Anda di halaman 1dari 12

Mutu biopelet dari campuran cangkang buah karet dan …I Dewa Gede Putra Prabawa, Miyono

Mutu Biopelet dari Campuran Cangkang Buah Karet dan Bambu Ater
(Gigantochloa atter)
The Quality of Biopellet from Rubber Seed Shell and Ater Bamboo
(Gigantochloa atter)
I Dewa Gede Putra Prabawaa,*, Miyonoa
a
Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjarbaru
Jl.Panglima Batur Barat No 2, Banjarbaru, Indonesia
*Email:
dewa.pprabawa@gmail.com Diterima 06 Desember 2017 Direvisi 24 Januari
2018 Disetujui 20 Februari 2018

ABSTRAK
Karakteristik awal menunjukan cangkang buah karet (CBK) memiliki potensi yang
baik digunakan sebagai bahan utama biopelet dengan kandungan abu yang rendah dan
nilai kalori yang tinggi sedangkan bambu ater (Gigantochloa atter) berpotensi digunakan
sebagai bahan tambahan biopelet karena kandungan ligninnya yang tinggi sehingga
dapat digunakan sebagai perekat alami. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari
pemanfaatan CBK dan bambu ater sebagai biopelet dan menganalisis mutu biopelet yang
dihasilkan. Komposisi campuran CBK dan bambu ater yang diteliti adalah 100%:0%,
95%:5%, 90%:10%, 85%:15%, dan 80%:20%. Proses pembuatan biopelet dilakukan pada
tekanan 597,24 kg/cm2, suhu 150oC selama 10 menit. Biopelet terbaik dihasilkan pada
formulasi 85% CBK dan 15% bambu ater dengan kualitas kadar air 4,23%;; kadar abu
0,84%;; kadar zat terbang 79,44%;; kadar karbon terikat 15,48%;; nilai kalori 4472,41
kal/g;; diameter 8,30 mm;; panjang 32,66 mm;; bulk density 1063,87 kg/m3;; mechanical
durability 91,93%;; nitrogen 0,21%;; sulfur 0,05%;; dan klorin kurang dari 0,10 ppm.
Kualitas biopelet tersebut memenuhi standar Indonesia (SNI 8021 : 2014) sedangkan
berdasarkan standar Eropa (EN 14961-2), biopelet memiliki satu parameter yang belum
memenuhi standar yaitu mechanical durability (min. 96,5%).
Kata Kunci : Biopelet, energi alternatif, cangkang buah karet, bambu ater (Gigantochloa
atter)
ABSTRACT
Material characteristic showed that the rubber seed shell (RSS) has good potential
to be used as the main material of biopellet with low ash content and high calorific value,
while ater bamboo (Gigantochloa atter) has good potential to be used as biopellet additive
because has high lignin content, so that it can be used as natural adhesive. The purposes
of this research were to study the utilization of CBK and ater bamboo into biopellet and to
analyze the quality of biopelet that has been produced. The compositions of CBK and ater
bamboo were 100%:0%, 95%:5%, 90%:10%, 85%:15%, and 80%:20%. Pelletization
process was done at pressure 597.24 kg/cm 2, temperature 150oC, for 10 minutes. The
best quality of biopellet was produced on the formulation of 85% CBK and 15% ater
bamboo. It has 4.23% of moisture content;; 0.84% of ash;; 79.44% of volatile substances;;
15.48% of fixed carbon;; 4472.41 kal/g of calorific value;; 8.30 mm of diameter;; 32.66 mm
of length;; 1063.87 kg/m3 of bulk density;; 91.93% of mechanical durability;; 0.21% of
nitrogen;; 0.05% of sulphur;; and chlorine content was less than 0.10 ppm. The best
quality of biopellet has fulfilled the requirement of Indonesian Standards (SNI 8021: 2014),
while based on European standards (EN 14961-2), biopelet had one parameter that didn’t
fulfill the requirement, the mechanical durability (min. 96.5%).
Keywords : Biopellet, alternative energy, rubber seed shell, ater bamboo (Gigantochloa
atter)

1
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.9, No.2, Des 2017: 99 -­110

I. PENDAHULUAN bahan bakar kompor masak, dan telah


Permintaan energi yang terus banyak digunakan sebagai subtitusi batu
meningkat dihadapkan pada permasalahan bara untuk bahan bakar penghangat
eksploitasi bahan bakar fosil yang bersifat ruangan pada perumahan (residential).
tidak dapat diperbaharui secara besar- Berdasarkan data International
besaran dan dihasilkan limbah sampingan Energy Agency (IEA) Bioenergy Task 40,
dari penggunaannya, seperti bahan bakar Global Wood Pelet Industry Market and
batu bara yang dapat menghasilkan emisi Trade Study di tahun 2011, jumlah
gas SO2 dan NOx yang jika terakumulasi produksi biopelet dunia mendekati 20 juta
dapat mengakibatkan terjadinya hujan ton sedangkan pada tahun 2020, jumlah
asam (Susila, Medhina, Adilla, Sihombing, kebutuhan biopelet dunia diperkirakan
& Lestari, 2011). Pembakaran batu bara meningkat hingga 80 juta ton (Sukarta &
juga akan menghasilkan limbah padat Oka, 2017). Melihat tingginya kebutuhan
berupa abu terbang (fly ash) dan abu dasar biopelet dunia, Indonesia memiliki peluang
(bottom ash) yang dapat menyebabkan yang sangat besar untuk turut serta
pencemaran lingkungan (Sjaifudin & memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini juga
Sugiyana, 2016). Permasalahan utama didukung oleh tingginya sumber biomassa
yang diakibatkan dari pertumbuhan yang dimiliki oleh Indonesia, seperti dari
penggunaan sumber energi bahan bakar limbah pertanian yang mencapai 50.000
fosil berdampak langsung terhadap MW (Winata, 2013).
terjadinya perubahan iklim (Bantacut, Diantara sumber biomasa yang
Hendra, & Nuwigha, 2013). Salah satu tersedia, cangkang buah karet dan bambu
sumber energi terbarukan yang ramah belum banyak diteliti penggunaannya.
lingkungan dan keberadaannya melimpah Cangkang buah karet (CBK) yang
di alam adalah biomassa. Biomassa dihasilkan dari tanaman karet (Hevea
merupakan satu-satunya sumber energi brasiliensis) selama ini hampir tidak
terbarukan yang berbasis karbon dan memiliki nilai ekonomis dan kurang
ketersediaanya melimpah di alam (Van Der dimanfaatkan secara optimal khususnya di
Stelt, Gerhauser, Kiel, & Ptasinski, 2011). Indonesia yang memiliki luas perkebunan
Tantangan dalam pengembangan karet lebih dari 3,6 juta Ha pada tahun
biomassa sebagai bahan bakar 2016 (Kementan, 2015). Beberapa
diantaranya konversi energi yang penelitian telah melaporkan pemanfaatan
dihasilkan masih rendah jika dibakar CBK diantaranya sebagai bahan komposit
secara langsung dan membutuhkan area dengan plastik polietilen (HDPE/CBK) (Xu,
penyimpanan yang besar sehingga Tu, Chen, Zhong, & Lu, 2016) dan sebagai
berkaitan dengan permasalahan distribusi asap cair untuk koagulan lateks
dan transportasi (Saptoadi, 2008). (Prasetyowati, Hermato, & Farizy, 2014).
Permasalahan ini disebabkan oleh Bahan lainnya yaitu bambu, merupakan
rendahnya bulk density (kerapatan) dari tumbuhan yang dapat ditemukan hampir
material biomasa. Biomasa dapat diolah diseluruh wilayah Indonesia dan
menjadi biopelet untuk meningkatkan ketersediaannya selalu ada sepanjang
kualitasnya. Pengolahan biopelet akan tahun, baik yang berasal dari budidaya
meningkatkan bulk density biomassa perkebunan atau tumbuh secara alami.
sehingga dapat mengurangi area Bambu diketahui memiliki kandungan lignin
penyimpanan yang diperlukan dan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan
memperbaiki kualitas pembakarannya (Liu, sebagai bahan pengikat/perekat alami
Fei, Jiang, Cai, & Liu, 2014). Penggunaan dalam pembuatan biopelet. Beberapa jenis
biopelet telah banyak berkembang seperti bambu telah diketahui kandungan ligninnya
di Jerman dan Austria sebagai alternatif seperti bambu kuning (21,23%), bambu
bahan bakar (Mani, Tabil, & Sokhansanj, hitam (24,33%), dan bambu tali (24,87%)
2006). Pemanfaatannya diantaranya (Suparno & Danieli, 2017). Bambu yang
sebagai bahan bakar boiler, alternatif dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah
jenis bambu ater (Gigantochloa atter) yang
Mutu biopelet dari campuran cangkang buah karet dan …I Dewa Gede Putra Prabawa, Miyono

banyak ditemukan di Kalimantan Selatan. menggunakan metode SNI 8021:2014.


Tingginya ketersediaan CBK dan bambu Sedangkan kandungan kimia meliputi
ater juga menunjukan potensi yang baik selulosa, hemiselulosa, dan lignin dianalisis
untuk dikembangkan pemanfaatannya menggunakan metode Chesson-Datta
sebagai sumber energi dalam bentuk (Widyawati & Argo, 2014).
biopelet.
Berdasarkan uraian tersebut, tujuan 2.2.2 Produksi biopelet
penelitian ini adalah untuk mempelajari Serbuk CBK dan bambu ater
pemanfaatan CBK dan bambu ater sebagai disiapkan dengan formulasi (berdasarkan
biopelet serta menganalisis kualitas berat) A (100%:0%), B (95%:5%, C
biopelet yang dihasilkan berdasarkan (90%:10%), D (85%:15%), dan E
standar biopelet Indonesia (SNI (80%:20%). Campuran kemudian
8021:2014) dan standar Eropa (EN 14961- dihomogenkan terlebih dahulu dan
2). ditambahkan air sebanyak 10% (b.b) dari
berat campuran. Campuran bahan yang
II. BAHAN DAN METODE telah disiapkan dimasukan ke dalam
2.1. Bahan cetakan pelet yang memiliki diameter
Bahan baku yang digunakan adalah silinder 0,80 cm dan tinggi 10 cm,
cangkang buah karet (CBK) yang diambil kemudian di-press dengan press hidrolik
dari perkebunan rakyat di Kecamatan merek carver pada tekanan 597,24 kg/cm 2,
Cempaka, Kota Banjarbaru dan bambu suhu 150oC, selama 10 menit. Biopelet
ater (Gigantochloa atter) diambil berupa yang dihasilkan kemudian didiamkan di
serbuknya pada kelompok perajin bambu ruang terbuka pada temperatur suhu 25-
di Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu 28oC selama 30 menit untuk menstabilkan
Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan suhu biopelet, selanjutnya dikemas dan
Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di diuji kualitasnya.
Laboratorium Aneka Komoditi dan 2.2.3 Analisis kualitas biopelet
Laboratorium Proses, Baristand Industri Analisis kualitas biopelet yang
Banjarbaru. dilakukan meliputi kadar air, kadar abu,
2.2 Metode kadar zat terbang, karbon terikat, dan nilai
Tahapan Penelitian yang dilakukan kalori dengan metode sesuai SNI 8021:
meliputi persiapan bahan baku (pengecilan 2014. Analisis parameter lainnya dilakukan
ukuran partikel), analisis proksimat dan untuk membandingkan kualitas biopelet
kandungan kimia, produksi biopelet, berdasarkan parameter utama standar
analisis kualitas biopelet, dan analisis Eropa (EN 14961-2, 2013) yaitu dimensi
formulasi biopelet terbaik. yang dianalisis dengan metode EN 14127,
bulk density dengan metode EN 15103,
2.2.1 Persiapan dan analisis nitrogen dengan metode EN 15104, sulfur
bahan baku dengan metode ASTM D516–02, klorin
Buah karet dipisahkan antara diuji dengan metode teskit klorin merck
cangkang dan bijinya sedangkan serbuk kode 1.14978.0001 yang memiliki
bambu dibersihkan dari sisa kulit, chips, kepekaan analisis 0,1 ppm – 2,0 mg/L Cl 2,
dan daunnya. CBK dan serbuk bambu ater dan mechanical durability dianalisis melalui
yang telah bersih kemudian dikeringkan uji ayakan (vibrating sieve) dengan ukuran
hingga kadar air bahan kurang dari 10%. screen 3,36 mm (6 mesh) selama 10 menit
Selanjutnya cangkang buah karet yang (Liu et al., 2014).
telah kering dihancurkan dalam willey mill
2.2.4 Analisis formula biopelet terbaik
dan crusher. Bahan kemudian disaring
Pengolahan data hasil penelitian
hingga didapat ukuran dengan lolos
dilakukan secara statistik menggunakan
ayakan 25 mesh. Bahan baku dianalisis
Rancangan Acak Lengkap (ANOVA)
kandungan proksimatnya untuk
dengan satu faktor penelitian (one way
mengetahui kadar air, kadar abu, kadar zat
ANOVA) yaitu campuran bahan CBK dan
terbang, karbon terikat, dan nilai kalori
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.9, No.2, Des 2017: 99 -­110

bambu ater dengan 5 komposisi dan 3 kali & Fatriasari, 2011).


ulangan. Perlakuan yang memiliki Berdasarkan hasil uji karakteristik
pengaruh signifikan terhadap parameter bahan baku, kandungan lignin bambu ater
yang diteliti dilakukan analisis lanjutan lebih tinggi dari CBK, yaitu sebesar 24,73%
dengan uji homegenitas/Tuckey (Ginting & berbanding 18,74%. Kandungan lignin
Rahayu, 2012). Biopelet terbaik dipilih bambu ater juga tergolong lebih tinggi jika
melalui metode scoring atau rekapitulasi dibandingkan dengan beberapa jenis
penilaian (skor 1-5), kualitas masing- bambu yang banyak ditemukan di
masing biopelet berdasarkan standar Indonesia seperti bambu kuning (Bambusa
biopelet Indonesia (SNI 8021: 2014) dan vulgaris) dan bambu hitam (Gigantochloa
standar biopelet Eropa (EN 14961-2). atroviolacea), namun masih sedikit lebih
rendah dibandingkan bambu tali
III. HASIL DAN PEMBAHASAN (Gigantochloa apus), dan bambu andong
3.1. Karakteristik Bahan Baku (Gigantochloa pseudoarundinaceae) (Tabel
Bahan baku CBK dan bambu ater 2). Kandungan lignin yang tinggi
yang telah dipreparasi hingga bentuk menunjukan bambu ater memiliki potensi
serbuk lolos ayakan 25 mesh diuji yang baik digunakan sebagai penguat/
karakteristiknya untuk mengetahui perekat alami dalam pembuatan biopelet.
komposisi kimia bahan baku yang Selulosa dan hemiselulosa merupakan
digunakan sebagai bahan biopelet. komponen utama lainnya dalam bahan
Parameter yang dianalisis meliputi kadar alam berlignoselulosa. Selain memberikan
air, abu, zat terbang, karbon terikat, nilai pengaruh terhadap nilai kalori, kandungan
kalori, selulosa, hemiselulosa, dan lignin. selulosa juga memberikan pengaruh
Hasil analisis ditampilkan dalam Tabel 1. terhadap kadar air atau sifat higroskopis
Komponen lignoselulosa bahan alam biopelet (Nasir, 2015). Hasil penelitian
(lignin, selulosa, dan hemiselulosa) menunjukan CBK memiliki kadar selulosa
mengandung unsur utama karbon dan dan hemiselulosa masing-masing 38,11%
hidrogen yang merupakan unsur utama dan 26,09%, sedangkan bambu ater
proses pembakaran dimana karbon memiliki kadar selulosa dan hemiselulosa
berkorelasi positif terhadap nilai kalori yaitu 42,59% dan 15,19%. Kandungan
biomassa (Wang, Wang, Yang, & Liang, selulosa bambu ater lebih tinggi
2009). Kandungan lignin dari bahan alam dibandingkan dengan bambu tali dan
memiliki kontribusi kalori yang lebih tinggi bambu andong, sedangkan kandungan
dibandingkan dengan selulosa karena hemiselulosa bambu ater tergolong paling
lignin memilki unsur karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan bambu
tinggi dari selulosa (Pasangulapati et al., lainnya. Perbandingan potensi kandungan
2012), selain itu, lignin juga dapat lignin, selulosa, dan hemiselulosa
dimanfaatkan sebagai sumber bahan beberapa jenis bambu disajikan pada
perekat atau pengikat alami (Anita, Yanto, Tabel 2.

Tabel 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku


Komposisi Kimia Bahan
Parameter Satuan
CBK Bambu Ater
Lignin % 18,74 24,73
Selulosa % 38,11 42,59
Hemiselulosa % 26,09 15,19
Kadar air % 7,39 6,89
Kadar abu % 0,58 1,75
Kadar zat terbang % 79,64 77,37
Kalori kalori/gram 4283,76 4054,49
Karbon terikat % 12,39 13,99
Mutu biopelet dari campuran cangkang buah karet dan …I Dewa Gede Putra Prabawa, Miyono

Tabel 2. Kandungan Kimia Bambu Ater, Bambu Kuning, Bambu Hitam, dan Bambu Tali
Bambu Bambu Bambu Bambu Bambu
Kandungan Kimia Ater Kuning(a Hitam(a Tali(a Andong(b
Selulosa (%) 42,59±0,51 47,33±0,11 43,27±0,09 42,45±0,05 38,91±2,43
Hemiselulosa (%) 15,19±0,10 22,24±0,08 21,16±0,03 20,78±0,03 38,09±1,43
Lignin (%) 24,73±0,12 21,23±0,04 24,33±0,07 24,87±0,06 27,00±2,00
Sumber : Suparno & Danieli (2017),(bBahtiar et al. (2016)
(a

(A) (B) (C)

(D) (E)
Gambar 1. Biopelet dari Campuran CBK dan Bambu Ater dengan Formulasi (A) 100:0;;
(B) 95:5;; (C) 90:10;; (D) 85:15;; (E) 80:20

Hasil karakteristik bahan baku kedua bahan baku masih lebih rendah dari
menunjukkan cangkang buah karet dan standar biopelet yaitu minimal 14%.
bambu ater memiliki nilai kalori yang baik
untuk keperluan biopelet, yaitu secara 3.2. Biopelet dari Campuran Cangkang
berturut-turut 4.283,76 kal/g dan 4.054,49 Buah Karet dan Bambu Ater
kal/g, selain itu CBK memiliki kadar abu Biopelet dibuat dari bahan utama
yang rendah yaitu 0,58% sehingga baik CBK dengan penambahan bambu ater
digunakan sebagai bahan utama biopelet. sebagai penguat untuk meningkatkan sifat
Hasil analisis karakteristik parameter ketahanannya (durability). Hasil analisis
lainnya menunjukan bahan baku CBK dan karakteristik bahan baku (Tabel 1)
bambu ater yang digunakan memiliki nilai menunjukkan bambu memiliki kandungan
kadar air dan zat terbang yang tergolong lignin yang tinggi (24,73%) sehingga dapat
baik jika dibandingkan dengan standar berfungsi sebagai perekat alami biopelet.
biopelet (SNI 8021: 2014). Sedangkan Kandungan lignin akan meleleh dan
kadar karbon terikat yang terkandung pada bereaksi dengan campuran bahan selama
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.9, No.2, Des 2017: 99 -­110

proses pencetakan pelet pada temperatur dan kesetimbangan kelembaban yang


dan tekanan tinggi (Bantacut et al., 2013). berkaitan dengan kondisi penyimpanan
Untuk menghasilkan biopelet dengan biopelet (Bantacut et al., 2013). Nilai kadar
kualitas memenuhi standar Indonesia (SNI air yang tinggi juga dapat meningkatan
8021: 2014) dan Eropa (EN 14961-2) polusi udara karena menimbulkan banyak
diteliti 5 formulasi biopelet. Gambar 1 asap pada saat pembakaran (Sa’adah,
menunjukan biopelet yang dihasilkan dari 2014). Secara keseluruhan kadar air yang
penelitian ini. terkandung pada setiap biopelet telah
Biopelet yang dihasilkan pada memenuhi standar Indonesia (SNI 8021 :
penelitian ini memiliki rata-rata diameter 2014) maksimal 12% dan standar Eropa
8,30 mm, sedangkan rata-rata panjang (EN 14961-2) maksimal 10%. Biopelet
biopelet yang dihasilkan berkisar antara yang dihasilkan memiliki kadar air yang
29,90 – 34,80 mm. Hasil analisis dimensi lebih rendah dibandingkan bahan bakunya.
biopelet ditampilkan pada Tabel 3. Penurunan kadar air tersebut disebabkan
Dimensi biopelet secara keseluruhan oleh proses pencetakan biopelet yang
telah memenuhi standar yang menggunakan suhu dan tekanan yang
dipersyaratkan. Hasil analisis pada tinggi (150oC;; 597,24 kg/cm2). Menurut
Gambar 1 dan Tabel 3 menunjukan Bantacut et al (2013), tingginya suhu dan
penambahan bambu ater pada biopelet tekanan berdampak pada berkurangnya
memberikan pengaruh terhadap tekstur kandungan air pada bahan baku yang
biopelet yang dihasilkan. Biopelet A dikempa menjadi bentuk biopelet.
memiliki tekstur yang rapuh dan mudah Kadar abu pada biopelet yang
patah, hal ini dipengaruhi oleh tidak adanya dihasilkan berkisar antara 0,51% sampai
campuran bambu ater, sehingga 0,87%. Semakin tinggi kadar abu pada
menyebabkan berkurangnya sifat adhesive biopelet dapat menurunkan efesiensi
dari campuran bahan biopelet. Dimensi pembakaran karena akan menghasilkan
yang dihasilkan pada biopelet A juga relatif kerak (slag) pada dinding tungku
lebih pendek akibat banyaknya patahan pembakaran yang sulit dihilangkan
yang dihasilkan. Bambu ater memiliki (Bantacut et al., 2013). Biopelet dengan
kandungan lignin yang lebih tinggi kadar abu yang tinggi tentunya tidak akan
dibandingkan dengan CBK sehingga memenuhi persyaratan apabila digunakan
peningkatan konsentrasi bambu ater dalam sebagai bahan bakar pemanas ruangan
formulasi biopelet dapat memperkuat (residential heating). Secara keseluruhan
tekstur yang dihasilkan. kadar abu yang terkandung pada setiap
3.3. Kualitas Biopelet biopelet telah memenuhi standar Indonesia
Kualitas biopelet dari setiap formulasi dan Eropa yaitu maksimal 1,5%. Kadar abu
yang dibuat ditampilkan pada Tabel 4, data terendah diperoleh pada komposisi
yang ditampilkan adalah rata-rata analisis biopelet 100% CBK dan 0% bambu ater
dengan tiga kali ulangan pada setiap (biopelet A) sedangkan yang tertinggi
parameternya. diperoleh pada komposisi 80% CBK dan
Kadar air biopelet yang dihasilkan 20% bambu ater (biopelet E). Hasil analisis
berkisar antara 4,08% sampai 5,20%. statistik menunjukkan semakin banyak
Kadar air merupakan salah satu parameter penambahan bambu ater (0-20%)
yang berpengaruh terhadap nilai kalori, memberikan pengaruh terhadap semakin
efisiensi pembakaran, suhu pembakaran, tinggi kadar abu biopelet yang dihasilkan.

Tabel 3.Hasil Analisis Dimensi Biopelet


SNI 8021 Biopelet
Parameter Satuan EN 14961-2
: 2014 A B C D E
Diameter (D) mm - 6 atau 8 8,30 8,30 8,30 8,30 8,30
Panjang (L) mm - 3,15≤ L ≤40 29,90 34,80 33,06 32,66 34,06
Keterangan : tanda - = tidak dipersyaratkan
Mutu biopelet dari campuran cangkang buah karet dan …I Dewa Gede Putra Prabawa, Miyono

Tabel 4. Kualitas Biopelet dan Scoring Data Hasil Penelitian untuk Seluruh Biopelet
SNI 8021 : Kualitas Biopelet
Parameter Uji EN 14961-2 A B C D E
2014
Kadar air (%) Maks. 12 Maks. 10 5,20(1 4,08(5 4,27(3 4,23(4 4,33(2
Kadar abu (%) Maks. 1,5 Maks. 3 0,51(5 0,61(4 0,66(3 0,84(2 0,87(1
Kadar zat Maks. 80 - 79,54(3 80,34*(1 79,63 (2
79,44(5 79,45(4
terbang (%)
Kalori (kal/g) Min. 4000 3941≤Q≤4538 4445,55(1 4526,44(5 4460,53(3 4472,41(4 4450,36(2
Karbon terikat% Min. 14 - 14,75(1 14,97(2 15,44(4 15,48(5 15,38(3
Bulk density - Min. 600 1037,21(2 1049,48(3 989,75(1 1063,87(5 1058,55(4
(kg/m3)
Mechanical - Min. 96,5 79,77*(1 87,07*(2 87,36*(3 91,93*(4 91,94*(5
durability (%)
Nitrogen (%) - Maks. 1,00 0,13(4 0,13(4 0,18(3 0,21(2 0,23(1
Sulfur (%) - Maks. 0,04 0,09(1 0,07(3 0,08(2 0,05(4 0,09(1
Klorin (%) - Maks. 0,03 ND(1 ND(1 ND(1 ND(1 ND(1
Total nilai (scoring) 20 30 25 36 24
Keterangan : tanda - = pengujian tidak dipersyaratkan
tanda * = hasil pengujian tidak memenuhi standar EN 14961-2 tanda(1,
2, 3, 4, 5
= penilaian (scoring) data
ND = tidak terdeteksi

Hal tersebut dipengaruhi oleh karakteristik tingkat pembakaran, waktu pembakaran,


bahan yang digunakan, dari hasil dan kandungan asap yang dihasilkan
karakteristik awal menunjukan bambu ater selama pembakaran (Hansen, Jein, Hayes,
memiliki kadar abu yang cukup tinggi & Bateman, 2009). Semakin tinggi kadar
dibandingkan dengan CBK, yaitu 1,75% zat terbang akan menurunkan kualitas
berbanding 0,58% (Tabel 1) sehingga akan biopelet yang dihasilkan (Bantacut et al.,
berkolerasi dengan meningkatnya kadar 2013). Secara keseluruhan kadar zat
abu pada biopelet yang menggunakan terbang pada formulasi biopelet A, C, D,
komposisi bambu ater semakin banyak. dan E telah memenuhi standar Indonesia
Seluruh biopelet yang dihasilkan memiliki yaitu maksimal 80%, sedangkan formulasi
kadar abu yang rendah sehingga akan baik biopelet B sedikit diatas standar. Standar
digunakan sebagai bahan bakar untuk Eropa tidak mempersyaratkan pengujian
keperluan residensial. Biopelet memiliki parameter kadar zat terbang pada biopelet.
kadar abu yang lebih rendah dari beberapa Menurut Yuliza, Nazir, & Djalal (2013),
biopelet yang dilaporkan untuk keperluan kadar zat terbang dipengaruhi oleh jenis
residensial, seperti biopelet bambu moso bahan baku dan proses karbonisasi (suhu
(Phyllostachys heterocycla) pada proses dan waktu). Hasil analisis statistik
produksi terbaik memiliki kadar abu 1,34% menunjukkan penambahan bambu ater 0-
(Liu et al., 2012), biopelet limbah batang 20% tidak memberikan pengaruh signifikan
sawit 4,69-8,73% (Zulfian, Diba, Setyawati, terhadap perubahan kadar zat terbang
Nurhaida, & Roslinda, 2015), biopelet biopelet, hal tersebut dipengaruhi oleh
dengan ukuran serbuk bahan baku lolos 60 kadar zat terbang bahan baku CBK dan
dan 80 mesh dari kayu jati 1,34% dan bambu ater yang digunakan memiliki nilai
0,99%, kayu akasia 1,94% dan 1,12%, yang tidak berbeda jauh yaitu secara
serta kayu sengon 1,26% dan 1,69%
berturut-turut 79,64% dan 77,37% (Tabel
(Hendra, 2012).
1) dan proses pembuatan biopelet
Kadar zat terbang pada biopelet yang
menggunakan suhu dan waktu proses
dihasilkan berkisar antara 79,44% sampai
yang tetap pada semua formulasi.
80,34%. Zat terbang adalah zat yang dapat Kadar karbon terikat pada biopelet
menguap sebagai hasil dari dekomposisi yang dihasilkan berkisar antara 14,75%
senyawa-senyawa di dalam suatu bahan sampai 15,48%. Semakin tinggi kadar
selain air (Hendra, 2012). Kadar zat karbon terikat, semakin baik kualitas
terbang dalam bahan bakar menentukan pembakaran biopelet yang dihasilkan
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.9, No.2, Des 2017: 99 -­110

(Bantacut et al., 2013). Secara keseluruhan yang dihasilkan belum dapat memenuhi
kadar karbon terikat pada biopelet telah standar Eropa yaitu minimal 96,50%,
memenuhi standar Indonesia, yaitu minimal sedangkan standar Indonesia tidak
14%, sedangkan standar Eropa tidak mempersyaratkan pengujian parameter
mempersyaratkan pengujian parameter mechanical durability. Nilai tertinggi
tersebut. Kadar karbon terikat pada diperoleh pada komposisi biopelet 80%
biopelet yang dihasilkan memiliki CBK dan 20% bambu ater (biopelet E),
kecenderungan meningkat seiring sedangkan yang terendah diperoleh pada
penambahan konsentrasi bambu ater (0- komposisi 100% CBK dan 0% bambu ater
20%). Walaupun terjadi peningkatan, (biopelet A). Hasil analisis statistik
namun dari hasil analisis statistik menunjukan penambahan konsentrasi
menunjukan perbedaan kadar karbon bambu ater (0-20%) memberikan pengaruh
terikat yang terjadi tidak berbeda secara terhadap peningkatan nilai durability hingga
signifikan pada setiap formulasinya. 15,26% dibandingkan dengan formulasi
Nilai bulk density pada biopelet yang biopelet tanpa penambahan bambu ater.
dihasilkan berkisar antara 1036,46 kg/m 3 Analisis data lanjutan (Tuckey)
sampai 1063,87 kg/m3. Bulk density adalah menunjukkan terdapat tiga kelompok data
massa partikel yang menempati suatu unit yang menghasilkan perbedaan signifikan,
volume tertentu (Gilang, Affandi, & yaitu formulasi biopelet A, B-C, dan D-E.
Ishartani, 2013). Bulk density yang Peningkatan durability seiring dengan
semakin tinggi bermanfaat dalam bertambahnya persentase bambu dalam
meningkatkan kemudahan penanganan, biopelet diakibatkan oleh meningkatnya
penyimpanan, dan transportasi biopelet kandungan lignin dalam campuran bahan
(Kaliyan & Morey, 2009). Nilai bulk density yang dapat menjadi penguat (perekat
biopelet dapat dipengaruhi oleh tekanan alami) dalam biopelet. Hal tersebut
saat proses pengempaan dan perbedaan didukung oleh hasil karakteristik bambu
ukuran partikel dari bahan yang digunakan. ater yang memiliki kandungan lignin lebih
Secara keseluruhan nilai bulk density tinggi dari bahan CBK, yaitu 24,73%
biopelet telah memenuhi standar Eropa berbanding 18,74%.
yaitu minimal 600 kg/m3, sedangkan Parameter utama yang menentukan
standar Indonesia tidak mempersyaratkan kualitas pembakaran biopelet adalah nilai
pengujian parameter tersebut. Hasil kalori. Nilai kalori pada biopelet yang
analisis statistik menunjukan penambahan dihasilkan berkisar antara 4.445,55 kal/g
bambu ater (0-20%) pada pembuatan sampai 4.526,44 kal/g. Kualitas nilai kalori
biopelet dari bahan utama CBK tidak biopelet dipengaruhi oleh nilai kalori/energi
memberikan pengaruh signifikan terhadap yang dimiliki oleh bahan penyusunnya,
perubahan nilai bulk density biopelet yang selain itu nilai kalori juga dipengaruhi oleh
dihasilkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kadar air dan kadar abu dalam biopelet
keseragaman ukuran partikel bahan baku (Yuliza et al., 2013). Secara keseluruhan,
yang digunakan (25 mesh) dan proses nilai kalori pada biopelet telah memenuhi
pengempaan dilakukan pada tekanan yang standar Indonesia (min. 4000 kal/g) dan
sama untuk setiap formulasi biopelet yaitu standar Eropa (3941≤kalori≤4538 kal/g).
597,24 kg/cm2. Nilai kalori tertinggi diperoleh pada
Parameter lainnya yang komposisi biopelet 95% CBK dan 5%
mempengaruhi ketahanan dalam proses
bambu ater (biopelet B), sedangkan yang
penyimpanan dan transportasi biopelet
terendah diperoleh pada komposisi 100%
adalah mechanical durability. Parameter
CBK dan 0% bambu ater (biopelet A).
tersebut menunjukan daya tahan biopelet
Rendahnya nilai kalori pada biopelet A
terhadap guncangan/getaran dengan
dipengaruhi oleh kandungan airnya yang
membandingkan persentase pelet yang
paling tinggi jika dibandingkan dengan
rusak (Fordiie, 2011). Nilai durability yang
biopelet lainnya, yaitu 5,20%, begitu pula
dihasilkan berkisar antara 79,77% sampai
sebalikya, biopelet B memiliki kadar air
91,94%. Secara keseluruhan nilai durability
yang paling rendah, yaitu 4,08%, sehingga
Mutu biopelet dari campuran cangkang buah karet dan …I Dewa Gede Putra Prabawa, Miyono

menghasilkan nilai kalori tertinggi. penambahan zat aditif seperti perekat.


Walaupun terdapat perbedaan nilai kalori Kandungan sulfur, nitrogen, dan klorin
yang dihasilkan pada setiap formulasi pada biopelet yang dihasilkan lebih baik
biopelet, namun secara statistik dibandingkan biopelet limbah sawit dengan
menunjukkan penambahan bambu ater (0- kandungan rata-rata sulfur, nitrogen, dan
20%) tidak menghasilkan perubahan nilai klorin secara berturut-turut 0.012% - 0.038%
kalori yang berbeda secara signifikan, ;; 0.29% - 1.965% dan < 0.010 %.
kecuali biopelet B yang memiliki rata-rata
nilai kalori sedikit lebih tinggi. Nilai kalori 3.4 Formula Biopelet Terbaik
pada biopelet yang dihasilkan masih lebih Formula biopelet terbaik dipilih
baik dari biopelet limbah batang kelapa dengan metode scoring (Lamanda,
sawit 3.719,67 - 4.451,67 kal/g (Zulfian et al., Setyawati, Nurhaida, Diba, & Roslinda,
2015), biopelet limbah sekam padi 4.329,63 2015), yaitu dengan memberikan penilaian
kal/g (Rahman, 2011), biopelet bambu moso terhadap hasil analisis kualitas biopelet dari
(Phyllostachys heterocycla) 4.402,82 - yang terendah sampai terbaik dengan skor
4.410,05 kal/g (Liu et al., 2014), 1-5, kemudian hasil penilaian direkapitulasi
biopelet kayu akasia 3.731,41-3.810,40 kal/g dan dipilih total nilai tertinggi sebagai
(Hendra, 2012), biopelet kayu sengon formula biopelet terbaik. Analisis dimensi
3.556,03 - 3.726,08 kal/g (Hendra, 2012), (panjang dan diameter) tidak diikutkan
dan wood pellet limbah kayu karet 4.029 - dalam penilaian, sebab dimensi seluruh
4.106 kal/g (Adrian, Sulaeman, & Oktorini, formulasi biopelet telah memenuhi
2015). persyaratan sehingga tidak mempengaruhi
Emisi gas yang dihasilkan selama kualitasnya. Hasil rekapitulasi penilaian
proses pembakaran biopelet dapat kualitas biopelet ditampilkan pada Tabel 4.
diketahui melalui pengujian kadar sulfur, Berdasarkan hasil rekapitulasi
nitrogen, dan klorin. Selama proses penilaian terhadap seluruh parameter uji
pembakaran, kandungan sulfur dapat pada setiap biopelet, formulasi yang
menghasilkan emisi gas SO x yang memiliki total nilai terbaik diperoleh pada
menyebabkan iritasi saluran pernapasan, biopelet D, yaitu dari campuran 85% CBK
kandungan nitrogen dapat menghasilkan dan 15% bambu ater. Hasil penelitian
emisi gas NOx, dan kandungan klorin dapat secara keseluruhan menunjukan
membentuk asam klorida yang penambahan bambu ater mampu
menyebabkan korosi (Sa’adah, 2014). meningkatkan kekuatan (mechanical
Kadar sulfur dan nitrogen yang dihasilkan durability) dari biopelet. Hal tersebut
secara berturut-turut berkisar antara 0,05- menunjukan penambahan bambu ater
0,09% dan 0,13-0,23%, sedangkan kadar dapat dimanfaatkan sebagai perekat alami
klorin pada semua biopelet yang dihasilkan dalam pengolahan biopelet dengan bahan
nilainya kurang dari 0,10 ppm. Secara utama CBK dan tidak menyebabkan
keseluruhan, nilai emisi pada biopelet telah menurunnya kualitas biopelet yang
memenuhi standar Eropa, yaitu sulfur dihasilkan.
maksimal 0,04%, nitrogen maksimal 1%,
dan klorin masimal 0,03%, sedangkan IV. KESIMPULAN DAN SARAN
standar Indonesia belum mempersyaratkan Pengolahan biopelet dari cangkang
parameter pengujian tersebut. Kandungan buah karet (CBK) dan bambu ater
sulfur, nitrogen, dan klorin dalam biopelet (Gigantochloa atter) menghasilkan biopelet
yang dihasilkan tergolong rendah (baik), dengan kualitas terbaik pada formulasi
hal ini dikarenakan dalam proses 85% CBK dan 15% bambu ater dan
pembuatan biopelet tidak menggunakan kualitasnya telah memenuhi standar
bahan perekat tambahan. Menurut Sa’adah Indonesia (SNI 8021: 2014), sedangkan
(2014), biomassa secara alami biasanya untuk standar Eropa (EN 14961-2) masih
mengandung sulfur, nitrogen, dan klorin terdapat satu parameter yang belum
dengan kadar sangat rendah, kadar yang memenuhi yaitu mechanical durability.
lebih tinggi disebabkan oleh adanya Penambahan bambu ater menghasilkan
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.9, No.2, Des 2017: 99 -­110

perubahan yang signifikan terhadap Bantacut, T., Hendra, D., & Nuwigha, R.
kualitas kadar air, abu, bulk density, kalori, (2013). The Quality of Biopellet from
dan mechanical durability biopelet. Combination of Palm Shell Charcoal
Penambahan bambu ater mampu and Palm Fiber. Jurnal Teknologi
memperbaiki durability biopelet hingga Industri Pertanian, 23(1), 1–12.
mencapai nilai 91.94%.
Diperlukan penelitian lanjutan untuk EN 14961-2. (2013). Handbook for The
meningkatkan kembali nilai durability Certification of Wood Pellets for
biopelet dari campuran CBK dan bambu Purposes (Version 2). Brussels,
ater hingga dapat memenuhi standar EN Belgium: European Pellet Council
14961-2 yaitu 96,50%. Penelitian lanjutan (EPC).
disarankan mengenai pengaruh kadar air Fordiie, E. O. (2011). Durability of Wood
dan suhu proses dalam meningkatkan Pellets. University of British Columbia.
mechanical durability biopelet yang
dihasilkan. Gilang, R., Affandi, D. R., & Ishartani, D.
(2013). Karakteristik Fisik dan Kimia
UCAPAN TERIMA KASIH Tepung Koro Pedang (Canavalia
ensiformis) dengan Variasi Perlakuan
Terima kasih disampaikan kepada Pendahuluan. Jurnal Teknosains
Balai Riset dan Standarisasi Industri Pangan, 2(3), 34–42.
Banjarbaru yang telah membantu
Ginting, M., & Rahayu, S. (2012).
mendanai penelitian ini. Penulis juga Pengolahan dan Analisis Data
mengucapkan terima kasih kepada Ibu (Bidang IPA/IPT). (E. Sudarmonowati,
Ratri Yuli Lestari dan Bapak Anhar Firdaus I. S. Zahroh, Anisah, & Y.
yang telah memberi masukan dan Pradanatama, Eds.) (Edisi Revisi).
membantu dalam pelaksanaan penelitian Bogor: Pusbindiklat Peneliti LIPI.
ini. Hansen, M., Jein, A., Hayes, S., &
Bateman, P. (2009). English
DAFTAR PUSTAKA Handbook for Wood Pellet
Combustion. Germany: National
Adrian, A., Sulaeman, R., & Oktorini, Y. Energy Foundation.
(2015). Karakteristik Wood Pellet dari
Limbah Kayu Karet (Hevea Hendra, D. (2012). Rekayasa Pembuatan
brazilliensis Muell. Arg) sebagai Mesin Pelet Kayu dan Pengujian
Alternatif Sumber Energi Terbarukan. Hasilnya. Jurnal Penelitian Hasil
Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hutan, 30(2), 144–154.
Pertanian, 2(2), 1-6. Kaliyan, N., & Morey, R. V. (2009). Factors
Anita, S. H., Yanto, D. H. Y., & Fatriasari, Affecting Strength and Durability of
W. (2011). Pemanfaatan Lignin Hasil Densified Biomass Products. Journal
Isolasi dari Lindi Hitam Proses Biomass and Bioenergy, 33(3), 337–
Biopulping Bambu Betung 359.
(Dendrocalamus asper) sebagai https://doi.org/10.1016/j.biombioe.200
Media Selektif Jamur Pelapuk Putih. 8.08.005
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(4), Kementan. (2015). Statistik Perkebunan
312–321. Indonesia 2014-2016. (E. Subiyantoro
Bahtiar, E. T., Nugroho, N., Surjokusumo, & Y. Arianto, Eds.). Jakarta: Direktorat
S., Karlinasari, L., Nawawi, D. S., & Jenderal Perkebunan.
Lestari, D. P. (2016). Pengaruh Lamanda, D. D., Setyawati, D., Nurhaida,
Komponen Kimia dan Ikatan Diba, F., & Roslinda, E. (2015).
Pembuluh terhadap Kekuatan Tarik Karakteristik Biopelet Berdasarkan
Bambu. Jurnal Teknik Sipil, 23(1), 31– Komposisi Serbuk Batang Kelapa
40. Sawit dan Arang Kayu Laban dengan
Mutu biopelet dari campuran cangkang buah karet dan …I Dewa Gede Putra Prabawa, Miyono

Jenis Perekat sebagai Bahan Bakar Bakar Alternatif Terbarukan (Skripsi).


Alternatif Terbarukan. Jurnal Hutan Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
Lestari, 3(2), 313–321.
Sa’adah, W. A. (2014). Pemanfaatan
Liu, Z., Fei, B., Jiang, Z., Cai, Z., & Liu, X.
Limbah Kelapa Sawit (Elaeis
(2014). Important Properties of
Guineensis Jacq.) dan Serbuk Kayu
Bamboo Pellets to Be Used as
Mahoni sebagai Bahan Baku Biopelet
Commercial Solid Fuel in China.
(Skripsi). Institut Pertanian Bogor,
Journal Wood Science and
Bogor, Indonesia.
Technology, 48(5), 903–917.
https://doi.org/10.1007/s00226-014- Saptoadi, H. (2008). The Best Biobriquette
0648-x Dimension and Its Particle Size. Asian
Journal on Energy and Environment,
Liu, Z., Jiang, Z., Cai, Z., Fei, B., YU, Y., & 9(3), 161–175.
Liu, X. (2012). The Manufacturing
Process of Bamboo Pellets. In Sjaifudin, A., & Sugiyana, D. (2016).
Proceedings of the 55th International Sintesis dan Peningkatan Performa
Convention of Wood Science and Bahan Bakar Briket dari Limbah Abu
Technology (pp. 1–14). Beijing: China. Dasar Batubara dan Limbah Sabut
Kelapa di Industri Tekstil. Jurnal
Mani, S., Tabil, L. G., & Sokhansanj, S.
Arena Tekstil, 31(1), 43–50.
(2006). Effects of Compressive Force,
Particle Size and Moisture Content on SNI 8021:2014. (2014). Pelet Kayu.
Mechanical Properties of Biomass Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Pellets from Grasses. Journal Sukarta, I. N., & Oka, L. (2017). Analisis
Biomass and Bioenergy, 30(7), 648– Proksimat pada Pelet Bahan Bakar
654. dari Kotoran Babi yang
https://doi.org/10.1016/j.biombioe.200 Dikombinasikan dengan Limbah Kayu.
5.01.004 Jurnal Sains Dan Teknologi, 6(2),
Nasir, A. (2015). Karakteristik Wood Pellet 220–227.
Campuran Cangkang Sawit dan Kayu Suparno, O., & Danieli, R. (2017).
Bakau (Rhizhophora spp.) (Skripsi). Penghilangan Hemiselulosa Serat
Institut Pertanian Bogor, Bogor, Bambu secara Enzimatik untuk
Indonesia. Pembuatan Serat Bambu. Jurnal
Pasangulapati, V., Ramachandriya, K. D., Teknologi Industri Pertanian, 27(1),
Kumar, A., Wilkins, M. R., Jones, C. 89–95.
L., & Huhnke, R. L. (2012). Susila, M. A. D., Medhina, M., Adilla, I.,
Bioresource Technology Effects of Sihombing, A. L. S. M., & Lestari, E.
Cellulose, Hemicellulose and Lignin (2011). Pengaruh Konsentrasi Ion
on Thermochemical Conversion Bikarbonat Larutan Penjerab terhadap
Characteristics of The Selected Efisiensi Penjerab Sistem Bio-FGD
Biomass. Journal Bioresource PLTU Batubara. Jurnal
Technology, 114, 663–669. Ketenagalistrikan dan Energi
https://doi.org/10.1016/j.biortech.2012. Terbarukan, 10(2), 87–94.
03.036
Van der Stelt, M. J. C., Gerhauser, H., Kiel,
Prasetyowati, Hermanto, M., & Farizy. J. H. A., & Ptasinski, K. J. (2011).
(2014). Pembuatan Asap Cair dari Biomass Upgrading by Torrefaction for
Cangkang Buah Karet sebagai The Production of Biofuels: A review.
Koagulan Lateks. Journal Teknik Journal Biomass and Bioenergy,
Kimia, 4(20), 14–21. 35(9), 3748–3762.
Rahman. (2011). Uji Keragaan Biopelet https://doi.org/10.1016/j.biombioe.201
dari Biomassa Limbah Sekam Padi 1.06.023
(Oryza sativa sp.) sebagai Bahan
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.9, No.2, Des 2017: 99 -­110

Wang, C., Wang, F., Yang, Q., & Liang, R.


(2009). Thermogravimetric Studies of
The Behavior of Wheat Straw with
Added Coal During Combustion.
Journal Biomass and Bioenergy, 33,
50–56.
https://doi.org/10.1016/j.biombioe.200
8.04.013
Widyawati, N. L., & Argo, B. D. (2014).
Pemanfaatan Microwave dalam
Proses Pretreatment Degradasi Lignin
Ampas Tebu (Bagasse) pada
Produksi Bioetanol. Jurnal Teknologi
Pertanian, 15(1), 1–6.
Winata, A. (2013). Karakteristik Biopelet
dari Campuran Serbuk Kayu Sengon
dengan Arang Sekam Padi sebagai
Bahan Bakar Alternatif Terbarukan
(Skripsi). Institut Pertanian Bogor,
Bogor, Indonesia.
Xu, K., Tu, D., Chen, T., Zhong, T., & Lu, J.
(2016). Effects of Environmental-
Friendly Modified Rubber Seed Shell
on The Comprehensive Properties of
High Density Polyethylene/Rubber
Seed Shell Composites. Journal
Industrial Crops and Products, 91,
132–141. http://dx.doi.org/1
Yuliza, N., Nazir, N., & Djalal, M. (2013).
Pengaruh Komposisi Arang Sekam
Padi dan Arang Kulit Biji Jarak Pagar
terhadap Mutu Briket Arang. Jurnal
Litbang Industri, 3(1), 21–30.
Zulfian, Diba, F., Setyawati, D., Nurhaida,
& Roslinda, E. (2015). Kualitas
Biopelet dari Limbah Batang Kelapa
Sawit pada Berbagai Ukuran Serbuk
dan Jenis Perekat. Jurnal Hutan
Lestari, 3(2), 208–216.

110

Anda mungkin juga menyukai