Anda di halaman 1dari 1

Contoh pada penafsiran kontemporer, yaitu Omnibus Law yang diisukan akan berlaku

di Indonesia. Banyak pro dan kontra mengenai hal tersebut. Draf RUU itu sendiri akan memuat
2.517 pasal tumpang tindih yang terdapat di dalam 83 UU. Nantinya, pasal-pasal itu akan
disederhanakan menjadi 174 pasal. Pemerintah siap mengajukan dua Rancangan Undang-
Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni RUU Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan. Dalam proses penyusunan omnibus law
sebelumnya, para buruh dan pengusaha sudah diajak dialog oleh pemerintah, tapi demo buruh
tak terhindari. Kedua RUU Omnibus Law ini disiapkan guna memperkuat perekonomian
nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam
menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mencakup 11 klaster, yaitu: 1) Penyederhanaan


Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan
Perlindungan UMK-M, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7)
Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan
Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi. Sementara itu Omnibus Law Perpajakan yang
telah disiapkan Kementerian Keuangan mencakup 6 pilar, yaitu: 1) Pendanaan Investasi, 2)
Sistem Teritori, 3) Subjek Pajak Orang Pribadi, 4) Kepatuhan Wajib Pajak, 5) Keadilan Iklim
Berusaha, dan 6) Fasilitas.

Dilihat dari sisi sosiologisnya pembentukan RUU Omnibus Law ini cenderung merujuk
kepada penafsiran kontemporer. Hal ini ditunjukkan dengan arah pola perkembangan
penyederhanaan Undang – Undang yang tumpang tindih. Sehingga RUU Omnibus Law sesuai
dengan perkembangan zaman dan tidak condong bahwa hukum merupakan abdi penguasa,
namun merupakan rule of law yang nantinya akan menjadi sebuah sistem (sarana) dalam
pembangunan negara.

Anda mungkin juga menyukai