagai suatu kondisi optis dimana

mata tidak mengalami kelainan refraksi, sehingga pada saat tidak berakomodasi

berkas-berkas cahaya yang masuk sejajar dengan sumbu optis dapat membentuk

bayangan tepat di fovea sentralis (Newell, 1996)

2.2 Epidemiologi Kelainan Refraksi

Di seluruh dunia diperkirakan 800 juta hingga 2,3 milyar orang mengalami

kelainan refraksi (Dunaway, 2003). Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlah

penderita kelainan refraksi sekitar 25% populasi dan merupakan kelainan mata

yang paling sering terjadi di Indonesia (Handayani-Ariesanti dkk., 2012).

Secara umum, diperkirakan sekitar 5-15% dari seluruh anak mengalami

kelainan refraksi (Dunaway, 2003). Berbagai penelitian mengenai prevalensi

kelainan refraksi pada anak juga sudah dilakukan di berbagai negara. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Pi Lian-Hong dkk. (2010) di Cina, ditemukan

bahwa dari 3070 anak usia 6-15 tahun yang diteliti ditemukan bahwa 384

diantaranya mengalami hipermetropia, 422 anak mengalami miopia, dan 343 anak

mengalami astigmatisme. Penelitian yang dilakukan di India diperoleh hasil

7
8

sekitar 30,57% atau setara dengan 192 anak mengalami kelainan refraksi dari total

628 anak yang diteliti (Prema N., 2011). Sementara itu, pada tahun 2011 di

Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, diperoleh hasil 54 anak usia

1-10 tahun mengalami kelainan refraksi dari total 579 pasien (Handayani-

Ariesanti dkk., 2012)

2.3 Klasifikasi Kelainan Refraksi

2.3.1 Miopia

Miopia atau nearsightedness merupakan suatu kelainan refraksi dengan

berkas-berkas cahaya dari sebuah objek yang jauh difokuskan di sebelah anterior

retina pada kondisi mata tidak berakomodasi (Ilyas S dkk., 2008; Riordan-Eva,

2009). Kondisi ini dapat terjadi oleh karena beberapa hal. Apabila miopia

disebabkan oleh sumbu bola mata yang terlalu panjang, maka kondisi ini dapat

disebut dengan miopia aksial. Indeks bias media atau indeks refraksi kornea dan

lensa yang terlalu kuat juga dapat menimbulkan miopia, dimana kondisi ini

disebut dengan miopia refraktif (Ilyas S dkk., 2008; Riordan-Eva, 2009).

Gambar 2.1 Refraksi pada miopia aksial, dimana bayangan jatuh di depan retina

akibat panjang sumbu bola mata yang terlalu panjang (Anonym, 2010)
9

Miopia secara umum terbagi menjadi 3 tipe (Newell, 1996). Tipe yang

pertama adalah miopia fisiologis, yang merupakan tipe yang paling sering

dijumpai. Tipe ini terjadi karena adanya korelasi yang tidak adekuat antara indeks

refraktif kornea dan lensa dengan panjang sumbu bola mata. Biasanya pada tipe

ini tidak ditemui kelainan organik, namun pada beberapa kasus dapat ditemui

adanya kelainan fundus ringan atau yang lebih dikenal dengan istilah myopic

crescent (Ilyas S dkk., 2008). Onset miopia tipe ini dimulai pada usia 5 dan 10

tahun, akan tetapi manifestasinya baru muncul saat usia 25 tahun. Beratnya

kelainan refraktif ini biasanya tidak melebihi -6 dioptri (Ilyas S dkk., 2008;

Newell, 1996)

Tipe yang kedua adalah miopia patologis yang juga dikenal dengan istilah

miopia degeneratif, miopia maligna, dan miopia progresif (Ilyas S dkk., 2008).

Hal ini disebabkan oleh abnormalitas dimana sumbu aksial bola mata terlalu

panjang yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dua-pertiga bagian posterior

bola mata yang terjadi bahkan saat ukuran bola mata semestinya sudah stabil saat

usia dewasa (Newell, 1996). Pada anak-anak, diagnosis ini sudah dapat dibuat jika

terdapat peningkatan derajat miopia dalam jangka waktu yang relative singkat.

Beratnya kelainan ini biasanya melebihi -6 dioptri dan umumnya terdapat

kelainan fundus pada pemeriksaan funduskopi (Ilyas S dkk., 2008)

Tipe yang ketiga adalah miopia lentikular yang tergolong miopia refraktif

(Newell, 1996). Miopia tipe ini disebabkan oleh adanya abnormalitas ukuran lensa

yang menyebabkan bayangan jatuh di depan retina. Miopia lentikular dapat terjadi

akibat peningkatan indeks refraksi pada lensa kristalina seperti pada katarak dan

diabetes melitus (Klintworth, 2002; Yang Kyung, C. et al., 2013)


10

Pada miopia pasien cenderung memiliki kesulitan saat melihat benda atau

objek di jarak yang cukup jauh. Namun bila digunakan untuk melihat benda pada

jarak dekat, umumnya penglihatan penderita masih normal. Keluhan lainnya

meliputi mata cepat lelah saat membaca sebagai akibat konvergensi yang tidak

sesuai dengan akomodasi dan saat melihat benda berukuran kecil harus dilakukan

dari jarak dekat dan hal ini dapat menimbulkan keluhan (astenovergen) (Ilyas S

dkk., 2008). Selain itu, pasien juga dapat mengalami sakit kepala dan

kecenderungan terjadinya juling saat meihat jauh.

Berdasarkan derajatnya myopia dapat dibagi menjadi tiga, antara lain:

myopia ringan dimana kekuatan lensa yang digunakan kurang dari tiga dioptri,

myopia sedang dimana kekuatan lensa yang digunakan antara tiga hingga enam

dioptri, dan myopia berat dimana kekuatan lensa yang digunakan lebih dari enam

dioptri (AOA, 2006). Selain itu, myopia berat juga dapat didefinisikan dengan

panjang sumbu aksial mata yang melebihi 26mm (Kanski & Bowling, 2009)

Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi

dengan lensa negatif yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal

(PERDAMI, 2006).

2.3.2 Hipermetropia

Hipermetropia atau yang dikenal juga dengan istilah hipermetropia dan

farsightedness adalah keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan

bayangan di belakang retina. Sama seperti miopia, hal ini disebabkan oleh karena

berkurangnya panjang sumbu bola mata yang disebut dengan hipermetropia aksial

dan menurunnya indeks refraksi seperti pada afakia yang disebut dengan
11

hipermetropia refraktif (Riordan-Eva, 2009). Pada hipermetropia aksial, ukuran

kornea dan bola mata biasanya lebih kecil daripada normal (Newell, 1996)

Gambar 2.2 Refraksi pada mata yang mengalami hipermetropia, dimana bayangan

jatuh di depan belakang retina (Anonym, 2010)

Hipermetropia dapat dikompensasi dengan akomodasi, dimana akomodasi

dapat meningkatan kekuatan refraksi mata (Newell, 1996). Apabila hipermetropia

dapat diatasi dengan akomodasi dan yang masih dapat direlaksasikan disebut

dengan hipermetropia manifes tipe fakultatif. Namun bila tidak dapat diatasi

dengan akomodasi disebut dengan hipermetropia manifes tipe absolut (Ilyas S

dkk., 2008). Pada hipermetropia manifes tipe fakultatif pasien dapat diberikan

koreksi lensa positif yang memberikan penglihatan normal sehingga otot-otot

akomodatifnya dapat beristirahat (PERDAMI, 2006)

Pada beberapa kasus, deteksi hipermetropia memerlukan penggunaan obat-

obatan sikloplegik untuk mengurangi akomodasi pada mata. Hipermetropia tipe

ini dapat disebut dengan hipermetropia laten (Ilyas S dkk, 2008). Pemeriksaan ini

perlu dilakukan pada pasien yang berusia muda yang mengalami kelelahan mata

saat membaca dan penting untuk penegakan diagnosis esotropia (Riordan-Eva,

2009). Akomodasi pada mata sangat berpengaruh pada konvergensi kedua mata,

sehingga bila terjadi peningkatan akomodasi maka mata akan semakin konvergen.
12

Pada akhirnya konvergensi yang berlebih ini dapat bermanifestasi sebagai

esotropia (Newell, 1996).

Pada pasien hipermetropia keluhan yang sering terjadi meliputi lelah,

pusing, sakit kepala terutama di bagian frontal, dan sebagainya akibat pasien

harus terus berakomodasi untuk mendapatkan tajam penglihatan terbaik

(astenopia akomodatif). Selain itu, karena akomodasi disertai dengan konvergensi

maka ada kemungkina juga pasien akan mengalami strabismus konvergen atau

esotropia. Pada pasien dengan hipermetropia 3 dioptri atau lebih, pasien juga

dapat mengeluh adanya kabur atau buram saat melihat jauh terutama pada pasien

usia tua. Namun, penglihatan dekat pasien juga lebih cepat buram yang akan lebih

terasa pada saat kelelahan atau penerangan yang kurang. Hipermetropia dapat

ditangani dengan pemberian lensa positif dimana jika pasien juga mengalami

esophoria maka hipermetropia dikoreksi penuh, sebaliknya jika pasien mengalami

exophoria maka diberikan under koreksi. Namun jika pasien juga mengalami

strabismus konvergen koreksi yang dilakukan adalah koreksi total. (Ilyas S dkk.,

2002; PERDAMI, 2006)

2.3.3 Astigmatisma

Astigmatisma merupakan kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya

jatuh sebagai suatu focus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di

berbagai meridian kornea atau lensa kristalina (Riordan-Eva, 2009)

Astigmatisma dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu astigmatisma reguler

dan ireguler. Astigmatisma reguler merupakan tipe astigmatisma yang memiliki

dua meridian utama dengan orientasi dan kekuatan konstan disepanjang lubang
13

pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Selanjutnya astigmatisma reguler dapat

dibagi lagi menjadi tiga tipe yaitu: astigmatism with the rule dimana daya bias

yang lebih besar terletak pada meridian vertikal, astigmatism against the rule

dimana daya bias yang lebih besar terletak di meridian horizontal, dan

astigmatisma oblik yang merupakan astigmatisma reguler yang meridian-meridian

utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal. Sementara itu,

astigmatisma ireguler merupakan astigmatisma yang daya atau orientasi meridian-

meridian utamanya berubah di sepanjang lubang pupil (Riordan-Eva, 2009).

Astigmatisma reguler dapat terbagi menjadi lima tipe, antara lain astigmatisma

miopikus kompleks (satu meridian utamanya emetropik dan satu meridian lainnya

miopik), astigmatisma hipermetropikus kompleks (satu meridian utamanya

emetropik dan satu meridian lainnya hipermetropik), astigmatism miopikus

kompositus (kedua meridian utamanya miopik dengan derajat yang berbeda),

astigmatisma hipermetropikus kompleks (kedua meridian utamanya hipermetropik

dengan derajat yang berbeda), dan astigmatisma mikstus (satu meridian utamanya

miopik dan satu meridian lainnya hipermetropik). Astigmatisam dapat dikoreksi

dengan pemberian lensa silinder dan sferis (PERDAMI, 2006).

Gambar 2.3 Tipe-tipe refraksi pada astigmatisma reguler yang disebabkan karena

adanya dua garis fokus terhadap retina (Anonym, 2010)


14

2.4 Anisometropia

Anisometropia adalah perbedaan kelainan refraksi di antara kedua mata

(Riordan-Eva, 2009). Perbedaan kelainan refraksi yang signifikan diatas 1 dioptri

pada berbagai meridian juga dapat didefinisikan sebagai anisometropia

(McCarthy, 2013). Koreksi terhadap kelainan ini biasanya dipersulit dengan

adanya perbedaan ukuran bayangan retina (anisekoinia) dan ketidakseimbangan

okulomotor akibat perbedaan derajat kekuatan prismatik bagian perifer kedua

lensa korektif tersebut (Riordan-Eva, 2009)

Anisometropia merupakan penyebab utama dari ambliopia. Ambliopia

adalah kondisi penurunan tajam penglihatan (visus) yang tidak dapat dikoreksi

dengan lensa tanpa adanya defek anatomik pada mata (Riordan-Eva, 2009).

Ambliopia lebih rentan terjadi pada kondisi anisometropia hipermetopi jika salah

satu mata tidak terkoreksi dengan baik. Pada anisometropia hipermetropi

perbedaan 1 dioptri saja dapat menyebabkan terjadinya ambliopia. Sementara

ambliopia pada anisometropia miopi dapat terjadi jika perbedaan kelainan refraksi

diatas 2 dioptri dan diatas 1,5 dioptri pada anisometropia astigmat (McCarthy,

2013)

2.5 Ambliopia

Ambliopia atau yang dikenal juga dengan istilah mata malas merupakan

penurunan ketajaman penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan lensa tanpa

defek anatomik yang nyata pada mata atau jaras penglihatan (Riordan-Eva, 2009).

Kondisi ini dapat mengenai salah satu atau kedua mata, meskipun lebih jarang

mengenai kedua mata. Ambliopia dapat disebabkan oleh strabismus, kelainan


15

refraksi baik isometropia ataupun anisometropia, dan akibat deprivasi penglihatan

yakni gangguan total maupun parsial pada mata yang menyebabkan terbentuknya

bayangan yang kabur pada retina misalnya katarak kongenital (AAO, 2012; West

& Asbury, 2009).

Perkembangan anatomi retina dan korteks penglihatan yang normal

ditentukan oleh pengalaman visual pasca lahir hingga anak berusia delapan tahun.

Jika terdapat gangguan penglihatan pada periode tersebut maka akan menghambat

pembentukan penglihatan normal pada mata yang sakit (Fredrick, 2009).

Ambliopia dapat dikoreksi bila terdeteksi sejak usia dini. Oleh karena itu,

diperlukan pemeriksaan skrining rutin sebelum anak berusia 4 tahun untuk

mendeteksi penurunan ketajaman penglihatan atau adanya faktor ambliogenik

sebab kedua hal tersebut merupakan syarat untuk penegakan diagnosis ambliopia

(Fredrick, 2009; AAO, 2012).

Ambliopia dapat diterapi dengan koreksi kelainan refraksi yang tepat,

terapi oklusi mata yang normal selama beberapa jam per hari. Apabila terapi

oklusi tidak berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan penalisasi dengan

menggunakan atropin pada mata yang sehat setiap hari selama beberapa minggu.

Selama periode tersebut diperlukan monitoring dan kontrol rutin terhadap visus

kedua mata (Fredrick, 2009; Kanski & Bowling, 2009)

2.6 Pemeriksaan Oftalmologik

Pemeriksaan oftalmologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis kelainan refraksi merupakan pemeriksaan tajam penglihatan.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara subjektif dengan menggunakan Snellen


16

chart, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji

penglihatan jarak jauh. (Chang, D. F., 2009).

Ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi atau UCVA (Uncorrected

Visual Acuity) diukur tanpa kacamata atau lensa kontak. Selanjutnya perlu dinilai

juga ketajaman penglihatan terkoreksi atau BCVA (Best Corrected Visual Acuity)

dengan alat bantu yang sudah disesuaikan, bila tidak terdapat kacamata,

pemeriksaan BCVA dapat dilakukan dengan menggunakan ‘pinhole’.

Pemeriksaan tersebut menggunakan lubang kecil sehingga dapat membantu

berkas sinar terfokus ke pupil dan menghasilkan bayangan yang lebih tajam.

Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar dalam grafik Snellen (20/200

atau 6/60), pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan hitung jari

(counting finger). Jika masih tidak bias, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan

lambaian tangan (hand motion), yang jika pemeriksaan ini gagal dapat dilanjutkan

dengan pemeriksaan light perception. Apabila mata tidak dapat mempersepsi

cahaya maka mata dapat dianggap buta total (NLP atau no light perception).

Pemeriksaan tajam penglihatan juga dapat dilakukan secara objektif seperti

menggunakan auto refrakter atau streak retinoscopy (Chang, D. F., 2009)

Klasifikasi WHO menurut laporan yang disampaikan pada International

Council of Ophtalmology (2002) menggolongkan visus pada mata terbaik pasien

kedalam beberapa kategori antara lain:

a. Penglihatan normal atau gangguan penglihatan ringan: merupakan kondisi

dimana visus pasien diatas 6/18 setelah dikoreksi.


17

b. Low vision: kategori ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Grup 1 atau visual

impairment dengan rentang nilai visus 6/18 hingga 6/60. Kategori selanjutnya

adalah Grup 2 atau severe visual impairment dengan visus <6/60 hingga 3/60.

c. Blindness atau kebutaan: merupakan kondisi dimana visus pasien <3/60 hingga

NLP (no light perception). Kategori ini terbagi lagi menjadi tiga kelompok

antara lain Grup 3 dengan visus < 3/60 hingga 1/60, Grup 4 dengan visus <1/60

hingga LP (light perception), dan Grup 5 dengan visus NLP (No Light

Perception).

2.7 Proses Emetropisasi Pada Anak

Emetropisasi merupakan proses yang terjadi selama periode pertumbuhan

normal dimana mata berubah dari kondisi ametropia menjadi emetropia. Hal ini

dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya faktor genetik, perubahan struktur,

adaptasi lingkungan, interaksi biokimia, dan efek penggunaan kacamata (Kristie

Yackle & Fitzgerald, 1999).

Sebagian besar bayi memiliki kondisi mata yang hipermetropia dimana

nantinya seiring dengan proses pertumbuhan kondisi hipermetropia ini akan

berubah mencapai kondisi emetropia secara perlahan (Lowery et al., 2006).

Dinyatakan bahwa kondisi ini sangan rentan mengalami perubahan akibat

pengaruh dari luar (Yackle & Fitzgerald, 1999). Kelengkungan kornea yang

cukup curam pada saat lahir akan mendatar sampai mendekati kelengkungan

dewasa pada usia 1 tahun. Selain itu, kondisi lensa dan panjang sumbu bola mata

saat lahir juga akan berubah seiring pertumbuhan anak (Riordan-Eva, 2009)
18

Ada beberapa hipotesis mengenai proses emetropisasi ini, diantaranya

adalah teori pasif dan teori aktif. Teori aktif menyatakan bahwa emetropisasi

terjadi dan diregulasi oleh bayangan yang terbentuk di retina. Mata akan

menganalisis bayangan yang terbentuk, selanjutnya mata akan memanjang atau

memendek hingga bayangan di retina menjadi jelas atau terkonjugasi.

Sebaliknya, pada teori pasif dijelaskan bahwa emetropisasi merupakan hasil dari

faktor genetik dan faktor fisik terhadap pertumbuhan normal mata dimana terjadi

interaksi akibat perubahan yang proporsional antara kekuatan lensa dengan

panjang aksial bola mata. Sehingga nantinya kedua mata yang sebelumnya

hipermetropia atau mungkin miopia akan berubah menjadi emetropia (Yackle &

Fitzgerald, 1999).

Kurvatura kornea, kekuatan lensa, dan kedalaman vitreus. merupakan

komponen yang memiliki pengaruh paling besar terhadap refraksi manusia.

Perubahan kurvatura kornea sesungguhnya lebih berpengaruh pada emetropisasi

astigmatisma dibandingkan pada astigmatisma sferis (Yackle & Fitzgerald, 1999).

Kekuatan lensa yang berkurang juga merupakan penyebab primer terjadinya

proses emetropisasi. Hal ini terjadi karena adanya penipisan dan pemipihan lensa

kristalina akibat berkembangnya mata ke berbagai arah (Mutti, 2010). Perubahan

kedalaman vitreus akan mempengaruhi ketebalan lapisan koroid, yang nantinya

akan menyebabkan retina mampu memodifikasi bayangan yang kurang jelas

(Yackle & Fitzgerald, 1999).

Faktor herediter juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan

penting dalam proses emetropisasi. Dimana pada suatu penelitian diperoleh bahwa

jika kedua orang tua dari seorang anak mengalami kelainan refraksi, maka risiko
19

anak tersebut untuk mengalami kelainan refraksi lebih besar ketimbang anak-anak

lain yang hanya memiliki satu orang tua dengan kelainan refraksi atau kedua

orang tuanya tidak memiliki kelainan refraksi. Faktor lainnya adalah aktivitas di

luar ruangan. Semakin lama seorang anak menghabiskan waktunya di luar

ruangan, maka semakin kecil kemungkinan anak tersebut mengalami miopia.

Sementara itu, semakin sering seseorang melakukan aktivitas yang memerlukan

jarak pandang dekat dan tingginya tingkat pendidikan dapat meningkatkan risiko

seseorang mengalami miopia. (Mutti, 2010; Stambolian, 2013).

Faktor lainnya adalah penggunaan kacamata atau lensa. Anak-anak yang

mengalami hipermetropia yang dikoreksi penuh akan mengalami perlambatan

emetropisasi hingga proses tersebut tidak terjadi sama sekali. Sehingga

disarankan agar anak-anak yang mengalami hipermetropia dikoreksi parsial tanpa

sikloplegik (Mutti, 2010; Lowery et al., 2006). Dari faktor-faktor yang diduga

mempengaruhi proses emetropisasi pada anak, dapat disimpulkan bahwa apabila

faktor-faktor tersebut terganggu pada masa pertumbuhan maka risiko seorang

anak mengalami ametropia menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan anak-

anak yang proses emetropisasinya berjalan normal tanpa intervensi (Mutti, 2010;

Yackle & Fitzgerald, 1999).

Anda mungkin juga menyukai