Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Esofagitis korosif adalah peradangan di daerah esofagus yang disebabkan oleh


luka bakar karena tertelannya zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat,
basa kuat, atau zat organik. Zat kimia yang bersifat korosif akan menimbulkan
kerusakan pada saluran yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang bersifat toksik
hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah. Angka kejadian
esofagitis korosif akibat tertelan asam kuat, basa kuat, cairan pemutih diperkirakan
sekitar 3-5 % dari kasus kecelakaan dan bunuh diri, atau sekitar 5.000-10.000 kasus
pertahun di Amerika Serikat. Anak-anak di bawah 5 tahun dilaporkan lebih sering
tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan kelalaian. Sedangkan,
pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering sebagai percobaan bunuh diri.
Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin maupun ras yang mempengaruhi terjadinya
esofagitis korosif.2,3

Keluhan gejala atau timbulnya manifestasi klinik esofagitis korosif sangat


tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lama
kontaknya dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak, dan dimuntahkan
atau tidak. Akibat esofagitis korosif bisa menimbulkan beberapa keadaan, tergantung
pada fase akut, fase laten, atau fase kronis. Pada fase akut, esofagitis akut mudah
dikenali karena berlansung cepat dan biasanya penyebabnya lebih mudah dikenali.
Sedangkan pada fase laten dan fase kronis, selain membutuhkan waktu yang lebih
lama juga lebih sulit dikenali dan biasanya sudah menimbulkan komplikasi.
Akibatnya, penanganan esofagitis korosif pada fase laten dan kronis juga lebih sulit.2,3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Esofagitis Korosif
Esofagitis korosif adalah peradangan di esofagus yang disebabkan oleh luka
bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya asam kuat, basa kuat dan zat
organik. Esofagitis korosif ini biasanya terjadi akibat tertelannya zat akustik seperti
larutan alkali berupa cairan pembersih rumah tangga, pemutih, dan soda api, baik
karena kecelakaan maupun percobaan bunuh diri.2,4

2
Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang
bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya,
sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila
telah diserap oleh darah. Kerusakan esofagus yang terjadi tergantung pada
konsentrasi dan lama kontak zat kimia tersebut dengan esofagus.2,4

2. Anatomi dan Fisiologi Esofagus


Esofagus merupakan tabung muskular, panjangnya sekitar 10 inci (25 cm),
terbentang dari faring sampai ke gaster. Esofagus mulai di leher setinggi kartilago
cricoidea dan berjalan turun di garis tengah di belakang trakea. Di dalam thorax,
esophagus berjalan ke bawah melalui mediastinum dan masuk rongga abdomen
dengan menembus diafragma setinggi vertebra thoracica X. Esofagus berjalan singkat
sekitar ½ inci (1,25 cm) sebelum masuk ke gaster sisi kanan. Esofagus memiliki
diameter yang bervariasi tergantung ada tidaknya bolus makanan atau cairan yang
melewatinya. Pada keadaan istirahat diameter esofagus ± 20 mm-30 mm, tetapi
lumen esofagus dapat melebar kurang lebih 2 cm di bagian anterior dan posterior
serta 3 cm ke lateral untuk memudahkan dalam proses menelan makanan.5

3
Gambar 1. Esofagus dilihat dari Gambar 2. Penyempitan pada
ventral7 esofagus7
Pada kedua ujung esophagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus
membentik sfingter esophagus bagian atas dan terdiri dari serabut-serabut otot
rangka. Bagian esophagus ini secara normal berada dalam keadaan kontraksi kecuali
pada waktu menelan. Sfingter esophagus bagian bawah, walaupun secara anatomi
tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluksi
isi lambung ke dalam esophagus. Dalam keadaan normal, sfingter ini menutup,
kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau muntah.6

4
Dinding esophagus terdiri atas empat lapisan: mukosa, submukosa,
muskularis, dan serosa. Lapisan mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng
berlapis yang berlanjut ke faring di ujung atas; epitel lapisan ini mengalami
perubahan mendadak pada perbatasan esophagus dengan lambung dan menjadi epitel
toraks selapis. Mukosa esophagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak
tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel-
sel sekretori yang memproduksi mucus. Mukus mempermudah jalannya makanan
sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. Lapisan otot
lapisan luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot yang
terdapat di 5% bagian atas esophagus adalah otot rangka, sedangkan otot di separuh
bagian bawah adalah otot polos. Bagian luar esophagus terdiri atas jaringan ikat
longgar yang menghubungkan esophagus dengan struktur-struktur berdekatan.6

Gambar 3. Lapisan dinding esophagus7

Persarafan utama esophagus dipasok oleh serabut-serabut simpatis dan


parasimpatis dari system saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus
vagus, yang dianggap sebagai saraf motoric esophagus. Selain itu, terdapat persarafan
intrinsic diantara lapisan otot sirkular dan longitudinal (pleksus Auerbach atau
mienterikus) yang berperan dalam pengaturan peristaltic esophagus normal.6

5
Ujung saraf bebas dan perivascular ditemukan dalam submukosa esophagus
dan ganglia mienterikus. Ujung saraf ini dianggap berperan sebagai mekanoreseptor,
termoosmo, dan kemoreseptor dalam esophagus. Mekanoreseptor menerima
rangsangan mekanis seperti sentuhan, dan kemoreseptor menerima rangsangan kimia
dalam esophagus. Reseptor termoosmo dapat dipengaruhi oleh suhu tubuh, bau, dan
perubahan tekanan osmotic.6

Distribusi darah ke esophagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai


oleh cabang-cabang arteri tiroidea inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh
cabang-cabang segmental aorta dan arteria bronkiales, sedangkan bagian
subdiafragmatika disuplai oleh arteri gastrika sinistra dan frenika inferior. Aliran
darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena esophagus daerah leher mengalirkan
darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan dibawah diafragma vena esophagus masuk
ke dalam vena gastrika sinistra.6

Gambar 4. Pembuluh darah esofagus7

6
3. Epidemiologi
Angka kejadian esofagitis korosif akibat tertelan asam kuat, basa kuat, cairan
pemutih diperkirakan sekitar 3-5 % dari kasus kecelakaan dan bunuh diri, atau sekitar
5.000-10.000 kasus pertahun di Amerika Serikat. Anak-anak di bawah 5 tahun
dilaporkan lebih sering tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan
kelalaian. Sedangkan, pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada
remaja sebagai percobaan bunuh diri. Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin
maupun ras yang mempengaruhi terjadinya esofagitis korosif. Berdasarkan penelitian,
95% kejadian tertelan korosif terjadi di rumah, biasanya di dapur atau kamar mandi.
Hampir 73% terjadi saat produk lagi digunakan dan 24% terjadi saat produk dalam
penyimpanan.3,8

4. Etiologi
Diperkirakan, 70% dari kasus esofagitis korosif adalah disebabkan oleh basa
dengan natrium hidroksida merupakan kasus yang paling sering ditemukan. Terdapat
juga kasus melibatkan kalium hidroksida dan ammonium hidroksida. Pembersih
saluran, pembersih oven, detergen baju dan detergen piring semuanya mengandung
basa. Konsentrasi basa berbeda berdasarkan agen; cairan (10-15%), industri (30-35%
dan granuler (50-95%). Basa tidak mempunyai rasa yang menyebabkan anak-anak
mengkonsumsi dengan banyak.9,10

Kira-kira 20% kasus esofagitis korosif lainnya adalah disebabkan oleh asam
seperti hidroklorida, sulfurik, oksalik dan nitrit. Pembersih toilet, pembersih selokan,
dan penghapus karatan merupakan beberapa produk yang mengandungi asam di
antara 8-65%. Asam biasanya mempunyai rasa pahit yang menyebabkan anak-anak
tidak mengkonsumsi dengan banyak. Selain disebabkan oleh asam dan basa,
esofagitis korosif juga bisa disebabkan oleh bahan lain seperti detergen, bateri,
makanan panas dan susu.9,10

7
Tabel 1. Contoh bahan kimia korosif9

Zat yang Sering Menimbulkan Terbakar pada Esofagus

Pembersih saluran (NaOH)

Cairan Plumbum

Drano (cairan atau kristal)

Pembersih open

Easy off

Amonia

Tablet klinitest

Pemutih

Fosfat

Asam

Sulfat

Nitrat

Fenol

Iodine

Kalium permanganate

8
5. Patofisiologi
Bahan kimia menyebabkan kerusakan jaringan dengan mengubah status
ionisasi dan struktur molekul serta mengganggu ikatan kovalen. Basa kuat, tidak
berbau dan tidak berasa, menyebabkan nekrosis likuefaktum, proses yang melibatkan
saponifikasi lemak dan pelarutan protein pada mukosa superfisial dan berpenetrasi
sampai lapisan muskularis. Kematian sel terjadi karena emulsifikasi dan gangguan
membrane sel. Ion hidroksida akan bereaksi dengan kolagen jaringan menyebabkan
pembengkakan dan pemendekan jaringan (kontraktur). Selain itu, terjadi thrombosis
pembuluh darah kecil dan produksi panas yang mengakibatkan nekrosis jaringan
lebih lanjut. Larutan basa adalah detergen, pemutih, pembersih gigi palsu, NaOH 4-
54%, dan baterai.2,11

Gambar 5. Mukosa esophagus setelah terkena basa kuat12

9
Trauma jaringan terberat ditemukan pada mukosa orofaring, hipofaring, dan
esophagus. Edema dapat terjadi dan menetap hingga 48 jam, kemudian dapat
menyebabkan sumbatan jalan napas. Seiring bertambahnya waktu, jejas semakin
berat dan granulasi jaringan mulai terbentuk menggantikan jaringan nekrotik.
Jaringan granulasi dan jaringan parut terbentuk dalam 2-4 minggu, tidak jarang
terjadi striktur pasca tertelan basa kuat.11

Asam kuat akan menyebabkan nekrosis koagulasi. Pada proses tersebut akan
terbentuk koagulum pada permukaan mukosa yang akan mencegah absorbsi zat
korosif ke lapisan esophagus bawah. Oleh karena itu, asam kuat akan menyebabkan
kerusakan pada gaster lebih sering ditemukan. Hal tersebut diduga karena adanya
proteksi alami dari epitel skuamosa esophagus. Lain halnya dengan basa kuat, asam
kuat rasanya tidak enak sehingga sering menyebabkan tersedak atau rasa tercekik.
Jaringan parut dapat terbentuk dan berkontraksi dalam 2-4 minggu kemudian. Larutan
asam kuat adalah asam sulfat (baterai), asam klorida, pembersih lantai, dan pembersih
kolam.11

Gambar 6. Mukosa esophagus setelah terkena asam kuat12

10
6. Gejala Klinis
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada
jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah, lamanya kontak dengan dinding
esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak. Esofagitis korosif
dapat dibagi menjadi 5 bentuk klinis berdasarkan derajat keparahan luka bakar yang
ditemukan yaitu:2,11

1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi. Hanya terjadi gangguan menelan yang


ringan. Efagoskopi menunjukan mukosa hiperemis tanpa ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan. Keluhan berupa disfagia ringan.
Esofagoskopi menunjukan ulkus tidak dalam yang mengenai mukosa esofagus
saja.
3. Esofagitis korosif dengan ulserasi sedang. Ulkus mencapai lapisan otot.
Biasanya tidak hanya satu, dapat multipel.
4. Esofagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi. Terdapat
pengelupasan mukosa serta nekrosis yang dalam telah mengenai seluruh
lapisan esofagus. Bila dibiarkan dapat menimbulkan striktur esofagus.
5. Esofagitis korosif ulserasi berat dengan komplikasi. Ditemukan perforasi
esofagus yang dapat menimbulkan mediastinis dan peritonitis. Terkadang
ditemukan tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan keseimbangan asam
dan basa.

Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi


dalam 3 fase, yaitu:2,11
1. Fase Akut
Berlangsung selama 1-3 hari. Ditemukan luka bakar di daerah mulut, bibir,
faring, yang kadang disertai perdarahan. Gejala terasa disfagia hebat, odinofagia, serta
peningkatan suhu tubuh.

11
Pada keadaan tertelan zat organik, perasaan dapat berupa perasaan terbakar di
saluran cerna bagian atas, mual, muntah, erosi pada mukosa, kejang otot, kegagalan
sirkulasi, dan pernafasan.
2. Fase Laten
Berlansung selama 2-6 minggu. Pada fase ini keluhan klinis berkurang. suhu
badan menurun. Pasien merasa sembuh, dapat menelan dengan baik, tetapi
sebenarnya sedang terjadi proses terbentuknya jaringan parut (sikatriks).
3. Fase Kronis
Setelah 1-3 tahun akan kembali timbul disfagia disebabkan sikatriks yang
terbentuk sehingga terjadi striktur esofagus.

3.7 Penegakan Diagnosis Esofagitis Korosif


1. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat korosif
atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien rasa terbakar pada
daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat, serta bisa juga mengeluhkan susah
menelan. 2,16

2. Pemeriksaan Fisik
Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis yang
cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh ditempat kejadian. Masuknya zat
korosif melalui mulut dapat diketahui dengan bau mulut ataupun muntahan. Adanya
luka bakar keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu
menunjukkan akibat bahan kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat maupun
basa kuat. Perbedaaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat
paparan asam kuat sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis likuitaktif.
Kerusakan korosif hebat akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih berat
dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila PH > 12, akan tetapi
tergantung juga konsentrasi bahan tersebut.15

12
3. Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil anamnesis serta
gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologik, esofagoskopi.2

a. Pemeriksaan radiologi16

 Foto torak dan abdomen


Pada fase akut, foto polos dengan posisi leteral dan pastero-anterior dapat
memperlihatkan adanya perforasi seperti udara pada mediastinum,
pneumotorak, cairan pada pleura, atau gambaran udara bebas di bawah
diafragma. Pemeriksaan esofagogram dapat membantu untuk melihat adanya
striktur maupun perforasi. Gambaran adanya striktur esofagus biasanya lumen
yang menyempit, pinggir yang tidak rata, tapi bisa juga rata, tampak kaku, dan
pada umumnya terjadi pada bagian dekat arkus aorta.

Gambar 7. Stenosis esofagus tampak dengan esofagogram13

13
Gambar 8. Mukosa esofagus yang hancur2,13

 CT-Scan
Pemeriksaan dengan CT-Scan lebih sensitif dan lebih dini dalam mendeteksi
adanya perforasi, striktur serta kemungkinan adanya kelainan pada organ lain
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan lebih dini.

14
b. Pemeriksaan laboratorium17

Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat tanda-


tanda gangguan elektrolit. Beberapa pemeriksaaan yang dapat dilakukan adalah :

 Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, ureum dan kreatinin untuk
melihat tanda-tanda keracunan sistemik.
 Pemeriksaan jumlah urin dan urinalisis untuk membantu menjaga
keseimbangan cairan.
c. Pemeriksaan endoskopi dengan esofagoskopi.2,17

Pemeriksaan esofagoskopi dilakukan pada hari ketiga setelah kejadian atau


jika luka pada bibir, mulut, dan faring sudah tenang. Jika pada waktu melakukan
esofagoskopi ditemukan ulkus, maka esofagoskop tidak boleh dipaksa melalui ulkus
tersebut karena ditakutkan terjadi perforasi.

Esofagoskopi juga tidak boleh dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda


perforasi saluran cerna yang jelas, udem atau nekrosis saluran nafas yang hebat, dan
pasien dengan hemodinamik tidak stabil, dengan alasan meningkatkan resiko
terjadinya cedera yang lebih parah.

Derajat luka bakar pada esofagus yang ditemukan pada esofagoskopi dapat
dibagi menjadi :

· Derajat I : eritema dan udem mukosa.

· Derajat IIA : perdarahan, erosi, lepuhan, ulkus, eksudat.

· Derajat IIB : lesi yang mengelilingi lumen esofagus (circumferential lesions).

· Derajat III : ulkus yang dalam, multipel, dan bewarna hitam kecoklatan atau abu-
abu.

· Derajat IV : perforasi.

15
Gambar 9. Gambaran esofagoskopi setelah tertelan asam hidroklorida, tampak
terjadi trombosis pembuluh darah mukosa esofagus17

Gambar 10. Mukosa esofagus setelah tertelan basa kuat

16
d. Pemeriksaan endoscpic ultrasonography.17

Pemeriksaan ini lebih akurat dalam menilai tingkat kedalaman dari luka

bakar dibandingkan esofagoskopi.

3.8 Tatalaksana Esofagitis Korosif


Tujuan terapi dari penatalaksanaan esofagitis korosif adalah mencegah
perforasi dan mencegah timbulnya striktur pada esofagus dan lambung.1 Menurut
Kardon (2008), terapi pada esofagitis korosif dibagi: 12, 17

1. Perawatan prehospital, terdiri dari :

a. Mengidentifikasi produk, konsentrasi dari komposisi aktif, dan berapa jumlah


zat yang tertelan.
b. Jangan menetralisir dengan cara meminumkan asam atau basa lemah karena
akan menghasilkan reaksi eksotermik yang akan memperparah luka bakar dan
menginduksi muntah.
c. Pada kasus tertelah basa kuat tipe bubuk atau padat, pemberian susu atau air
dalam jumlah yang sedikit sebelum waktu 30 menit akan membantu untuk
menghilangkan zat-zat yang masih menempel pada mukosa mulut atau
esofagus. Sedangkan pada kasus asam kuat atau basa kuat cair pemberian susu
atau air ditakutkan akan merangsang muntah sehingga dapat menyebabkan
perforasi dinding esofagus.
2. Perawatan instalasi gawat darurat

a. Monitoring tanda-tanda vital, jalan nafas, jantung, dan pemasangan IVFD,


pemberian CaCl2 pada pasien yang tertelan zat hidrogen florida dapat
mencegah cardiac arrest oleh karena hipokalsemia.

17
b. Pengendalian jalan nafas, karena dapat terjadi udem pada jalan nafas, maka
monitoring harus sesegera mungkin, peralatan untuk intubasi maupun
trakeostomi harus siap.
c. Pengosongan lambung dan dekontaminasi
 Jangan merangsang timbulnya muntah karena akan menyebabkan terjadinya
paparan ulang zat kaustik ke mukosa esofagus yang bisa memperparah derajat
luka bakar.
 Metode bilas lambung dengan cara-cara tradisional yang menggunakan pipa
orogastrik dengan kaliber yang besar seperti menggunakan Edwal’s
orogastric tube dikontraindikasikan untuk kasus tertelan asam kuat maupun
basa kuat karena resiko perforasi dan aspirasi trakea yang tinggi.
 Penggunaan naso-gastric tube (NGT) sangat baik pada kasus tertelan asam
kuat karena dapat mencegah masuknya zat kaustik ke usus kecil.
d. Pembedahan segera dilakukan jika terdapat perforasi, mediastinitis atau
peritonitis.5,14

3. Terapi medikamentosa

a. Antibiotik golongan sefalosporin seperti ceftriakson mempunyai spektrum


antibakteri yang luas terhadap gram positif dan gram negatif.
b. Preparat penghambat pompa proton seperti omeprazol dan pantoprazol dapat
mengurangi paparan zat asam lambung ke esofagus yang dapat mengurangi
resiko terjadinya striktur.
c. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dipertimbangkan karena penelitian
menunjukkan bahwa pembentukan striktur terjadi berdasarkan derajat
kerusakan jaringan.

Menurut literatur lainnya, penatalaksanaan esofogitis korosif dilakukan dalam


24 jam pertama setelah tertelan zat kaustik, pasien harus diberi cairan parenteral dan

18
diobservasi akan kemungkinan mediastinitis, fistel trakea-esofagus, perforasi
lambung, peritonitis, pneumonia, dan udem laring. Kurang lebih 24 jam setelah
kejadian dilakukan esofagoskopi dengan anastesia umum endotrakea untuk
menentukan apakah ada luka bakar di esofagus. Jika terdapat luka bakar esofagoskopi
dihentikan, esofagoskop tidak boleh dilanjutkan melalui daerah luka bakar untuk
menghindari terjadinya perforasi esofagus. Jika pada esofagoskopi tidak ditemukan
luka bakar, pasien dapat dipulangkan dari rumah sakit dalam 2-3 hari setelah luka
bakar pada daerah mulut dan orofaring cukup membaik dan dapat minum peroral
secukupnya. Bila pada esofagoskopi terdapat luka bakar harus dipasang pipa
nasogaster polietilen yang kecil untuk pemberian makanan dan mempertahankan
lumen esofagus. Terapi kortikosteroid harus dimulai dan diteruskan sampai 6 minggu,
biasanya hari pertama 200-300 mg sampai hari ke-3, setelah itu diturunkan bertahap
setiap 2 hari dengan dosis maintenance 2x50 mg perhari. Antibiotik spektrum luas
diberikan sampai pemeriksaan radiologi esofagus dengan kontras menunjukkan
penyembuhan mukosa, biasanya selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam.
Analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Segera setelah pasien dapat
menelan cairan, biasanya 3-4 hari setelah kejadian, diberikan antibiotik peroral untuk
mendapatkan efek topikal pada jaringan granulasi. Pemberian makanan yang
mengandung partikel yang dapat berkumpul di jaringan granulasi jangan 14 diberikan
dulu sampai ada bukti penyembuhan mukosa secara radiografi dengan kontras.2

Esofagogram dibuat pada minggu ke 3 dan pada minggu ke 6, jika terbukti


ada pembentukan striktur setelah terapi kortikosteroid dihentikan, businasi dimulai.
Pada luka bakar berat, pipa untuk pemberian makanan tidak dikeluarkan sampai
resiko pembentukan striktur terlampaui. Pipa makanan atau tali harus tetap terpasang
pada pasien dengan pembentukan striktur untuk mencegah hilangnya lumen secara
total.2,14

Pasien dengan striktur korosif esofagus dapat ditanggulangi dengan dilatasi


atau rekontruksi esofagus. Dilatasi dapat dilakukan dengan metode mekanis prograd,

19
metode mekanis retograd dari Tucker, dan metode hidrostatik, menggunakan busi
berisi air raksa. Dilatasi dilakukan dengan bantuan esofagoskopi, selama sekali
sampai 2 kali seminggu, bila keadaan pasien lebih baik dilakukan sekali 2 minggu,
sekali sebulan, sekali 3 bulan dan seterusnya sampai pasien dapat menelan makanan
biasa. Jika selama 3 kali dilatasi hasilnya kurang memuaskan sebaiknya dilakukan
reseksi esofagus dan dibuat anastomose ujung ke ujung (end to end).

Indikasi pembedahan antara lain:

1. Stenosis komplit lumen esofagus yang gagal dilakukan usaha dilatasi.

2. Terdapat gambaran ireguler dan seperti membentuk kantong pada dinding esofagus
dengan pemeriksaan kontras barium.

3. Pembentukan fistula

4. Tidak bisa mempertahankan lumen setelan dilakukan businasi sebanyak 40


French.

5. Pasien yang menolak atau tidak bisa dilakukan businasi dalam jangka waktu lama.

6. Timbulnya komplikasi seperti perforasi, mediastinitis atau peritonitis.

20
Gambar 11. Algoritma Tatalaksana Esofagitis Korosif

21
3.9 Komplikasi Esofagitis Korosif
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain : 2, 17

Oedem dan obstruksi jalan nafas, perforasi gastroesofageal, mediastinitis,


perikarditis, pleuritis, fistel trakeoesofageal, fistel esofagealaorta, dan peritonitis,
pembentukan striktur dalam 2-4 minggu, obstruksi saluran lambung ke duodenum,
perdarahan saluran cerna, gejala keracunan sistemik akibat terserapnya zat ke dalam
darah, cardiac arrest oleh karena hipokalsimia akibat hidrogen florida, karsinoma sel
skuamosa, dapat terjadi dalam 40 tahun setelah paparan.

3.10 Prognosis Esofagitis Korosif


Prognosa tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta jenis
zat yang tertelan, lama paparan, Ph, volume, konsentrasi, kemampuannya menembus
jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk menetralisir zat yang
masuk.5

Angka kematian berkisar 1-4% karena tekhnik pembedahan, anastesi,


antibiotik, dan nutrisi yang efektif, kematian pada umunya disebabkan oleh
mediastinitis, peritonitis, sepsis, malnutrisi, aspirasi, dan kegagalan fungsi
multiorgan.4

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi Keenam.


Jakarta: EGC. 2006; 120-22
2. Soepardi EA, N Iskandar, J Bashiruddin, RD Restuti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2012; hal. 261-3.
3. Anonim. Corrosive Esophagitis and Stricture. 2008.
http://www.medicalclinic.org/diseases/corrosive-esophagitis-and-stricture.ht ml.
Diakses 1 April 2019.
4. Rabou AA, et al. Corrosive Oesophagitis.
http://radiopaedia.org/articles/corrosive-oesophagitis. Diakses 5 Juni 2016.
5. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2011; hal. 668.
6. Price SA dan LM Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC. 2005; hal. 404-5.
7. Paulsen F dan J Waschke. Sobbota Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum,
Edisi 23, Jilid 2. Jakarta: EGC. 2013; hal. 104-9.
8. Kardon, E. M. Toxicity, Caustic Ingestion. 2015. http://www.emedicine.com/
EMERG/topic86.htm. Diakses 1 April 2019.
9. Siegel LG. Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi 6. Jakarta: EGC. 1997; hal.
455-73.
10. Collin S, Dafoe et al. Acute Corrosive Oesophagitis. 1969. Thorax (1969), 24,
291. Canada.
11. Tanto C, F Liwang, S Hanifati, dan EA Pradipta. Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi IV, Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius. 2014; hal. 1075-77.
12. Advenier AS, A Dorandeu, P Charlier, GL Grandmaison. Microscopic Acute
Lesions After Caustic Exposure. Forensic Science International. 2013. 234
(2014): 57-63.

23
13. Lionte C, et all. 2007. Unusual Presentation and Complication of Caustic
Ingestion; Case Report. http://www.jgld.ro/12007/12007_17.pdf [Diakses 2 April
2019].
14. Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong, Edisi 3,
EGC, Jakarta.
15. Wen, Jessica. 2008. Esophagitis. http://www.emedicine.com/ped/
TOPIC714.HTM [Diakses 2 April 2019].
16. Alijenad, A. 2000. Caustic Injury to the Upper Gastrointestinal Tract.
http://pearl.sums.ac.ir/semj/vol4/jan2003/causticinj.htm [Diakses 2 April 2019].
17. Kardon, EM. 2008. Toxicity, Caustic Ingestion.
http://www.emedicine.com/EMERG/topic86.htm [Diakses 2 April 2019].

24

Anda mungkin juga menyukai